"Gimana Jun Ki, kamu betah kuliah di sini?" tanya Ayah Lee Jun Ki saat sedang menyantap makan malam.
"Ya betah, bukan pertama kalinya aku sekolah disini." jawab Jun ki.
"Bagus, kamu belajar bahasa Indonesia dengan baik."
"Ayah, bukankah dia sudah lama tinggal di Indonesia? kenapa juga dia harus salah menggunakan bahasa Indonesia lagi?" adik Jun Ki yang biasa disapa Jung hee, ikut menanggapi.
"Karna dua tahun kemarin Jun Ki tinggal dikorea, bahasa Indonesianya jadi berantakan." jawab sang Ayah.
"Lagian Jun Ki gak mungkin gak betah lah yah, di sana kan banyak perempuan cantik." celetuk Jung hee seraya terkekeh.
Apa-apaan adiknya itu, Jun Ki bahkan tidak pernah memperhatikan para gadis di kampusnya. Yang penting baginya adalah, ia mempunyai teman yang bersedia mengingatkannya.
***
Semua orang tengah memperbincangkan video viral di sosial media. Termasuk Jun Ki dan kedua temanya.
Jun Ki tengah melihat video yang viral tersebut. Ia menggelengkan kepalanya. Kenapa lagu dangdut bisa seenak itu didengarnya? Apa karna penyanyinya bersuara indah?
"Cantik gak Jun?" tanya Bian saat melihat Jun Ki tengah menikmati video tersebut.
"Lumayan, Tapi aku lebih suka suaranya." jawab Jun Ki.
"Ck ck, Gimana caranya supaya gue terkenal juga ya? Supaya warga fesbuk tuh geger gitu, karna gue?"
Jun Ki menoleh mendengar ucapan bian. "Coba kamu upload foto, gayanya sepeti ini." Jun Ki memperagakan gaya menyilangkan dada sambil tersenyum, lalu diikuti Bian.
"Tapi telanjang."
"Hahaha ..." Sandi yang sedari tadi memperhatikan ke dua temanya, tertawa terbahak-bahak.
"Gila lu ya?" Bian menyesal mendengar saran dari Jun Ki. Bisa-bisanya teman Koreanya itu memberi saran nyeleneh.
Kalau gitu sih, Bian bukanya terkenal karna prestasi, malah kena bully.
Ketika semua mahasiswa memasuki kelas, itu menandakan dosen sedang di perjalanan menuju kelas. Namun Jun Ki dan beberapa temannya, masih saja bercanda ria. Hingga mereka tak sadar dosen sudah berdiri didepan mereka.
"Jun Ki, pindah! Tuh, di sebelah sana." Perintah sang dosen tanpa basa-basi.
"Baik pak." ucap Jun Ki seraya menundukkan kepalanya.
Tak disangka, Jun Ki berganti tempat duduk menjadi di sebelah Chaira. Dan perempuan yang di sebelah Chaira sebelumnya, bertukar menjadi di sebelah Sandi.
"Setiap mata kuliah saya, kamu disitu." perintah Pak Dosen lagi yang mau tidak mau, harus Jun Ki turuti.
Chaira menoleh ke arah Jun Ki, ya ampun, ujian macam apa ini? Chaira didekatkan dengan Oppa-Oppa Korea!
Dilihat dari dekat, Jun Ki memang tampan seperti artis Korea pada umumnya.Huh, seharusnya Chaira tidak boleh memperhatikannya.
"Kira?"
Chaira menoleh, apakah barusan Jun Ki memanggilnya? Tapi, itu bukan namanya.
Kedua mata mereka bertemu, kini Chaira yakin Jun Ki memang memanggilnya.
"Kamu bawa pulpen lagi?" tanya Jun Ki pada Chaira.
"Ada." Chaira langsung memberikan pulpennya yang lain kepada Jun Ki.
"Pinjam dulu ya, aku lupa bawa."
"Iya, tapi jangan manggil kira dong emang namaku ragu-ragu apa?" sarkas Chaira.
Jun Ki terkekeh, "Kira-kira, aku harus panggil kamu apa?"
"Chaira, namaku Chaira!" tegas Chaira.
"Oke anak-anak, Bapak yakin semua yang ada disini akan menjadi pengusaha sukses. Nah, sekarang Bapak mau tanya, apa rencana kalian untuk mewujudkan hal tersebut? Jelaskan lebih spesifik!" perintah Pak Dosen. Lalu beliau menunjuk bangku ke dua terakhir, yang tak lain adalah Bian.
