Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.
Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.
“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.
James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.
“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya memelotot seakan ingin melahap adiknya bulat-bulat. Pertama kali dalam hidupnya, ia tak ingin melihat si cacat Deric itu terluka. “Apa kau ingin kita semua mati?” Jeremy mengcengkeram kuat bagian samping jas milik James.
James berdecak, lalu membuang wajahnya ke sembarang arah sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku. “Salahkan pria cacat itu,” tunjuknya pada Deric.
“Jaga tingkahmu setidaknya untuk beberapa waktu ke depan, James. Setelah hari ini berakhir, aku janji aku tidak akan mencegahmu untuk melakukan apa pun pada si cacat ini,” lanjut Jeremy yang kemudian melepas cengkeraman. Ia sama sekali tak terganggu meski tahu kalau Deric mendengar ucapannya.
“Aku pikir James hanya gugup,” ujar Deric seraya berbalik.
“Dan aku pikir kalau kau pantas mati,” ketus James sembari merenggangkan jarak dari Jeremy dan Jonathan.
Tak lama kemudian, Deric dan yang lain segera dibawa menuju lokasi acara yang letaknya di rooftop gedung. Mereka diantar oleh seorang wanita dan juga tiga orang penjaga berseragam hitam, yang kemudian pamit saat Deric dan yang lain mulai memasuki lokasi acara.
Begitu masuk, Deric disuguhkan dengan hamparan rumput hijau dengan aneka bunga yang ditanam dengan rapi di beberapa bagian. Dekorasi tempat ini didominasi oleh bunga mawar putih, juga pita dengan warna senada. Terdapat dua air mancur mungil yang berdiri gagah di sisi kiri dan kanan lokasi. Untuk menambah kesan mewah sekaligus anggun di saat bersamaan, lokasi ini diselimuti oleh kubah transparan.
Deric tersenyum. Raganya maju bersama kursi roda yang diduduki, sedangkan matanya memindai sekeliling dengan manik berbinar. Tak ada orang selain dirinya dan ketiga saudaranya di sini sebab itulah Deric bisa leluasa bergerak mengelilingi ruangan.
Melihat hal itu, James seperti memperoleh kesempatan. Rasa kesalnya yang sudah berada di ubun-ubun ia lampiaskan dengan mendorong kursi roda Deric, lalu menghempaskannya secara tiba-tiba.
Kejadiannya berlangsung secepat kedipan mata. Deric yang masih sibuk mengamati sekeliling seketika terperanjat saat kursi rodanya meluncur dengan cepat. Saat ia menyadari James berdiri di belakangnya dengan wajah penuh kepuasan, kursi rodanya lebih dahulu dipaksa berhenti saat menyentuh kubah yang mengelilingi ruangan. Hal itu membuat tubuhnya terdorong ke depan.
Menyadari dirinya akan menabrak dinding kaca, Deric sontak menahan raganya dengan kedua tangan. Nahas, pria itu harus menerima fakta kalau dahinya membentur dinding kaca dengan lumayan keras meski tubuhnya kembali duduk di kursi roda setelahnya.
“Kau pantas menerima hal itu, Sampah!” pekik James tanpa rasa iba.
“Kau benar-benar ingin membunuh kita, James,” geram Jeremy. Kedua tangannya segera menarik kerah baju adiknya. “Aku sudah memperingatkanmu tadi.”
“Aku tak peduli.” James melepas cengkeraman Jeremy, kemudian mengalihkan pandangan dari sang kakak yang tengah memelototinya.
“Berhenti bersikap seperti anak kecil!” Jonathan secara tiba-tiba melayangkan pukulan ke perut James.
James kontan mengaduh, memegangi perutnya yang seperti tengah dikuras.
“Aku rasa itu terlalu berlebihan,” ujar Deric tanpa menoleh sedikit pun dari pemandangan pantai dan laut yang ia lihat melalui dinding kaca di depannya. “James hanya menunjukkan pemandangan bagus untukku.”
“Aku tidak butuh belas kasihmu,” ketus James.
Tak lama setelahnya, lokasi acara mulai didatangi dengan beberapa orang berseragam, juga Helen yang ingin memastikan persiapan. Dirasa sesuai dengan rancangan, wanita dengan rambut dicepol itu kemudian mendekat ke arah Jeremy, Jonathan dan James.
“Tuan Jacob, upacara pernikahan Anda akan segera dimulai,” ucap Helen sembari memandangi ketiga pria itu secara bergantian. Wanita itu sama sekali tidak mengetahui mana siapa di antara kakak-beradik itu yang bernama Jacob Aberald karena Caraline sama sekali tak menunjukkan foto atau menyebut ciri-ciri fisik dari sang pengantin pria yang akan menyuntingnya.
Deric mendengar jelas perkataan Helen, tetapi ia sama sekali tak beranjak dari tempat kursi roda berpijak. Keberadaannya saat ini terhalang oleh ketiga saudaranya sehingga wanita itu tak melihat sosoknya.
Setelah mengatakan hal itu, Helen pergi ke ruangan Caraline untuk memberi kabar bila pernikahan sudah siap.
“Nona,” panggil Helen, “Tuan Jacob sudah menunggu Anda di lokasi pernikahan.”
Caraline yang berada di depan jendela seketika berbalik. Ponselnya segera turun dari telinga. Wanita itu buru-buru memasukkan benda pipih itu ke dalam tas.
“Nona, soal keluarga Anda ....” Helen segera menghentikan ucapan.
“Tidak ada dari mereka yang akan datang, Helen,” ujar Caraline seraya memutar tubuh untuk berhadapan dengan asistennya.
Helen langsung bisa mencerna siatuasi. Untuk itu, ia tak lagi membahas perihal keluarga, dan memilih untuk memandu Caraline ke tempat acara.
Caraline berhenti tak jauh dari pintu masuk. Ia membiarkan Helen berjalan lebih dahulu. Batinnya kembali ramai oleh persaingan. Namun, wanita itu sudah memikirkan hal ini sejak tadi. Perasaannya condong pada pilihan untuk membatalkan acara pernikahan. Kalaupun keluarga Aberald marah dan menudingnya sudah mempermainkan mereka, ia bisa dengan mudah menutup mulut dan aksi keluarga itu dengan uang dan kekuasaan. Toh, mereka pasti tidak menolak jika mendapat tambahan digit angka nol di rekening.
Untuk masalah pria bernama Deric, Caraline sama sekali tak harus merasa bersalah. Pria cacat itu jelas tidak memiliki kemampuan, harapan, apalagi masa depan. Di dunia yang lebih menghargai uang dan kekuasaan, pria semacam itu laksana produk gagal.
Lagi pula, bagaimana mungkin pria cacat itu bisa bersanding dengan wanita sempurna seperti dirinya? Bahkan wanita biasa saja akan berpikir ribuan kali untuk memiliki suami yang sepanjang hari bermesraan dengan kursi roda.
Benar. Caraline sudah memutuskan untuk mundur. Jadi, tak ada gunanya lagi ia memakai gaun panjang dan menghadiri acara bodoh ini. Sebaiknya, ia pergi dan kembali bergelut dengan pekerjaannya yang jelas-jelas berkontribusi bagi hidupnya.
“Helen ...,” lirih Caraline.
Merasa terpanggil, Helen seketika menoleh ke belakang. Ia bergegas berlari ke arah Caraline untuk menipiskan jarak. “Mari, Nona.”
Anehnya, kaki jenjang Caraline justru melangkah maju dibanding menjauh, padahal baru saja ia menggemakan keputusan untuk membatalkan pernikahan ini. Namun, yang terjadi pada dirinya sungguh di luar dugaan. Saat ini, Caraline tengah berjalan di karpet merah dengan menggenggam sebuah buket bunga mawar putih.
Caraline bisa merasakan nuansa pernikahan yang nyata dari ruangan ini. Dekorasi taman rooftop ini benar-benar sempurna untuknya. Lagi-lagi, ia harus berterima kasih pada Helen. Di depan sana, Caraline mendapati tiga orang pria dari keluarga Aberald tengah berdiri sembari menatapnya. Kursi di belakang dan samping mereka tampak kosong, kecuali satu kursi yang kini diduduki Helen.
Ini gila, batin Caraline saat kakinya terus saja melumat jalan. Barulah saat berada di pertengahan jalan, langkahnya mendadak terhenti. Dari tempatnya sekarang, Caraline bisa melihat pria bernama Jacob Aberald itu berada di altar pernikahan dengan posisi membelakanginya.
Sejujurnya, ini kesempatan terkahir bagi Caraline untuk menghentikan kegilaan ini. Berbalik, lalu pergi dari ruangan ini adalah sesuatu yang harus dirinya lakukan sekarang. Lagi pula, untuk apa ia menghabiskan waktu dengan seorang pria catat tak berguna?
Caraline memutar arah, membelakangi altar pernikahan. Matanya terpejam kuat, sedang kedua tangannya mengangkat rok. Saat kaki kanannya hendak melangkah maju, secara mengejutkan ia mendengar tawa seseorang yang ia kenal. Caraline tercenung sesaat, dan tak lama kemudian netranya kembali terbuka.
Tubuh Caraline kembali menghadap altar. Butuh beberapa detik untuk memastikan dirinya siap. Saat pandangannya tertuju pasa lokasi itu, hal pertama yang ia lihat adalah seorang pria bermata biru yang tengah tersenyum padanya.
“Jacob?” Saat nama itu disebut, Caraline tanpa sadar memegang jantungnya yang berdetak kencang.
Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di ku
“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingi
“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric. Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?” Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona. “Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline. Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya. Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak beg
“Aku yakin kalau James dan Jonathan sudah berusaha menunjukkan kepedulian mereka.” Jeremy menyimpan gelas di meja, lalu berdiri dan mendekat ke hadapan Deric. “Lalu kenapa kau tidak mencobanya?”“Sepatu itu kami dapatkan di toko terbaik di kota ini,” ujar Jonathan berbohong. Siapa saja pasti menduga kalau benda itu ditemukan di tempat sampah atau rongsokan. “Modelnya sangat cocok untuk kakimu yang indah. Bener ‘kan, James?”James lagi-lagi terkekeh. Ia bahkan sampai memegangi perutnya. Setelah tawanya reda, ia berkata, “Tak ada hadiah yang lebih istimewa bagimu selain sepatu ini. Jadi pakailah untuk menghargai pemberian kami.”Deric mengembangkan senyum, kemudian mengeluarkan sepatu itu dari kotak. Seperti dugaannya, benda itu sudah tidak layak pakai. Ada lubang besar di bagian depan laksana mulut menganga yang kelaparan. Ini jauh lebih buruk dibanding dengan kasut miliknya yang ia pakai tad
Caraline mengerjap beberapa kali sebelum tubuhnya bangkit dari posisi tidur. Wanita itu kemudian memijat kepala secara perlahan seraya mengalihkan posisi duduk ke bibir kasur. Ketika penglihatannya kembali ke sedia kala, matanya sontak membola saat melihat kondisi ruangan yang gelap.Mengenyahkan rasa panik, Caraline segera meraih ponsel yang berada di atas nakas meski sebelumnya harus meraba beberapa benda lebih dahulu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat layar telepon genggam itu menyala.“Sudah berapa lama aku tertidur?” Caraline menyipit saat cahaya ponsel menyinari wajahnya yang masih dilingkupi kebingungan.Untuk mengusir gelap, Caraline segera menyalakan listrik dengan bantuan ponselnya. Dalam sekejap, ruangan kembali bermandikan cahaya. Wanita itu kembali berbaring di kasur dengan pandangan yang menatap langit-langit kamar. Saking hening, ia bisa mendengar deru napasnya sendiri.Caraline tenggelam dalam lamunan. Kilasan me
Begitu bunyi ‘ting’ terdengar, Caraline dengan langkah cepat segera keluar dari elevator. Ia bergegas menuju rooftop, kemudian berhenti saat berada di depan pintu.“Aku akan benar-benar melenyapkanmu!” ujar Caraline seraya menekan kata sandi.Saat pintu terbuka, Caraline tak lantas memasuki ruangan. Ia lebih dahulu menstabilkan napas sembari berpikir tentang hal bodoh apa yang baru saja dirinya lakukan. Caraline mengentak lantai dengan kuat saat mulai memasuki ruangan. Kondisi tempat ini cukup gelap sehingga membutuhkan kehati-hatian. Sumber cahaya yang ada hanya berasal dari sinar rembulan dan taburan bintang di langit yang tampak jelas terlihat melalui kubah transparan.Caraline kemudian menekan ponselnya yang sudah tersambung dengan sistem taman rooftop. Tak lama setelahnya, ruangan kembali terang benderang. Wanita itu segera memindai sekeliling sembari membiarkan langkahnya melumat rerumputan hijau.
Caraline menampar pipinya beberapa kali ketika sudah berada di dalam elevator. Parasnya benar-benar sudah semerah kepiting rebus. Ia lantas menjerit sembari menarik rambutnya berkali-kali saking malu dan kesal atas apa yang baru saja terjadi. Bayangkan saja, seorang CEO perusahaan kosmetik dan fashion tampil dengan keadaan memprihatinkan seperti ini, terlebih di hadapan seorang pria asing yang baru saja dikenalnya dua hari lalu.Caraline melumat lantai dengan langkah cepat saat pintu elevator terbuka. Begitu keluar dari lobi, ia segera meraup oksigen dengan rakus. Wanita itu kemudian mendekap dirinya saat udara dingin terasa menusuk hingga tulang.“Kau pasti baik-baik saja,” ujar Deric yang baru saja keluar dari lobi.Caraline terpejam sesaat seiring dengan kepala tangan yang mengeras. Ia sama sekali tidaak berniat untuk menoleh pada Deric. “Berani sekali kau mengikutiku,” ucapnya.“Aku sangat yakin kalau kau baru sa
“Aku juga berjanji,” ujar Deric yang berhasil menarik perhatian Caraline hingga menoleh ke arahnya kembali. “Aku berjanji akan melindungimu dengan semua hal yang kupunya.”Caraline serasa tersengat listrik hingga tubuhnya bergetar hebat ketika mendengar perkataan Deric. Jantungnya laksana akan meledak seiring dengan matanya yang membola. “Ja-jangan bercanda! Itu terdengar sangat tidak masuk akal.”“Dunia memang dipenuhi hal yang tidak masuk akal,” ujar Deric seraya tertawa kecil saat mengingat bahwa Caraline pernah mengatakan hal yang sama.Caraline menoleh dengan raut kesal, lantas berdecak. Pria di sampingnya baru saja mengembalikan kata-katanya saat itu. Menyebalkan sekali.“Lihatlah dirimu lebih dalam!” Caraline berbicara dengan tatapan merendahkan. “Kau bahkan menggantungkan hidupmu di kursi roda. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa percaya dengan kata-katamu