“Aku juga berjanji,” ujar Deric yang berhasil menarik perhatian Caraline hingga menoleh ke arahnya kembali. “Aku berjanji akan melindungimu dengan semua hal yang kupunya.”
Caraline serasa tersengat listrik hingga tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar perkataan Deric. Jantungnya laksana akan meledak seiring dengan matanya yang membola. “Ja-jangan bercanda! Itu terdengar sangat tidak masuk akal.”
“Dunia memang dipenuhi hal yang tidak masuk akal,” ujar Deric seraya tertawa kecil saat mengingat bahwa Caraline pernah mengatakan hal yang sama.
Caraline menoleh dengan raut kesal, lantas berdecak. Pria di sampingnya baru saja mengembalikan kata-katanya saat itu. Menyebalkan sekali.
“Lihatlah dirimu lebih dalam!” Caraline berbicara dengan tatapan merendahkan. “Kau bahkan menggantungkan hidupmu di kursi roda. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan kata-katamu
Deric mengerjap saat cahaya matahari mencumbu kesadarannya. Pria itu memijat kepala perlahan, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Begitu penglihatannya berangsur normal, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tempat ini tampak asing.Deric keluar ruangan bersama kursi rodanya. Pemandangan yang pertama kali menyambutnya adalah sebuah danau kecil dan halaman yang luas dengan pepohonan yang tertata dengan apik. Begitu menoleh ke samping, tampak sebuah bangunan megah berdiri dengan gagah. Deric mendorong maju kursi rodanya. Pandangannya masih setia memindai sekeliling seiring dengan tubuhnya yang mengitari halaman. Entah khayalan atau dirinya masih terjebak di alam mimpi, ia seperti tengah berada di sebuah taman kerajaan, dan indah adalah kata yang mampu mewakili keadaan yang ia lihat saat ini.Puas mengitari halaman, Deric beranjak menuju pinggiran danau. Tampak dua ekor angsa sedang berenang mengitari lokasi. Tak jauh dari kursi rodanya berada,
Hari yang benar-benar menyebalkan bagi Caraline. Saat mobil memasuki gerbang kantor, ia melihat sekumpulan awak media tengah memadati lobi. Ia masuk dengan penjagaan ketat. Wanita itu mengembus napas panjang begitu keluar dari elevator. Saat akan menuju ruangannya, ia dikejutkan oleh Helen yang tengah berdiri di depan pintu dengan raut cemas.“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Helen seraya mengikuti pergerakan Caraline yang berjalan menuju ruangan. “Aku sangat khawatir karena Nona tidak membalas pesan dan mengangkat panggilan dariku.”“Aku harap aku baik-baik saja sekarang,” balas Caraline seraya mendaratkan tubuh di kursi. Saat menoleh ke arah jam, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Apa agendaku sekarang, Helen?”Helen meremas rok, kemudian menoleh pada Caraline dengan gelisah. “Nona, sebenarnya ada seseorang yang sudah menunggu Nona sejak tadi.”Caraline yang baru saja membuka laptop
Alunan musik dan pemandangan malam yang disuguhkan Heaventown benar-benar membuat makan malam terasa istimewa. Untuk beberapa saat, Caraline dan Diego larut dalam hidangan yang tersaji. Ketika pandangan mereka tak sengaja saling menumbuk, keduanya sibuk merangkai senyum di wajah masing-masing.“Malam ini benar-benar istimewa bagiku,” ujar Diego sembari memberi kode pada wanita cantik di depannya untuk bersulang.“Apa karena malam ini indah?” tanya Caraline sembari membalas dentingan gelas Diego.Keduanya meneguk minuman masing-masing dengan pandangan yang tak lepas satu sama lain.“Tentu karena aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan wanita ....” Diego menjeda ucapan.“Wanita?” Caraline meletakkan kembali gelas ke meja. Kedua alisnya bertaut.“Wanita tangguh seperti Nona,” jawab Diego.Caraline tertawa pelan sembari menyugar rambutnya yang tergerai. “Aku bahkan