"Saya pak? Hmm ... saya mau membuat usaha Restoran ayam di luar negri!" ucap Bian dengan semangat.
"Restoran ayam apa?" tanya salah satu mahasiswa yang duduk didepan bangku bian.
"Banyaklah ... ayam bakar, ayam goreng, ayam rebus, ayam ungkep, ayam geprek, ayam suir, pepes ayam, hmm..." celoteh Bian, seolah membayangkan makanan yang disebutnya.
"Kamu lapar?" celetuk Jun Ki tiba-tiba, yang disambut tawa oleh teman-temannya.
"Sudah, sudah. Kalau kamu mau menjadi pengusaha seperti apa Jun Ki?" tanya Pak Ilham pada Jun Ki.
"Aku mau mendirikan perusahaan properti pak." jawab Lee Jun Ki, lalu semua teman-temannya bertepuk tangan.
"Bagus! Kalau kamu Seno?"
"Saya mah mau jadi investor sukses aja pak!"
"Kamu." tunjuk Pak Ilham, kali ini pada seorang perempuan.
"Saya ingin mewujudkan mimpi semua orang pak!"
"Apa itu?"
"Pertama, saya mau bergabung dengan perusahaan indom*e, saya akan membuat kemasan satu setengah mie, selain itu, saya juga mau membuka restoran mie, dengan rincian semua rasa yang Indom*e ciptakan di bungkus mie."
"Waahh ... lo bener-bener mewujudkan mimpi gue jeng! Inget ya, nanti, gue akan menjadi pelanggan pertama di restoran lo." ujar Bian dengan lantang.
Sang Dosen hanya tersenyum mendengar cita-cita mahasiswanya, tak lama setelah obrolan hangat itu, Pak Ilham melanjutkan dengan pelajaran.
Usai kuliah dari Pak Ilham, Jun Ki kembali ke tempat sebelumnya untuk melanjutkan mata kuliah yang lain. Sebelum itu, ia meminta bertukar tempat lagi pada Ratna.
"Ratih!"
"Siapa Ratih?" Ratna heran kenapa Jun Ki menghampirinya namun dengan nama yang salah.
"Haha, namanya Ratna Jun ki ..." ucap Sandi seraya terkekeh.
"Maaf, Ratna, tuker tempat lagi."
"Oke."
Bian yang tadi duduknya ditukar juga, memilih bertukar tempat kembali.
"Paha mulus, kaki buriq!" seraya bersiul, Bian memindahkan tasnya ke tempat duduk semula.
Ajeng menepuk lengan Bian sambil tertawa. "Hahaha ... brisik!"
"Apaan lu? Ngerasa ya?"
"Enak aja lo! Liat nih, kaki gue gak buriq sorry ya ... wlee ..." Ajeng memperlihatkan kedua punggung kakinya yang lumayan mulus, lalu memeletkan lidahnya meledek Bian.
"Dih, hampir buriq itu!"
"Eh eh, Mrs.Hana gak masuk!" Semua bersorak mendengar salah satu Dosen cerewet itu tidak datang. Yang artinya, Kinanti akan menjadi pengganti sementara untuk menghadiri kelas.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa Kinanti adalah Asisten Dosen yang sangat cantik dan supel. Sehingga, banyak mahasiswa yang menantikan dibimbing olehnya.
"Siang adik-adik.."
***
Pelajaran usai."Kinanti tuh cakep banget tau! Jauhlah, sama mantan gue." ujar Sandi, saat Kinanti meninggalkan kelas.
"Iyalah, Kinanti mah bening dari lahir." timpal Bian.
"Kalo mantan gue?"
"Bening dari pagi." celetuk Jun Ki.
"Haha kalo udah siang, keliatan aibnya." Bian tertawa puas seraya mengacungkan jempolnya pada Jun Ki.
"Bagus Jungki! Hahaha ..."
"Haha, kurang ajar lo!" timpal Sandi.
"Paha mulus, kaki buriq!" sudah pasti, ini Bian yang mengatakannya.
Jun Ki sampai terheran-heran, kenapa Bian begitu menyukai kata-kata itu.
"Itu sangat vulgar." Gumam Jun Ki yang terdengar oleh ke dua temanya, Mereka sedang di perjalanan pulang.
"Vulgar apaan? Tau apa lo?" tanya bian.
"Nih ya, kata-kata itu, sangat bagus sekali Jungki." lanjut Bian mencoba mengikuti Jun Ki berbahasa baku.
Tiba-tiba Jun Ki memanggil seseorang
"Chaira!"
***
jangan lupa komen dan berlangganan ya!
"Chaira!" Gadis manis berjilbab itu menoleh, "Ini pulpen kamu, makasih ya." ucap Jun Ki setelah berlari menghampiri Chaira. "Jungki, lo ngasih apa samamy honey Chaira?" tanya Bian. "Dih jijik banget lu!" sambar Sandi mendengar Bian menyebut Chaira dengan embel-embelMy honey. "Diem lu! Jungki, bisa-bisanya lu merebut cewek inceran kita berdua." ucap Bian yang disetujui oleh Sandi. "Maksudnya? Aku cuma mengembalikan pulpen kok. Lagipula, malam ini aku ada kencan buta dengan seseorang." "Anjir, gue baru tau di Indonesia juga ada kencan buta." kata Bian, "Ini rekomendasi dari adikku, aku hanya mengikuti saja." "Semoga sukses ya!" ucap Sandi memberi semangat. ***Chaira memakai seragam kerjanya, dilanjutkan dengan memoles sedikitMake up. "Hmm, siapa peduli aku memakai riasan saat pulang kuliah." Benar, Chaira bukan orang yang hobi memoles w
Rayyan menutup buku yang tengah dikoreksinya. Ia menghela napas selama beberapa saat, hal yang biasa dilakukannya saat sedang penat. Itulah kenapa, teman-temannya selalu menyarankan agar ia segera menikah, Setidaknya mempunyai seorang kekasih. Supaya ada sedikit hiburan untuk melepas penat. Bagi Rayyan, memiliki seorang kekasih bukan suatu keharusan. Untuk apa berpacaran kalau hanya untuk dijadikan hiburan? Tidak semua wanita itu penghibur bukan? Ia tersenyum miris. lagi pula, Rayyan tidak berniat menikah di usianya yang menuju kepala tiga ini. Jika teman-temannya menikah di atas tiga puluh tahun setelah menghabiskan bermain-main dengan para wanita, mungkin tidak bagi Rayyan. Sampai saat ini pun, tidak ada satupun wanita yang didekatinya. Jarinya mengusap layar ponsel, mengutak-atiknya hingga menemukan foto seseorang di sebuah sosial media. Gadis cantik, imut, seksi, seperti halnya gadis-gadis yang pernah dikenalnya. Dia adalah
(21++‼️️) "Kamu beneran gak apa-apa sendirian di kamar?" "Iya gak apa-apa Mbak, kepalaku sedikit pusing." "Ya sudah, Mbak duluan ya. Istirahat, masuk sana. Gak perlu mengantar Mbak." "Ya sudah, hati-hati ya ..." ucap Kinanti setelah mengantar Mbak Ismi ke depan lift. Usai makan malam, Kinanti memilih kembali ke kamar, alih-alih mengikuti yang lainya untuk melihat-lihat pantai. Entahlah,mood-nya sedang tidak bagus sekarang. Saat kembali ke kamar, Kinanti heran lantai kamarnya basah. Perasaan, ia tadi belum ke kamar mandi. Kakinya melangkah menuju kamar mandi, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Kinanti terkejut mendapati Rayyan ada di sana. "Aaaaaa ..." "Kinan! Sedang apa kau di sini?" "Mas Rayyan! Harusnya aku yang tanya, Mas ngapain di sini?" "Ini kamarku ... kan?" jawab Rayyan sedikit ragu. "Ini ka
-Tidak peduli seberapa sering kau membuatnya tersenyum, yang penting adalah, bagaimana caramu mempertahankannya.- *** Dua insan yang baru beberapa kali bertemu itu saling pandang. Kemudian tersenyum, memamerkan senyum manis. Yasmin bergeser lebih dekat pada suaminya, tubuh polos yang terbalut selimut saling bergesekan. "Mas, katanya mau cerita. Kok malah senyum terus dari tadi?" Arsen mengecup rambut wanita yang bersandar di pelukanya. "Aku mau tanya dulu sama kamu." "Apa?" "Kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Dan apa yang membuatmu menerimaku meski kau sudah tau keadaanku?" "Kenapa aku mau menikah denganmu? Aku juga mau jawaban yang sama dari kamu." "Jawab saja pertanyaanku." Arsen mengalihkan pandangan, sejujurnya ia tak suka dibantah. "Karna aku, tidak punya pilihan lain. Aku yakin apa yang dipilihkan ayah, adalah yang terbaik untukku." "Kenap
