“Aku ingin dia menikahiku besok.”
Perkataan tersebut meluncur mulus dari mulut Caraline laksana balon udara yang menggapai kebebasan dengan terbang ke langit setelah dicengkeram jemari anak-anak. Di sisi lain, wanita itu tak sepenuhnya tenang setelah berkata demikian. Jauh di lubuk hatinya, ia merasakan bimbang dan ketakutan di saat bersamaan. Ketiga pria di depannya mungkin akan menganggapnya gila karena tindakannya barusan.
“Siapa di antara kalian yang bernama Jacob Aberald?” ulang Caraline.
Caraline benci saat menyebut nama pria itu. Walau tak pernah sekalipun bertemu, ia menganggap bila pria itu sudah memenjarakannya pada sebuah takdir menyebalkan selama lima tahun terakhir, atau mungkin hingga beberapa tahun ke depan.
Di lain hal, sebagai pemimpin dari keluarga Aberald, Jeremy tak bermaksud berperilaku tidak sopan karena membiarkan wanita kaya sekelas Caraline mengulang pertanyaannya hingga dua kali. Hanya saja, saat ini, fokusnya lebih ditujukan untuk mencerna perkataannya. Saat menoleh ke arah dua adiknya, Jeremy juga merasa kalau Jonathan dan James ikut merasakan hal yang sama.
Jacob Aberald? Meminta dia menikahi seorang Caraline? Sangat tak masuk akal. Nama itu saja bahkan sudah tak ada lagi di dunia ini.
Dilihat dari satu sisi, Jeremy melihat kalau ini sebuah peluang. Jika boleh berangan-angan, bisa saja ia menyuruh kedua adiknya untuk berpura-pura sebagai Jacob Aberald, atau mungkin dirinya sendiri yang mengaku sebagai pemilik nama tersebut. Akan tetapi, bila melihat dengan siapa dirinya berhadapan, opsi itu menjadi pilihan terburuk yang bisa dipilih. Menipu Caraline sama saja menyiapkan lubang kuburan bagi keluarga Aberald.
“Tidak ada satu pun dari keluarga Aberald yang bernama Jacob Aberald, Nona Caraline,” ujar Jeremy dengan senyum dibuat-buat.
“Apa mungkin Anda salah orang?” Jonathan ikut berbicara.
Sementara itu, James hanya sibuk mencuri pandang pada Caraline. Wanita itu jauh lebih cantik dibanding saat dilihat di media, pikirnya.
“Aku tak suka pria pembohong. Kau tahu, aku bisa saja melakukan hal buruk pada keluarga dan perusahaanmu jika aku mau, tapi bersyukurlah karena aku tidak sejahat itu. Jadi, jangan buang-buang waktuku hanya untuk mendengar senyum palsu dan perkataan bohongmu.”
“Di mana Jacob Aberald? Bawa dia ke hadapanku sekarang!” perintah Caraline tanpa memberi waktu pada ketiga pria di hadapannya untuk membela diri.
“Maafkan atas sikap burukku, Nona Caraline.” Jeremy membungkuk. “Aku tidak bermaksud membohongi Anda. Aku melakukan hal itu semata-mata untuk melindungi Nona.”
“Apa maksudmu?” Caraline menatap tak suka.
“Nona Caraline, pria yang Anda cari tak lain adalah aib menjijikkan bagi keluarga Aberald. Dia sudah dibuang dan bukan lagi bagian dari keluarga kami. Aku sangat takut kalau dia berada di dekat Nona, dia bisa membawa kesialan tak berkesudahan pada Nona. Tolong mengertilah, Nona.” Jeremy memohon.
“Aib atau kotoran sekalipun, aku tak peduli!” kata Caraline tegas, “aku datang ke sini hanya untuk bertemu dengan Jacob, bukan untuk mendengar belas kasihmu. Jadi, bawa dia ke hadapanku sekarang dan jangan buang waktuku lebih lama lagi di sini!” Caraline menggebrak meja.
Jeremy yang kaget segera menguasai diri. Sebagai tuan rumah dan juga pemimpin keluarga Abareld, harga dirinya serasa dilucuti oleh tingkah kurang ajar Caraline barusan.
“Baiklah, Nona.” Jeremy berujar. Ia kemudian memerintahkan James untuk membawa orang yang dicari Caraline ke ruangan ini.
James sendiri mendengkus sebal. Kalau saja bukan karena perintah Jeremy, ia tak sudi untuk sekadar berbagi oksigen dengan pria itu dalam jarak dekat. Meninggalkan ruang utama keluarga, James dengan wajah murka menuju sebuah bangunan kecil yang berada di belakang rumah. “Hei, Sampah! Keluarlah!” teriaknya seraya menggedor pintu dengan keras. “Jangan buat aku muntah karena harus berbagi udara denganmu lebih lama di sini.”
“Kau dengar aku?” James menendang pintu bangunan kecil itu beberapa kali. Tak peduli jika rusak atau hancur sekalipun. Jika penghuninya ikut mati, ia malah akan bersyukur. “Keluar!”
“Kuharap kau mati, Sampah!” James yang kesal memilih meninggalkan rumah. Tak hanya meninggalkan pintu yang rusak, tetapi juga sumpah serapah.
“Ada apa?” tanya seorang pria yang baru saja keluar dari pintu. Suaranya agak keras karena James sudah berada agak jauh darinya.
“Ke ruang keluarga sekarang! Larilah secepat yang kau bisa!” balas Jemas sembari terkekeh karena celotehannya sendiri.
“Di mana Jacob?” tanya Caraline begitu melihat James duduk kembali di samping Jonathan.
James menjawab dengan seuntai senyum lebar, “Dia sedang berlari ke sini, Nona Caraline. Anda tenang saja. Kalau boleh jujur, dia pelari yang hebat.”
Jeremy dan Jonathan tersenyum saat mendengar perkataan James.
Caraline sendiri merasa tak perlu menanggapi ucapan barusan. Berbanding terbalik dengan sikapnya yang tak acuh, wanita itu berusaha mengeyahkan kegugupan saat mendengar pria itu tengah menuju ke sini. Beberapa kali Caraline melirik jam, kemudian membetulkan rambutnya yang sama sekali tak terlihat kacau. Saat perhatian tertuju pada gawainya, ia kembali mendapati panggilan dari Diego. Ia memilih mengabaikannya.
“Nona Caraline, tentang perkataan Anda tadi, apakah itu serius?” tanya Jeremy saat hening mendekap.
Mengerti pertanyaan yang dimaksud, Caraline menjawab, “Kalau aku tidak serius, aku tidak akan menginjakkan kaki di gubuk kecilmu ini.”
Waktu seakan berjalan lambat bagi Caraline. Setiap jarum jam berdetak, ia merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. Ini sangat keterlaluan, padahal saat bertemu dengan Diego di beberapa kesempatan, detak jantungnya masih bisa ia kendalikan dengan normal.
Sebagai seorang wanita, Caraline tak bisa menampik bila Diego adalah sosok pria sempurna. Fisik yang rupawan, aura dan karisma yang menawan, harta dan aset yang tersebar di berbagai kawasan, menjadi daya pikat luar biasa bagi setiap perempuan.
Wanita mana yang tak takluk pada pesonanya?
“Nona Caraline,” panggil Jeremy untuk kesekian kali ketika wanita itu hanyut dalam lamunan.
Calarine serasa melompati aliran waktu. Raga dan pikirannya kembali pada kesadaran semula.
“Orang yang Anda cari sudah ada di sini,” ujar jeremy dengan tatapan tak suka saat melihat pria yang duduk di seberang sana. “Tolong siapkan diri Anda,” lanjutnya.
Calarine sudah menanti hari ini dari beberapa tahun yang lalu. Oleh karena itu, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Pria bernama Jacob Aberald itu harus segera menikahinya, meskipun pria itu sudah memiliki kekasih atau istri sekalipun.
Baiklah, mari kita lihat bagaimana sosok Jacob Aberald yang Caraline cari selama lima tahun terakhir.
Apakah pria itu memang pantas dicari selama itu?
Apakah pria itu memang layak membuat seorang Caraline merasa tegang dan penasaran?
Apakah pria itu memang patut diperjuangkan hingga seorang Calarine harus menempuh jarak puluhan kilo meter hanya untuk mengunjungi rumahnya?
Caraline mendongak secara perlahan. Manik cokelat mudanya terus bergeser dari Jeremy, Jonathan hingga James. Kemudian saat Caraline berhenti di pria yang duduk paling ujung, seketika saja tubuhnya membeku.
Ini tidak mungkin. Dia cacat, batin Caraline.
Saat ini, Caraline benar-benar merasa dipecundangi realita, disiksa oleh fakta dengan kenyataan bahwa sosok yang selama ini ia cari tak lebih dari pria lumpuh di kursi roda. Oh, Tuhan, rasanya Caraline ingin sekali bertukar peran dengan vas bunga di atas meja. Harga dirinya benar-benar lenyap ditelan peristiwa tak terduga. Setelahnya, Caraline dengan rakus menghirup oksigen. Ia seakan tak rela bila pria bernama Jacob itu mengambil jatah udara miliknya. Kedua tangannya tanpa sadar meremas ujung rok. Caraline benar-benar syok. Fakta ini membuat dirinya tertohok, laksana sekujur tubuhnya mati rasa karena dilempar ke tembok. Tuhan, apa yang sebenarnya Kau rencanakan? batin Caraline. “Aku tahu ini sangat berat bagi Nona,” ujar Jeremy dengan seuntai senyum. Ia bersorak penuh kepuasaan di dalam hati. Ini balasan atas tingkah kurang ajar Caraline. “Kami sudah memperingatkan Nona sejak awal,” lanjutnya. “Kami akan dengan senang ha
“Baiklah, Nona. Tapi aku akan melakukannya jika Anda menerima syarat yang aku ajukan,” ujar Deric.“Katakan,” sahut Caraline seraya kembali duduk. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sedang bibirnya menggurat senyum sinis. Oh, ayolah, saking pusing dan tertekan dirinya tadi, ia sampai lupa pada fakta kalau siapa pun akan melakukan hal serupa.“Apa yang kau inginkan?” Caraline turut menyilangkan kaki. Ia bisa menebak bila syarat yang diajukan Deric tak jauh dari hal berbau uang. Lagi pula ini kesempatan bagus bagi pria cacat itu untuk meraup keuntungan. Selain kemalangan dan hinaan, pria itu tak memiliki apa pun lagi, bukan?“Nona Caraline, aku mohon jangan dengarkan pria cacat itu.” Jeremy berkata. “Aku benar-benar meminta maaf atas kelancangannya. Anda bisa—”“Diamlah!” sela Caraline, “aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.”Rahang Jeremy men
Kondisi Caraline bisa dibilang tak baik-baik saja semenjak kepulangannya dari kediaman keluarga Aberald. Hampir sepanjang siang, ia mengurung diri ruangan kerjanya, tak ingin diganggu oleh siapa pun. Aktivitasnya hanya duduk di depan komputer, dan kian larut dalam lamunan. Caraline sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan. Oleh karena itu, semua hal yang bersinggungan dengan perusahaan diserahkan pada Helen.Pukul delapan malam lebih, Caraline masih berada di ruangan kerjanya. Wanita itu sesekali memijat kepala yang teramat pening. Hal itu terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh tindakan gilanya hari ini, tetapi karena perutnya yang memang belum diisi sejak siang. Saat Caraline hendak menghubungi Helen, asistennya itu lebih dahulu muncul dari balik pintu.“Nona Caraline, aku membawakan Anda makan malam.” Helen menaruh nampan berisi satu mangkuk sup ayam panas dan segelas air putih di meja.Caraline yang berdiri di depan jendela seketika
Tubuh Deric mendarat di tanah tanpa bisa dicegah. Pria itu berusaha bangkit dengan memfokuskankan kekuatan pada kedua tangan. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” ucapnya.“Tak ada yang mengingankan hal itu darimu,” sahut Jonathan tanpa rasa bersalah sedikit pun.Wajah Deric kembali menempel ke tanah saat tangannya gagal menjalankan tugas. Meski begitu, ia tak menyerah untuk mencoba hal sama berulang kali. Hal ini bukanlah masalah besar baginya. Ia sudah pernah mengalami perundungan yang lebih berat dari sekadar ditendang dari teras dan berakhir dengan mencumbu tanah.Pernah suatu waktu Jonathan dan James mengikatnya di pohon besar di belakang rumah selama semalaman. Keduanya melarang siapa pun untuk melepas ikatan. Barulah saat pagi menjelang, kakak-beradik itu membiarkan Deric pergi dengan tubuh lemas setelah puas tertawa cekikikan.Tak sampai di sana, beberapa bulan lalu, tepatnya saat keluarga Aberald mendapat undangan dari s
Sepanjang malam, Caraline tak bisa tidur karena terjajah pikirannya sendiri. Menonton film, berjalan-jalan di taman belakang rumah, sampai menamatkan beberapa buku, nyatanya tak berhasil mengundang kantuk. Barulah saat jarum jam menunjuk angka 4 pagi, ia bisa terlelap di sofa, dan terbangun saat sinar matahari mencumbu kesadarannya.Caraline mengibas rambutnya yang dibiarkan terurai. Wanita itu tengah duduk di ruang kerjanya, ditemani secangkir teh juga beberapa potong kue. Saat pintu diketuk, Caraline mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan.“Nona Caraline,” ujar Helen yang baru saja memasuki ruangan, “semua persiapan sudah hampir selesai.”“Hampir?” Caraline meletakkan cangkir teh ke meja. Alisnya sedikit tertekuk. “Apa ada masalah, Helen?”Helen menggeleng, lalu tersenyum. “Hal yang membuat persiapan ini belum selesai adalah, kedatangan pengantin pria dan ... pengantin wanita
Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya meme
Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di ku
“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingi