“Kami sudah menemukan pria yang Anda cari, Nona,” ucap seorang wanita berkacamata yang baru saja memasuki sebuah ruangan. Derap langkahnya memercik suara hingga membuat wanita yang duduk di sofa mengalihkan perhatian dari majalah yang tengah ia baca.
Mendengar hal itu, wanita cantik yang tubuhnya dibalut dress merah tua itu seketika berdiri. Warnanya amat kontras dengan kulitnya yang putih cerah. Balutan busana itu kian mengukuhkan bila seorang Caraline Emilia Wattson adalah sosok yang benar-benar mendekati sempurna.
“Jadi bisakah kita berangkat sekarang?” tanya Caraline yang sudah bersiap dengan tas kecil merahnya. CEO Mimiline Group itu kemudian berjalan menuju luar ruangan dengan langkah lebar.
Helen mengikuti pergerakan Caraline. “Tentu, Nona. Aku sudah menyiapkan semua kebutuhan yang diperlukan. Jadi kita bisa berangkat kapan saja.”
Helen membuka pintu dan membiarkan Caraline keluar lebih dahulu. “Sepertinya, identitas pria itu sengaja dihilangkan, Nona. Hal itulah yang menyebabkan kita kesulitan menemukan keberadaannya selama ini,” jelasnya kemudian.
Pintu elevator terbuka. Caraline dan Helen bergegas masuk.
Saat tujuan telah ditentukan dan pintu tertutup, Helen kembali berbicara, “Menurut informasi terakurat yang kita miliki, pria itu sekarang tinggal di kota Springtown bersama keluarga Aberald.”
“Aberald?” tanya Caraline.
Helen mangangguk, lalu melanjutkan ucapan, “Masih menurut informasi yang bisa dipercaya, perusahaan keluarga mereka yang bergerak di bidang tekstil dan kuliner sedang berada dalam jurang kebangkrutan.”
Caraline bergegas keluar dari elevator begitu pintu terbuka. Para karyawan yang berada di lobi perusahaan seketika membungkuk begitu dirinya melumat jalan. Caraline tak terlalu acuh dengan penghormatan yang diberikan. Saat ini, ia berusaha menenangkan debar jantung yang tiba-tiba berdegup kencang. Bukan karena rindu, tetapi murni karena penasaran, ditambah sedikit bumbu ketegangan.
Sudah hampir lima tahun CEO perusahaan fashion dan kosmetik itu mencari keberadaan pria itu, dan baru hari ini, Caraline mendapat informasi di mana pria itu tinggal. Realita berkata, meski ia memiliki kekuasaan dan relasi yang luas, tetapi tidak serta-merta membuat pencarian itu menjadi mudah.
Saat Caraline keluar dari gedung kantor, para awak media seketika mengerumuninya dengan bersenjatakan bidikan kamera dan sodoran mikrofon. Syukurlah, para petugas keamanan dapat mengantisipasi dengan baik hingga memudahkan dirinya dan Helen memasuki kendaraan.
Caraline memutar bola mata ketika para jurnalis itu merengek agar diberikan akses jalan agar bisa bertanya padanya mengenai sebuah isu yang menjadi buah bibir saat ini. Baru saja Caraline akan menyandarkan punggung ke kursi, jendela mobilnya tiba-tiba saja diketuk keras dari luar.
“Nona Caraline, apa benar kabar kalau Nona dan Diego Fulhert sedang menjalin hubungan asmara?” tanya salah satu jurnalis yang berhasil lolos dari penjagaan.
“Jalan!” perintah Caraline pada sopir. Jujur saja, ia malas membahas sosok pria bernama Diego itu untuk sekarang. Masalahnya, secara sepihak, Diego mengatakan pada salah satu media bila dirinya dan pria itu dalam tahap pendekatan. Sontak saja, hal itu mengundang atensi dari masyarakat. Berbagai artikel mengenai kedekatan mereka pun beredar, dan tak sedikit yang isinya jauh dari kenyataan.
“Nona Caraline, tolong ... komentar Anda,” teriak jurnalis tadi seraya berlari menyusul pergerakan mobil. “Nona Caraline. Tolong ....”
Caraline sedikit simpati pada jurnalis laki-laki itu yang kini jatuh terjerembab. Para penjaga pribadinya langsung menahan pria itu dan membawanya menjauh. Wanita itu akhirnya bisa mendaratkan punggungnya ke kursi dengan tenang. “Kosongkan jadwalku untuk besok, Helen,” ujarnya tanpa menoleh sedikit pun pada asistennya.
Wanita berusia 28 tahun itu terdiam sesaat. Ia kemudian mengecek jadwal Caraline melalui ponsel, menggulir layar benda pipih itu beberapa kali, lalu mulai menggigit bibirnya pelan. “Nona,” panggilnya ragu.
“Kau boleh mengatakan alasan apa pun selama itu masuk akal untuk didengar,” kata Caraline lagi. Ia membuka gawasi, lantas menutupnya kembali saat melihat nama Diego terpampang di layar ponsel.
“Ba-baik, Nona.” Helen dengan terpaksa menjawab. Sekarang, ia punya pekerjaan rumah untuk mengatur jadwal ulang Caraline dari awal.
Pukul sepuluh pagi, mobil Caraline menepi di depan sebuah rumah bergaya Victoria. Wanita itu bergegas keluar, lalu melahap jalan dengan langkah cepat. “Helen, kau tunggu di sini. Aku akan menyelesaikan masalahku sendiri.”
Caraline merasa tak perlu melihat bagaimana rekasi Helen. Saat berada di depan pintu rumah, ia segera memijat bel beberapa kali. Saat benda itu terbuka dan menampilkan seorang maid, ia langsung berkata, “Aku Caraline Emelia Wattson ingin bertemu dengan seseorang di rumah ini. Antar aku dan jangan buang waktuku lebih lama.”
“Mo-mohon maaf, Nona. Tapi aku diperintahkan untuk tidak membiarkan seorang tamu pun masuk. Tuan Jeremy dan yang lain tengah mendiskusikan sesuatu yang penting di dalam.”
Caraline mencebik. “Kau bisa bekerja di tempatku kalau tuanmu memecatmu nanti.”
Maid itu sontak menganga, lalu tak lama kemudian mengangguk. “Mari ... ikuti aku, Nona.”
Di dalam ruangan keluarga Aberald, tiga orang pria tengah duduk saling berhadapan. Di atas meja, terdapat beberapa tumpukan map dalam keadaan berserakan.
“Kalau dalam waktu satu minggu kita belum juga mendapat sepuluh juta dolar, sudah dipastikan kalau kita akan tamat,” ujar Jeremy, anak tertua dari keluarga Aberald. Helaan napasnya terdengar putus asa.
“Bagaimana dengan meminjam pada bank?” Jonathan memberi saran.
“Itu bukan ide yang bagus, Jonathan.” Jeremy menolak. Beberapa kali pria itu menarik rambut, kemudian menyisirnya dengan jari.
“Aku pikir kita bisa meminjam pada rekan bisnis kita,” ujar James, pria termuda di antara mereka bertiga. Berbeda dengan saudaranya yang terlihat bingung, pria berambut cokelat itu tampak tenang dengan sesekali memainkan ponsel.
“James, bisakah kau lebih serius?” Jeremy geram. “Ini menyangkut hidup dan mati keluarga kita. Simpan ponselmu sekarang atau aku buang ke tempat sampah!”
James mendengkus kesal. Tanpa banyak bicara, ia menyimpan gawainya ke saku. “Apa ideku tidak bisa dipertimbangkan, Kak Jeremy? Aku pikir di antara rekan bisnis kita pasti ada yang bersedia membantu. Bukankah hubungan kita dengan mereka terjalin dengan baik.”
“Aku dan Kak Jeremy sudah mencobanya, James,” sahut Jonathan, “tapi tak ada siapa pun yang bersedia membantu.”
“Kau harus tahu James, kalau bisnis itu sama kotornya dengan politik. Segala sesuatu yang berhubungan dengan uang dan kekuasaan tak akan bisa diraih hanya bermodalkan kebaikan dan kejujuran.” Jeremy menimpali. “Tak ada teman dan musuh abadi dalam politik, begitupun dalam bisnis, yang ada hanya kerja sama untuk saling meraih keuntungan. Jika orang lain tak ingin membantu kita, sama saja mereka melihat kalau kita tak bisa lagi mendatangkan keuntungan untuk mereka.”
“Menyebalkan sekali,” ujar James.
Setiap kali memikirkan kondisi perusahaan, Jeremy serasa akan meledak menjadi kepingan kecil. Sebulan ke belakang, ia seringkali begadang untuk menganalisis laporan. Namun, semua usahanya tidak membuahkan hasil. Saat Jeremy merasa kalau dirinya gagal, ia melihat seorang maid mendekat ke tempat diskusi. Amarahnya langsung saja tersulut.
“Apa kau gila?” murka Jeremy, “bukankah kau sudah kusuruh untuk tidak mendekat ke ruangan ini sebelum kuperintah?”
Jonathan dan James ikut menatap tak suka. Saat keduanya akan mengusir, maid itu malah lebih dahulu berbicara.
“Ma-maaf, Tuan,” jawab maid itu, “ada Nona Caraline yang ingin bertemu dengan Tuan.”
“Caraline?” Kening Jeremy berkerut. Seingatnya, ia tak punya janji dengan seseorang yang bernama Caraline. Memiliki teman yang bernama Caraline pun tidak. Apa maid itu bodoh? Atau malah sedang menguji kesabarannya?
Jeremy menoleh pada dua adiknya, sedikit banyaknya berharap mereka memberi sebuah jawaban. Namun, hingga beberapa detik berlalu, mulut Jonathan dan James masih terkatup.
Tunggu. Jeremy mengingat seseorang yang bernama Caraline. Akan tetapi, apa mungkin yang orang yang mengunjunginya sama dengan sosok yang ada di kepalanya? Ini sangat tidak masuk akal.
“Biarkan aku membantumu mengingatnya.” Caraline tiba-tiba muncul. “Aku Caraline Emilia Wattson, CEO Mimiline Group.”
Saat melihat wanita menawan di depannya, barulah Jeremy, Jonathan dan James tahu siapa yang dimaksud. Untuk beberapa detik, kakak-beradik itu hanya bisa saling berpandangan.
“Nona Caraline,” ujar Jeremy seraya bangkit dari kursi. “Ini sebuah kehormatan bagi keluarga Aberald bisa bertemu dengan Anda secara langsung. Silakan duduk.”
Saat Caraline mendaratkan tubuhnya di kursi yang berhadap-hadapan langsung dengan Jeremy, maid itu segera membersihkan kekacauan di sekitar meja, lalu pergi setelahnya.
“Maafkan ketidaksopanan kami, Nona. Kami tidak tahu kalau Nona akan berkunjung.” Jeremy menambahkan. “Apa kami membuat Anda tersinggung?”
“Aku tidak ingin berbasa-basi.” Caraline mengabaikan sopan santun Jeremy. “Siapa di antara kalian yang bernama Jacob Aberald?” tanya Caraline langsung ke inti. “Aku ingin dia menikahiku besok.”
“Aku ingin dia menikahiku besok.” Perkataan tersebut meluncur mulus dari mulut Caraline laksana balon udara yang menggapai kebebasan dengan terbang ke langit setelah dicengkeram jemari anak-anak. Di sisi lain, wanita itu tak sepenuhnya tenang setelah berkata demikian. Jauh di lubuk hatinya, ia merasakan bimbang dan ketakutan di saat bersamaan. Ketiga pria di depannya mungkin akan menganggapnya gila karena tindakannya barusan. “Siapa di antara kalian yang bernama Jacob Aberald?” ulang Caraline. Caraline benci saat menyebut nama pria itu. Walau tak pernah sekalipun bertemu, ia menganggap bila pria itu sudah memenjarakannya pada sebuah takdir menyebalkan selama lima tahun terakhir, atau mungkin hingga beberapa tahun ke depan. Di lain hal, sebagai pemimpin dari keluarga Aberald, Jeremy tak bermaksud berperilaku tidak sopan karena membiarkan wanita kaya sekelas Caraline mengulang pertanyaannya hingga dua kali. Hanya saja, saat ini, fokusnya lebih dit
Saat ini, Caraline benar-benar merasa dipecundangi realita, disiksa oleh fakta dengan kenyataan bahwa sosok yang selama ini ia cari tak lebih dari pria lumpuh di kursi roda. Oh, Tuhan, rasanya Caraline ingin sekali bertukar peran dengan vas bunga di atas meja. Harga dirinya benar-benar lenyap ditelan peristiwa tak terduga. Setelahnya, Caraline dengan rakus menghirup oksigen. Ia seakan tak rela bila pria bernama Jacob itu mengambil jatah udara miliknya. Kedua tangannya tanpa sadar meremas ujung rok. Caraline benar-benar syok. Fakta ini membuat dirinya tertohok, laksana sekujur tubuhnya mati rasa karena dilempar ke tembok. Tuhan, apa yang sebenarnya Kau rencanakan? batin Caraline. “Aku tahu ini sangat berat bagi Nona,” ujar Jeremy dengan seuntai senyum. Ia bersorak penuh kepuasaan di dalam hati. Ini balasan atas tingkah kurang ajar Caraline. “Kami sudah memperingatkan Nona sejak awal,” lanjutnya. “Kami akan dengan senang ha
“Baiklah, Nona. Tapi aku akan melakukannya jika Anda menerima syarat yang aku ajukan,” ujar Deric.“Katakan,” sahut Caraline seraya kembali duduk. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sedang bibirnya menggurat senyum sinis. Oh, ayolah, saking pusing dan tertekan dirinya tadi, ia sampai lupa pada fakta kalau siapa pun akan melakukan hal serupa.“Apa yang kau inginkan?” Caraline turut menyilangkan kaki. Ia bisa menebak bila syarat yang diajukan Deric tak jauh dari hal berbau uang. Lagi pula ini kesempatan bagus bagi pria cacat itu untuk meraup keuntungan. Selain kemalangan dan hinaan, pria itu tak memiliki apa pun lagi, bukan?“Nona Caraline, aku mohon jangan dengarkan pria cacat itu.” Jeremy berkata. “Aku benar-benar meminta maaf atas kelancangannya. Anda bisa—”“Diamlah!” sela Caraline, “aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.”Rahang Jeremy men
Kondisi Caraline bisa dibilang tak baik-baik saja semenjak kepulangannya dari kediaman keluarga Aberald. Hampir sepanjang siang, ia mengurung diri ruangan kerjanya, tak ingin diganggu oleh siapa pun. Aktivitasnya hanya duduk di depan komputer, dan kian larut dalam lamunan. Caraline sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan. Oleh karena itu, semua hal yang bersinggungan dengan perusahaan diserahkan pada Helen.Pukul delapan malam lebih, Caraline masih berada di ruangan kerjanya. Wanita itu sesekali memijat kepala yang teramat pening. Hal itu terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh tindakan gilanya hari ini, tetapi karena perutnya yang memang belum diisi sejak siang. Saat Caraline hendak menghubungi Helen, asistennya itu lebih dahulu muncul dari balik pintu.“Nona Caraline, aku membawakan Anda makan malam.” Helen menaruh nampan berisi satu mangkuk sup ayam panas dan segelas air putih di meja.Caraline yang berdiri di depan jendela seketika
Tubuh Deric mendarat di tanah tanpa bisa dicegah. Pria itu berusaha bangkit dengan memfokuskankan kekuatan pada kedua tangan. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” ucapnya.“Tak ada yang mengingankan hal itu darimu,” sahut Jonathan tanpa rasa bersalah sedikit pun.Wajah Deric kembali menempel ke tanah saat tangannya gagal menjalankan tugas. Meski begitu, ia tak menyerah untuk mencoba hal sama berulang kali. Hal ini bukanlah masalah besar baginya. Ia sudah pernah mengalami perundungan yang lebih berat dari sekadar ditendang dari teras dan berakhir dengan mencumbu tanah.Pernah suatu waktu Jonathan dan James mengikatnya di pohon besar di belakang rumah selama semalaman. Keduanya melarang siapa pun untuk melepas ikatan. Barulah saat pagi menjelang, kakak-beradik itu membiarkan Deric pergi dengan tubuh lemas setelah puas tertawa cekikikan.Tak sampai di sana, beberapa bulan lalu, tepatnya saat keluarga Aberald mendapat undangan dari s
Sepanjang malam, Caraline tak bisa tidur karena terjajah pikirannya sendiri. Menonton film, berjalan-jalan di taman belakang rumah, sampai menamatkan beberapa buku, nyatanya tak berhasil mengundang kantuk. Barulah saat jarum jam menunjuk angka 4 pagi, ia bisa terlelap di sofa, dan terbangun saat sinar matahari mencumbu kesadarannya.Caraline mengibas rambutnya yang dibiarkan terurai. Wanita itu tengah duduk di ruang kerjanya, ditemani secangkir teh juga beberapa potong kue. Saat pintu diketuk, Caraline mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan.“Nona Caraline,” ujar Helen yang baru saja memasuki ruangan, “semua persiapan sudah hampir selesai.”“Hampir?” Caraline meletakkan cangkir teh ke meja. Alisnya sedikit tertekuk. “Apa ada masalah, Helen?”Helen menggeleng, lalu tersenyum. “Hal yang membuat persiapan ini belum selesai adalah, kedatangan pengantin pria dan ... pengantin wanita
Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya meme
Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di ku