"Woy Arsen!"
Arsen melirik ke arah suara yang memanggilnya.
Sialan temanya itu! Beraninya dia mengganggu waktunya dengan Yasmin. Lihat saja nanti, saat malam tiba, tidak boleh ada yang mengganggunya barang sebentar pun!
Ehmm, memangnya apa yang akan ia lakukan nanti malam? Apa ia boleh menggauli..
Tidak!! Pikiran sialannya itu!!
"Selamat ya, pasangan Arsen dan Yasmin.. semoga kalian menjadi keluarga yang Sakinah, Mawadah, wa Rohmah."
Satu persatu teman-teman Arsen menyalami Arsen dan Yasmin.
"Sen, ma'af ya, gue nyusup. Gue gak bisa lama-lama soalnya, abis ini mau ke acara seminar di Bandung." ucap Ardi, salah satu teman Arsen. Seorang pebisnis muda.
"Tuh kado gue tuh ... yang paling gede haha ..." canda Ardi, menunjuk pada sebuah benda besar yang berada tak jauh dari tempat mereka.
"Iya, makasih ya. Ngomong-ngomong, ini kalian semua pada ada acara juga?" tanya Arsen heran, karna semua temannya mengikuti Ardi ke tempat istirahat pengantin.
"Nggak, kita iseng aja ikutin si Ardi."
Jawab salah satu teman Arsen.
"Gimana rasanya menikah dibawah umur?"
Tiba-tiba saja, seorang wanita cantik yang sedari tadi memperhatikan Yasmin, meloloskan pertanyaan yang membuat semua yang ada disitu terkejut.
"Hah? Ehmm ... itu-" kini semua mata tertuju pada Yasmin.
"Maksud kamu dibawah umur apa? Istri nya Arsen ini sudah lulus sekolah." ucap Rifki penenang diantara teman-teman Arsen.
"Iya, lo gak tau apa? Wajib sekolah di Indonesia itu dua belas tahun. Yasmin ini udah lulus SMA bahkan dengan nilai terbaik!" jawab teman Arsen lagi yang bernama Diki.
"Kok lo tau?" tanya Refi lagi, wanita cantik yang pernah berprofesi sebagai model ini terlihat tidak mau kalah.
"Sudah, sudah. Kenapa pada ribut sih? Kita ini sudah dewasa kan? Harusnya mencontohkan yang baik." ujar Rifki menengahi.
"Maaf ya Yasmin, kalo pertanyaan aku buat kamu bingung."
"Oh, gak papa kok kak. Makasih ya sudah datang." ucap Yasmin tulus.
Namun ekspresi Refi berubah seketika. Rupanya ucapan Yasmin membuat Refi sedikit kesal.
Arsen hanya tersenyum melihat perdebatan itu.
***
Malam pun tiba, dengan bantuan asisten penata rias, Yasmin melepas semua aksesoris yang menempel ditubuhnya, sebelumnya Yasmin sudah membawa gamis polos yang akan dikenakan nya menuju kamar.
Begitu memasuki kamar, tidak terlihat keberadaan Arsen disana. Syukurlah, batin Yasmin. Dengan begitu, ia bisa leluasa sebentar untuk mandi dan berganti pakaian.
Setengah terburu-buru, Yasmin menyelesaikan membersihkan dirinya. Sampai ia lengkap mengenakan kain dari atas hingga bawah.
Sementara di ruangan lain, Arsen tengah menyendiri. Padahal teman-temannya sudah pergi beberapa saat yang lalu. Entahlah, ia merasa sesuatu akan menyakiti hatinya.
Daritadi, ia memikirkan Yasmin. Bagaimana reaksi gadis itu saat tau kenyataan tentang Arsen? Padahal, tadinya Arsen tidak begitu peduli akan hal itu. Namun setelah acara hari ini, ia sangat amat khawatir.
Apakah Yasmin akan menjauh darinya? Mungkinkah Yasmin tidak akan menerima keadaan nya, sama seperti mantan tunangannya dulu?
"Arrrggghhhh ..." semakin dipikirkan, semakin membuat stress.
Pikiran itu membuka kembali kenangan lama. Sesuatu yang menyedihkan, hingga Arsen tidak cukup berani mendekati wanita lagi.
Beruntunglah Arsen mempunyai teman-teman yang setia padanya. Namun, tidak mungkin kan ia akan hidup bersama teman-temannya terus?
Arsen melangkahkan kakinya dengan pelan. Menuju kamarnya, lalu membuka kenop pintu dengan perlahan pula.
Yasmin terkesiap, jantungnya berdetak lebih kencang begitu melihat sorot mata Arsen. Perlahan Arsen mendekati ranjang yang tengah diduduki Yasmin.
"Mas, sudah mandi?" tanya Yasmin basa-basi.
Arsen menatap Yasmin dengan seksama. Benarkah gadis ini yang telah dinikahinya tadi? Terasa berbeda namun tetap sama.
Make up yang terbalut diwajah Yasmin, Arsen yakin semua sudah dibersihkan. Hingga Yasmin terlihat berbeda dengan penampilannya tadi. Tapi, mengapa gadis itu masih saja cantik? Dia bahkan terlihat lebih anggun dengan busana sederhananya.
"Lepas!" pinta Arsen.
Yasmin terkejut mendengar permintaan Arsen. Apa.. Arsen baru saja memintanya menanggalkan pakaian ditubuhnya?
Yasmin menelan ludahnya gusar. Perlahan, tangannya masuk kedalam jilbab, ia membuka resleting bajunya.
"Hijabmu." lanjut Arsen.
"Ah!" Dengan cepat, Yasmin menutup kembali resleting gamisnya. Lalu perlahan juga, ia membuka hijab yang menutupi kepalanya.
Tidak disangka, dibalik penutup kepala itu, terurai rambut indah berkilau. Yasmin terlihat lebih cantik di mata Arsen.
Arsen menggerakkan seluruh anggota tubuhnya dari kepala, tangan, hingga badan.
kenapa jadi panas sekali.' ucapnya dalam hati.Arsen memalingkan wajahnya dari Yasmin. Semua yang ada ditubuh Yasmin seolah menggodanya. Gairah didalam dirinya semakin memuncak, lagi-lagi Arsen bertanya.
apa bisa aku menggaulinya?'
Persetan!! Dia sudah menjadi istri Arsen, dia mau menikah, itu artinya dia sanggup untuk segala macamnya.
Sekarang Arsen tidak peduli lagi. Bagaimanapun, ini adalah malam pertamanya dengan Yasmin. Dan itu harus terjadi."Kemarilah.." pinta Arsen seraya menatap Yasmin.
Lalu Yasmin menghampiri Arsen. Yasmin sempat khawatir dengan sikap Arsen yang lebih pendiam seperti saat sebelum menikah.
"Ada apa mas?"
"Bukakan sepatuku." Perintah Arsen.
Yasmin duduk dibawah lantai. Dengan lembut, Yasmin mulai melakukan yang diperintahkan Arsen.
"Ha!"
"Kenapa? Apa kamu kaget? Apa kamu tidak bisa menerima kenyataan yang menimpa suamimu?" Arsen tersenyum miris, sudah ia duga kan?
Dengan cepat Arsen berdiri dari ranjang, "Minggir!" ucapnya dengan nada sedikit tinggi.
Karna Yasmin masih ditempatnya, Arsen kembali duduk, lalu mendorong Yasmin hingga terjatuh.
"Hentikan tatapan kasihan itu!" bentak Arsen, ia sudah tidak bisa mengontrol emosinya lagi. Ia benci tatapan itu!
Kaki besarnya melangkah melewati Yasmin.
"Mas Arsen! Mas! Tunggu Mas!"Dengan penuh keberanian, Yasmin menarik tangan Arsen hingga membuat Arsen mau tidak mau berhenti berjalan.
"Kamu mau kemana mas? Ke-kenapa Mas terlihat marah?"
Arsen berbalik, "Lalu ekspresi apa yang harus ku tunjukkan, saat melihat kau merasa jijik padaku?"
"Astaghfirullah mas, kenapa kamu ngomong gitu? Aku sama sekali gak seperti itu mas."
"Kau terkejut!"
"Aa-aku, maafkan aku mas!" Yasmin segera berlutut didepan suaminya.
"Maaf kalau sikapku menyinggung mu. Aku sama sekali gak bermaksud menyakiti perasaan Mas Arsen ..." entah kenapa Yasmin malah mengeluarkan air mata saat meminta maaf pada Arsen.
Lebih tepatnya, ia menyesali reaksi buruknya itu. Seharusnya Yasmin tidak boleh bereaksi seperti tadi. Bagaimanapun, Yasmin harus menerima lelaki yang sudah menjadi suaminya itu dengan tulus.
Yasmin menyalahkan diri sendiri akan itu. Hal itu karena, pertama kalinya Yasmin melihat kaki sambung dari robot secara langsung. Itulah kenapa ia terkejut.
