(21++‼️️)
"Kamu beneran gak apa-apa sendirian di kamar?"
"Iya gak apa-apa Mbak, kepalaku sedikit pusing."
"Ya sudah, Mbak duluan ya. Istirahat, masuk sana. Gak perlu mengantar Mbak."
"Ya sudah, hati-hati ya ..." ucap Kinanti setelah mengantar Mbak Ismi ke depan lift.
Usai makan malam, Kinanti memilih kembali ke kamar, alih-alih mengikuti yang lainya untuk melihat-lihat pantai. Entahlah, mood-nya sedang tidak bagus sekarang.
Saat kembali ke kamar, Kinanti heran lantai kamarnya basah. Perasaan, ia tadi belum ke kamar mandi.
Kakinya melangkah menuju kamar mandi, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Kinanti terkejut mendapati Rayyan ada di sana.
"Aaaaaa ..."
"Kinan! Sedang apa kau di sini?"
"Mas Rayyan! Harusnya aku yang tanya, Mas ngapain di sini?"
"Ini kamarku ... kan?" jawab Rayyan sedikit ragu.
"Ini kamarku Mas!"
Rayyan segera keluar dari kamar mandi, ia melihat-lihat benda di sekitarnya. ternyata ini memang bukan kamarnya, Rayan menepuk keningnya, ia bahkan baru sadar bahwa ia tidak membawa kunci kamar. Artinya, kunci kamarnya ada pada Dito.
"Benar, ini bukan kamarku" ucap Rayyan.
Kinanti memandang Rayyan bingung. Bagaimana bisa Rayyan salah masuk kamar?
"Kinan, jangan salah paham, aku salah masuk kamar karena kamar kita bersebelahan. Aku tadi buru-buru, bajuku basah kuyup." jelas Rayyan yang melihat Kinan kebingungan.
"Kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku menumpang di sini dulu sementara menunggu Dito kemari? Aku malas turun ke bawah lagi."
"Mas kan bisa nelpon Dito untuk bawakan kuncinya."
"Aku tidak enak menyuruhnya, sebentar saja, ya?"
Kinanti menghela napas, "Baiklah, duduk di sofa. Jangan sekali-kali menyentuh ranjangku!" perintahnya, yang langsung dituruti Rayyan.
Kinanti memutuskan untuk melanjutkan aktivitasnya, ia memasuki kamar mandi. Untung saja di sana ada dua handuk, jadi ia bisa memakai handuk yang satunya.
Sementara Rayyan bingung tak ada pakaian yang bisa dikenakannya. Ia hanya mengenakan handuk baju di tubuhnya.
Rayyan mencoba memejamkan matanya, namun tak bisa. Ia mengambil remot tv, dan menyalakannya. Tak lama, Kinanti keluar dari kamar mandi dengan memakai handuk sepaha. Ia berjalan kesana kemari melewati Rayyan.
Rayyan menelan salivanya. 'bagaimana bisa dia berjalan-jalan dengan handuk seadanya di depanku?'
"Ekhmm! Hemm!" Rayyan berdehem sedikit keras, untuk menyadarkan Kinanti bahwa disana juga ada dirinya.
Namun Kinanti masih biasa saja, ia mengambil baju di lemari setelah sebelumnya memakai pakaian dalam dikamar mandi.
"Hem! Kinan, kau punya minuman dingin?" tanya Rayyan. entahlah, rasanya panas sekali, padahal baru saja ia kedinginan.
"Ada di kulkas." jawab Kinanti dengan enteng.
Rayyan tak habis pikir, Kinanti bahkan sudah menyadarinya bahwa dia tidak sendirian.
Akhirnya, Rayyan menuju lemari es untuk mengambil minuman. ia menemukan soda di dalamnya, langsung saja ia teguk. Saat berbalik, Rayyan terkejut dan hampir memuntahkan Kembali minumannya. Di depannya, ia melihat Kinanti mencari-cari pakaian dengan tanpa menggunakan handuk.
Bayangkan, di depan matanya, Rayyan disuguhkan wanita cantik yang hanya mengenakan pakaian dalam. Celana pendek, dan kaus dalam yang ketat.
Tidak taukah Kinanti, hal itu sangat berbahaya untuknya. Dari tadi Rayyan menahan segala hasrat yang ada dalam dirinya. Mengabaikan kebuasan dalam pikirannya.
Di kepalanya, Kinanti seperti menari-nari dengan balutan di tubuhnya. Arrghhh ... godaan macam apa ini? Apakah Kinanti balas dendam karna selama ini Rayyan sering menggodanya?
