Saat ini, Caraline benar-benar merasa dipecundangi realita, disiksa oleh fakta dengan kenyataan bahwa sosok yang selama ini ia cari tak lebih dari pria lumpuh di kursi roda. Oh, Tuhan, rasanya Caraline ingin sekali bertukar peran dengan vas bunga di atas meja. Harga dirinya benar-benar lenyap ditelan peristiwa tak terduga.
Setelahnya, Caraline dengan rakus menghirup oksigen. Ia seakan tak rela bila pria bernama Jacob itu mengambil jatah udara miliknya. Kedua tangannya tanpa sadar meremas ujung rok. Caraline benar-benar syok. Fakta ini membuat dirinya tertohok, laksana sekujur tubuhnya mati rasa karena dilempar ke tembok.
Tuhan, apa yang sebenarnya Kau rencanakan? batin Caraline.
“Aku tahu ini sangat berat bagi Nona,” ujar Jeremy dengan seuntai senyum. Ia bersorak penuh kepuasaan di dalam hati. Ini balasan atas tingkah kurang ajar Caraline. “Kami sudah memperingatkan Nona sejak awal,” lanjutnya.
“Kami akan dengan senang hati mengusir sampah ini untukmu, Nona,” ujar Jonathan, “atau jika Nona menginginkan, kami bisa memukulinya hingga pingsan.”
“Aku akan sangat mendukung bila Anda memilih opsi kedua.” James ikut bersuara. “Dengan senang hati aku akan melakukannya.”
Caraline masih diam di tempat duduknya. Ia membutuhkan sedikit tambahan waktu untuk mencerna kenyataan. Wanita itu benar-benar ingin marah sekarang. Pasalnya, semua usaha dan pengorbanannya selama ini hanya berbuah keterkejutan, atau justru kekecewaan. Akan tetapi, Caraline sadar bila amarahnya tak akan bisa mengundang keajaiban agar pria bernama Jacob itu tiba-tiba bisa berjalan.
Sayang sekali, dunia tak sebaik ibu peri.
Tepat saat Jonathan dan James bangkit dari sofa, Caraline mengubah posisi duduk. Wanita itu memberi kode pada Jonathan dan James untuk kembali ke tempat semula. “Apa kau yang bernama—”
Caraline secara tiba-tiba menelan kembali kata-katanya. Tubuhnya kembali mematung saat manik matanya berada satu poros dengan pria di kursi roda itu. Ini membingungkan sekaligus menyebalkan. Jika Caraline dipaksa menggambarkan, pria bernama Jacob itu seperti malaikat dengan sayap patah, menyuguhkan kekaguman, belas kasihan, sekaligus makian dalam waktu bersamaan.
Jujur saja, di antara ketiga pria yang lebih dahulu ditemui Caraline di rumah ini, ketampanan Jacob berada di level berbeda dengan mereka. Jacob memiliki manik mata sebiru laut, tatapan tajam, rahang tegas, alis tebal melengkung, juga bibir merah muda. Busana murahan yang pria itu kenakan tak menyurutkan siapa pun untuk mengatakan bahwa dirinya menawan.
Kalau saja para wanita melihat Jacob hanya bermodalkan foto, Caraline yakin mereka akan terkesima dan memuja. Akan tetapi, kala mendapati kondisi kakinya yang terkulai tak berdaya di kursi roda, Caraline percaya tak sedikit dari mereka yang mengubah gambaran di kepala bahwa pria itu hanya patut untuk dikasihani dan dimaki.
“Aku tak tahu kalau hanya dengan menatapku selama beberapa detik saja, seseorang akan kesulitan untuk mengendalikan kesadarannya. Apa aku seburuk itu?”
Bak tersiram air dingin di tengah malam, Caraline segera terlepas dari belenggu pikiran. Ia lantas menoleh pada pria berambut cokelat itu seraya menatap dengan penuh keangkuhan. Jelas saja kata-kata itu tertuju padanya.
“A-apa kau yang bernama Jacob Aberald?” tanya Caraline.
“Jujur saja, aku benar-benar sudah lupa nama itu, Nona,” ujar pria di kursi roda, “panggil saja aku dengan sebutan Deric.”
“Beraninya kau bicara dengan Nona Caraline!” bentak Jeremy dengan suara tertahan. Ia ingin melempar meja, tetapi di sisi lain, ia tak mau membuat kekacauan di depan tamunya.
“Dorong kursi rodamu dan enyahlah dari hadapan Nona Caraline dengan segera!” Jonathan menimpali.
