Lelaki itu duduk dengan aura menakutkan. Ada campuran wibawa, keangkuhan dan intimidasi dalam diri lelaki itu, juga sedikit kejijikan yang dengan sempurna membuat Serish merasa tidak nyaman.
Di sebelah lelaki itu, seorang pria berambut perak dan jubah hitam berpolet silver berdiri tanpa mencolok. Mata kuningnya menyala bagaikan ngengat dan kulitnya sepucat cahaya bulan. Sesuatu dalam dirinya begitu tipis hingga nyaris terabaikan, tapi Serish tahu siapa lelaki itu.
Penyihir agung Sczandov, tangan kanan kaisar, Ravi. Tak ada nama belakang maupun nama keluarga bagi seorang penyihir murni karena para penyihir murni selalu berasal dari orang buangan yang tak memiliki masa lalu. Seorang penyihir murni terlahir dari manusia yang inti rohnya berevolusi dengan memangsa satu persatu kenangan dan harapan, menggantinya dengan ambisi dan kesetiaan kepada tuan yang dipilihnya. Oleh karena itu, penyihir murni adalah seseorang yang begitu kuat namun tidak memiliki tempat di mata bangsawan.
Akan tetapi, ravi bukan sekedar penyihir murni.
Dia adalah iblis yang dikontrak Edward.
Dan tidak ada satupun di dunia ini yang tahu selain mereka berdua. Tentu saja Serish sekarang menjadi orang ketiga yang tahu.
“Kau tidak terlihat seberani dulu,” suara Edward yang kelam dan melodik bagaikan alunan musik kematian. “Satu bulan yang lalu, saat kau memperkenalkan dirimu sebagai ratuku.”
Setidaknya saat ini Serish belum meminta tahta dan kekuasaan kepada lelaki itu.
“Dan kau juga cukup santai untuk membuatku menunggu,” lelaki itu beranjak dari kursinya, melangkah mendekati Serish yang masih berlutut.
Dagu Serish yang nyaris menempel pada dadanya karena menunduk begitu dalam diangkat tiba-tiba.
Dia tidak siap saat berkonfrontasi dengan mata terang yang dimiliki Edward. Mata yang seharusnya berwarna gelap itu kini berwarna semerah darah, mengirimkan rasa dingin ke tulang punggung Serish.
Anugrah utama yang menjadikan Edward sebagai salah satu manusia terkuat adalah berupa kutukan, yang diberikan kaisar terdahulu kepada putranya.
Kutukan yang seharusnya membuat Edward mati dilahap iblis, namun dengan tak terduga, lelaki itu malah mengalahkan iblis itu dan menyerap energinya. Konsekuensinya adalah perubahan warna mata yang menjadi satu-satunya di dunia dan kisah kebengisan yang beredar ke seluruh penjuru dunia.
Serish berusaha tidak terlihat penasaran dan bersikap tidak sopan dengan terlalu lama menatap warna ajaib di mata Edward.
“Saya bersalah karena melakukan hal yang tidak pantas kepada paduka,” namun suara seraknya tidak bisa dikontrol. “Saya memohon kemurahan hati paduka untuk mengampuni kesalahan saya.”
Lelaki itu... begitu indah hingga terasa menakutkan.
Senyuman yang membekukan tergores di bibir lelaki itu.
“Apakah kecelakaan membuat kepalamu rusak? Atau ini adalah permainan yang disisipkan oleh pendukungmu?” yang dimaksud pasti adalah kelompok bangsawan. “Katakan pada mereka, kau tidak perlu membuang waktu dengan kepura-puraan semacam ini.”
Dagu Serish diangkat semakin tinggi, kini ujungnya dijepit kuat oleh dua jari Edward hingga menyakitkan.
“Katakan juga pada mereka, kau mungkin akan menjadi seorang ratu, tapi aku akan memastikan ratu mereka ini menjadi senjata yang tidak berguna.” Suara lelaki itu semakin dingin dan melodik. “Dan juga, aku tidak berniat mendapatkan anak darimu.”