"Duh, mana sih? Perasaan tadi sudah diberesin." keluh Kinanti, yang tengah mencari pakaian tidurnya.
Ia melangkah mengambil koper dekat lemari, ternyata bajunya ada disitu. Ia baru ingat, sengaja menaruhnya disitu karna akan memakainya.
Kinanti terkekeh, "Bodoh banget."
Ia akan mengenakan baju tidur blous selutut, setelah membuka satu kancing di bajunya, Kinanti mengangkat kedua lengannya untuk memakai baju dari atas.
Namun tak sampai baju itu dipakainya, dari belakang, seseorang tampak menurunkan kembali kedua tanganya.
Orang itu adalah Rayyan, ia melepaskan baju tipis di tangan Kinanti, memutar tubuh wanita itu, lalu mendorongnya ke tembok.
Mata mereka saling bertemu, Kinanti bisa melihat, sorot mata yang dipenuhi birahi. Napasnya tak beraturan, degup jantung terasa lebih kencang seolah saling menimpali.
Perlahan, Kinanti memajukan wajahnya. Mencium bibir seksi di depannya, yang dibalas dengan lembut.
Tak berhenti sampai di situ, pria tiga puluh tahun itu menurunkan bibirnya hingga berhenti di leher jenjang yang menaburkan wangi sabun yang khas.
Rayyan mengangkat tubuh mungil itu menuju ranjang. Melepas handuknya, lalu dilanjutkan dengan melucuti semua kain yang membalut tubuh wanita di depannya.
Semakin waktu berlalu, ruangan itu semakin memanas. Mereka bagai dua insan yang lama tak bertemu, menyalurkan hasrat terpendam, berkumpul menjadi satu.
***
Dito membuka pintu kamarnya. Ia merasa sangat bersalah pada Rayyan, selain mendorongnya ke pantai, Dito juga membiarkannya pergi ke kamar tanpa kunci.
"Benar kan, Pak Rayyan tidak ada."
Ia frustasi melihat kamarnya yang kosong, bingung harus mencari Rayyan dimana. "Apa jangan-jangan, Pak Rayyan pulang ke rumahnya sendiri?"
"Huuhh, tidak mungkin."
Kenapa juga sih, ia baru ingat sekarang kalau kunci kamar ada di tanganya?
Akibat terlalu bersenang-senang ya begini, ia jadi bingung tidak karuan.Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, sejak tiga puluh menit yang lalu Dito kembali dari pantai. Dan sampai sekarang, Rayyan belum kembali juga.
Dito sudah menghubunginya beberapa kali, namun ternyata ponsel Rayyan ada di kamar.
Tubuhnya mulai melemas, membutuhkan tidur saat ini juga. Dito tak bisa berlama-lama menahan kantuk, kalau diibaratkan, matanya itu sudah lima Watt.
Akhirnya, dengan tidak mengunci kamar, Dito menjatuhkan dirinya ke ranjang, tak butuh waktu lama untuknya terlelap.
Rayyan bangun dari tidurnya, setelah beberapa saat, sesuatu dalam dirinya mengingatkan untuk segera bangun.
Astaga, apa yang ia lakukan pada gadis ini? Insiden macam apa ini?
Ia melihat wajah Kinanti yang terlelap dengan damai, tanpa busana. Ini semua ulah dirinya, harusnya ia menuruti perkataan Kinanti tadi. Menelpon Dito lewat ponsel Kinan, untuk membawakan kunci.
Berdua diruangan sempit dengan wanita, sama halnya satu ruangan dengan seekor singa. BERBAHAYA!!
Rayyan menggeser tubuhnya dengan pelan, takut membuat Kinanti terbangun. Entah apa yang akan dikatakannya pada Kinan nanti?
Melihat ponsel Kinanti, jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Dito pasti sudah ada di kamar, tapi bagaimana Rayyan ke kamarnya dengan menggunakan handuk baju?
Ia melangkah menuju kamar mandi, mengeringkan bajunya yang masih agak basah dengan hairdryer. Rayyan memilih memakai baju ini lagi, daripada ia harus keluar dengan menggunakan handuk.
Niatnya, Rayyan mau mengecek dulu, apakah Dito sudah kembali atau belum. Ia membuka kenop pintu, ternyata tidak dikunci. Artinya Dito sudah kembali dan sengaja membiarkan pintu kamar tidak terkunci.
Syukurlah, Rayyan segera membersihkan diri dan berganti pakaian.
