Kondisi Caraline bisa dibilang tak baik-baik saja semenjak kepulangannya dari kediaman keluarga Aberald. Hampir sepanjang siang, ia mengurung diri ruangan kerjanya, tak ingin diganggu oleh siapa pun. Aktivitasnya hanya duduk di depan komputer, dan kian larut dalam lamunan. Caraline sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan. Oleh karena itu, semua hal yang bersinggungan dengan perusahaan diserahkan pada Helen.
Pukul delapan malam lebih, Caraline masih berada di ruangan kerjanya. Wanita itu sesekali memijat kepala yang teramat pening. Hal itu terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh tindakan gilanya hari ini, tetapi karena perutnya yang memang belum diisi sejak siang. Saat Caraline hendak menghubungi Helen, asistennya itu lebih dahulu muncul dari balik pintu.
“Nona Caraline, aku membawakan Anda makan malam.” Helen menaruh nampan berisi satu mangkuk sup ayam panas dan segelas air putih di meja.
Caraline yang berdiri di depan jendela seketika berbalik. Tatapannya langsung tertuju pada makanan di meja. Aroma sup itu menguar ke sekeliling ruangan. “Aku tidak kalau kau bisa membaca pikiranku, Helen.”
Helen mundur beberapa langkah saat Caraline duduk di sofa. “Aku sudah bertahun-tahun bekerja dengan Nona. Jadi, kupikir aku sedikit tahu dengan kebiasaan Nona.”
Caraline mengukir senyum tipis. Apa yang dikatakan Helen adalah kebenaran. Wanita berkacamata itu sudah bersamanya sejak perusahaan yang ia bangun masih menyewa sebuah ruko kecil di pinggiran kota. Namun, ia merasa kalau dirinya adalah partner kerja yang buruk karena sampai saat ini ia bahkan tidak tahu di mana Helen tinggal.
“Nona, aku sudah mengatur ulang jadwal Anda,” kata Helen di keheningan yang mendekap seisi ruangan, “apa yang harus aku siapkan untuk kegiatan Anda besok?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Caraline tiba-tiba tersedak. Dengan segera, ia meneguk minuman hingga tandas. Wanita itu lantas memukul pelan dadanya sendiri, lalu menyandarkan punggung ke kursi. Mengingat hari esok, sup lezat itu jadi terlihat seperti sampah.
“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Helen sembari merogoh ponselnya di dalam saku rok. “Aku akan menghubungi dokter dengan segera.”
“Helen.” Caraline memberi kode dengan telapak tangan.
Helen secara perlahan menjauhkan gawai dari telinga. “Iya, Nona.”
Caraline mengembus napas panjang seraya berdiri dari tempatnya duduk. Pandangannya seketika lurus ke arah depan, tetapi pikirannya terbang ke masa pertemuan dengan sosok pria menawan yang takdirnya terikat di kursi roda tadi. Orang bernama Deric itu benar-benar menghantui pikirannya sepanjang waktu. Semakin berusaha dienyahkan, semakin kuat pula pria itu menetap dalam ingatan.
“Nona Caraline,” ujar Helen dengan mimik khawatir.
Begitu Caraline sadar dari lamunan, ia refleks menggeleng lemah, memusatkan penglihatan pada Helen, lalu menyugar rambutnya seolah tak ada hal berat yang tengah ia pikirkan. “Aku ... akan menikah besok, Helen,” ujarnya dengan embusan napas berat.
“No-nona ... apa yang baru saja Anda katakan?” tanya Helen terbata. Meski raganya mematung karena terkejut, otaknya bekerja dengan cepat untuk menyimpulkan sesuatu dari perkataan Caraline barusan. Senyumnya mengembang begitu menemukan sebuah jawaban. “Aku tidak tahu jika hubungan Nona dan Tuan Diego sudah sedekat itu. Aku turut bahagia mendengarnya. Apa yang bisa—”
“Kau salah, Helen.” Caraline beranjak dari sofa, kemudian melangkah menuju balkon. Angin malam seketika menari di surainya begitu pintu terbuka.
Helen mengikuti langkah Caraline. “Jadi, dengan siapa Nona akan menikah?”
“A-aku ... akan menikah dengan pria yang akui temui di keluarga Aberald tadi. Dia Jacob Aberald yang selama ini aku cari,” ungkap Caraline. Suaranya gemetar dan tertahan di saat bersamaan.
Helen mundur seketika. Matanya yang terhalang kacamata sontak melebar hingga batas normal. Kabar ini bukan hanya membuatnya terkejut, tetapi juga menghadirkan rasa takut. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Apa ... yang harus aku persiapkan untuk pernikahan Anda, Nona?” Dibanding kian memperkeruh keadaan Caraline, Helen lebih memilih membantu dengan caranya sendiri.
Helen menyadari bila hubungannya dengan caraline hanya sebatas rekan kerja. Untuk itu, ia berusaha tak ikut campur dengan masalah privasi Caraline meski sebenarnya ia ingin bisa membantu sebagai seorang teman.
Caraline memeluk dirinya sendiri. Saat angin malam mengganas, ia kembali masuk ke ruangan. Helen ikut melakukan aksi serupa.
“Helen, aku tak ingin pernikahanku sampai tersebar ke media.” Caraline mewanti-wanti. “Jadi, persiapkan penjagaan ketat di sekitar gedung Mililine Tower 2. Untuk detailnya, aku akan mengirimimu pesan.”
“Ba-baik, Nona.”
Caraline meraih tasnya di atas meja kerja, lalu menggerus lantai ruangan dengan terburu-buru. Saat mendapati Helen membuntuti, Caraline segera berhenti, kemudian berujar, “Jangan ikuti aku. Aku harus mengunjungi seseorang secara pribadi.”
***
Pukul tujuh pagi, kamar James tiba-tiba dimasuki Jeremy dan Jonathan secara paksa. Kedua pria itu sudah rapi dengan setelan jas hitam. Sementara itu, si pemilik ruangan masih berusaha membawa dirinya ke alam nyata. Setengah tubuhnya bahkan masih berada di dalam selimut.
“James, cepatlah bersiap! Jangan sampai aku menyeretmu ke kamar mandi!” Jeremy menggeleng saat melihat keadaan James yang masih berada di antara alam mimpi dan nyata.
“Si cacat Deric itu benar-benar membuat hidupku hancur,” ucap James seraya bangkit dari kasur. Matanya memelotot bak akan melahap orang hidup-hidup. Saat hendak berjalan ke kamar mandi, jempol kakinya menabrak kaki meja. “Sial! Kuharap pria itu lenyap selamanya!”
James melompat-lompat dengan satu kaki, lalu berkata lagi, “Kenapa aku harus bangun sepagi ini hanya untuk mendatangi acara tak berguna itu? Bisakah aku tidur lagi dan melanjutkan mimpiku yang terputus karena ketukan kasar kalian di pintu kamarku?”
“Diamlah!” Jonathan setengah membentak. “Kau bisa lampiaskan amarahmu langsung pada orangnya setelah kau keluar dengan setelan rapi. Aku tak ingin mendengar ocehanmu sepagi ini.”
Saat kedua kakaknya beranjak pergi, James segera masuk ke kamar mandi dengan membanting pintu keras-keras. Di dalam guyuran air, pria itu terus memaki Deric seakan jika hal itu tak dilakukannya ia akan mati.
Sementara itu, Deric baru saja tiba di teras rumah saat melihat Jeremy dan Jonathan baru keluar dari pintu utama. Sejenak pandangan mereka betemu, tetapi ia memilih memutus kontak lebih dahulu, dan menjadikan pagar rumah sebagai pelarian.
“Jangan bercanda!” pekik Jeremy ketika melihat penampilan Deric. Amarahnya tiba-tiba tersulut, tetapi dengan cepat ia kendalikan. “Apa kau bermaksud menghina keluarga Aberald dengan berpakaian seperti gelandangan? Oh, ayolah, cucian kotorku bahkan lebih rapi dibandingkan dengan pakaian yang kau kenakan. Tak bisakah kau bercermin sebelum kau menujukkan wajah penuh kesialanmu pada kami?”
Mendapat penilaian dari Jeremy, Deric segera memeriksa penampilannya. “Butuh waktu setengah jam bagiku untuk menemukan pakaian yang layak,” ujarnya, “apa aku terlihat buruk?”
“Kau dan keburukan itu ibarat sepasang saudara kembar,” ujar Jonathan, “kau lahir dan hidup hanya untuk menerima keburukan.”
“Syukurlah, hari ini aku masih jadi diriku sendiri,” sahut Deric.
“Kau selalu saja membuatku muak!” umpat Jonathan seraya menendang bagian belakang kursi roda Deric.
Kejadiannya amat singkat seperti satu kedipan mata. Tanpa sempat dicegah, Deric sudah tengkurap di tanah dengan posisi tubuh yang tertindih kursi rodanya sendiri.