"Kenapa kamu berlutut di hadapanku? Bangun!"
Yasmin mengusap air mata di pipinya. Lalu menatap Arsen. "Maafkan aku mas." lirihnya sekali lagi.
"Kenapa juga kamu harus menangis? Dengar, aku bahkan tidak tau permintaan maafmu itu tulus atau tidak!"
Perlahan Arsen berjongkok, menatap mata Yasmin yang basah karna air mata. Dari manik mata yang sayu itu, Arsen melihat ketulusan.
'Begini kah rasanya bertemu orang yang tepat?'
***
"Gimana Jun Ki, kamu betah kuliah di sini?" tanya Ayah Lee Jun Ki saat sedang menyantap makan malam. "Ya betah, bukan pertama kalinya aku sekolah disini." jawab Jun ki. "Bagus, kamu belajar bahasa Indonesia dengan baik." "Ayah, bukankah dia sudah lama tinggal di Indonesia? kenapa juga dia harus salah menggunakan bahasa Indonesia lagi?" adik Jun Ki yang biasa disapa Jung hee, ikut menanggapi. "Karna dua tahun kemarin Jun Ki tinggal dikorea, bahasa Indonesianya jadi berantakan." jawab sang Ayah. "Lagian Jun Ki gak mungkin gak betah lah yah, di sana kan banyak perempuan cantik." celetuk Jung hee seraya terkekeh. Apa-apaan adiknya
"Chaira!" Gadis manis berjilbab itu menoleh, "Ini pulpen kamu, makasih ya." ucap Jun Ki setelah berlari menghampiri Chaira. "Jungki, lo ngasih apa samamy honey Chaira?" tanya Bian. "Dih jijik banget lu!" sambar Sandi mendengar Bian menyebut Chaira dengan embel-embelMy honey. "Diem lu! Jungki, bisa-bisanya lu merebut cewek inceran kita berdua." ucap Bian yang disetujui oleh Sandi. "Maksudnya? Aku cuma mengembalikan pulpen kok. Lagipula, malam ini aku ada kencan buta dengan seseorang." "Anjir, gue baru tau di Indonesia juga ada kencan buta." kata Bian, "Ini rekomendasi dari adikku, aku hanya mengikuti saja." "Semoga sukses ya!" ucap Sandi memberi semangat. ***Chaira memakai seragam kerjanya, dilanjutkan dengan memoles sedikitMake up. "Hmm, siapa peduli aku memakai riasan saat pulang kuliah." Benar, Chaira bukan orang yang hobi memoles w
Rayyan menutup buku yang tengah dikoreksinya. Ia menghela napas selama beberapa saat, hal yang biasa dilakukannya saat sedang penat. Itulah kenapa, teman-temannya selalu menyarankan agar ia segera menikah, Setidaknya mempunyai seorang kekasih. Supaya ada sedikit hiburan untuk melepas penat. Bagi Rayyan, memiliki seorang kekasih bukan suatu keharusan. Untuk apa berpacaran kalau hanya untuk dijadikan hiburan? Tidak semua wanita itu penghibur bukan? Ia tersenyum miris. lagi pula, Rayyan tidak berniat menikah di usianya yang menuju kepala tiga ini. Jika teman-temannya menikah di atas tiga puluh tahun setelah menghabiskan bermain-main dengan para wanita, mungkin tidak bagi Rayyan. Sampai saat ini pun, tidak ada satupun wanita yang didekatinya. Jarinya mengusap layar ponsel, mengutak-atiknya hingga menemukan foto seseorang di sebuah sosial media. Gadis cantik, imut, seksi, seperti halnya gadis-gadis yang pernah dikenalnya. Dia adalah
(21++‼️️) "Kamu beneran gak apa-apa sendirian di kamar?" "Iya gak apa-apa Mbak, kepalaku sedikit pusing." "Ya sudah, Mbak duluan ya. Istirahat, masuk sana. Gak perlu mengantar Mbak." "Ya sudah, hati-hati ya ..." ucap Kinanti setelah mengantar Mbak Ismi ke depan lift. Usai makan malam, Kinanti memilih kembali ke kamar, alih-alih mengikuti yang lainya untuk melihat-lihat pantai. Entahlah,mood-nya sedang tidak bagus sekarang. Saat kembali ke kamar, Kinanti heran lantai kamarnya basah. Perasaan, ia tadi belum ke kamar mandi. Kakinya melangkah menuju kamar mandi, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Kinanti terkejut mendapati Rayyan ada di sana. "Aaaaaa ..." "Kinan! Sedang apa kau di sini?" "Mas Rayyan! Harusnya aku yang tanya, Mas ngapain di sini?" "Ini kamarku ... kan?" jawab Rayyan sedikit ragu. "Ini ka
-Tidak peduli seberapa sering kau membuatnya tersenyum, yang penting adalah, bagaimana caramu mempertahankannya.- *** Dua insan yang baru beberapa kali bertemu itu saling pandang. Kemudian tersenyum, memamerkan senyum manis. Yasmin bergeser lebih dekat pada suaminya, tubuh polos yang terbalut selimut saling bergesekan. "Mas, katanya mau cerita. Kok malah senyum terus dari tadi?" Arsen mengecup rambut wanita yang bersandar di pelukanya. "Aku mau tanya dulu sama kamu." "Apa?" "Kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Dan apa yang membuatmu menerimaku meski kau sudah tau keadaanku?" "Kenapa aku mau menikah denganmu? Aku juga mau jawaban yang sama dari kamu." "Jawab saja pertanyaanku." Arsen mengalihkan pandangan, sejujurnya ia tak suka dibantah. "Karna aku, tidak punya pilihan lain. Aku yakin apa yang dipilihkan ayah, adalah yang terbaik untukku." "Kenap
Yasmin belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi jika menyukai seseorang, ia pernah beberapa kali. Bahkan Yasmin pernah terjebak di dalam dilema perasaan yang sama. Ia pernah, begitu menyukai seseorang, dan ternyata orang itu juga sama sukanya pada Yasmin. Itulah dilemanya, saat dua insan saling menyukai, tapi tak bisa bersama sebab suatu alasan. Yasmin tidak ingin punya status selain menikah. Sementara waktu itu, umurnya masih genap enam belas tahun. Dengan yakin, Yasmin melenyapkan perasaan itu. Meski banyak alasan indah, sampai Yasmin bisa menyukai pria masa lalunya itu. Sekarang, entah bagaimana awalnya, Yasmin begitu menyukai lelaki di hadapannya. Lelaki berbadan kokoh itu tengah sibuk kesana kemari membereskan barang-barangnya. Yasmin berinisiatif mengambil segelas air untuk suaminya. "Minum dulu, Mas." "Makasih, sayang." Yasmin merasa gugup mendengar panggilan Arsen yang begitu baru di telinga
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?" Seketika Bian dan Sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel. "Emang apa yang terjadi dengan kencan buta lo?" tanya Sandi penasaran. (Malam sebelumnya) "Jadi, kamu Oppa-nya Jung hee?" "Iya." "Makasih ya sudah mau datang. Namaku Jessi." "Aku Jun Ki." "Aku, tak secantik cewek-cewek di Korea, bahkan kulitku saja gak putih." "Bukan masalah." Jessi tersenyum senang, sementara Jun Ki memutar bola matanya, apanya yang gak putih? Siapapun bisa melihat kalau Jessi berkulit putih cerah. Setelah pesanan datang, mereka menyantap makanan dalam hening. "Ah!" Jessi merasakan tasnya terjatuh, dan dengan sigap Jun Ki mengambilkannya. "Gomawo, Oppa!" "Ada apa dengan kakimu? Gatal?" tanya Jun Ki terheran saat melihat ga
"Aku gak mau memilikinya, aku gak mau memilikinya, aku gak mau!"Chaira meremas hadiahnya dengan gemas, tempo hari Chaira memenangkan juara harapan ke dua lomba model. Ia sangat menyesali, kenapa ia harus memiliki prestasi dari bakat yang tidak diinginkannya?Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, tepat saat itu ponselnya berbunyi."Hhh ... Anak Korea itu."Belakangan ini, Jun Ki beberapa kali mengiriminya pesan. Bertanya kosakata yang tidak diketahuinya, tapi entah kenapa meski merasa aneh, Chaira tetap membalas semuachatdari lelaki tampan itu."Kak!" panggil Karmila setelah memasuki kamar Chaira yang tidak tertutup rapat."Eh, ada apa Mil?""Kakak dapet hadiah darimana?""Oh, ini ... kamu mau?" Chaira memyerahkan syal berwarna marun pada adiknya."Wah, bagus banget. Buat aku nih?""Ambil saja kalo mau.""Makasih, jadi ... ini dari siapa?"Chaira menggela napas, "Itu had
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja