Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.
Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.
Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.
Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.
Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di kursi roda itu tengah menghadap seorang pria yang akan menikahkan mereka. Helen tak tahu dari mana lelaki itu datang. Ia sudah mengecek beberapa kali persiapan pernikahan ini dengan sangat detail, tetapi dirinya sama sekali tak menemukan pria berjas hitam itu sejak tadi. Sosoknya seolah muncul tiba-tiba.
Helen kembali duduk di kursi seraya memegang jantungnya yang seperti akan melompat ke luar. Dugaannya salah besar. Ia pikir bila salah satu dari pria yang kini duduk di samping kirinya adalah calon suami Caraline. Namun, realita justru menghantamnya tanpa ampun.
“Astaga, apa yang terjadi denganmu, Nona Caraline?” gumam Helen.
Proses pernikahan berlangsung tanpa ada halangan. Caraline dan Deric secara bergantian saling memasangkan cincin pernikahan. Musik pengiring mengalun setelahnya, disusul taburan bunga yang berjatuhan dari atas altar pernikahan.
Helen melewatkan semua kejadian itu. Alih-alih larut dalam momen yang terjadi, ia justru tenggelam dalam benaknya sendiri. Wanita itu tak pernah mengira bila pria yang dicari selama bertahun-tahun oleh Caraline adalah pria yang kurang sempurna dalam hal fisik.
Sadar akan fakta itu, dugaan lain muncul dari pikiran Helen. Mungkin saja karena mengetahui keadaan pria itu yang tuna daksa membuat keadaan Caraline berubah setelah pulang dari kediaman pria itu.
Satu pertanyaan muncul. Bila keadaan pengantin pria itu dalam keadaan berbeda dengan kebanyakan orang, kenapa Caraline bersedia melabuhkan hidup dan cintanya pada pria itu? Apakah ada sesuatu yang terjadi di balik peristiwa ini? Atau justru saat ini ia tengah menjadi saksi bila cinta sejati itu nyata adanya?
“Apa hal ini harus benar-benar tejadi padamu, Nona Caraline,” lirih Helen.
Entahlah. Memikirkan semua itu membuat kepalanya pusing. Untuk itu, Helen mengambil napas dalam, kemudian mengembuskannya perlahan. Satu hal pasti yang ia dapat hari ini adalah, meski sudah bertahun-tahun bersama Caraline, nyatanya ia sama sekali belum mengenal betul wanita itu.
Helen kembali berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada altar pernikahan. Senyumnya mengembang ketika melihat Caraline yang tampak istimewa dengan balutan gaun putih panjangnya. Kesan yang ditampilkan wanita itu benar-benar elegan, mengundang decak kagum dari setiap orang yang melihatnya. Tak ada kata-kata yang mampu menggambarkan sosok wanita itu kecuali kata sempurna.
Beralih ke arah pria di kursi roda, lagi-lagi Helen dibuat terpaku. Secara mengejutkan, ada getaran aneh saat melihat pengantin pria yang kini menjadi suami Caraline itu tersenyum, terlebih saat manik biru itu tertangkap oleh matanya. Helen mendadak mendudukkan tubuhnya agak keras sampai tiga orang keluarga Aberald menoleh ke arahnya.
Apa yang terjadi padaku? batin Helen.
Acara usai tak lama kemudian. Caraline dan Deric sempat berfoto berdua, lalu melemparkan buket bunga yang kemudian ditangkap oleh Helen.
Sesaat setelah prosesi pernikahan usai, Caraline dan Deric tengah duduk saling berhadapan dengan dibatasi oleh sebuah meja bundar yang di atasnya terhidang sajian yang menggugah selera. Tak jauh dari sana, Jeremy, Jonathan dan James ikut menyantap hidangan.
“Nona, bergabunglah bersama kami,” ucap Jeremy saat melihat Helen akan duduk di kursi kosong.
Mendengar hal itu, Helen segera menghentikan langkah. “Apa aku tidak akan merepotkanmu, Tuan?”
Jeremy berdiri dari duduknya. “Tentu saja tidak, Nona. Ini kehormatan bagi kami untuk bisa satu meja dengan asisten kepercayaan Nona Caraline.”
Helen menimbang sesaat hingga pada akhirnya mengangguk setuju. Saat sudah dekat dengan meja, Jeremy menarik kursi untuknya. “Terima kasih,” ucapnya.
“Sebaiknya kita biarkan mereka menikmati waktu berdua,” ujar Jeremy seraya tersenyum. Ketika melihat Deric yang tengah berduaan dengan Caraline, ia mengutuk Deric dengan sumpah serapah di dalam hati. Pria itu memang pandai bersandiwara.
Helen menoleh ke arah Deric dan Caraline. Wanita itu buru-buru mengalihkan pandangan saat debaran aneh kembali hadir. Ia bisa merasakan bila pipinya menjadi panas dan jantungnya berdetak lebih cepat.
Kembali pada Deric dan Caraline. Pasangan pengantin itu masih sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Hidangan di atas meja bahkan belum mereka sentuh satu pun.
“Nona,” ucap Deric memecah keheningan.
Caraline yang sejak tadi tak ingin melihat wajah Deric sama sekali tak menyahut. Kedua tangannya bersilang di depan dada. Meski terkesan tak peduli, tetapi sebenarnya Caraline tengah berusaha untuk menormalkan debaran jantungnya.
“Apa kehadiranku di sini membuat selera makan Anda hilang?” tanya Deric, “aku bisa pergi jika Anda memintanya.”
Caraline mengembus napas panjang. Saat menoleh ke arah pria di depannya, tiba-tiba saja ia terbatuk.
“Minumlah, Nona.” Deric menyodorkan segelas air.
Caraline menatap sodoran gelas itu dengan sebelah mata. Netranya memutar hingga untuk beberapa detik lamanya gelas itu berada di udara.
“Aku mengerti.” Deric menyunggingkan senyum seraya menarik kembali tangannya dan mengembalikan gelas ke tempat semula. “Tanganku pasti terlalu kotor.”
Mendengarkan hal itu, Caraline terpejam sembari mengembus napas pelan.
Merasa bila suasana canggung, Deric kembali berbicara untuk mencairkan suasana, “Aku pernah mendengar bila wanita seringkali memilih diam untuk menolak sebuah ajakan.”
Caraline masih diam. Ia sedikit mengangkat rok agar kaki kanannya bisa bertumpu pada kaki kiri. Jujur saja, ia kesal karena pernikahan ini benar-benar terjadi. Namun, ia tak bisa sepenuhnya menyalahkan pria cacat di depannya, terlebih harus mengatakan perubahan keputusannya hanya dikarenakan melihat senyuman pria bernama Jacob Aberald itu. Jelas sekali itu tak masuk akal.
“Baiklah, Nona, silakan nikmati hidangan Anda.” Deric memundurkan kursi rodanya, lalu memutar arah untuk meninggalkan lokasi perjamuan.
“Tunggu,” pinta Caraline saat melihat pria di depannya akan mendorong kursi roda. Tanpa dikomando, tangan kanannya tiba-tiba terulur ke depan, seolah ingin menggapai pria yang baru saja menikahi dirinya. Saat sadar akan apa yang baru saja ia lakukan, Caraline dengan cepat kembali menarik tangannya.
“Dengarkan aku,” ujar Caraline.
Mendengar suara Caraline, Deric mendadak berhenti.
“Aku tidak memerintahkanmu pergi. Jadi kembalilah ke tempatmu,” titah Caraline. Tubuhnya yang menyamping kini benar-benar berhadapan dengan Deric. Wanita itu membenarkan roknya, lantas kembali berujar tanpa menoleh pada sang lawan bicara, “Makanlah dengan tenang.”
Deric merangkai senyum tipis, lalu mendorong kursi rodanya ke depan jamuan. Setelah perbincangan barusan, keduanya hanyut dalam menikmati hidangan.
“Nona,” panggil Deric setelah membersihkan sisa makanan dari mulutnya. “Sepertinya aku berakting dengan baik. Jadi, apakah setelah ini aku bisa kembali ke tempat asalku? Sejujurnya ada beberapa hal yang harus aku kerjakan.”
Caraline yang baru saja akan mengangkat gelas seketika menarik kembali tangannya. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan nada marah.
“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingi
“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric. Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?” Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona. “Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline. Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya. Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak beg
“Aku yakin kalau James dan Jonathan sudah berusaha menunjukkan kepedulian mereka.” Jeremy menyimpan gelas di meja, lalu berdiri dan mendekat ke hadapan Deric. “Lalu kenapa kau tidak mencobanya?”“Sepatu itu kami dapatkan di toko terbaik di kota ini,” ujar Jonathan berbohong. Siapa saja pasti menduga kalau benda itu ditemukan di tempat sampah atau rongsokan. “Modelnya sangat cocok untuk kakimu yang indah. Bener ‘kan, James?”James lagi-lagi terkekeh. Ia bahkan sampai memegangi perutnya. Setelah tawanya reda, ia berkata, “Tak ada hadiah yang lebih istimewa bagimu selain sepatu ini. Jadi pakailah untuk menghargai pemberian kami.”Deric mengembangkan senyum, kemudian mengeluarkan sepatu itu dari kotak. Seperti dugaannya, benda itu sudah tidak layak pakai. Ada lubang besar di bagian depan laksana mulut menganga yang kelaparan. Ini jauh lebih buruk dibanding dengan kasut miliknya yang ia pakai tad
Caraline mengerjap beberapa kali sebelum tubuhnya bangkit dari posisi tidur. Wanita itu kemudian memijat kepala secara perlahan seraya mengalihkan posisi duduk ke bibir kasur. Ketika penglihatannya kembali ke sedia kala, matanya sontak membola saat melihat kondisi ruangan yang gelap.Mengenyahkan rasa panik, Caraline segera meraih ponsel yang berada di atas nakas meski sebelumnya harus meraba beberapa benda lebih dahulu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat layar telepon genggam itu menyala.“Sudah berapa lama aku tertidur?” Caraline menyipit saat cahaya ponsel menyinari wajahnya yang masih dilingkupi kebingungan.Untuk mengusir gelap, Caraline segera menyalakan listrik dengan bantuan ponselnya. Dalam sekejap, ruangan kembali bermandikan cahaya. Wanita itu kembali berbaring di kasur dengan pandangan yang menatap langit-langit kamar. Saking hening, ia bisa mendengar deru napasnya sendiri.Caraline tenggelam dalam lamunan. Kilasan me
Begitu bunyi ‘ting’ terdengar, Caraline dengan langkah cepat segera keluar dari elevator. Ia bergegas menuju rooftop, kemudian berhenti saat berada di depan pintu.“Aku akan benar-benar melenyapkanmu!” ujar Caraline seraya menekan kata sandi.Saat pintu terbuka, Caraline tak lantas memasuki ruangan. Ia lebih dahulu menstabilkan napas sembari berpikir tentang hal bodoh apa yang baru saja dirinya lakukan. Caraline mengentak lantai dengan kuat saat mulai memasuki ruangan. Kondisi tempat ini cukup gelap sehingga membutuhkan kehati-hatian. Sumber cahaya yang ada hanya berasal dari sinar rembulan dan taburan bintang di langit yang tampak jelas terlihat melalui kubah transparan.Caraline kemudian menekan ponselnya yang sudah tersambung dengan sistem taman rooftop. Tak lama setelahnya, ruangan kembali terang benderang. Wanita itu segera memindai sekeliling sembari membiarkan langkahnya melumat rerumputan hijau.
Caraline menampar pipinya beberapa kali ketika sudah berada di dalam elevator. Parasnya benar-benar sudah semerah kepiting rebus. Ia lantas menjerit sembari menarik rambutnya berkali-kali saking malu dan kesal atas apa yang baru saja terjadi. Bayangkan saja, seorang CEO perusahaan kosmetik dan fashion tampil dengan keadaan memprihatinkan seperti ini, terlebih di hadapan seorang pria asing yang baru saja dikenalnya dua hari lalu.Caraline melumat lantai dengan langkah cepat saat pintu elevator terbuka. Begitu keluar dari lobi, ia segera meraup oksigen dengan rakus. Wanita itu kemudian mendekap dirinya saat udara dingin terasa menusuk hingga tulang.“Kau pasti baik-baik saja,” ujar Deric yang baru saja keluar dari lobi.Caraline terpejam sesaat seiring dengan kepala tangan yang mengeras. Ia sama sekali tidaak berniat untuk menoleh pada Deric. “Berani sekali kau mengikutiku,” ucapnya.“Aku sangat yakin kalau kau baru sa
“Aku juga berjanji,” ujar Deric yang berhasil menarik perhatian Caraline hingga menoleh ke arahnya kembali. “Aku berjanji akan melindungimu dengan semua hal yang kupunya.”Caraline serasa tersengat listrik hingga tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar perkataan Deric. Jantungnya laksana akan meledak seiring dengan matanya yang membola. “Ja-jangan bercanda! Itu terdengar sangat tidak masuk akal.”“Dunia memang dipenuhi hal yang tidak masuk akal,” ujar Deric seraya tertawa kecil saat mengingat bahwa Caraline pernah mengatakan hal yang sama.Caraline menoleh dengan raut kesal, lantas berdecak. Pria di sampingnya baru saja mengembalikan kata-katanya saat itu. Menyebalkan sekali.“Lihatlah dirimu lebih dalam!” Caraline berbicara dengan tatapan merendahkan. “Kau bahkan menggantungkan hidupmu di kursi roda. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan kata-katamu
Deric mengerjap saat cahaya matahari mencumbu kesadarannya. Pria itu memijat kepala perlahan, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Begitu penglihatannya berangsur normal, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tempat ini tampak asing.Deric keluar ruangan bersama kursi rodanya. Pemandangan yang pertama kali menyambutnya adalah sebuah danau kecil dan halaman yang luas dengan pepohonan yang tertata dengan apik. Begitu menoleh ke samping, tampak sebuah bangunan megah berdiri dengan gagah. Deric mendorong maju kursi rodanya. Pandangannya masih setia memindai sekeliling seiring dengan tubuhnya yang mengitari halaman. Entah khayalan atau dirinya masih terjebak di alam mimpi, ia seperti tengah berada di sebuah taman kerajaan, dan indah adalah kata yang mampu mewakili keadaan yang ia lihat saat ini.Puas mengitari halaman, Deric beranjak menuju pinggiran danau. Tampak dua ekor angsa sedang berenang mengitari lokasi. Tak jauh dari kursi rodanya berada,