Yasmin belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi jika menyukai seseorang, ia pernah beberapa kali. Bahkan Yasmin pernah terjebak di dalam dilema perasaan yang sama. Ia pernah, begitu menyukai seseorang, dan ternyata orang itu juga sama sukanya pada Yasmin. Itulah dilemanya, saat dua insan saling menyukai, tapi tak bisa bersama sebab suatu alasan. Yasmin tidak ingin punya status selain menikah. Sementara waktu itu, umurnya masih genap enam belas tahun. Dengan yakin, Yasmin melenyapkan perasaan itu. Meski banyak alasan indah, sampai Yasmin bisa menyukai pria masa lalunya itu. Sekarang, entah bagaimana awalnya, Yasmin begitu menyukai lelaki di hadapannya. Lelaki berbadan kokoh itu tengah sibuk kesana kemari membereskan barang-barangnya. Yasmin berinisiatif mengambil segelas air untuk suaminya. "Minum dulu, Mas." "Makasih, sayang." Yasmin merasa gugup mendengar panggilan Arsen yang begitu baru di telinga
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?" Seketika Bian dan Sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel. "Emang apa yang terjadi dengan kencan buta lo?" tanya Sandi penasaran. (Malam sebelumnya) "Jadi, kamu Oppa-nya Jung hee?" "Iya." "Makasih ya sudah mau datang. Namaku Jessi." "Aku Jun Ki." "Aku, tak secantik cewek-cewek di Korea, bahkan kulitku saja gak putih." "Bukan masalah." Jessi tersenyum senang, sementara Jun Ki memutar bola matanya, apanya yang gak putih? Siapapun bisa melihat kalau Jessi berkulit putih cerah. Setelah pesanan datang, mereka menyantap makanan dalam hening. "Ah!" Jessi merasakan tasnya terjatuh, dan dengan sigap Jun Ki mengambilkannya. "Gomawo, Oppa!" "Ada apa dengan kakimu? Gatal?" tanya Jun Ki terheran saat melihat ga
"Aku gak mau memilikinya, aku gak mau memilikinya, aku gak mau!"Chaira meremas hadiahnya dengan gemas, tempo hari Chaira memenangkan juara harapan ke dua lomba model. Ia sangat menyesali, kenapa ia harus memiliki prestasi dari bakat yang tidak diinginkannya?Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, tepat saat itu ponselnya berbunyi."Hhh ... Anak Korea itu."Belakangan ini, Jun Ki beberapa kali mengiriminya pesan. Bertanya kosakata yang tidak diketahuinya, tapi entah kenapa meski merasa aneh, Chaira tetap membalas semuachatdari lelaki tampan itu."Kak!" panggil Karmila setelah memasuki kamar Chaira yang tidak tertutup rapat."Eh, ada apa Mil?""Kakak dapet hadiah darimana?""Oh, ini ... kamu mau?" Chaira memyerahkan syal berwarna marun pada adiknya."Wah, bagus banget. Buat aku nih?""Ambil saja kalo mau.""Makasih, jadi ... ini dari siapa?"Chaira menggela napas, "Itu had
Kinanti terbangun dengan memegang kepalanya yang pusing luar biasa. Ia mengingat-ngingat kejadian semalam. "Hah?!" Ia terkejut, spontan menutup mulutnya. Menoleh ke samping, tidak didapatinya pria yang semalam bersamanya. Lalu Kinanti memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa busana. "Apa yang aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri, sambil memijat-mijat kepalanya. Tidak sulit untuk Kinanti mengingat kejadian semalam, ia menyodorkan tubuhnya pada pria dewasa, Ingat! MENYODORKAN!! Ia menghela napas kasar, "Apa karna sudah lama?" Tak lama pintu kamarnya diketuk, Kinanti langsung memilih bajunya random. "Sebentar." Begitu dibuka, ternyata Ismi yang mengetuk pintunya. "Ada apa Mbak?" "Ayo sarapan, yang lain sudah pada nunggu." Dalam hati, Kinanti mengumpat kesal. Kenapa harus ke bawah sih? Kenapa tidak diantar saja makanannya? Ia lupa kalau rombongannya bukan tamu VIP. "Masuk
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja