“Baiklah, Nona. Tapi aku akan melakukannya jika Anda menerima syarat yang aku ajukan,” ujar Deric.
“Katakan,” sahut Caraline seraya kembali duduk. Kedua tangannya menyilang di depan dada, sedang bibirnya menggurat senyum sinis. Oh, ayolah, saking pusing dan tertekan dirinya tadi, ia sampai lupa pada fakta kalau siapa pun akan melakukan hal serupa.
“Apa yang kau inginkan?” Caraline turut menyilangkan kaki. Ia bisa menebak bila syarat yang diajukan Deric tak jauh dari hal berbau uang. Lagi pula ini kesempatan bagus bagi pria cacat itu untuk meraup keuntungan. Selain kemalangan dan hinaan, pria itu tak memiliki apa pun lagi, bukan?
“Nona Caraline, aku mohon jangan dengarkan pria cacat itu.” Jeremy berkata. “Aku benar-benar meminta maaf atas kelancangannya. Anda bisa—”
“Diamlah!” sela Caraline, “aku tak ingin mendengar apa pun lagi dari mulutmu.”
Rahang Jeremy mendadak mengeras begitu mendengarnya. Penawarannya benar-benar tak diacuhkan.
“Aku hanya mengajukan satu syarat, Nona,” ucap Deric, “perusahaan ketiga kakakku saat ini tengah berada di ambang kebangkrutan. Setidaknya dibutuhkan dana sekitar sepuluh juta dolar agar kondisi perusahaan kembali stabil.”
Tepat setelah Deric berkata demikian, baik Jeremy, Jonathan maupun James seketika menoleh padanya. Wajah mereka sukses dihantam keterkejutan yang sangat kentara. Bagaimana mungkin pria lumpuh itu tahu?
“Jika Anda mau membantu perusahaan ketiga kakakku, maka aku akan setuju untuk menikah dengan Anda,” lanjut Deric.
Caraline pikir pria bernama Deric itu sedikit tak waras. Kenapa pria itu harus menolong ketiga saudaranya yang sudah jelas membencinya? Tak bisakah Deric berpikir untuk dirinya sendiri?
Di lain hal, Jeremy sangat gamang atas hal yang terjadi. Di satu sisi, ia memang membutuhkan dana sebesar itu untuk menyelamatkan perusahaan dan hidup keluarganya. Akan tetapi, membiarkan pria cacat itu bersanding dengan wanita sesempurna Caraline, ditambah dirinya harus menerima belas kasihan Deric, sama saja itu melucuti harga dirinya dengan terang-terangan, terlebih penawarannya pada Caraline tak bebuah jawaban, apalagi persetujuan. Adakah hukuman yang lebih mengerikan dari hal ini?
“Aku setuju,” jawab Caraline enteng, “ apa ada lagi yang kau inginkan?”
“Aku rasa itu lebih dari cukup,” balas Deric, “dengan hal itu aku merasa sedikit berkontribusi pada keluarga Aberald. Selain itu, aku tak ingin kalau ketiga kakakku frustrasi karena masalah ini. Berangkat dari hal itu, aku ingin sedikit memberi hiburan, meski ini tidak sebanding dengan hiburan yang James berikan pada beberapa gadis dengan uang perusahaan beberapa waktu lalu.”
James langsung pucat saat mendengarnya, terlebih saat Jeremy dan Jonathan menatap dengan sorot menyelidik. James mati kutu. Dari mana pria lumpuh itu tahu? Bisakah ia mengelak?
“Baiklah, semua itu akan langsung diurus oleh asistenku. Cukup berikan nomor rekening kalian saat bertemu dengannya di depan rumah.” Caraline kemudian berdiri. “Aku tidak punya urusan lagi di sini. Sebelum pergi, aku hanya ingin memperingatkan kalian kalau aku tak ingin kejadian ini sampai tersebar ke media. Dengan kata lain, kalian harus tutup mulut.”
Caraline mulai melangkah, tetapi kembali berhenti saat teringat sesuatu. “Aku lupa sesuatu. Semua persiapan pernikahan akan aku siapkan. Kalian hanya perlu datang ke tempat yang aku sebutkan dan ikuti arahanku setelahnya.”
Setelah berkata demikian, Caraline segera menggilas lantai dengan langkah lebar. Ia sempat melirik Deric lewat ekor mata sebelum akhirnya benar-benar menjauh dari ruangan. Setibanya di luar, ia mereguk oksigen dengan tamak, seolah baru saja tenggelam di lautan dalam.
“Apa Anda baik-baik saja, Nona Caraline?” tanya Helen.
Tepat setelah Helen selesai bicara, Jeremy, Jonathan dan James muncul dari balik pintu.
“Helen, segera transfer uang sepuluh juta dolar pada pria ini,” ujar Caraline seraya menunjuk Jeremy.