Tubuh Deric mendarat di tanah tanpa bisa dicegah. Pria itu berusaha bangkit dengan memfokuskankan kekuatan pada kedua tangan. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” ucapnya.“Tak ada yang mengingankan hal itu darimu,” sahut Jonathan tanpa rasa bersalah sedikit pun.Wajah Deric kembali menempel ke tanah saat tangannya gagal menjalankan tugas. Meski begitu, ia tak menyerah untuk mencoba hal sama berulang kali. Hal ini bukanlah masalah besar baginya. Ia sudah pernah mengalami perundungan yang lebih berat dari sekadar ditendang dari teras dan berakhir dengan mencumbu tanah.Pernah suatu waktu Jonathan dan James mengikatnya di pohon besar di belakang rumah selama semalaman. Keduanya melarang siapa pun untuk melepas ikatan. Barulah saat pagi menjelang, kakak-beradik itu membiarkan Deric pergi dengan tubuh lemas setelah puas tertawa cekikikan.Tak sampai di sana, beberapa bulan lalu, tepatnya saat keluarga Aberald mendapat undangan dari s
Sepanjang malam, Caraline tak bisa tidur karena terjajah pikirannya sendiri. Menonton film, berjalan-jalan di taman belakang rumah, sampai menamatkan beberapa buku, nyatanya tak berhasil mengundang kantuk. Barulah saat jarum jam menunjuk angka 4 pagi, ia bisa terlelap di sofa, dan terbangun saat sinar matahari mencumbu kesadarannya.Caraline mengibas rambutnya yang dibiarkan terurai. Wanita itu tengah duduk di ruang kerjanya, ditemani secangkir teh juga beberapa potong kue. Saat pintu diketuk, Caraline mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan.“Nona Caraline,” ujar Helen yang baru saja memasuki ruangan, “semua persiapan sudah hampir selesai.”“Hampir?” Caraline meletakkan cangkir teh ke meja. Alisnya sedikit tertekuk. “Apa ada masalah, Helen?”Helen menggeleng, lalu tersenyum. “Hal yang membuat persiapan ini belum selesai adalah, kedatangan pengantin pria dan ... pengantin wanita
Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya meme
Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di ku
“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingi
“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric. Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?” Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona. “Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline. Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya. Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak beg
“Aku yakin kalau James dan Jonathan sudah berusaha menunjukkan kepedulian mereka.” Jeremy menyimpan gelas di meja, lalu berdiri dan mendekat ke hadapan Deric. “Lalu kenapa kau tidak mencobanya?”“Sepatu itu kami dapatkan di toko terbaik di kota ini,” ujar Jonathan berbohong. Siapa saja pasti menduga kalau benda itu ditemukan di tempat sampah atau rongsokan. “Modelnya sangat cocok untuk kakimu yang indah. Bener ‘kan, James?”James lagi-lagi terkekeh. Ia bahkan sampai memegangi perutnya. Setelah tawanya reda, ia berkata, “Tak ada hadiah yang lebih istimewa bagimu selain sepatu ini. Jadi pakailah untuk menghargai pemberian kami.”Deric mengembangkan senyum, kemudian mengeluarkan sepatu itu dari kotak. Seperti dugaannya, benda itu sudah tidak layak pakai. Ada lubang besar di bagian depan laksana mulut menganga yang kelaparan. Ini jauh lebih buruk dibanding dengan kasut miliknya yang ia pakai tad
Caraline mengerjap beberapa kali sebelum tubuhnya bangkit dari posisi tidur. Wanita itu kemudian memijat kepala secara perlahan seraya mengalihkan posisi duduk ke bibir kasur. Ketika penglihatannya kembali ke sedia kala, matanya sontak membola saat melihat kondisi ruangan yang gelap.Mengenyahkan rasa panik, Caraline segera meraih ponsel yang berada di atas nakas meski sebelumnya harus meraba beberapa benda lebih dahulu. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam saat layar telepon genggam itu menyala.“Sudah berapa lama aku tertidur?” Caraline menyipit saat cahaya ponsel menyinari wajahnya yang masih dilingkupi kebingungan.Untuk mengusir gelap, Caraline segera menyalakan listrik dengan bantuan ponselnya. Dalam sekejap, ruangan kembali bermandikan cahaya. Wanita itu kembali berbaring di kasur dengan pandangan yang menatap langit-langit kamar. Saking hening, ia bisa mendengar deru napasnya sendiri.Caraline tenggelam dalam lamunan. Kilasan me