Serish memejamkan mata, lalu dengan jantung berderu, tersenyum.
“Saya paham,” ujarnya. Suaranya jauh lebih tenang dari yang diharapkan hingga Serish merasa bersyukur. “Saya tidak akan mengambil keputusan yang bertentangan dengan paduka.”
Ekspresi Edward tidak terbaca saat melepaskan dagunya dan memintanya untuk duduk berhadapan dengannya.
“Kau tahu aku tidak pernah menyukai pembohong.”
Serish duduk dengan tegap dan kedua tangannya diletakkan di pangkuannya. “Saya tidak mungkin melakukan hal yang tidak paduka sukai.”
Senyuman dingin lain muncul di bibir tipis Edward. “Lalu apa yang akan kau lakukan dengan pendukungmu?” jemari kurus dan panjang lelaki itu mengintari mulut cangkir yang masih penuh oleh teh. “Jika kau mengingkari janjimu, maka kau berbohong pada mereka. Jika kau memenuhinya, maka kau berbohong padaku,” mata merahnya menggelap hingga nyaris terlihat hitam. “Yang manapun, kau akan menjadi pembohong yang tidak kusukai.”
Tidak mengejutkan jika Edward tahu persis apa isi perjanjiannya dengan kubu bangsawan. Lelaki itu bisa memperoleh informasi apapun yang diinginkannya. Dengan penyihir agung yang merupakan iblis di sisinya, konyol jika Serish masih terkejut oleh hal dasar seperti itu. Jika Edward mau, dia bisa mencari semut sekecil apapun yang menarik perhatiannya.
Rahang Serish menegang, kini dia memulai perang sungguhan pertamanya melalui diplomasi ini.
“Saya berjanji akan membantu kelompok bangsawan jika saya mendapatkan tahta dan kekuasaan.” Mata birunya berkilau saat cahaya lampu menyorot matanya. “Tapi paduka telah berkata, posisi ratu akan seperti senjata tidak berguna bagi mereka. Jika mereka tidak bisa mengamankan kekuasaan untuk saya, maka perjanjian tersebut menjadi tidak berarti.”
Selama sesaat, keheningan mengisi ruang di antara mereka.
Lalu ujung bibir Edward tertarik dengan kilat mengejek di matanya.
“Kau menggunakanku untuk membatalkan perjanjian dengan mereka.” Simpulnya. “Pada akhirnya kau sama seperti para Vivaldi yang mempertahankan posisi netral mereka.” Kemudian ekspresi ekstasik muncul di wajah lelaki itu. “Dan para bangsawan itu tidak akan menyangka jika benih yang disemai dengan hati-hati ini ternyata hanyalah bibit kosong yang tidak berguna.”
Serish tidak berusaha mengelak dan memilih menyesap tehnya yang sudah dingin. Dia memberi isyarat kepada pelayannya untuk mengganti dengan teh baru.
“Rumah Vivaldi akan selalu melayani kekaisaran, tanpa memandang kubu,” Serish memberikan jawaban yang standar.
Diam-diam, Serish memperhatikan tiap detail pada lelaki di depannya.
Edward, pria yang di dalam novel digambarkan sebagai pria yang menganggap wanita setara dengan ‘benda’, dianugerahi ketampanan dan kharisma jauh melebihi deskripsi di buku maupun rumor yang beredar. Lelaki itu adalah personifikasi segala kebaikan jasmani yang mungkin bisa dimiliki manusia. Matanya menyorot dengan tajam dengan iris merah berkilauan dan kulit gelap akibat latihan fisik dan perang yang dilaluinya memberikan kesan berbahaya. Rambut hitamnya tertata liar, mengancam meski diredam habis-habisan dengan pakaian khas aristokrat Sczandov berwarna merah darah dan hitam. Secara keseluruhan lelaki itu begitu gelap dan menunjukkan aura yang tidak main-main. Edward tampan seperti dewa.
Dewa kematian.
Dan misoginis parah.
Saat matanya bertemu dengan milik Edward, tubuh Serish seketika menggelinjang panik. Dia tidak tahu sejak kapan suhu udara di sekitarnya berubah menjadi sangat dingin.
Dia merasa sesak.
Tidak, ini bukan sekedar perasaannya.
Di dunia ini, sihir merupakan hal yang umum meski tidak semua orang bisa menguasainya. Tapi, Serish menatap ravi yang begitu tenang hingga nyaris seperti bayangan, dengan keberadaan orang ini, sudah pasti ini adalah sihir untuk mengintimidasinya.
Dalam lingkungan yang tidak menyenangkan, manusia cenderung berubah menjadi lebih defensif dan mudah menunjukkan isi pikirannya meski tidak secara eksplisit. Metode ini sering digunakan di menara sihir, termasuk kepada sang putri dalam cerita.
Jika Serish tidak mengingat detail itu, dia akan mengabaikan perubahan yang terjadi di sekitarnya, dan mungkin baru sadar saat dia sepenuhnya tercekik. Tapi sejak mendengar kabar kedatangan Edward, perempuan itu sudah memperkirakan kemungkinan penggunaan metode ini saat mereka bertemu.
Hanya saja dia tidak mengira secepat ini.
Edward menatapnya dengan nyaris geli, lalu meminum teh baru yang masih mengepulkan uap putih di tangannya. “Kau tahu alasanku menerima ide untuk menerima seorang wanita di istana meskipun aku sama sekali tidak membutuhkannya?”
.
Serish merasakan tekanan udara yang semakin kuat di sekitarnya. “Saya tidak berani menebak alasan paduka,” dengan mengandalkan kekuatan mental yang pas-pasan, Serish berhasil menjawab tanpa terdengar tersiksa. Jika dia menunjukkan sedikit saja kelemahan, lelaki itu akan memanfaatkan situasi mereka secara habis-habisan. Edward dan ravi tidak boleh tahu kalau sejak awal Serish sudah menyadari penggunaan sihir. Udara di sekitar Serish semakin dingin dan menusuk, terlebih saat Edward mencondongkan wajahnya mendekati Serish. Mata rubinya berkilau mengancam. “Kalau begitu, tebaklah.” Oh tuhan. Pertanyaan itu adalah hal terakhir yang diinginkan Serish di pertemuan ini karena itulah pertanyaan yang diberikan Edward kepada setiap wanita yang datang kepadanya, termasuk sang putri mahkota. Dan dari semua jawaban, tentu saja hanya jawaban putri mahkota-lah yang bisa membekas dan berkesan bagi kaisar. Serish ingat apa jawabannya.
Gelombang emosi baru muncul di wajah Kroy. Dia tidak pernah mendengar jawaban setenang itu dari Serish. Anak perempuannya selalu terdengar marah dan emosional setiap kali mereka bicara, dan karena itu, hubungan ayah dan anak itu berubah renggang selama bertahun-tahun tanpa diperbaiki.Keengganan, kebencian dan ketakutan yang dibalut oleh sopan santun yang berjarak adalah yang selalu dihadapi Kroy.Tapi kali itu Serish lebih dari sekedar dingin.Dia bagaikan orang asing; vassal yang tunduk di bawah otoritas dukedom yang dipimpinnya. Dan karena itulah, sang duke merasakan ketakutan yang merayapi tulang punggungnya untuk pertama kalinya.Selama ini, Kroy tidak pernah takut kehilangan putrinya meskipun gadis itu selalu menampilkan kedengkiannya. Dia tahu bahwa Serish akan selalu menjadi putrinya melalui emosi dan kemarahan itu. Bagi sang duke, hubungan mereka terjalin melalui sehelai benang yang kasar dan berantakan bernama kekecewaan, dan dengan pos
Apapun yang terjadi, waktu selalu berjalan dengan kejam. Ketika pagi selanjutnya tiba, Serish masih berkutat dengan ingatan yang muncul layaknya letupan air mendidih; terasa panas dan chaotic. Lucu. Kenapa dia harus mengingat semuanya seperti ini? Serish menyeka keringat di wajahnya yang berubah pucat hanya dalam semalam. Andai saja dia mengingat kenangan itu tanpa ingatan kesakitannya saat mati, Serish mungkin akan memilih untuk menyerah. Dia adalah ikon seorang putri bangsawan yang anggun, angkuh dan sempurna, tapi siapa yang benar-benar menikmati peran semacam itu? Setiap menitnya Serish harus memasang topeng di wajahnya dan menajamkan lidahnya agar tidak diinjak oleh orang-orang yang senantiasa memasang radar, menunggu setitik kesalahannya. Jika ada sedikit saja kealpaan, tidak bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan orang-orang itu. Dan Serish selalu merasa lelah. Dia ingin melarikan diri. Tapi sejauh apa seoran