“Nona.” Suara Helen agak meninggi saking tak kuasa menerima keterkejutan.
“Lakukan dengan cepat, dan segera bawa aku pergi dari sini!” perintah Caraline. Saat tubuhnya kembali mendarat di kursi mobil, ia kembali berujar, “Ini hari yang paling buruk bagiku. Pria yang kucari selama ini nyatanya pria cacat, dan besok aku harus menikah dengannya. Aku harap Deric mati diterkam kursi rodanya sendiri, atau aku tertidur dan baru terbangun saat lusa,” racaunya.
Ingin memastikan ini nyata atau mimpi, Caraline menampar pipinya sendiri. “Ini sakit dan nyata. Sialan!”
Setelahnya, Caraline memijat kepalanya yang berdenyut. Saat menoleh ke samping, Helen tengah berjalan ke arahnya dengan tergesa-gesa, diikuti oleh tiga pria dari keluarga Aberald.
“Nona, aku sudah melakukan apa yang Anda minta,” ujar Helen begitu tubuhnya ikut mendarat di kursi mobil. Ketika melihat tanda merah di pipi Caraline, wanita itu berkata dengan nada khawatir, “Nona, pipi Anda ....”
“Diamlah dan segera bawa aku pergi dari situasi mengerikan ini!” Caraline memerintah.
“Ba-baik, Nona.” Helen kontan memberi instruksi pada sopir. Saat kendaraan mulai berjalan, ia ikut menyandarkan punggung ke kursi. Caraline sedang dalam mood tak baik, dan itu tandanya ia tak boleh banyak berbicara.
Setelah kepergian Caraline, kakak-beradik keluarga Aberald segera mengerumuni Deric bak pemangsa yang siap membantai buruan.
“Apa yang sebenarnya telah kau lakukan, Sampah!” bentak Jonathan seraya menarik kerah baju Deric, bersiap melayangkan pukulan.
“Turunkan tanganmu, Jonathan!” perintah Jeremy, “jangan buat wajahnya cacat seperti kakinya. Bagaimanapun juga, kita harus membawanya esok hari sesuai dengan perkataan wanita itu.”
Setelahnya, Jeremy memijat keningnya agak lama. Matanya seketika terkatup saat kilasan memori beberapa menit lalu terulang dalam benak. Sungguh, kalau keadaan tidak memaksa, ia tak akan menghalangi Jonathan untuk mengurus pria cacat itu.
Jonathan segera melepas cengkeraman dan menurunkan tangannya. Meski begitu, tatapannya masih menyorotkan rasa jijik pada Deric. Pria itu kemudian melempar tubuhnya ke kursi yang tak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Apa kau sadar apa yang sudah kau lakukan?” tanya Jeremy sembari menatap Deric dengan penuh kegeraman.
Deric menjawab dengan penuh ketenangan, “Aku hanya berusaha untuk berakting dengan baik. Bukankah kita sedang beradu peran dalam suatu naskah cerita? Harus kuakui kalau penulis naskah dan wanita itu memiliki kualitas yang baik. Aku hampir saja menganggap hal ini sungguhan.”
Jawaban Deric benar-benar berhasil menyulut amarah Jeremy. Wajahnya sampai semerah kepiting rebus, dan kepalan tangannya menjadi sekeras batu karang. Perkataan pria catat itu benar-benar tak masuk akal bagi Jeremy. Tak tahukah kalau dirinya berusaha mati-matian untuk menyelamatkan wajah keluarga Aberal di depan Caraline?
“Tak bisakah kau sadar akan posisimu di dunia ini!” pekik Jeremy.
Deric mengulum senyum tipis. “Apa yang salah dengan jawabanku?”
“Kau!” Jeremy benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Tanpa ampun, ia melayangkan tamparan keras pada pipi Deric. Suara kulit bertemu kulit itu amatlah nyaring sehingga semua orang yang ada di ruangan mendadak menghentikan aktivitas tanpa dikomando.
Jeremy sepertinya sudah lupa perkataannya pada Jonathan tadi. Amarah memaksanya untuk menjilat ludah sendiri. “Kau benar-benar menyedihkan,” ujarnya melunak. Deru napasnya berangsur normal.
Deric sendiri tak beraksi berlebihan. Ia hanya mengelus pipinya yang berdenyut, kemudian menyeka darah di sudut bibir dengan punggung tangan.
“Kau lihat ini!” Jeremy menunjukkan layar ponselnya pada Deric. “Wanita bernama Caraline itu benar-benar mengirim uang sebesar sepuluh juta dolar sesuai perkataanmu. Dan kau tahu apa artinya itu?”
Saat Deric akan memastikan lebih lanjut deretan angka yang tampil di layar, Jeremy segera menarik kembali ponselnya. Tubuh Deric yang condong ke depan akhirnya kembali tegak. Wajahnya mendadak tenggelam ke arah dua kakinya berada.
