Sepanjang malam, Caraline tak bisa tidur karena terjajah pikirannya sendiri. Menonton film, berjalan-jalan di taman belakang rumah, sampai menamatkan beberapa buku, nyatanya tak berhasil mengundang kantuk. Barulah saat jarum jam menunjuk angka 4 pagi, ia bisa terlelap di sofa, dan terbangun saat sinar matahari mencumbu kesadarannya.
Caraline mengibas rambutnya yang dibiarkan terurai. Wanita itu tengah duduk di ruang kerjanya, ditemani secangkir teh juga beberapa potong kue. Saat pintu diketuk, Caraline mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan.
“Nona Caraline,” ujar Helen yang baru saja memasuki ruangan, “semua persiapan sudah hampir selesai.”
“Hampir?” Caraline meletakkan cangkir teh ke meja. Alisnya sedikit tertekuk. “Apa ada masalah, Helen?”
Helen menggeleng, lalu tersenyum. “Hal yang membuat persiapan ini belum selesai adalah, kedatangan pengantin pria dan ... pengantin wanita dengan gaun pernikahannya.”
Caraline mengerti. Sesudahnya ia bertanya, “Bagaimana dengan keamanannya?”
“Kami sudah melakukan penjagaan super ketat di sekitar Mililine Tower 2, Nona. Daerah dalam radius satu kilometer sudah kami sterilkan. Selain itu, kami sudah menyebar penjaga di seluruh area gedung.”
Caraline mengembus napas panjang. Meski terdengar seperti kabar bagus, tetapi pada kenyatanya berita itu tak bisa menghilangkan perasaan aneh yang berkecamuk di hatinya.
Seolah memahami keraguan di paras Caraline, Helen melanjutkan, “Nona, tenanglah. Aku sudah melakukan yang terbaik untuk mengamankan pernikahan Nona.”
“Baiklah, aku percaya padamu, Helen,” ujar Caraline sembari mengecek jam di pergelangan tangan. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum acara dimulai.
Helen mengangguk, lantas menghubungi seseorang dengan ponselnya. Selagi menunggu suruhannya datang, Helen bertanya, “Apa ... pernikahan ini membebani Anda, Nona? Anda sepertinya berada dalam situasi yang kurang baik sejak kemarin.”
“Aku punya alasan melakukan hal ini,” jawab Caraline seraya mengalihkan pandangan ke arah jendela yang tersiram cahaya mentari.
“Aku sangat memahami hal itu, Nona.” Helen menoleh pada arah pintu sesaat, lantas menatap Caraline kembali. “Sebenarnya, aku ingin Nona menenangkan diri lebih lama lagi. Tapi, sepertinya kita harus bertindak cepat karena penata rias Anda sudah ada di sini.”
“Kalau begitu bersegeralah agar aku bisa terbebas dari situasi aneh ini.”
***
“Si cacat Deric itu benar-benar membuatku muak,” teriak James yang duduk di kursi belakang. Pria berusia 25 tahun itu menjambak rambut, lalu memukul pahanya sendiri.
“Aku benar-benar tidak tahu apa yang dipikirkan wanita bernama Caraline itu,” ujar Jonathan, “kalau memang dia berniat menikah, seharusnya dia memilih pria yang setara, bukan sampah seperti Deric.”
“Kekayaan terkadang membuat pola pikir seseorang menjadi tidak normal,” sahut Jeremy yang berada di kursi kemudi, “tapi lihat sisi baiknya. Dengan tingkah gila wanita itu, perusahaan kita bisa selamat dan pria cacat itu bisa angkat kaki dari rumah kita tanpa paksaan. Ini seperti membunuh dua burung dengan satu batu.”
“Kakak benar.” Jonathan sependapat.
Jeremy menambahkan, “Selain itu, kita punya kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya dari Caraline.”
“Mungkin ini jawaban dari Tuhan kenapa pria cacat itu masih dibiarkan hidup setelah kecelakaan beberapa tahun lalu.” Jonathan terkekeh. “Memelihara sampah itu ternyata ada gunanya.”
“Aku sangat benci mengakuinya sampai-sampai aku ingin memotong lidahku sendiri saat akan mengatakannya. Tapi, saat ini, aku benar-benar iri pada pria cacat itu,” kata James dengan wajah merengut, “si cacat Deric sama sekali tak pantas berada di mobil mewah itu. Satu-satunya kendaraan yang cocok untuknya hanyalah mobil sampah!”
“Oh, bukan.” James menggeleng. “Mobil jenazah adalah yang paling pantas untuknya,” koreksinya kemudian.
“Diamlah, James,” pinta Jeremy seraya mengembus napas panjang. “Dengan terus mengomel, kau tidak akan tiba-tiba berada di dalam mobil mewah itu dan menggantikan posisi si cacat Deric. Lagi pula, apa kau mau fungsi kedua kakimu ditukar dengan kemewahan sesaat?”
“Tak bisakah aku menjadi kaya dan memiliki kaki yang berfungsi sekaligus?” James menyilangkan tangannya di depan dada. “Setidaknya dunia ini bersikap adil padaku walau sesaat.”
“Kau tidak akan mendapat keadilan sebelum rekeningmu penuh dengan uang,” jawab Jeremy. Pria itu lalu berkata lagi, “Jadi, berhentilah main-main dan fokuslah membantu kami mengelola perusahaan kecil peninggalan pria tua itu.”
Pembicaraan ketiga kakak-beradik itu usai setelahnya. Keheningan mendekap hampir di setengah perjalan. James dan Jonathan terlelap di kursi masing-masing, sedang Jeremy fokus menyetir dan mengikuti pergerakan mobil di depannya.
Jeremy mengembus napas panjang. Cengkeraman pada setir menguat. Giginya bergemeletuk seiring rahangnya yang mengeras. Ia benar-benar mengerti bagaimana perasaan James sekarang sebab dirinya pun merasakan hal serupa. Di semua bentuk ketidakadilan di dunia, kenapa harus pria lumpuh semacam Deric yang harus mendapat ini semua? pikirnya.
“Aku harus membuat rencana,” lirih Jeremy dengan senyum bengis.
Di lokasi berbeda, Caraline baru saja selesai dirias.
“Anda benar-benar sempurna, Nona,” puji Helen dengan mata yang tak lepas menilik Caraline dari atas hingga bawah.
Alih-alih tersenyum, Caraline malah mengembus napas panjang. “Helen, tinggalkan aku sendiri. Aku ingin menghubungi seseorang.”
Tanpa banyak penolakan, Helen undur diri seperti yang diminta.
Tinggallah Caraline sendiri di ruangan luas ini. Wajahnya tenggelam dan pandangannya terpusat pada jemari yang saling mengait. Untuk sesaat, keheningan begitu erat mendekap. Hal itu sangat berbanding terbalik dengan keadaan pikirannya yang ramai oleh bisikan, antara meneruskan pilihan atau menghentikan kegilaan.
Caraline mendongak setelah larut dalam lamunan. Hal yang pertama ia lihat adalah pantulan dirinya di dalam cermin. Ia memang menyerahkan semua riasan dan gaun pada Helen, tetapi sepertinya asistennya itu benar-benar tahu apa yang ia butuhkan.
Gaun putih panjang bercorak bunga mawar itu amat cocok dengan tubuh ramping Caraline. Rambutnya dicepol dengan tambahan aksesoris bunga putih yang melingkar di sekeliling rambut. Alih-alih terlihat sederhana, Caraline justru tampil begitu elegan.
“Apa aku ... benar-benar harus melakukan hal ini?”
Caraline berdiri dari duduknya. Bersamaan dengan mata yang terkatup, tubuhnya mulai berlenggok-lenggok. Gaun bagian bawahnya terbang saat kaki jenjangnya melangkah lebar, lalu memutar beberapa kali. Caraline seperti tengah menari, menyampaikan perasaan melalui gerakan indahnya.
Ketika matanya kembali terbuka, tarian Caraline benar-benar berhenti. Wanita itu diam sesaat untuk menstabilkan napas. Tangannya kemudian merogoh sesuatu dari dalam tas. Sebuah kotak merah tua dengan ukiran emas kini berada dalam genggamannya. Caraline lantas membuka kotak itu, lalu mengambil sebuah kalung yang tersimpan di sana.
Caraline kembali duduk di depan meja rias. Ia amati kalung perak dengan liontin kristal putih itu selama beberapa detik. Saat masa lalu akan menariknya, Caraline buru-buru mengenakan perhiasan itu.
“Apakah ini akhir dari hidupku atau justru awal kehidupan yang sesungguhnya?” Caraline bermonolog sembari menatap pantulan dirinya di cermin. Ada secarik senyum yang tercipta di sana.
Caraline menoleh ketika terdengar ketukan pintu. Helen muncul dari celah yang terbuka tak lama setelahnya.
“Maafkan aku karena menggangu waktumu, Nona,” kata Helen, “tapi, aku berharap kalau Nona sudah siap karena Tuan Jacob Aberald sudah tiba di tempat pernikahan.”
Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya meme
Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di ku
“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingi
“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric. Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?” Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona. “Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline. Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya. Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak beg
“Aku yakin kalau James dan Jonathan sudah berusaha menunjukkan kepedulian mereka.” Jeremy menyimpan gelas di meja, lalu berdiri dan mendekat ke hadapan Deric. “Lalu kenapa kau tidak mencobanya?”“Sepatu itu kami dapatkan di toko terbaik di kota ini,” ujar Jonathan berbohong. Siapa saja pasti menduga kalau benda itu ditemukan di tempat sampah atau rongsokan. “Modelnya sangat cocok untuk kakimu yang indah. Bener ‘kan, James?”James lagi-lagi terkekeh. Ia bahkan sampai memegangi perutnya. Setelah tawanya reda, ia berkata, “Tak ada hadiah yang lebih istimewa bagimu selain sepatu ini. Jadi pakailah untuk menghargai pemberian kami.”Deric mengembangkan senyum, kemudian mengeluarkan sepatu itu dari kotak. Seperti dugaannya, benda itu sudah tidak layak pakai. Ada lubang besar di bagian depan laksana mulut menganga yang kelaparan. Ini jauh lebih buruk dibanding dengan kasut miliknya yang ia pakai tad
Caraline mengerjap beberapa kali sebelum tubuhnya bangkit dari posisi tidur. Wanita itu kemudian memijat kepala secara perlahan seraya mengalihkan posisi duduk ke bibir kasur. Ketika penglihatannya kembali ke sedia kala, matanya sontak membola saat melihat kondisi ruangan yang gelap.Mengenyahkan rasa panik, Caraline segera meraih ponsel yang berada di atas nakas meski sebelumnya harus meraba beberapa benda lebih dahulu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat layar telepon genggam itu menyala.“Sudah berapa lama aku tertidur?” Caraline menyipit saat cahaya ponsel menyinari wajahnya yang masih dilingkupi kebingungan.Untuk mengusir gelap, Caraline segera menyalakan listrik dengan bantuan ponselnya. Dalam sekejap, ruangan kembali bermandikan cahaya. Wanita itu kembali berbaring di kasur dengan pandangan yang menatap langit-langit kamar. Saking hening, ia bisa mendengar deru napasnya sendiri.Caraline tenggelam dalam lamunan. Kilasan me
Begitu bunyi ‘ting’ terdengar, Caraline dengan langkah cepat segera keluar dari elevator. Ia bergegas menuju rooftop, kemudian berhenti saat berada di depan pintu.“Aku akan benar-benar melenyapkanmu!” ujar Caraline seraya menekan kata sandi.Saat pintu terbuka, Caraline tak lantas memasuki ruangan. Ia lebih dahulu menstabilkan napas sembari berpikir tentang hal bodoh apa yang baru saja dirinya lakukan. Caraline mengentak lantai dengan kuat saat mulai memasuki ruangan. Kondisi tempat ini cukup gelap sehingga membutuhkan kehati-hatian. Sumber cahaya yang ada hanya berasal dari sinar rembulan dan taburan bintang di langit yang tampak jelas terlihat melalui kubah transparan.Caraline kemudian menekan ponselnya yang sudah tersambung dengan sistem taman rooftop. Tak lama setelahnya, ruangan kembali terang benderang. Wanita itu segera memindai sekeliling sembari membiarkan langkahnya melumat rerumputan hijau.
Caraline menampar pipinya beberapa kali ketika sudah berada di dalam elevator. Parasnya benar-benar sudah semerah kepiting rebus. Ia lantas menjerit sembari menarik rambutnya berkali-kali saking malu dan kesal atas apa yang baru saja terjadi. Bayangkan saja, seorang CEO perusahaan kosmetik dan fashion tampil dengan keadaan memprihatinkan seperti ini, terlebih di hadapan seorang pria asing yang baru saja dikenalnya dua hari lalu.Caraline melumat lantai dengan langkah cepat saat pintu elevator terbuka. Begitu keluar dari lobi, ia segera meraup oksigen dengan rakus. Wanita itu kemudian mendekap dirinya saat udara dingin terasa menusuk hingga tulang.“Kau pasti baik-baik saja,” ujar Deric yang baru saja keluar dari lobi.Caraline terpejam sesaat seiring dengan kepala tangan yang mengeras. Ia sama sekali tidaak berniat untuk menoleh pada Deric. “Berani sekali kau mengikutiku,” ucapnya.“Aku sangat yakin kalau kau baru sa