“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric.
Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?”
Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona.
“Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline.
Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya.
Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak begitu menyadari apa yang baru saja terjadi. Saat menoleh ke samping kiri dan kanan, Caraline mendapati pemandangan hijaunya rerumputan yang mendominasi.
Wajah Caraline seketika memerah bak kepiting rebus. Didorong amarah, ia buru-buru bangkit untuk mendudukkan tubuhnya. “Apa yang baru saja kau lakukan padaku? Dasar pria cacat!” maki Caraline dengan mata yang hendak menyembul keluar.
Caraline kemudian menepuk-nepuk gaunnya yang sama sekali tak kotor. “Apa kau—”
“Kau pasti baik-baik saja, Caraline,” sela Deric sembari mengulurkan tangan.
Caraline yang akan bangkit kembali duduk. Ia menatap wajah dan tangan Deric secara bergantian. Butuh beberapa detik baginya untuk mengambil sikap, dan pilihannya jatuh pada aksi menepis kasar tangan pria itu.
“Lihatlah dirimu! Jika kau ingin membantu, bantulah dirimu sendiri lebih dahulu.” Caraline berdiri dengan raut kesal. “Lagi pula apa maksudmu dengan aku pasti baik-baik saja? Tak bisakah kau bertanggungjawab atas apa yang baru saja terjadi padaku?”
“Dibanding bertanya, aku lebih memilih menguatkan dirimu dengan kata-kataku,” sahut Deric dengan segaris senyum.
Caraline tercenung sesaat, lalu berujar tanpa menoleh pada pria yang tengah bicara dengannya, “Berhentilah bicara omong kosong! Kau bukan penyihir yang bisa mendatangkan keajaiban hanya dengan kata-kata. Karena jika itu benar, kau tidak mungkin berada di kursi roda.”
“Di beberapa kesempatan, kata-kata justru memiliki kekuatan dibanding sebuah tindakan.” Deric berkata.
Caraline kembali dibuat diam meski sesaat. “Diamlah! Aku tidak ingin mendengar kata-kata itu dari pria sepertimu.”
Caraline memutar tubuh, lalu berjalan meninggalkan Deric. Saat ekor matanya melihat pria itu mengikutinya, ia tiba-tiba berhenti berjalan. “Jangan mengikutiku!”
“Aku masih membutuhkan jawaban,” ujar Deric.
Caraline mengambil napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. Pria itu benar-benar cerewet dibanding dugaannya.
“Apa yang akan kau lakukan setelah ini?” Deric mengulang pertanyaannya.
“Bisakah kau diam dan menikmati kemewahan yang kuberikan tanpa banyak bertanya?” Caraline menyentuh keningnya, lalu bergegas menuju pintu keluar. Saat sebuah ide terlintas, ia memutar arah dan kembali berhadapan dengan Deric.
Deric mengamati Caraline yang masih dalam posisinya. “Apa kau sudah menemukan jawabannya?”
“Aku ... akan menjawabnya saat aku kembali dari suatu tempat.” Caraline memutar bola mata, lalu tersenyum tipis. “Jadi selama aku belum kembali, tetaplah di sini dan renungkanlah kehidupanmu yang menyedihkan.”
“Baiklah.” Deric tersenyum. Ia hendak mengajukan pertanyaan tambahan, tetapi Caraline sudah kembali melumat jalan dengan langkah lebar.
Caraline tersenyum lebar begitu keluar dari ruangan. Ia sempat menoleh ke arah pintu dengan tatapan sinis, kemudian kembali berjalan dengan sedikit mengangkat rok. Ketika sudah berada di ruang pribadinya, wanita itu segera mengganti busana dengan gaun hitam berikat pinggang emas. Ia mengecek penampilannya di cermin, lantas berjalan ke arah tasnya berada. Rambut panjangnya yang dibiarkan terurai bergoyang seiring langkah yang cepat mencabik lantai ruangan.
Caraline berjalan ke arah balkon sembari menunggu sahutan dari Helen melalui ponsel. Wanita itu melirik rooftop, kemudian mengerlingkan mata sebal.
“Nona Caraline,” panggil Helen yang baru saja memasuki ruangan.