Caraline dibuat menganga saat menyadari busana yang melekat di tubuh Deric adalah pakaian yang dikenakannya sejak kemarin. Wanita itu bahkan mengerjap beberapa kali saking tak percaya dengan kenyataan yang baru saja terjadi. “Apa yang sebenarnya ada dalam benakmu!” pekiknya.“Saking besarnya rumah ini, aku sampai kesulitan untuk mencari beberapa potong baju, terlebih dengan kondisiku yang tak mendukung,” ungkap Deric jujur, “lagi pula dedaunan di kawasan ini tidak cocok dijadikan pakaian.”Caraline berdecak. Pria lumpuh ini tengah menyindirnya. “Lalu kenapa kau—”“Untuk itulah aku ingin kembali ke rumah untuk mengambil beberapa potong baju sekaligus mengambil dompet dan ponselku,” sela Deric.Caraline terbahak. “Aku sangat yakin deretan angka di rekeningmu pasti membuatku tercengang saat melihatnya.”“Kau terlalu memuji. Pekerjaanku sebagai freelancer tentu
Setelah hampir dua jam perjalanan, mobil akhirnya menepi di depan halaman kediaman Aberald. Saat Deric akan bersiap turun, pintu mobil tiba-tiba terbuka dari luar.“Bi-biar kubantu, Tuan jacob,” ujar Helen yang kian memperlebar celah pintu. Wajahnya tenggelam dalam kegugupan, sedang tatapannya tertuju pada rerumputan.“Tidak perlu, Nona.” Deric menolak halus. “Terima kasih.”Helen mundur beberapa langkah. Ia ingin menolong, tetapi raganya malah membeku. Sebagai gantinya, ia hanya bisa mengamati Deric melalui ekor mata.“Kau bisa memanggilku dengan sebutan Deric,” ujar sang empunya nama begitu sudah kembali duduk di kursi roda.“Ba-baik, Tuan Deric.”“Cukup Deric saja tanpa embel-embel tuan,” kata Deric.Helen mendongak di saat Deric merangkai senyum. Hal itu sontak membuatnya mundur secara perlahan. Wanita itu kembali ke kesadaran penuh ketika angin mencumbu helai
“Maafkan aku, Tuan,” ujar Helen, “sepertinya aku tidak bisa membantu untuk persoalan yang Tuan ajukan. Seperti yang Tuan-tuan ketahui, aku hanya seorang pegawai biasa.”Senyum yang terpahat di paras Jeremy perlahan luntur. Kedua tangannya kontan mengepal di atas paha. Manik mata yang melukis pengharapan mendadak lenyap seiring jawaban yang terdengar. “Apa tidak bisa Anda usahakan, Nona?”Helen menoleh ke arah celah pintu, kemudian mengembus napas panjang. Ia berpikir sesaat, kemudian berkata, “Tapi sepertinya aku bisa menjadwalkan Tuan untuk bertemu dengan Nona Caraline secara langsung. Aku harap hal itu bisa membantu.”Laksana menemukan oase di gurun pasir, amarah yang sebelumnya bercokol mendadak lenyap bersama pahatan senyum yang kini tersungging di wajah Jeremy dan Jonathan. Keduanya saling bertukar pandangan, berbagi kebahagiaan.“Itu lebih dari sekadar membantu, Nona. Kami benar-benar terto
Caraline mengembus napas panjang sembari menyandarkan punggung ke kursi. Memeriksa beberapa laporan sekaligus membuat energinya cukup terkuras. Ia harus benar-benar memasang level konsentrasi tinggi untuk memahami sajian data yang ada.Mengusir letih dan kebosanan, Caraline mulai berselencar dalam dunia maya. Ia menuliskan namanya di kolom pencarian, dan tak lama kemudian muncul deretan judul artikel dari beragam sumber. Wanita itu membaca satu per satu tajuk, lantas menelaah isinya hingga tuntas.“Para jurnalis itu seharusnya kembali ke bangku sekolah,” gerutu Caraline saat membandingkan isi berita dengan judul. Meski Diego sudah melakukan klarifikasi pada wartawan di lobi gedung kemarin, tetapi pada realitanya hal itu tak luput dari tambahan bumbu asumsi dan opini pribadi media agar kian renyah untuk dinikmati pembaca.Caraline menyadari bila tak semua kesalahan patut diarahkan pada penulis berita. Terdapat andil dari pemimpin media yang mema
Keriuhan di dalam outlet kian bertambah ketika para pengunjung mendengar pengakuan James. Bak ombak berkecamuk, perkataan dan tatapan bernada hinaan terus menghantam Deric. Meski begitu, ia masih meraut wajah penuh ketenangan.“Enyahlah!” usir wanita bergaun putih pendek, “kau bukan hanya pengemis tak tahu diri, tapi kau juga seorang pembohong! Outlet ini benar-benar harus memperbaiki kualitasnya dari berbagai sisi karena sudah membiarkan seorang pengemis sepertimu mengotori tempat ini.”James hanya terkekeh saat melihat perundungan kian menjadi. Ia senang karena Deric mendapat ganjaran atas tingkah sombongnya saat di rumah tadi. Bisa-bisanya pria cacat itu memberi ancaman sekaligus berbuat kurang ajar padanya, pikirnya.“Siapa pun orang yang membawa pria cacat ini pasti benar-benar cerdas,” ujar James memanas-manasi, “dengan membawa pria pesakitan ini ke tempat mewah, dia pasti berpikir orang-orang aka