“Aku tak tahu apa yang ada di pikiran Caraline sampai-sampai di sebagian hidupnya harus dihabiskan dengan mencarimu dan memintamu untuk menikah dengannya. Bagiku semua itu tidak masuk akal. Tapi dilihat dari kesungguhannya, aku tahu kalau ada sesuatu di balik tindakan gilanya,” ungkap jeremy.
Tak puas dengan kata-katanya berusan, Jeremy berkata lagi, “Jangan kira karena keputusan konyolmu itu kau akan dianggap sebagai pahlawan yang telah menyelamatkan perusahaan. Bagiku, kau tetaplah sampah, aib bagi keluarga Aberald!”
Jeremy menarik napas panjang, lalu berkata, “Enyahlah! Dan persiapkan dirimu untuk esok!”
Kondisi Caraline bisa dibilang tak baik-baik saja semenjak kepulangannya dari kediaman keluarga Aberald. Hampir sepanjang siang, ia mengurung diri ruangan kerjanya, tak ingin diganggu oleh siapa pun. Aktivitasnya hanya duduk di depan komputer, dan kian larut dalam lamunan. Caraline sama sekali tak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaan. Oleh karena itu, semua hal yang bersinggungan dengan perusahaan diserahkan pada Helen.Pukul delapan malam lebih, Caraline masih berada di ruangan kerjanya. Wanita itu sesekali memijat kepala yang teramat pening. Hal itu terjadi bukan semata-mata disebabkan oleh tindakan gilanya hari ini, tetapi karena perutnya yang memang belum diisi sejak siang. Saat Caraline hendak menghubungi Helen, asistennya itu lebih dahulu muncul dari balik pintu.“Nona Caraline, aku membawakan Anda makan malam.” Helen menaruh nampan berisi satu mangkuk sup ayam panas dan segelas air putih di meja.Caraline yang berdiri di depan jendela seketika
Tubuh Deric mendarat di tanah tanpa bisa dicegah. Pria itu berusaha bangkit dengan memfokuskankan kekuatan pada kedua tangan. “Jangan khawatir, aku baik-baik saja,” ucapnya.“Tak ada yang mengingankan hal itu darimu,” sahut Jonathan tanpa rasa bersalah sedikit pun.Wajah Deric kembali menempel ke tanah saat tangannya gagal menjalankan tugas. Meski begitu, ia tak menyerah untuk mencoba hal sama berulang kali. Hal ini bukanlah masalah besar baginya. Ia sudah pernah mengalami perundungan yang lebih berat dari sekadar ditendang dari teras dan berakhir dengan mencumbu tanah.Pernah suatu waktu Jonathan dan James mengikatnya di pohon besar di belakang rumah selama semalaman. Keduanya melarang siapa pun untuk melepas ikatan. Barulah saat pagi menjelang, kakak-beradik itu membiarkan Deric pergi dengan tubuh lemas setelah puas tertawa cekikikan.Tak sampai di sana, beberapa bulan lalu, tepatnya saat keluarga Aberald mendapat undangan dari s
Sepanjang malam, Caraline tak bisa tidur karena terjajah pikirannya sendiri. Menonton film, berjalan-jalan di taman belakang rumah, sampai menamatkan beberapa buku, nyatanya tak berhasil mengundang kantuk. Barulah saat jarum jam menunjuk angka 4 pagi, ia bisa terlelap di sofa, dan terbangun saat sinar matahari mencumbu kesadarannya.Caraline mengibas rambutnya yang dibiarkan terurai. Wanita itu tengah duduk di ruang kerjanya, ditemani secangkir teh juga beberapa potong kue. Saat pintu diketuk, Caraline mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya perlahan.“Nona Caraline,” ujar Helen yang baru saja memasuki ruangan, “semua persiapan sudah hampir selesai.”“Hampir?” Caraline meletakkan cangkir teh ke meja. Alisnya sedikit tertekuk. “Apa ada masalah, Helen?”Helen menggeleng, lalu tersenyum. “Hal yang membuat persiapan ini belum selesai adalah, kedatangan pengantin pria dan ... pengantin wanita
Setelah melewati penjagaan dan pemeriksaan berlapis, mobil yang membawa Deric akhirnya memasuki kawasan Mililine Tower 2. Pria itu lantas turun dari mobil. Tak lama kemudian, ketiga saudaranya ikut menjejakkan kaki di depan lobi gedung.Mobil mewah yang membawa Deric akhirnya kembali melumat jalan. Melihat hal itu, James hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat. Ia teramat kesal karena tak diberikan kesempatan untuk sekadar menyentuh mobil impiannya. Ini seperti melihat setumpuk berlian di depan mata, tetapi apa daya tangan dan kaki tak kuasa untuk sekadar meraba.“Kau hanya beruntung, Sampah!” umpat James pada Deric yang tengah mengamati sekeliling gedung.James merasa perlu untuk meredam kekesalannya dengan cara mengusili Deric. Untuk itu, ia menendang bagian belakang kursi roda sampai Deric hampir terjatuh karenanya. Syukurlah, pria bermanik biru itu masih berada di kursinya.“James!” pekik Jeremy dengan suara tertahan. Matanya meme
Caraline seketika membeku saat melihat Deric berada di depannya dengan satu tangan terulur. Senyuman pria itu bak sihir yang menjadikan raganya bak patung yang tertanam di tengah-tengah taman. Semakin dalam Caraline tenggelam ke dalam manik biru pria itu, semakin tak keruan pula debaran jantungnya.Oh, ayolah, Caraline. Dia hanya pria catat tak berguna seperti yang kau katakan, batin Caraline.Saat angin berembus, di saat itu pula kesadaraan Caraline akan realita kembali. Matanya mengerjap beberapa kali, dan tanpa diduga, kakinya malah melangkah menuju altar pernikahan.Di tempat berbeda, Helen dibuat terperanjat dengan apa yang dilihatnya saat ini. Berkali-kali, ia menoleh pada Caraline dan tiga pria keluarga Aberald. Tubuhnya sampai berdiri, dan kacamata yang senantiasa bertengger di wajah bulatnya kini terlepas untuk memperjelas apa yang tengah ia lihat.Helen mengernyit, lantas menyipitkan mata saat melihat Caraline dan pria di ku
“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan nada marah. Selera makan siangnya seketika hilang setelah mendengar ucapan Deric barusan. Kedua tangannya refleks menyilang di depan dada.“Nona, aku tahu kalau skenario ini sangat menarik, terlebih tim yang menyiapkan ini semua sangat profesional. Aku bahkan sempat mengira jika pernikahan ini benar-benar sungguhan, dan aku sangat berterima kasih atas semua hal ini,” jawab Deric dengan seuntai senyum.Caraline merespons dengan mata melebar. Kedua tangannya langsung turun dari depan dada, kemudian mendarat di atas meja. Saat akan menyela, Deric lebih dahulu berbicara.“Nona, bisakah kita akhiri permainan ini?” Deric menunduk sesaat, lalu kembali menatap Caraline. “Aku rasa ini sudah cukup. Aku yakin Nona sudah mendapat hiburan dari skenario yang Nona susun.”“Apa maksudmu?” ulang Caraline. Kedua tangannya menggebrak meja agak keras. Matanya menajam seakan ingi
“Apa rencanamu setelah ini, Caraline?” tanya Deric. Alih-alih menjawab, Caralie malah sibuk memperhatikan pria di depannya dari atas hingga bawah melalui ekor mata. “Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu? Bisakah kau mengerti posisimu sekarang?” Jujur saja, Caraline agak tersinggung saat pria itu memanggil namanya secara langsung. Wanita itu mengakui kalau dirinya aneh karena ia yang meminta Deric untuk meninggalkan embel-embel sebutan nona. “Posisiku sekarang sebagai seseorang yang menunggu jawaban darimu,” jawab Deric sembari mendorong kursinya ke arah Caraline. Melihat Deric mendekati, Caraline refleks mundur tanpa melihat kondisi jalan. Alhasil, kakinya tak sengaja tersandung rok panjangnya hingga tubuhnya harus terjerembap ke rerumputan. “Aw!” pekiknya. Untuk sesaat, Caraline hanya diam sembari menatap langit di balik kubah transparan ruangan ini. Matanya seketika membeliak beg
“Aku yakin kalau James dan Jonathan sudah berusaha menunjukkan kepedulian mereka.” Jeremy menyimpan gelas di meja, lalu berdiri dan mendekat ke hadapan Deric. “Lalu kenapa kau tidak mencobanya?”“Sepatu itu kami dapatkan di toko terbaik di kota ini,” ujar Jonathan berbohong. Siapa saja pasti menduga kalau benda itu ditemukan di tempat sampah atau rongsokan. “Modelnya sangat cocok untuk kakimu yang indah. Bener ‘kan, James?”James lagi-lagi terkekeh. Ia bahkan sampai memegangi perutnya. Setelah tawanya reda, ia berkata, “Tak ada hadiah yang lebih istimewa bagimu selain sepatu ini. Jadi pakailah untuk menghargai pemberian kami.”Deric mengembangkan senyum, kemudian mengeluarkan sepatu itu dari kotak. Seperti dugaannya, benda itu sudah tidak layak pakai. Ada lubang besar di bagian depan laksana mulut menganga yang kelaparan. Ini jauh lebih buruk dibanding dengan kasut miliknya yang ia pakai tad