Caraline mendekatkan ponselnya ke telinga, tetapi saat melihat pantulan Helen di kaca jendela, sontak ia tersadar kalau yang memanggilnya barusan adalah wanita yang akan dihubunginya. Wanita itu segera menyambar tasnya yang berada di meja. Saat melewati Helen, ia berkata, “Helen, aku akan pergi ke suatu tempat. Jangan ikuti aku.”
“Bagaimana dengan ...” Helen menunduk. Pipinya tiba-tiba bersemu merah. “ ... Tuan Jacob?”
Caraline yang baru saja meraih kenop pintu seketika berbalik. “Dia ... sudah pergi karena sedang ada urusan mendesak.” Wanita itu kemudian membuka pintu lebih lebar, lantas melanjutkan, “Kau bisa pulang lebih awal, Helen. Tugasmu hari ini sudah selesai.”
“Nona,” panggil Helen dengan tangan yang seakan ingin menghentikan langkah Caraline. Raganya yang condong ke depan kembali diposisikan seperti semula.
“Katakan,” pinta Caraline tanpa menoleh.
“Selamat ... atas pernikahan Anda, Nona,” ucap Helen sembari tertunduk.
Caraline mengembus napas panjang, lantas menyugar rambut panjangnya beberapa kali. “Anggap saja pernikahan itu tidak benar-benar terjadi.”
Setelah mengatakan hal itu, Caraline bergegas menuju elevator. Ia kembali mengembus napas panjang saat kilasan memori mengenai perisitiwa hari ini bergulir satu per satu. Caraline segera meninggalkan gedung Mililine Tower 2 dengan mobil. Kendaraan itu melahap jalanan dengan cepat, kemudian melambat saat berada di jalan sepanjang garis pantai. Dari tempatnya sekarang, wanita itu bisa melihat kantornya perlahan mengecil, kemudian menghilang karena tergerus jarak.
Di saat yang sama, Deric tengah mengamati pemandangan pantai saat tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Saat berbalik, ia menemukan ketiga saudaranya datang mendekat.
“Selamat atas pernikahanmu,” ujar James dengan senyum yang tampak dipaksakan. Kedua tangannya berada di belakang, memegang sebuah benda yang sengaja disembunyikan.
“James, kelakuanmu sangat tidak sopan,” sahut Jonathan, “di hari istimewa ini, tak sopan jika kau hanya memberikan ucapan selamat pada saudara teristimewa kita.”
Jeremy terkikik geli, lalu duduk di kursi seraya meneguk minumannya. Setelah menahan kesal hampir sepanjang hari, ia tentu akan sangat senang karena sesaat lagi akan mendapat hiburan dari James dan Jonathan.
“Kau benar, Kak,” jawab James seraya terkekeh.
“Saudara Deric, kami punya hadiah untukmu,” lanjut Jonathan.
James berjongkok, lalu memberikan sebuah boks pada Deric. “Ini sangat cocok untukmu.”
James dan Jonathan sebisa mungkin tak tertawa, meski keduanya tahu kalau hal itu teramat mustahil.
Deric tahu apa yang tengah dilakukan ketiga saudaranya sekarang. Ini bukan pertama kali baginya mendapat perlakuaan serupa, dan ia tahu akhir dari tindakan mereka. Meski begitu, ia berusaha tenang dan sebisa mungkin bersikap seperti biasa.
“Aku sangat berterima kasih,” ujar Deric yang berpura-pura antusias, memperhatikan kotak di pangkuannya secara saksama. Ia tidak akan terkejut kalau di dalam boks ini terdapat mainan tinju yang akan memukul wajahnya dengan keras atau bom sekalipun.
“Bukalah.” Jeremy ikut berbicara dari kursinya.
Deric mengangkat segaris senyum, lantas melakukan seperti yang diminta. Saat penutup kotak itu terbuka, ia mendapati sepasang sepatu usang. Setelahnya, gelak tawa dari James dan Jonathan terdengar hingga seisi ruangan. Saat menoleh pada Jeremy, Deric mendapati kalau pria itu tengah tertawa tanpa suara.
“Apa kau suka?” tanya James yang kemudian berjalan mengitari kursi roda Deric. Masih terdengar sisa tawa darinya ketika berbicara.
“Aku dan James sengaja mencarikan hadiah ini untukmu. Kami tahu kalau kau sangat suka berlari dengan kakimu,” sambung Jonathan.
“Aku yakin kalau James dan Jonathan sudah berusaha menunjukkan kepedulian mereka.” Jeremy menyimpan gelas di meja, lalu berdiri dan mendekat ke hadapan Deric. “Lalu kenapa kau tidak mencobanya?”“Sepatu itu kami dapatkan di toko terbaik di kota ini,” ujar Jonathan berbohong. Siapa saja pasti menduga kalau benda itu ditemukan di tempat sampah atau rongsokan. “Modelnya sangat cocok untuk kakimu yang indah. Bener ‘kan, James?”James lagi-lagi terkekeh. Ia bahkan sampai memegangi perutnya. Setelah tawanya reda, ia berkata, “Tak ada hadiah yang lebih istimewa bagimu selain sepatu ini. Jadi pakailah untuk menghargai pemberian kami.”Deric mengembangkan senyum, kemudian mengeluarkan sepatu itu dari kotak. Seperti dugaannya, benda itu sudah tidak layak pakai. Ada lubang besar di bagian depan laksana mulut menganga yang kelaparan. Ini jauh lebih buruk dibanding dengan kasut miliknya yang ia pakai tad
Caraline mengerjap beberapa kali sebelum tubuhnya bangkit dari posisi tidur. Wanita itu kemudian memijat kepala secara perlahan seraya mengalihkan posisi duduk ke bibir kasur. Ketika penglihatannya kembali ke sedia kala, matanya sontak membola saat melihat kondisi ruangan yang gelap.Mengenyahkan rasa panik, Caraline segera meraih ponsel yang berada di atas nakas meski sebelumnya harus meraba beberapa benda lebih dahulu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat layar telepon genggam itu menyala.“Sudah berapa lama aku tertidur?” Caraline menyipit saat cahaya ponsel menyinari wajahnya yang masih dilingkupi kebingungan.Untuk mengusir gelap, Caraline segera menyalakan listrik dengan bantuan ponselnya. Dalam sekejap, ruangan kembali bermandikan cahaya. Wanita itu kembali berbaring di kasur dengan pandangan yang menatap langit-langit kamar. Saking hening, ia bisa mendengar deru napasnya sendiri.Caraline tenggelam dalam lamunan. Kilasan me
Begitu bunyi ‘ting’ terdengar, Caraline dengan langkah cepat segera keluar dari elevator. Ia bergegas menuju rooftop, kemudian berhenti saat berada di depan pintu.“Aku akan benar-benar melenyapkanmu!” ujar Caraline seraya menekan kata sandi.Saat pintu terbuka, Caraline tak lantas memasuki ruangan. Ia lebih dahulu menstabilkan napas sembari berpikir tentang hal bodoh apa yang baru saja dirinya lakukan. Caraline mengentak lantai dengan kuat saat mulai memasuki ruangan. Kondisi tempat ini cukup gelap sehingga membutuhkan kehati-hatian. Sumber cahaya yang ada hanya berasal dari sinar rembulan dan taburan bintang di langit yang tampak jelas terlihat melalui kubah transparan.Caraline kemudian menekan ponselnya yang sudah tersambung dengan sistem taman rooftop. Tak lama setelahnya, ruangan kembali terang benderang. Wanita itu segera memindai sekeliling sembari membiarkan langkahnya melumat rerumputan hijau.