“Apa aku harus meminjami sepatuku agar kau segera berlari dari sini?” ledek James.
“Nona Caraline, aku benar-benar meminta maaf,” kata Jeremy seraya menggeser bokongnya lebih maju. “Seperti yang Anda lihat, pria itu tak lebih dari aib bagi keluarga kami. Tak ada yang bisa dibanggakan satu hal pun dari hidupnya. Dia selayaknya sampah, atau bahkan lebih dari itu.”
Melihat Caraline terdiam, Jeremy seolah memiliki kesempatan. Maka pria itu berkata lagi, “Nona Caraline, jika tujuan Anda datang ke sini untuk mencari seseorang untuk mejadi pasangan Anda, Anda benar-benar bisa memilih seseorang yang terbaik di sini.”
Pikiran Caraline benar-benar kacau saat ini. Untuk itu, ia memijat kepalanya beberapa kali. Saat menoleh pada Deric, ia justru melihat seuntai senyum dari pria itu. Aneh sekali, pikirnya. Bukankah pria itu baru saja dihina?
“Nona Caraline, aku mengajukan diriku sendiri,” ujar Jeremy dengan dada membusung. Ia merasa kalau dirinya adalah sosok yang paling pantas untuk mendampingi Caraline dibanding yang lain.
“Aku rasa tugasku sudah selesai di sini.” Deric berujar sembari mengatur kursi rodanya untuk berbalik arah. “Aku baru ingat kalau ada hal yang harus aku selesaikan.”
Tepat saat Deric mendorong kursi rodanya, Caraline berdiri seraya berkata, “Tunggu!”
Deric yang mendengarnya seketika berhenti, kemudian membalikkan posisi tubuh untuk menghadap Caraline. Ia menunggu wanita itu bicara.
Careline sendiri tak langsung menghunus keheningan dengan kata-kata miliknya. Lebih dahulu, ia mengembus napas pelan, kemudian mengeratkan tangannya hingga menjadi bongkahan keras. Perang batinnya belum usai, tetapi ia harus segera memutuskan. Ini benar-benar membuatnya nyaris gila.
Tak mendapat respons yang ditunggu, Deric kembali mendorong kursi rodanya.
“Jacob Aberald ....” Caraline menggeleng. “Maksudku Deric, me-menikahlah denganku besok.”
Caraline seketika menyentuh jantungnya yang seperti sedang ditanami bom. Ia pasti sangat terlihat bodoh sekarang. Untuk itu, ingatkan Caraline untuk menampar dirinya sendiri setelah hal gila ini berakhir. Suaranya barusan memang tak terlalu keras, tetapi keheningan mampu menampilkan hal itu dengan sempurna. “A-aku ... serius.”
Deric jelas tak bisa merespons dengan biasa. Matanya sontak membola, sedang bibir atas dan bawahnya saling melumat untuk menahan kata agar tak muncul ke permukaan. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
“Nona, aku tahu kalau setelah kedatanganku suasana di ruangan ini jadi buruk. Tetapi kalau boleh aku jujur, Anda memiliki selera humor yang buruk untuk meredakan suasana. Lelucon Anda sedikit melukai hatiku,” ujar Deric.
“Apa maksudmu?” tanya Caraline marah, “kau pikir aku sedang membual?”
Deric memindai sekeliling. Tak hanya matanya yang menyisir keadaan, kursi rodanya pun bergerak ke kanan dan kiri.
“Apa yang sedang kau lakukan?” Caraline mengamati gerak-gerak Deric. Ia segera membuang wajah saat manik biru itu kembali menyihirnya. Kurang ajar!
“Nona Caraline, tolong maafkan kelakukan sampah itu,” kata Jeremy, “aku berjanji akan menghukumnya setelah ini. Jadi bisakah Anda menarik ucapan Anda tadi padanya? Ini terdengar sangat tidak masuk akal.”
“Aku sepenuhnya sadar atau apa yang aku katakan dan lakukan,” bantah Caraline. Wanita itu mengembus napas pelan, kemudian mengalihkan tatapan pada Deric, lebih tepatnya pada kursi roda. “Dengarkan aku. Selama lima tahun ini, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Tak sedikit tenaga, uang dan pikiran yang aku kerahkan hanya untuk bisa bertemu denganmu. Aku bahkan sampai rela menurunkan harga diri dan hampir gila karena meminta pria cacat sepertimu untuk menjadi suamiku. Jadi, diamlah dan ikuti semua perkataanku.”
Deric menarik sudut bibirnya ke atas. Saat menoleh pada tiga saudaranya, ia mendapat tatapan kebencian yang tak biasa. “Baiklah, Nona. Tapi aku akan melakukannya jika Anda mau menerima syarat yang aku ajukan,” ujarnya.
“Baiklah, Nona. Tapi aku akan melakukannya jika Anda menerima syarat yang aku ajukan,” ujar Deric.“Katakan,” sahut Caraline seraya kembali duduk. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sedang bibirnya menggurat senyum sinis. Oh, ayolah, saking pusing dan tertekan dirinya tadi, ia sampai lupa pada fakta kalau siapa pun akan melakukan hal serupa.“Apa yang kau inginkan?” Caraline turut menyilangkan kaki. Ia bisa menebak bila syarat yang diajukan Deric tak jauh dari hal berbau uang. Lagi pula ini kesempatan bagus bagi pria cacat itu untuk meraup keuntungan. Selain kemalangan dan hinaan, pria itu tak memiliki apa pun lagi, bukan?“Nona Caraline, aku mohon jangan dengarkan pria cacat itu.” Jeremy berkata. “Aku benar-benar meminta maaf atas kelancangannya. Anda bisa—”“Diamlah!” sela Caraline, “aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.”Rahang Jeremy men
Kondisi Caraline bisa dibilang tak baik-baik saja semenjak kepulangannya dari kediaman keluarga Aberald. Hampir sepanjang siang, ia mengurung diri ruangan kerjanya, tak ingin diganggu oleh siapa pun. Aktivitasnya hanya duduk di depan komputer, dan kian larut dalam lamunan. Caraline sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan. Oleh karena itu, semua hal yang bersinggungan dengan perusahaan diserahkan pada Helen.Pukul delapan malam lebih, Caraline masih berada di ruangan kerjanya. Wanita itu sesekali memijat kepala yang teramat pening. Hal itu terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh tindakan gilanya hari ini, tetapi karena perutnya yang memang belum diisi sejak siang. Saat Caraline hendak menghubungi Helen, asistennya itu lebih dahulu muncul dari balik pintu.“Nona Caraline, aku membawakan Anda makan malam.” Helen menaruh nampan berisi satu mangkuk sup ayam panas dan segelas air putih di meja.Caraline yang berdiri di depan jendela seketika
Tubuh Deric mendarat di tanah tanpa bisa dicegah. Pria itu berusaha bangkit dengan memfokuskankan kekuatan pada kedua tangan. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” ucapnya.“Tak ada yang mengingankan hal itu darimu,” sahut Jonathan tanpa rasa bersalah sedikit pun.Wajah Deric kembali menempel ke tanah saat tangannya gagal menjalankan tugas. Meski begitu, ia tak menyerah untuk mencoba hal sama berulang kali. Hal ini bukanlah masalah besar baginya. Ia sudah pernah mengalami perundungan yang lebih berat dari sekadar ditendang dari teras dan berakhir dengan mencumbu tanah.Pernah suatu waktu Jonathan dan James mengikatnya di pohon besar di belakang rumah selama semalaman. Keduanya melarang siapa pun untuk melepas ikatan. Barulah saat pagi menjelang, kakak-beradik itu membiarkan Deric pergi dengan tubuh lemas setelah puas tertawa cekikikan.Tak sampai di sana, beberapa bulan lalu, tepatnya saat keluarga Aberald mendapat undangan dari s
Sepanjang malam, Caraline tak bisa tidur karena terjajah pikirannya sendiri. Menonton film, berjalan-jalan di taman belakang rumah, sampai menamatkan beberapa buku, nyatanya tak berhasil mengundang kantuk. Barulah saat jarum jam menunjuk angka 4 pagi, ia bisa terlelap di sofa, dan terbangun saat sinar matahari mencumbu kesadarannya.Caraline mengibas rambutnya yang dibiarkan terurai. Wanita itu tengah duduk di ruang kerjanya, ditemani secangkir teh juga beberapa potong kue. Saat pintu diketuk, Caraline mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan.“Nona Caraline,” ujar Helen yang baru saja memasuki ruangan, “semua persiapan sudah hampir selesai.”“Hampir?” Caraline meletakkan cangkir teh ke meja. Alisnya sedikit tertekuk. “Apa ada masalah, Helen?”Helen menggeleng, lalu tersenyum. “Hal yang membuat persiapan ini belum selesai adalah, kedatangan pengantin pria dan ... pengantin wanita
Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya meme
Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di ku
“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingi
“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric. Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?” Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona. “Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline. Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya. Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak beg