Aku dan Mas Danu melongo. Ya Allah, tidak menyangka sama sekalili kalau rumah bapak beneran dijual aku pikir kemarin itu hanya menggertak saja.“Jadi mana uang hasil penjualan rumah itu? Apa tidak tersisa sama sekali?” tanya bapak Lagi. Suaranya serak sekali aku yakin bapak menahan tangis.“Kami sudah bilang kan, sudah kami bagi empat, Pak,” jawab Wira ketakutan.Bapak langsung jatuh pingsan. Kami sibuk membaringkan bapak di sofa dan menyadarkannya.“Pergi kalian dari sini, pergi!” Ibu mendorong-dorong tubuh Wira. Aku gegas ikut mengusir mereka dibantu mamah Atik dan ibu mertua langsung menyeret koper mereka keluar. Sementara Mas Danu berusaha membangunkan bapak.Drama pengusiran ini mirip seperti adegan di film-film. Kami terlihat seperti penjahat apalagi keponakanku semua menangis.“Jangan pernah kalian datang ke sini lagi. Ingat, kalian bukan hanya menyakitiku saja, tapi menyaki ke dua orang tua kita.”“Maafkan aku, Ta. Aku rela di sini jadi pembantu asal kami punya tempat tinggal
“Danu, bagaimana katamu aku pakai baju ini?” tanya Mbak Asih pagi ini.Dia memakai pakaian seksi you can see dan androk mini. Dandanya juga cantik. Apa Mbak Asih berniat menggoda Mas Danu? Aku takut dia seperti Mbak Lili.Ada-ada saja kelakuan saudara Mas Danu ini setiap harinya. Kadang buat jengkel kadang pula bikin ketawa sampai perut sakit.Kalau diperhatikan memang Mbak Asih ini lucu sekali. Kemarin dia baru saja patah hati dan nyanyi-nyanyi tidak jelas lalu sekarang sudah bahagia lagi. Semudah itulah dia move on? Padahal sejujurnya aku kasihan sekali dengan dia.“Memang Mbak Asih mau ke mana?” tanyaku. Mbak Asih diam saja malah dia melengos karena tidak suka kutanya.Kalau kata Mamah Atik, aku sudah disuruh berhenti respek sama orang macam Mbak Asih dan Mbak Lili, tapi aku tidak mau kalau aku sama saja seperti mereka berdua itu berarti aku pun menjadi orang yang minim attitude.“Jelek Mbak, pakai baju panjang dan pakai kerudungnya,” jawab Mas Danu. Dia memang tidak suka dengan p
“Dasar kamu itu, ya, Dan. Seleranya rendah sekali. Pasti yang akan kamu bilang cantik adalah si, Ita, kan? Kampungan gitu penampilannya,” ejek Mbak Asih seraya masuk rumah.Selama 8 harian ini ibu tidak ada di rumah. Kami sampai kewalahan menjaga Mbak Asih.Akhirnya kami terpaksa mengurung Mbak asih di dalam rumah.Gas kami cabut, benda-benda senjata tajam seperti pisau dapur, golok, cangkul kami singkirkan. Aku pun tidak berani ke rumah ibu sendiri. Takut Mbak Asih nekat.Motor matic satu-satunya juga dijual. Kami tidak tahu dijual di mana, entah uangnya untuk apa.Jika siang hari Mbak Asih seperti orang biasa pada umumnya. Mau beberes rumah, mandi, bersolek, hanya saja jika diajak ngobrol tidak nyambungan.Jika malam, Mbak asih sering teriak-teriak tidak jelas. Nyetel musik kuat-kuat. Nyanyi tidak jelas pakai speaker, lampu rumah juga di matikan semua.Kabarnya Mas Roni pulang ke rumah orang tuanya bersama istri mudanya. Dia bekerja serabutan di sawah. Padahal orang tua Mas Roni
🌸🌸🌸Pesan dari siapa?[Mas, terima kasih banyak uangnya sudah aku terima].Kubaca pesan masuk dari nomor asing. Tidak biasanya nomor tidak ada namanya di ada HP Mas Danu. Aku segera menghapusnya. Biar saja Mas Danu tidak tahu lagi pula nomornya tidak ada namanya.Tadi pagi sewaktu aku mencuci celana panjangnya yang dipakai kemarin memang menemukan struk bukti transfer sejumlah uang. Cukup banyak tiga juta rupiah atas nama Evi.Mungkinkah yang mengirim pesan barusan adalah Evi. Tapi, siapakah Evi. Biasanya Toni pegawai toko yang baru memang sering minta tolong untuk mentransfer uang pada istrinya di kabupaten lain yang sedang merawat ibunya, tapi apa mungkin nama istri Toni adalah Evi. Selama ini aku pernah berkenalan dan berjumpa dengannya. Ah, aku jadi bingung dan curiga.Kuletakkan kembali ponsel Mas Danu di tempat semula. Aku lebih memilih melanjutkan menyiapkan sarapan. Sudah siang Mas Danu harus segera berangkat ke toko. Alhamdulillah sekarang toko kami ada dua. Meski masih d
Mbak Asih menengadahkan tangannya persis anak kecil yang minta uang pada ibunya. Matanya berbinar penuh harap.“Ini, kalau jajan jangan banyak-banyak ya, Mbak. Aku sudah tidak punya uang lagi.”“Kata siapa? Uangmu banyak kok, enggak berseri,” jawab Mbak Asih.Sekarang Mbak Asih otaknya agak terganggu. Kadang waras kadang seperti orang stres. Aku sebenarnya kasihan, tapi mau bagaimana lagi mungkin ini takdir yang harus Mbak asih jalani.Kata orang Mbak Asih kena guna-guna sudah sempat sembuh tapi kambuh lagi. Kata orang lagi, guna-gunanya susah hilang karena selain dapat kiriman dari orang lain dia pun terkena sendiri akibat ilmu sihir yang dia pakai bersama Mas Roni suaminya dulu.Mas Roni sudah menikah lagi, sesekali datang ke sini. Aku lihat Mas Roni sepertinya masih cinta pada Mbak Asih mungkin keadaan yang tidak memungkinkan karena Mas Roni sudah menikah lagi.“Ita, malah bengong. Nanti kamu kesambet jin. Tambah lagi uangnya.”“Sudah enggak ada lagi, Mbak.”“Pelit banget kamu, Ta.
~k~u🌸🌸🌸Baru saja selesai salat duha Mbak Asih sudah kembali ke rumahku. Malahan masuk ke kamarku tanpa permisi dan mengacak-acak isi laci meja riasku.“Mbak, ya Allah kalau masuk rumah orang itu salam dulu!” tegurku seraya kutampik tangannya yang sedang sibuk mengobrak-abrik isi laci.“Gimana aku mau salam, kamu aja lagi salat. Pasti kamu juga enggak bisa jawab kan, kalau enggak jawab salam dosa,” kilahnya.“Ada apa Mbak Asih ke sini?” tanyaku kesal.“Aku mau minta make up, Ta. Punyaku sudah habis dan belum ada uang untuk beli lagi. Tapi, ternyata sama aja kamu pun tidak punya. Hanya bedak sama lipstik ini.”“Aku memang enggak pakai make up lengkap seperti Mbak. Aku hanya pakai skincare sama bedak ini saja.”“Kalau gitu skincarenya untuk aku ya, Ta. Kamu beli lagi aja, kan, duit kamu banyak,” rengek Mbak Asih.“Ambil aja, Mbak kalau mau. Memang Mbak mau ke mana kok sudah rapi begini?” Aku heran tadi pas minta uang seperti anak kecil ini sudah waras lagi. Pakai baju seksi dengan da
Assalamualaikum ... selamat pagi semua. Semoga sehat dan bahagia selalu. Follow akunku, yaaa.🌸🌸🌸“Kenapa, Dik. Dari pagi kok, cemberut aja? Apa Mas ada salah?” Mendengar pertanyaan Mas Danu kalau tidak dosa sebenarnya ingin sekali marah-marah. Memang di mana-mana laki-laki itu enggak peka sama sekali.“Pikir aja sendiri!” sungutku. Mas Danu mengerutkan keningnya. Lalu kembali main HP.Huh! Apa ponsel itu lebih berharga dari pada aku istrinya!Tidak tahan dengan sikap Mas Danu aku putuskan ke luar kamar. Kubanting pintu kuat sekali hingga Kia kaget. Mas Danu melongo heran melihat tingkahku.Rasain! Memang dia sendiri yang bisa cuek aku pun bisa. Memang dia aja yang bisa sibuk dengan ponselnya aku pun bisa. Palingan juga dia berbalas pesan dengan nomor misterius tadi. Sungguh menyebalkan dan aku tidak ikhlas.Udara malam dingin menusuk tulang, tapi aku ogah masuk ke dalam kalau Mas Danu belum menjemputku di sini. Lebih baik sakit badan karena masuk angin kedinginan di luar dari pad
“Jadi, Evi adalah adik tiriku. Dia anak dari suami ibu kandungku. Evi diasuh ibuku sejak usianya dua tahun. Begitulah yang kudengar dari ceritanya.”“A—dik tiri?” Mas Danu mengangguk.“Bagaimana bisa bertemu? Almarhum Bapak saja susah mencari keberadaan Ibu waktu itu.” Tanyaku penuh selidik. Ekspresi Mas Danu menunjukkan tidak sedang bercanda ataupun berbohong.“Paman, adik dari Ibu tidak sengaja belanja ke toko kita. Karena di toko kita terpasang foto bapak, ibu, dan aku waktu kecil membuat Paman penasaran dan akhirnya terjadi obrolan panjang lebar kemudian besoknya paman datang bersama Evi yang mengaku sebagai adik tiriku. Kemudian kami saling bertukar nomor telepon. Tidak perlu menunggu lama Evi minta uang, sembako, ini dan itu."“Mas, tidak sedang mengarang cerita, kan?”“Mas, ini sekolah pun tidak lulus bagaimana bisa mengarang cerita,” jawab Mas Danu dijawilnya hidungku.“Berarti Ibunya Mas masih ada?”“Sudah meninggal, Dik. Hanya tinggal adik Ibu yang sekandung. Itu yang tingg
~k~u 🌸🌸🌸“Mas, siapa perempuan ini?” Akhirnya kutanyakan langsung foto yang tadi siang dikirim oleh paman.Mas Danu mengerutkan keningnya matanya menatapku penuh selidik.“Ini nomor Paman Mas, lihat tuh, WA-nya dari atas,” jelasku. Mas Danu memang tidak paham jika pakai smartphone.“Ini dikirim tadi pagi kenapa enggak bilang langsung, Dik?”“Gimana mau bilang kan, Mas sibuk di toko.”“Siapa wanita berbaju orange itu, Mas?” cecarku.“Itu ... em, tapi kamu jangan marah, ya?” Mendengar jawaban Mas Danu justru aku semakin takut. Takut kalau apa yang aku pikirkan benar.“Jawablah, Mas jangan berkelit gitu.”“Namanya Maya, dia teman sekolah Mas waktu SD. Waktu itu tanpa sengaja bertemu di toko. Setelah pertemuan pertama dia sering datang dan banyak bercerita tentang rumah tangganya ....” Mas Danu menjeda ceritanya.Aku sudah berkeringat panas padahal suhu udara malam ini dingin karena tadi sore hujan sangat deras dan sekarang pun masih gerimis kecil.“Karena Mas kasihan makanya Mas seri
“Enggak bersih berarti tidak ada acara masuk rumah.” Mamah Atik ikut menimpali.“Apa ini sudah cukup, Bu?” tanya Evi memperlihatkan irik yang berisi pucuk daun singkong.“Belum! Petik yang banyak, di rumah banyak orang jadi banyak juga yang makan kalau cuma segini habis sama kamu aja!” Mamah Atik pun tidak kalah sengit memarahi Evi.“Aku adukan kalian sama Mas Danu biar kapok!” Ancam Evi.“Adukan saja sana! Danu tidak akan pernah ambil pusing,” jawab Mamah Atik.“Paman, jangan main HP terus nanti HP-nya masuk parit kami lagi yang disalahin dan suruh ganti,” kataku agak kuat karena jarak kami lumayan jauh.“Eh, iya, Ya. Ini aku hanya kirim pesan pada Danu saja,” jawab paman.Benar saja setelah kucek ponsel Mas Danu yang ada di saku celanaku ternyata ada pesan masuk lagi dari paman.[Keputusanmu akan menentukan nasib rumah tanggamu, Dan. Cepat katakan iya atau tidak!]Lagi hanya kubaca saja. Aku tidak berminat sama sekali untuk membalas.“Sudah ada gledek, tuh! Buruan nanti keburu turun
🌸🌸🌸Hidup sejatinya adalah perjalanan. Sekarang tergantung kita mau pilih jalan yang mana. Di depan sana ada banyak sekali rintangannya. Berkelok-kelok, lurus mulus, licin berlumpur atau naik turun.Aku menghela nafas berat saat membaca pesan dari paman Mas Danu. Pesan itu langsung kuteruskan ke ponselku.Paman Mas Danu sebenarnya belum selesai berbicara dengan Mas Danu hanya saja tadi tiba-tiba Joko menelepon ada pelanggan tetap mau belanja bulanan dan jumlahnya sangat banyak. Makanya Mas Danu buru-buru pergi ke toko.Paman dan juga Evi kami persilakan untuk menunggu di rumah. Bagaimana pun juga mereka adalah tamu.‘... Barang siapa beriman pada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia memuliakan tamunya .... HR. Bukhari dan Muslim.Aku memang bukan seorang yang mulus tanpa dosa, tapi aku akan selalu berusaha berbuat baik pada siapa pun meski dianggap bodoh.Bapakku selalu berpesan untuk selalu berbuat baik meski kita dimanfaatkan, meski kita tidak dianggap. Karena kebaikan itu aka
~k~u🌸🌸🌸“Loh, siapa kamu!” tegur Mamah Atik saat melihat pria seumuran bapak main nyelonong duduk di teras rumah tanpa permisi.Kami sedang berjemur sekalian menyuapi Kia. Beberapa hari ini hujan terus udara di sini pun sangat dingin.Orang itu bukannya menyahut malah menyalakan rokok.“Paman, ini sarapannya. Nasi uduk aja, ya? Duitku nipis,” ucap Evi. Kami kaget ternyata itu pamannya Mas Danu.“Kamu itu kenapa juga beli beginian. Rumah Mamasmu ini besar gendongan tentunya di dalam banyak makanan. Makan nasi uduk begini Paman mules perutnya.”“Kalian ngapain lihat-lihat! Sekarang mana Mas Danu. Aku mau ketemu Mas Danu,” bentak Evi pada kami.Baru saja aku hendak menyangkal ucapan Evi, Mas Danu sudah ke luar rumah.“Masss ....” Evi lari menghampiri Mas Danu.“Danu. Akhirnya kita bisa bertemu lagi. Paman dari kemarin sudah ada di sini, tapi anak buahmu bilang kamu ada urusan keluarga dan enggak pulang.” Orang yang mengaku Paman Mas Danu pun tergopoh-gopoh menghampiri Mas Danu.Mas Da
Assalamualaikum everyone ....Alhamdulillah bisa up bab baru. Yuk, bantu follow akunku 😍🌸🌸🌸“Sini, Ta, biar Mamah yang telepon, Joko!” Kuberikan ponselku pada Mamah.Tidak menunggu lama telepon tersambung.“Halo, Mas Joko! Ini Mamah Atik. Tolong itu barang-barang yang mau diangkut sama Susi ambil lagi!”“Loh, a—nu, Bu. Itu katanya sudah dapat izin dari Ita,” jawab Mas Joko terbata pasti Mas Joko kaget Mamah Atik to the poin begitu.“Enggak! Baik Ita ataupun Danu enggak ada yang izinin. Di mana Susi? Apa sudah pulang?”“Be—lum, Bu. Ma—sih nimbang telur.”“Dasar orang tidak tahu malu. Pokoknya aku enggak mau tahu, ya, ambil lagi apa yang mau diangkut Susi kalau enggak gaji kamu bulan ini tidak aku berikan!” Ancam Mamah Atik.“Aduh! Ba—ik, Bu.”Tuuuutt ....Mamah mematikan telepon.“Ini, Ta. 10 menit lagi kita telepon Joko. Kamu itu menyek-menyek jadi orang makanya saudara-saudara kamu itu selalu saja meremehkanmu.”“Aku hanya tidak ingin hubungan yang sudah tidak baik makin tidak b
Hatiku panas mendengar perempuan lain mengagumi suamiku.“Mana anakmu kenapa tidak kamu ajak?” tanya Mas Danu.“Mas aku capek loh, nungguin kamu panas dan haus juga kamu malah tega tanya ini dan itu di sini,” rengeknya.Kami masuk dan Evi membuntuti kami.“Mas, rumahmu bagus banget ya, pantas paman selalu membanggakan kamu.” Mas Danu diam saja. Dia fokus minum dan menikmati donat yang kusuguhkan.“Danu, kamu makan dulu. Pasti kamu lapar,” titah Mamah Atik.“Iya, Mah. Dik, temani Mas makan, ya?”“Aku juga mau makan Mas. Yuk, aku temani.” Evi gegas berdiri dan menarik tangan Mas Danu.“Bukan Dik, kamu. Itu panggilan untuk istriku. Aku memanggilmu dengan namamu saja.” Mas Danu menampik tangan Evi. Dia seperti menahan malu.“Mas meja makanmu bagus banget. Seumur-umur aku baru lihat,” ucap Evi. Dia langsung duduk dan mengambil makan tanpa kami suruh terlebih dahulu.“Evi, sebentar lagi kami mau pergi sebaiknya kamu pulang dulu. Rumah ini akan kami kosongkan.”“Apa? Ya ampun, Mas! Aku jauh-
“Terserah Mbak aja mau bilang apa,” sungutku.“Eh, Ta. Aku cuma mau kasih tahu, ini Ibu lagi sakit, tadi pas ambil wudu untuk salat Zuhur terpeleset dan jatuh. Kami sudah bawa ke klinik. Ibu sekarang di rawat. Kamu ke sini, ya? Eh, jangan lupa bawa uang kami tidak ada duit untuk bayar biaya rawat Ibu.” Sebenarnya aku sangat syok dan juga sedih mendengar kabar ini, tapi karena yang memberi tahu adalah Mbak Susi aku jadi kesal padanya.“I—ya, Mbak. Insya Allah aku ke sana.”“Jangan pakai insya Allah, Ta! Kamu harus segera ke sini!”“Iya, Mbak. Insya Allah.”“Kamu itu insya Allah terus. Aku ti ....” Tuuutt! Kumatikan telepon. Percuma saja ngasih tahu Mbak Susi.Ponsel kembali berdering. Tapi, tidak kujawab. Biarkan saja. Mbak Susi itu bisanya ngajak ribut saja.“Siapa, Ta. Kok kayaknya kamu kesal gitu?”“Mbak Susi, Mah. Ngasih tahu kalau ibu masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi,” jawabku sedih.“Innalillahi wa’innailaihiroji’un. Terus gimana kondisi ibumu, Ta?”“Aku enggak tanya sama
*Cinta adalah perbuatan. kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong! (Tere Liye)*Assalamualaikum semuaaaaaaa senang sekali Danu kembali hadir. Semoga kalian sehat dan bahagia selalu. Bantu follow, yuk!🌸🌸🌸 “Maaf siapa, ya?”Bukannya menjawab pertanyaanku justru perempuan ini nyelonong masuk begitu saja lalu duduk manis di sofa.“Eh, siapa kamu! Datang-datang enggak sopan!” bentak Mamah Atik.“Perkenalkan aku Evi, adik Mas Danu,” ucapnya bangga.Aku dan Mamah Atik saling berpandangan. Mamah Atik seolah menanyakan apa benar. Aku hanya menggeleng tidak tahu.“Salah alamat kali. Kan, banyak ‘tu yang namanya Danu,” ujar Mamah Atik lagi.“Enggak, dong! Nih, lihat!” Wanita yang bernama Evi ini memperlihatkan foto Mas Danu. Dari mana dia dapat foto terbaru Mas Danu. Itu foto diambil dua hari yang lalu saat kami jalan-jalan ke air terjun. Itu foto bersamaku bisa-bisanya fotonya dicrop begitu saja.“Iya, benar ini Danu anakku, dan ini Ita istri Danu,” ucap Mamah Atik. Wanita yang b
“Mainan sama Kia. Anakmu ini cantik dan pintar sekali ya, Dan. Aku jadi pingin punya anak,” jawab Mbak Asih seolah-olah dia tidak sedang sakit.“Alhamdulillah iya, Mbak.“ Mas Danu memangku Kia. Aku ikut duduk di lantai bersama mereka.“Mbak Asih kemarin ke mana sih, katanya kerja kok, enggak pulang?” tanyaku hati-hati. Mbak Asih hanya menggeleng saja.“Mbak Asih, Ita itu mau ngajak shopping beli baju baru. Eh, malahan Mbak Asih enggak pulang-pulang,” kata Mas Danu lagi.“Harusnya kamu telepon dulu, Ta. Jangan main asal tunggu. Kalau kamu kasih tahu mau ngajakin aku shopping pasti aku enggak mau janjian sama Mas Roni,” jawab Mbak Asih sambil menoyor kepalaku.“Oh, jadi Mbak Asih pergi shopping sama Mas Roni?” tanyaku.“Bukan shopping sih, tapi bulan madu. Kami tidur di hotel.” Mendengar pengakuan Mbak Asih Mas Danu sangat marah. Aku pun kaget. Kalau sudah ngomongin hotel sudah pasti ada bumbu-bumbu di dalamnya.“Mbak, harusnya jangan mau diajak Mas Roni kalau enggak shopping. Enak shop