Caraline menampar pipinya beberapa kali ketika sudah berada di dalam elevator. Parasnya benar-benar sudah semerah kepiting rebus. Ia lantas menjerit sembari menarik rambutnya berkali-kali saking malu dan kesal atas apa yang baru saja terjadi. Bayangkan saja, seorang CEO perusahaan kosmetik dan fashion tampil dengan keadaan memprihatinkan seperti ini, terlebih di hadapan seorang pria asing yang baru saja dikenalnya dua hari lalu.Caraline melumat lantai dengan langkah cepat saat pintu elevator terbuka. Begitu keluar dari lobi, ia segera meraup oksigen dengan rakus. Wanita itu kemudian mendekap dirinya saat udara dingin terasa menusuk hingga tulang.“Kau pasti baik-baik saja,” ujar Deric yang baru saja keluar dari lobi.Caraline terpejam sesaat seiring dengan kepala tangan yang mengeras. Ia sama sekali tidaak berniat untuk menoleh pada Deric. “Berani sekali kau mengikutiku,” ucapnya.“Aku sangat yakin kalau kau baru sa
“Aku juga berjanji,” ujar Deric yang berhasil menarik perhatian Caraline hingga menoleh ke arahnya kembali. “Aku berjanji akan melindungimu dengan semua hal yang kupunya.”Caraline serasa tersengat listrik hingga tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar perkataan Deric. Jantungnya laksana akan meledak seiring dengan matanya yang membola. “Ja-jangan bercanda! Itu terdengar sangat tidak masuk akal.”“Dunia memang dipenuhi hal yang tidak masuk akal,” ujar Deric seraya tertawa kecil saat mengingat bahwa Caraline pernah mengatakan hal yang sama.Caraline menoleh dengan raut kesal, lantas berdecak. Pria di sampingnya baru saja mengembalikan kata-katanya saat itu. Menyebalkan sekali.“Lihatlah dirimu lebih dalam!” Caraline berbicara dengan tatapan merendahkan. “Kau bahkan menggantungkan hidupmu di kursi roda. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan kata-katamu
Deric mengerjap saat cahaya matahari mencumbu kesadarannya. Pria itu memijat kepala perlahan, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Begitu penglihatannya berangsur normal, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tempat ini tampak asing.Deric keluar ruangan bersama kursi rodanya. Pemandangan yang pertama kali menyambutnya adalah sebuah danau kecil dan halaman yang luas dengan pepohonan yang tertata dengan apik. Begitu menoleh ke samping, tampak sebuah bangunan megah berdiri dengan gagah. Deric mendorong maju kursi rodanya. Pandangannya masih setia memindai sekeliling seiring dengan tubuhnya yang mengitari halaman. Entah khayalan atau dirinya masih terjebak di alam mimpi, ia seperti tengah berada di sebuah taman kerajaan, dan indah adalah kata yang mampu mewakili keadaan yang ia lihat saat ini.Puas mengitari halaman, Deric beranjak menuju pinggiran danau. Tampak dua ekor angsa sedang berenang mengitari lokasi. Tak jauh dari kursi rodanya berada,
Hari yang benar-benar menyebalkan bagi Caraline. Saat mobil memasuki gerbang kantor, ia melihat sekumpulan awak media tengah memadati lobi. Ia masuk dengan penjagaan ketat. Wanita itu mengembus napas panjang begitu keluar dari elevator. Saat akan menuju ruangannya, ia dikejutkan oleh Helen yang tengah berdiri di depan pintu dengan raut cemas.“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Helen seraya mengikuti pergerakan Caraline yang berjalan menuju ruangan. “Aku sangat khawatir karena Nona tidak membalas pesan dan mengangkat panggilan dariku.”“Aku harap aku baik-baik saja sekarang,” balas Caraline seraya mendaratkan tubuh di kursi. Saat menoleh ke arah jam, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. “Apa agendaku sekarang, Helen?”Helen meremas rok, kemudian menoleh pada Caraline dengan gelisah. “Nona, sebenarnya ada seseorang yang sudah menunggu Nona sejak tadi.”Caraline yang baru saja membuka laptop
Alunan musik dan pemandangan malam yang disuguhkan Heaventown benar-benar membuat makan malam terasa istimewa. Untuk beberapa saat, Caraline dan Diego larut dalam hidangan yang tersaji. Ketika pandangan mereka tak sengaja saling menumbuk, keduanya sibuk merangkai senyum di wajah masing-masing.“Malam ini benar-benar istimewa bagiku,” ujar Diego sembari memberi kode pada wanita cantik di depannya untuk bersulang.“Apa karena malam ini indah?” tanya Caraline sembari membalas dentingan gelas Diego.Keduanya meneguk minuman masing-masing dengan pandangan yang tak lepas satu sama lain.“Tentu karena aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan wanita ....” Diego menjeda ucapan.“Wanita?” Caraline meletakkan kembali gelas ke meja. Kedua alisnya bertaut.“Wanita tangguh seperti Nona,” jawab Diego.Caraline tertawa pelan sembari menyugar rambutnya yang tergerai. “Aku bahkan