Setelah mandi, Rayyan ingin kembali melanjutkan tidur, tapi tidak bisa. Bayangan Kinanti memenuhi pikirannya. Bagaimana kalau Kinanti hamil? Bagaimana kalau Kinanti meminta pertanggung jawabannya?
Astaga, Rayyan tidak habis pikir, kenapa juga sih ia melakukan dosa besar itu? Apa yang akan dilakukannya jika orangtuanya mengetahui Rayyan telah meniduri seorang gadis?
"Aaarrggghh ..."
***
Jangan lupa vote, coment dan berlangganan ya!
-Tidak peduli seberapa sering kau membuatnya tersenyum, yang penting adalah, bagaimana caramu mempertahankannya.- *** Dua insan yang baru beberapa kali bertemu itu saling pandang. Kemudian tersenyum, memamerkan senyum manis. Yasmin bergeser lebih dekat pada suaminya, tubuh polos yang terbalut selimut saling bergesekan. "Mas, katanya mau cerita. Kok malah senyum terus dari tadi?" Arsen mengecup rambut wanita yang bersandar di pelukanya. "Aku mau tanya dulu sama kamu." "Apa?" "Kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Dan apa yang membuatmu menerimaku meski kau sudah tau keadaanku?" "Kenapa aku mau menikah denganmu? Aku juga mau jawaban yang sama dari kamu." "Jawab saja pertanyaanku." Arsen mengalihkan pandangan, sejujurnya ia tak suka dibantah. "Karna aku, tidak punya pilihan lain. Aku yakin apa yang dipilihkan ayah, adalah yang terbaik untukku." "Kenap
Yasmin belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi jika menyukai seseorang, ia pernah beberapa kali. Bahkan Yasmin pernah terjebak di dalam dilema perasaan yang sama. Ia pernah, begitu menyukai seseorang, dan ternyata orang itu juga sama sukanya pada Yasmin. Itulah dilemanya, saat dua insan saling menyukai, tapi tak bisa bersama sebab suatu alasan. Yasmin tidak ingin punya status selain menikah. Sementara waktu itu, umurnya masih genap enam belas tahun. Dengan yakin, Yasmin melenyapkan perasaan itu. Meski banyak alasan indah, sampai Yasmin bisa menyukai pria masa lalunya itu. Sekarang, entah bagaimana awalnya, Yasmin begitu menyukai lelaki di hadapannya. Lelaki berbadan kokoh itu tengah sibuk kesana kemari membereskan barang-barangnya. Yasmin berinisiatif mengambil segelas air untuk suaminya. "Minum dulu, Mas." "Makasih, sayang." Yasmin merasa gugup mendengar panggilan Arsen yang begitu baru di telinga
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?" Seketika Bian dan Sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel. "Emang apa yang terjadi dengan kencan buta lo?" tanya Sandi penasaran. (Malam sebelumnya) "Jadi, kamu Oppa-nya Jung hee?" "Iya." "Makasih ya sudah mau datang. Namaku Jessi." "Aku Jun Ki." "Aku, tak secantik cewek-cewek di Korea, bahkan kulitku saja gak putih." "Bukan masalah." Jessi tersenyum senang, sementara Jun Ki memutar bola matanya, apanya yang gak putih? Siapapun bisa melihat kalau Jessi berkulit putih cerah. Setelah pesanan datang, mereka menyantap makanan dalam hening. "Ah!" Jessi merasakan tasnya terjatuh, dan dengan sigap Jun Ki mengambilkannya. "Gomawo, Oppa!" "Ada apa dengan kakimu? Gatal?" tanya Jun Ki terheran saat melihat ga
"Aku gak mau memilikinya, aku gak mau memilikinya, aku gak mau!"Chaira meremas hadiahnya dengan gemas, tempo hari Chaira memenangkan juara harapan ke dua lomba model. Ia sangat menyesali, kenapa ia harus memiliki prestasi dari bakat yang tidak diinginkannya?Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, tepat saat itu ponselnya berbunyi."Hhh ... Anak Korea itu."Belakangan ini, Jun Ki beberapa kali mengiriminya pesan. Bertanya kosakata yang tidak diketahuinya, tapi entah kenapa meski merasa aneh, Chaira tetap membalas semuachatdari lelaki tampan itu."Kak!" panggil Karmila setelah memasuki kamar Chaira yang tidak tertutup rapat."Eh, ada apa Mil?""Kakak dapet hadiah darimana?""Oh, ini ... kamu mau?" Chaira memyerahkan syal berwarna marun pada adiknya."Wah, bagus banget. Buat aku nih?""Ambil saja kalo mau.""Makasih, jadi ... ini dari siapa?"Chaira menggela napas, "Itu had
Kinanti terbangun dengan memegang kepalanya yang pusing luar biasa. Ia mengingat-ngingat kejadian semalam. "Hah?!" Ia terkejut, spontan menutup mulutnya. Menoleh ke samping, tidak didapatinya pria yang semalam bersamanya. Lalu Kinanti memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa busana. "Apa yang aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri, sambil memijat-mijat kepalanya. Tidak sulit untuk Kinanti mengingat kejadian semalam, ia menyodorkan tubuhnya pada pria dewasa, Ingat! MENYODORKAN!! Ia menghela napas kasar, "Apa karna sudah lama?" Tak lama pintu kamarnya diketuk, Kinanti langsung memilih bajunya random. "Sebentar." Begitu dibuka, ternyata Ismi yang mengetuk pintunya. "Ada apa Mbak?" "Ayo sarapan, yang lain sudah pada nunggu." Dalam hati, Kinanti mengumpat kesal. Kenapa harus ke bawah sih? Kenapa tidak diantar saja makanannya? Ia lupa kalau rombongannya bukan tamu VIP. "Masuk
Rayyan menarik gadis cantik yang berjalan di depannya, lalu membawanya ke ruang musik yang sedang kosong. "Lepasin!" gadis cantik yang bernama Kinanti itu, melepas paksa tangannya yang digenggam erat. Alih-alih menuruti permintaan Kinanti, Rayyan malah menariknya kembali dengan pelan menuju rak buku "Maaf." "Apa kamu harus melakukan ini?" tanya Kinanti dengan putus asa, setelah Rayyan menarik tangannya kencang, lalu mengusapnya perlahan. 'Entah apa yang diinginkannya.'batinnya Ekspresi Rayyan mulai serius, tangan kanannya memegang rak di depannya, lalu menunduk menatap gadis yang keheranan dibuatnya. "Kinan, ayo kita menikah! Aku akan bertanggung jawab." "Hah? apaan sih! Aku bilang, aku sudah punya pacar! Seenaknya kamu ngajak aku nikah." ujar Kinanti seraya mendorong Rayyan agar menjauh darinya. "Kita melakukannya! Gimana kalo kamu hamil? Kamu pikir pacarmu itu mau bertanggung jawab?"
"Refi! Kamu kenapa?" Dengan cepat Arsen membawa wanita itu ke ruang kesehatan. Mengambil minyak hangat, lalu dioleskan pada kepala Refi, sambil memijatnya. Kali ini Refi mengaduh kesakitan di bagian perutnya. "Kamu pasti belum makan." tebak Arsen. Refi mengangguk. Lalu tak lama kemudian, Arsen membawakan roti dan segelas air di tangannya. "Makanlah." "Makasih." "Kenapa kamu bisa sampai telat makan sih? Kamu masih belum sadar juga punya penyakit lambung? Lagian kamu gak perlu diet-diet lagi kan? Kamu kan sudah bukan model lagi!" omel Arsen dengan nada agak tinggi. Sementara Refi hanya tersenyum melihat Arsen yang seolah menghawatirkannya, mau tidak mau, hal itu menambah kepercayaan dirinya. "Aku suka lupa jadwal makan. Habis, gak ada yang ingetin sih." "Terus?" "Maka kembalilah padaku, cuma kamu yang segitu perhatian sama aku." Lagi, Refi mengucapkan kata-kata itu dengan seenaknya,
"Refi, kamu cantik sekali." Perempuan itu bergelayut manja, memeluk lengan Arsen. "Dia memang selalu cantik, namanya juga model, gak cantik, gak tenar." celetuk salah satu MUA. "Kamu juga ganteng banget deh, kalian berdua itu pasangan yang serasi." lanjutnya, sambil menggoda. "Jadi ... sudah selesai kan? Dia sudah boleh ku bawa pulang, kan?" tanya Arsen pada semua kru. "Ya, silakan, sudah boleh dibawa." jawab beberapa karyawan, tak urung menggoda pasangan tersebut. "Kamu capek?" Arsen mengusap kening Refi yang sudah tak berkeringat. Refi mengambil tangan besar itu, lalu menggenggamnya. "Kita makan yu, aku lapar." Sepanjang perjalanan, Refi terus menggenggam tangan Arsen meski tau kekasihnya sedang menyetir. Baginya, waktu bersama Arsen tidak boleh terbuang sia-sia. Kalau bisa, ia ingin membawa tangan pelindung itu kemana-mana.
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja