Share

9. Unperfect Husband

Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.

Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan,  batin Caraline.

Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan. 

Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.

Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di kursi roda itu tengah menghadap seorang pria yang akan menikahkan mereka. Helen tak tahu dari mana lelaki itu datang. Ia sudah mengecek beberapa kali persiapan pernikahan ini dengan sangat detail, tetapi dirinya sama sekali tak menemukan pria berjas hitam itu sejak tadi. Sosoknya seolah muncul tiba-tiba.

Helen kembali duduk di kursi seraya memegang jantungnya yang seperti akan melompat ke luar. Dugaannya salah besar. Ia pikir bila salah satu dari pria yang kini duduk di samping kirinya adalah calon suami Caraline. Namun, realita justru menghantamnya tanpa ampun.

“Astaga, apa yang terjadi denganmu, Nona Caraline?” gumam Helen.

Proses pernikahan berlangsung tanpa ada halangan. Caraline dan Deric secara bergantian saling memasangkan cincin pernikahan. Musik pengiring mengalun setelahnya, disusul taburan bunga yang berjatuhan dari atas altar pernikahan.

Helen melewatkan semua kejadian itu. Alih-alih larut dalam momen yang terjadi, ia justru tenggelam dalam benaknya sendiri. Wanita itu tak pernah mengira bila pria yang dicari selama bertahun-tahun oleh Caraline adalah pria yang kurang sempurna dalam hal fisik.

Sadar akan fakta itu, dugaan lain muncul dari pikiran Helen. Mungkin saja karena mengetahui keadaan pria itu yang tuna daksa membuat keadaan Caraline berubah setelah pulang dari kediaman pria itu.

Satu pertanyaan muncul. Bila keadaan pengantin pria itu dalam keadaan berbeda dengan kebanyakan orang, kenapa Caraline bersedia melabuhkan hidup dan cintanya pada pria itu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di balik peristiwa ini? Atau justru saat ini ia tengah menjadi saksi bila cinta sejati itu nyata adanya?  

“Apa hal ini harus benar-benar tejadi padamu, Nona Caraline,” lirih Helen.

 Entahlah. Memikirkan semua itu membuat kepalanya pusing. Untuk itu, Helen mengambil napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Satu hal pasti yang ia dapat hari ini adalah, meski sudah bertahun-tahun bersama Caraline, nyatanya ia sama sekali belum mengenal betul wanita itu.

 

Helen kembali berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada altar pernikahan. Senyumnya mengembang ketika melihat Caraline yang tampak istimewa dengan balutan gaun putih panjangnya. Kesan yang ditampilkan wanita itu benar-benar elegan, mengundang decak kagum dari setiap orang yang melihatnya. Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan sosok wanita itu kecuali kata sempurna.

Beralih ke arah pria di kursi roda, lagi-lagi Helen dibuat terpaku. Secara mengejutkan, ada getaran aneh saat melihat pengantin pria yang kini menjadi suami Caraline itu tersenyum, terlebih saat manik biru itu tertangkap oleh matanya. Helen mendadak mendudukkan tubuhnya agak keras sampai tiga orang keluarga Aberald menoleh ke arahnya.

Apa yang terjadi padaku? batin Helen.

Acara usai tak lama kemudian. Caraline dan Deric sempat berfoto berdua, lalu melemparkan buket bunga yang kemudian ditangkap oleh Helen.

Sesaat setelah prosesi pernikahan usai, Caraline dan Deric tengah duduk saling berhadapan dengan dibatasi oleh sebuah meja bundar yang di atasnya terhidang sajian yang menggugah selera. Tak jauh dari sana, Jeremy, Jonathan dan James ikut menyantap hidangan.

“Nona, bergabunglah bersama kami,” ucap Jeremy saat melihat Helen akan duduk di kursi kosong.

Mendengar hal itu, Helen segera menghentikan langkah. “Apa aku tidak akan merepotkanmu, Tuan?”

Jeremy berdiri dari duduknya. “Tentu saja tidak, Nona. Ini kehormatan bagi kami untuk bisa satu meja dengan asisten kepercayaan Nona Caraline.”

Helen menimbang sesaat hingga pada akhirnya mengangguk setuju. Saat sudah dekat dengan meja, Jeremy menarik kursi untuknya. “Terima kasih,” ucapnya.

“Sebaiknya kita biarkan mereka menikmati waktu berdua,” ujar Jeremy seraya tersenyum. Ketika melihat Deric yang tengah berduaan dengan Caraline, ia mengutuk Deric dengan sumpah serapah di dalam hati. Pria itu memang pandai bersandiwara.

Helen menoleh ke arah Deric dan Caraline. Wanita itu buru-buru mengalihkan pandangan saat debaran aneh kembali hadir. Ia bisa merasakan bila pipinya menjadi panas dan jantungnya berdetak lebih cepat.     

Kembali pada Deric dan Caraline. Pasangan pengantin itu masih sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hidangan di atas meja bahkan belum mereka sentuh satu pun.

“Nona,” ucap Deric memecah keheningan.

Caraline yang sejak tadi tak ingin melihat wajah Deric sama sekali tak menyahut. Kedua tangannya bersilang di depan dada. Meski terkesan tak peduli, tetapi sebenarnya Caraline tengah berusaha untuk menormalkan debaran jantungnya.

“Apa kehadiranku di sini membuat selera makan Anda hilang?” tanya Deric, “aku bisa pergi jika Anda memintanya.”

Caraline mengembus napas panjang. Saat menoleh ke arah pria di depannya, tiba-tiba saja ia terbatuk.

“Minumlah, Nona.” Deric menyodorkan segelas air.

Caraline menatap sodoran gelas itu dengan sebelah mata. Netranya memutar hingga untuk beberapa detik lamanya gelas itu berada di udara.

“Aku mengerti.” Deric menyunggingkan senyum seraya menarik kembali tangannya dan mengembalikan gelas ke tempat semula. “Tanganku pasti terlalu kotor.”

Mendengarkan hal itu, Caraline terpejam sembari mengembus napas pelan.

Merasa bila suasana canggung, Deric kembali berbicara untuk mencairkan suasana, “Aku pernah mendengar bila wanita seringkali memilih diam untuk menolak sebuah ajakan.”

Caraline masih diam. Ia sedikit mengangkat rok agar kaki kanannya bisa bertumpu pada kaki kiri. Jujur saja, ia kesal karena pernikahan ini benar-benar terjadi. Namun, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan pria cacat di depannya, terlebih harus mengatakan perubahan keputusannya hanya dikarenakan melihat senyuman pria bernama Jacob Aberald itu. Jelas sekali itu tak masuk akal.

“Baiklah, Nona, silakan nikmati hidangan Anda.” Deric memundurkan kursi rodanya, lalu memutar arah untuk meninggalkan lokasi perjamuan.

“Tunggu,” pinta Caraline saat melihat pria di depannya akan mendorong kursi roda. Tanpa dikomando, tangan kanannya tiba-tiba terulur ke depan, seolah ingin menggapai pria yang baru saja menikahi dirinya. Saat sadar akan apa yang baru saja ia lakukan, Caraline dengan cepat kembali menarik tangannya.

“Dengarkan aku,” ujar Caraline.

Mendengar suara Caraline, Deric mendadak berhenti.

“Aku tidak memerintahkanmu pergi. Jadi kembalilah ke tempatmu,” titah Caraline. Tubuhnya yang menyamping kini benar-benar berhadapan dengan Deric. Wanita itu membenarkan roknya, lantas kembali berujar tanpa menoleh pada sang lawan bicara,  “Makanlah dengan tenang.”

Deric merangkai senyum tipis, lalu mendorong kursi rodanya ke depan jamuan. Setelah perbincangan barusan, keduanya hanyut dalam menikmati hidangan.

“Nona,” panggil Deric setelah membersihkan sisa makanan dari mulutnya. “Sepertinya aku berakting dengan baik. Jadi, apakah setelah ini aku bisa kembali ke tempat asalku? Sejujurnya ada beberapa hal yang harus aku kerjakan.”

Caraline yang baru saja akan mengangkat gelas seketika menarik kembali tangannya. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada marah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status