Serish tidak memiliki tujuan.Dia hanya berjalan mengintari taman bunga lavender di dekat kastil, lalu berhenti di sebuah paviliun terbuka yang sering dilewatinya, tapi tak pernah disinggahi perempuan itu.Kesendirian semacam ini membawa perasaan asing yang terasa familiar baginya.Dia adalah seorang putri duke yang selalu memiliki pendamping di sisinya sejak dia lahir, namun dulu sekali, di sebuah dimensi yang berbeda, Serish adalah seorang nerd yang dikucilkan. Dia merasa memiliki keluarga yang sangat dekat dan disayanginya, tapi detailnya seperti apa, Serish tidak ingat. Hanya perasaan sendu yang samar yang sesekali mengelitiknya, layaknya kapas tipis yang menggores ujung hatinya.Rindu.Perasaan asing lainnya yang untuk pertama kali diucapkan Serish sejak lahir di dunia ini.Bahkan Serish tidak pernah merindukan ibunya, yang meninggal secara sepihak karena pemikiran pengkhianatan sang suami. Ibu yang tidak berpikir
“Anda baik-baik saja, Yang Mulia?”“Tutup mulutmu dan fokus pada tugasmu.” Sambar Serish ketus. “Seorang prajurit tidak boleh ingin tahu urusan majikannya.”“Ah,” Serish mendengar senyuman pada reaksi Rowellyn. “Benar, maafkan saya.”Mereka sampai di Aula Mathilda dalam beberapa menit yang melelahkan. Serish mengubah ekspresi wajahnya menjadi tidak terbaca, lalu masuk ke dalam ruangan dengan langkah bermartabat yang familiar.“Atas dasar apa aku mendapatkan kehormatan ini, hingga kalian kembali datang ketika aku jelas-jelas mengatakan untuk tidak lagi membuang waktu kita dengan pertemuan semacam ini?”Serish tidak dapat menahan mulutnya ketika melihat wajah-wajah memuakkan itu.Dia kagum pada dirinya di masa lalu yang bisa menahan diri dengan arogansi mereka hanya demi sang kaisar.“Kami memberi hormat pada Yang Mulia Tuan Puteri Vivaldi.”Para
Aula Mathilda merupakan salah satu dari sembilan kebanggaan dukedom vivaldi. Desainnya memadukan konsep privasi dalam ruangan tertutup dengan kebebasan di alam. Oleh karena itu, pencahayaan diatur sealami mungkin dan berbagai jenis bunga ditanam di dalamnya.Serish menunangkan secangkir teh yang sudah dingin untuk dirinya sendiri, mengerenyit oleh rasanya yang tidak enak, lalu meletakkan kembali cangkirnya.Sebuah bayangan muncul dari belakang, menghalangi sumber cahaya dari jendela yang ada di belakang Serish serta menutupi seluruh tubuhnya.“Ganti tehku dengan yang baru.”Serish memeluk tubuhnya sendiri dan menggosok-gosokkan lengannya untuk mendapatkan kehangatan. Keningnya berkerut ketika bayangan itu tidak bergeming.“Mana syalku?” dia menoleh sedikit, merasa tidak sabar. “Aku tidak mau kembali ke kamar, jadi jangan buang waktumu untuk menceramahiku.”Masih tidak ada jawaban.“Miya...!&rd
Pada suatu waktu yang jauh dan tidak terukur, sebuah negara besar berdiri di dimensi yang berbeda dengan yang dikenal saat ini. Negara tersebut dipimpin oleh seorang tiran yang disegani oleh seluruh dunia. Berbagai kerajaan tunduk di bawah kekuasaan sang kaisar yang tidak pernah puas dan senantiasa melakukan invansi ke berbagai penjuru. Layaknya predator yang mengintai mangsanya, satu demi satu negeri ditaklukkan, hingga menjadikan negara tersebut adikuasa. Meski ketakutan, tidak banyak yang berani melawan kekuasaan kaisar terkuat yang dirumorkan menjual jiwanya kepada iblis demi menjadi lebih kuat itu. Demi menjadi tidak terkalahkan. Alih-alih, para raja dan penguasa yang tidak berdaya tersebut justru mencari cara untuk menyenangkan sang tiran. Mereka memberikan persembahan berupa hasil bumi, emas, permata dan banyak pula yang memberikan wanita. Namun tak satupun persembahan itu menguba
“Idiot,” umpat Serish, melanggar etika yang selalu dijunjungnya sebagai putri seoarang duke. Dia merasa terlalu kesal dan marah kepada dirinya sendiri, hingga mulai memukuli kepala dan menjambaki rambutnya. Andai saja melakukan ini bisa mengubah masa lalu dan menghentikan dirinya berbuat bodoh, Serish tidak peduli kalau IQ-nya akan berkurang asalkan dia terbebas dari situasinya sekarang. Benar, Serish adalah seseorang yang terlahir kembali dengan membawa ingatan masa lalunya. Hal konyol yang akan ditertawakannya dulu tapi secara ironis dialaminya sendiri. Dunia ini adalah novel. Ah, mengatakan sesuatu dengan nada seringan itu sangat tidak manusiawi, terutama karena selama sembilan belas tahun dia hidup sebagai Serish Jean Vivaldi. Dia makan, minum, tidur, tertawa dan menangis di dunia novel ini. Dan menyimpulkan dengan sesederhana itu sungguh membuatnya hampa, karena bagi Serish, dunia ini nyata. Senyata rasa sakit dalam ingatannya k
Aula Mathilda merupakan salah satu dari sembilan kebanggaan dukedom vivaldi. Desainnya memadukan konsep privasi dalam ruangan tertutup dengan kebebasan di alam. Oleh karena itu, pencahayaan diatur sealami mungkin dan berbagai jenis bunga ditanam di dalamnya.Serish menunangkan secangkir teh yang sudah dingin untuk dirinya sendiri, mengerenyit oleh rasanya yang tidak enak, lalu meletakkan kembali cangkirnya.Sebuah bayangan muncul dari belakang, menghalangi sumber cahaya dari jendela yang ada di belakang Serish serta menutupi seluruh tubuhnya.“Ganti tehku dengan yang baru.”Serish memeluk tubuhnya sendiri dan menggosok-gosokkan lengannya untuk mendapatkan kehangatan. Keningnya berkerut ketika bayangan itu tidak bergeming.“Mana syalku?” dia menoleh sedikit, merasa tidak sabar. “Aku tidak mau kembali ke kamar, jadi jangan buang waktumu untuk menceramahiku.”Masih tidak ada jawaban.“Miya...!&rd
“Anda baik-baik saja, Yang Mulia?”“Tutup mulutmu dan fokus pada tugasmu.” Sambar Serish ketus. “Seorang prajurit tidak boleh ingin tahu urusan majikannya.”“Ah,” Serish mendengar senyuman pada reaksi Rowellyn. “Benar, maafkan saya.”Mereka sampai di Aula Mathilda dalam beberapa menit yang melelahkan. Serish mengubah ekspresi wajahnya menjadi tidak terbaca, lalu masuk ke dalam ruangan dengan langkah bermartabat yang familiar.“Atas dasar apa aku mendapatkan kehormatan ini, hingga kalian kembali datang ketika aku jelas-jelas mengatakan untuk tidak lagi membuang waktu kita dengan pertemuan semacam ini?”Serish tidak dapat menahan mulutnya ketika melihat wajah-wajah memuakkan itu.Dia kagum pada dirinya di masa lalu yang bisa menahan diri dengan arogansi mereka hanya demi sang kaisar.“Kami memberi hormat pada Yang Mulia Tuan Puteri Vivaldi.”Para
Serish tidak memiliki tujuan.Dia hanya berjalan mengintari taman bunga lavender di dekat kastil, lalu berhenti di sebuah paviliun terbuka yang sering dilewatinya, tapi tak pernah disinggahi perempuan itu.Kesendirian semacam ini membawa perasaan asing yang terasa familiar baginya.Dia adalah seorang putri duke yang selalu memiliki pendamping di sisinya sejak dia lahir, namun dulu sekali, di sebuah dimensi yang berbeda, Serish adalah seorang nerd yang dikucilkan. Dia merasa memiliki keluarga yang sangat dekat dan disayanginya, tapi detailnya seperti apa, Serish tidak ingat. Hanya perasaan sendu yang samar yang sesekali mengelitiknya, layaknya kapas tipis yang menggores ujung hatinya.Rindu.Perasaan asing lainnya yang untuk pertama kali diucapkan Serish sejak lahir di dunia ini.Bahkan Serish tidak pernah merindukan ibunya, yang meninggal secara sepihak karena pemikiran pengkhianatan sang suami. Ibu yang tidak berpikir
Apapun yang terjadi, waktu selalu berjalan dengan kejam. Ketika pagi selanjutnya tiba, Serish masih berkutat dengan ingatan yang muncul layaknya letupan air mendidih; terasa panas dan chaotic. Lucu. Kenapa dia harus mengingat semuanya seperti ini? Serish menyeka keringat di wajahnya yang berubah pucat hanya dalam semalam. Andai saja dia mengingat kenangan itu tanpa ingatan kesakitannya saat mati, Serish mungkin akan memilih untuk menyerah. Dia adalah ikon seorang putri bangsawan yang anggun, angkuh dan sempurna, tapi siapa yang benar-benar menikmati peran semacam itu? Setiap menitnya Serish harus memasang topeng di wajahnya dan menajamkan lidahnya agar tidak diinjak oleh orang-orang yang senantiasa memasang radar, menunggu setitik kesalahannya. Jika ada sedikit saja kealpaan, tidak bisa dibayangkan apa yang akan dilakukan orang-orang itu. Dan Serish selalu merasa lelah. Dia ingin melarikan diri. Tapi sejauh apa seoran
Gelombang emosi baru muncul di wajah Kroy. Dia tidak pernah mendengar jawaban setenang itu dari Serish. Anak perempuannya selalu terdengar marah dan emosional setiap kali mereka bicara, dan karena itu, hubungan ayah dan anak itu berubah renggang selama bertahun-tahun tanpa diperbaiki.Keengganan, kebencian dan ketakutan yang dibalut oleh sopan santun yang berjarak adalah yang selalu dihadapi Kroy.Tapi kali itu Serish lebih dari sekedar dingin.Dia bagaikan orang asing; vassal yang tunduk di bawah otoritas dukedom yang dipimpinnya. Dan karena itulah, sang duke merasakan ketakutan yang merayapi tulang punggungnya untuk pertama kalinya.Selama ini, Kroy tidak pernah takut kehilangan putrinya meskipun gadis itu selalu menampilkan kedengkiannya. Dia tahu bahwa Serish akan selalu menjadi putrinya melalui emosi dan kemarahan itu. Bagi sang duke, hubungan mereka terjalin melalui sehelai benang yang kasar dan berantakan bernama kekecewaan, dan dengan pos
Serish merasakan tekanan udara yang semakin kuat di sekitarnya. “Saya tidak berani menebak alasan paduka,” dengan mengandalkan kekuatan mental yang pas-pasan, Serish berhasil menjawab tanpa terdengar tersiksa. Jika dia menunjukkan sedikit saja kelemahan, lelaki itu akan memanfaatkan situasi mereka secara habis-habisan. Edward dan ravi tidak boleh tahu kalau sejak awal Serish sudah menyadari penggunaan sihir. Udara di sekitar Serish semakin dingin dan menusuk, terlebih saat Edward mencondongkan wajahnya mendekati Serish. Mata rubinya berkilau mengancam. “Kalau begitu, tebaklah.” Oh tuhan. Pertanyaan itu adalah hal terakhir yang diinginkan Serish di pertemuan ini karena itulah pertanyaan yang diberikan Edward kepada setiap wanita yang datang kepadanya, termasuk sang putri mahkota. Dan dari semua jawaban, tentu saja hanya jawaban putri mahkota-lah yang bisa membekas dan berkesan bagi kaisar. Serish ingat apa jawabannya.
Lelaki itu duduk dengan aura menakutkan. Ada campuran wibawa, keangkuhan dan intimidasi dalam diri lelaki itu, juga sedikit kejijikan yang dengan sempurna membuat Serish merasa tidak nyaman. Di sebelah lelaki itu, seorang pria berambut perak dan jubah hitam berpolet silver berdiri tanpa mencolok. Mata kuningnya menyala bagaikan ngengat dan kulitnya sepucat cahaya bulan. Sesuatu dalam dirinya begitu tipis hingga nyaris terabaikan, tapi Serish tahu siapa lelaki itu. Penyihir agung Sczandov, tangan kanan kaisar, Ravi. Tak ada nama belakang maupun nama keluarga bagi seorang penyihir murni karena para penyihir murni selalu berasal dari orang buangan yang tak memiliki masa lalu. Seorang penyihir murni terlahir dari manusia yang inti rohnya berevolusi dengan memangsa satu persatu kenangan dan harapan, menggantinya dengan ambisi dan kesetiaan kepada tuan yang dipilihnya. Oleh karena itu, penyihir murni adalah seseorang yang begitu kuat namun tidak memiliki tempat di mata ban
“Idiot,” umpat Serish, melanggar etika yang selalu dijunjungnya sebagai putri seoarang duke. Dia merasa terlalu kesal dan marah kepada dirinya sendiri, hingga mulai memukuli kepala dan menjambaki rambutnya. Andai saja melakukan ini bisa mengubah masa lalu dan menghentikan dirinya berbuat bodoh, Serish tidak peduli kalau IQ-nya akan berkurang asalkan dia terbebas dari situasinya sekarang. Benar, Serish adalah seseorang yang terlahir kembali dengan membawa ingatan masa lalunya. Hal konyol yang akan ditertawakannya dulu tapi secara ironis dialaminya sendiri. Dunia ini adalah novel. Ah, mengatakan sesuatu dengan nada seringan itu sangat tidak manusiawi, terutama karena selama sembilan belas tahun dia hidup sebagai Serish Jean Vivaldi. Dia makan, minum, tidur, tertawa dan menangis di dunia novel ini. Dan menyimpulkan dengan sesederhana itu sungguh membuatnya hampa, karena bagi Serish, dunia ini nyata. Senyata rasa sakit dalam ingatannya k
Pada suatu waktu yang jauh dan tidak terukur, sebuah negara besar berdiri di dimensi yang berbeda dengan yang dikenal saat ini. Negara tersebut dipimpin oleh seorang tiran yang disegani oleh seluruh dunia. Berbagai kerajaan tunduk di bawah kekuasaan sang kaisar yang tidak pernah puas dan senantiasa melakukan invansi ke berbagai penjuru. Layaknya predator yang mengintai mangsanya, satu demi satu negeri ditaklukkan, hingga menjadikan negara tersebut adikuasa. Meski ketakutan, tidak banyak yang berani melawan kekuasaan kaisar terkuat yang dirumorkan menjual jiwanya kepada iblis demi menjadi lebih kuat itu. Demi menjadi tidak terkalahkan. Alih-alih, para raja dan penguasa yang tidak berdaya tersebut justru mencari cara untuk menyenangkan sang tiran. Mereka memberikan persembahan berupa hasil bumi, emas, permata dan banyak pula yang memberikan wanita. Namun tak satupun persembahan itu menguba