Yasmin belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi jika menyukai seseorang, ia pernah beberapa kali. Bahkan Yasmin pernah terjebak di dalam dilema perasaan yang sama.
Ia pernah, begitu menyukai seseorang, dan ternyata orang itu juga sama sukanya pada Yasmin. Itulah dilemanya, saat dua insan saling menyukai, tapi tak bisa bersama sebab suatu alasan.
Yasmin tidak ingin punya status selain menikah. Sementara waktu itu, umurnya masih genap enam belas tahun. Dengan yakin, Yasmin melenyapkan perasaan itu.
Meski banyak alasan indah, sampai Yasmin bisa menyukai pria masa lalunya itu.
Sekarang, entah bagaimana awalnya, Yasmin begitu menyukai lelaki di hadapannya. Lelaki berbadan kokoh itu tengah sibuk kesana kemari membereskan barang-barangnya.
Yasmin berinisiatif mengambil segelas air untuk suaminya.
"Minum dulu, Mas."
"Makasih, sayang."
Yasmin merasa gugup mendengar panggilan Arsen yang begitu baru di telinganya. Jantungnya berdetak lebih kencang, begitu Arsen tak sengaja melihatnya, Yasmin hanya tersipu malu.
"Kamu berniat menghias rumah ini? Aku sengaja membiarkannya polos, supaya kamu bisa memilih wallpaper sesukamu."
"Benarkah? Aku suka menghiasnya. Gimana kalo.. kamar ini kita kasih wallpaper motif ini mas." Yasmin mengeluarkan ponselnya, memperlihatkan Arsen beberapa wallpaper elegan.
"Bagus."
"Ini untuk ruang tamu, atau ini ya? Menurut kamu yang mana mas?"
"Hmm... Ini,"
Sedang sibuk memilih-milih, ponsel Arsen berdering. Benda itu terletak tepat didekat Yasmin, hingga dengan jelas Yasmin bisa melihat si penelepon.
Senyum Yasmin memudar begitu ia mengetahui orang yang menelpon suaminya.
"Hallo."
"..."
"Iya."
"..."
"Tidak."
"..."
"Sampai jumpa."
Arsen menyentuh dadanya, perasaan itu sudah hilang. Jantungnya tak lagi berdegup untuk wanita itu.
Namun berbeda ketika melihatnya langsung, butuh proses untuk melupakan kenangan yang pernah diciptakan berdua.
"Aku mandi dulu." ucap Arsen pada Yasmin.
Gadis delapan belas tahun itu sudah menunjukkan sisi aslinya. Meski baru bersama beberapa hari, Arsen merasa puas dengan sifat Yasmin yang baik dan lembut.
Tidak ada alasan untuk Arsen ragu pada wanita yang kini menjadi istrinya. Ia harus bisa melawan Masa lalu demi masa depannya.
***
Malam adalah waktu yang bersaksi akan tenggelamnya matahari. Bulan mempunyai cara sendiri untuk menghibur kegelapan malam.
Mungkin hari-hari kemarin, Arsen merasakan sepinya malam tanpa teman-temannya. Namun kini, tanpa orang-orang bodoh itu, Arsen akan melewati malam ditemani seseorang.
"Hhh ..." Arsen mendesah ringan.
Besok adalah hari pertama ia bekerja kembali setelah beberapa hari mengurusi pernikahannya.
Yunus, ayah Arsen, sebenarnya sudah mempersiapkan bulan madu selama seminggu untuk Arsen. Namun dengan tegas Arsen menolaknya, yah, siapa yang mau berlama-lama bersama orang yang tidak kita cintai?
Namun sekarang, Arsen menyesalinya. Dengan banyaknya pekerjaan di kantor, ia tidak yakin akan bisa menghabiskan waktu bersama Yasmin.
"Mas, kata Bunda, setiap habis makan, kamu suka sekali minum yogurt. Ini, aku siapin."
Arsen mengambil gelas di tangan Yasmin. "Terima kasih."
Benar juga, bila dipikir-pikir, sudah beberapa hari Arsen tidak melakukan kebiasaannya itu. Menikmati yogurt setelah makan malam, atau sebelum tidur.
"Kamu juga harus meminumnya, ini baik untuk pencernaan."
Yasmin mengangguk setuju, "Kandungan probiotik pada yogurt dapat membantu sistem pencernaan."
"Istriku memang pintar, kemarilah ..."
Yasmin mendekati Arsen setelah menghabiskan yogurt di tangannya.
"Kamu berniat untuk kuliah?"
Yasmin menunduk, tidak tau apa yang harus dikatakan. Ayahnya pernah memberi pesan, agar Yasmin tidak merepotkan suaminya, termasuk salah satunya dengan meminta kuliah. Yasmin cukup tau diri posisinya sebelum maupun setelah menikah, ia tetap anak seorang penjual nasi goreng, yang nasibnya beruntung bisa menikahi keluarga berada.
"Yasmin." panggil Arsen.
Sambil tersenyum, Yasmin menjawab panggilan suaminya. "Ya Mas?"
"Kamu mau kuliah?"
"Nggak."
Arsen cukup terkejut mendengar jawaban istrinya. Padahal, di hari pernikahan waktu itu, Yasmin pernah bercerita kalau dia dan sahabatnya, ingin kuliah bersama.
"Kenapa?"
"Gak apa-apa Mas, aku mau fokus menjalani rumah tangga saja."
"Yasmin, kamu itu punya bakat. Kamu pintar, sayang kalau kamu tidak melanjutkan sekolah."
Ya, setau Arsen, Yasmin adalah gadis yang pintar. Arsen sempat meminta tolong pada temannya untuk mencari tau segalanya tentang Yasmin.
"Aku tidak punya cukup-"
"Kamu tidak perlu khawatir soal biaya, kamu hanya perlu fokus untuk kuliah."
"Apa .. Mas Arsen malu mempunyai istri tidak berpendidikan sepertiku?" tanya Yasmin dengan hati-hati.
"Apa kamu bilang?"
Yasmin menelan ludah, sepertinya ia salah bicara.
"Maksudku, aku memang tidak mau kuliah. Aku tidur dulu Mas."
Kemudian Yasmin berbaring, ia menarik selimut di kakinya. Namun Arsen segera menghalanginya, Arsen menindih tubuh mungil itu, menatap dalam wanita di hadapannya, membelai setiap jengkal tubuh Yasmin.
'biarkan aku melakukannya lagi!'
Begitulah, obrolan ringan itu berakhir panas di ranjang.
***
Arsen sengaja berangkat kantor agak siang dari seharusnya. Yah, mau gimana lagi, ia masih ingin menghabiskan waktu dengan Yasmin di ranjang.
"Pagi Pak Arsen." sapa beberapa karyawan di kantor, termasuk pak satpam.
Arsen hanya mengangguk membalasnya.
Refi segera berdiri begitu melihat Arsen, "Kamu kemana aja sih? Kenapa baru dateng?"
Arsen melirik sekilas pada wanita yang baru saja mengomelinya, "Berikan saja jadwalku." ucapnya singkat, lalu memasuki ruangannya.
Harum yang khas memenuhi ruangan begitu Arsen memasukinya.
"Bagus! Masih sama."Arsen berjalan ke arah jendela setelah meletakkan tasnya. Pemandangan langit biru, arus balik kendaraan di bawah sana, dan ... tanamannya!
"Arsen!"
Arsen mengalihkan pandangannya, ckck, sekertaris cerewetnya itu!
"Dimana Diana? Apa dia menyiram tanamanku?"
Refi menghela nafas, "Cuma itu yang kamu khawatirkan? Arsen, pekerjaan kita banyak, bisa-bisanya kamu lebih mengkhawatirkan tanaman jelekmu itu!"
"Itu adalah tanaman keberuntunganku! Ghina, sekertarisku dulu, dia selalu merawat tanamanku saat aku tidak ada. Seharusnya kamu melakukan hal yang sama, sekarang aku hanya bisa mengandalkan office girl."
Refi memperhatikan penampilan Arsen dari bawah hingga atas.
"Pertama-tama, kamu harus memperhatikanmu dulu."Kemudian Refi berjalan menuju Arsen, berniat ingin membenarkan dasi Arsen yang kurang rapih.
"Lihat, dasimu bahkan acak-acakan begini. Pasti istrimu tidak terampil melakukanya."
Arsen menangkap tangan Refi, lalu melepaskannya.
"Jika kau amat memperhatikan penampilan, jadi model saja lagi, jangan bekerja di kantor."
Refi membuang napas kasar, "Ini jadwalmu, baca sendiri!" ucapnya, lalu pergi dari hadapan Arsen.
Sekertaris macam apa dia, berani-beraninya menyuruh bos sendiri.
Tak jarang Arsen membandingkan Refi dengan sekertarisnya dulu, Ghina, sekretaris Arsen sebelumnya, tidak pernah bersikap seperti itu pada Arsen. Namun sayang, Ghina harus meninggalkan pekerjaan karna akan menikah.
Sementara Refi, tadinya ia berprofesi sebagai model, namun karna suatu skandal, Refi harus mengundurkan diri dari profesinya itu. Terlebih, Refi memang merencanakan menikah dengan Arsen. Namun karna suatu alasan, cinta mereka kandas sebelum ke pernikahan. Jadi, Refi memilih meneruskan bekerja di kantor Arsen.
"Kemarin sudah saya siram Pak, tapi hari ini belum. Saya pikir Bapak akan datang pagi-pagi." ucap Diana, office girl kepercayaan Arsen pengurus tanamannya.
"Lagi pula, kamu tau darimana kalau saya ke kantor hari ini?"
"Hmm ... Non Refi yang mengatakannya."
"Ya sudah, kamu boleh pergi. Oya, kamu melihat Refi?"
"Ta-tadi saya liat, Non Refi ada diruang khusus miniatur."
"Apa?!"
Tanpa berpikir panjang, Arsen segera menuju ruang berharganya. Beberapa kali Arsen melarang siapapun masuk ke ruang penting itu, termasuk Refi-sekertarisnya.
"Dia selalu melanggar yang ku perintahkan."
Tanpa mengetuk pintu, Arsen membuka kenop pintu dengan cepat.
"Apa yang kamu lakukan disini? Aku sudah melarangmu kan?""Refi?"
Wajah Arsen dipenuhi sorot keheranan, melihat wanita di depanya menangis tersedu-sedu.
"Arsen, ayo kita kembali seperti dulu. Sekarang, aku sudah menerima keadaan kamu."
"Kenapa kau berubah pikiran?"
"Mau dipikirkan beberapa kalipun, nyatanya kamu memang tetap sempurna."
"Jangan katakan itu! Sekarang sudah tidak berlaku lagi."
"Tatap aku Arsen, tatap aku! Aku yakin kamu masih mencintai aku, aku yakin tidak mudah kamu berpaling dariku." wanita yang pernah ada di masa lalunya itu menggoyang-goyangkan bahu Arsen.
"Lepas!"
"Aaahh!" Refi memegang kepalanya,
"Refi, kamu kenapa?"
***
Jangan lupa vote, coment, dan berlangganan ya!
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?" Seketika Bian dan Sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel. "Emang apa yang terjadi dengan kencan buta lo?" tanya Sandi penasaran. (Malam sebelumnya) "Jadi, kamu Oppa-nya Jung hee?" "Iya." "Makasih ya sudah mau datang. Namaku Jessi." "Aku Jun Ki." "Aku, tak secantik cewek-cewek di Korea, bahkan kulitku saja gak putih." "Bukan masalah." Jessi tersenyum senang, sementara Jun Ki memutar bola matanya, apanya yang gak putih? Siapapun bisa melihat kalau Jessi berkulit putih cerah. Setelah pesanan datang, mereka menyantap makanan dalam hening. "Ah!" Jessi merasakan tasnya terjatuh, dan dengan sigap Jun Ki mengambilkannya. "Gomawo, Oppa!" "Ada apa dengan kakimu? Gatal?" tanya Jun Ki terheran saat melihat ga
"Aku gak mau memilikinya, aku gak mau memilikinya, aku gak mau!"Chaira meremas hadiahnya dengan gemas, tempo hari Chaira memenangkan juara harapan ke dua lomba model. Ia sangat menyesali, kenapa ia harus memiliki prestasi dari bakat yang tidak diinginkannya?Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, tepat saat itu ponselnya berbunyi."Hhh ... Anak Korea itu."Belakangan ini, Jun Ki beberapa kali mengiriminya pesan. Bertanya kosakata yang tidak diketahuinya, tapi entah kenapa meski merasa aneh, Chaira tetap membalas semuachatdari lelaki tampan itu."Kak!" panggil Karmila setelah memasuki kamar Chaira yang tidak tertutup rapat."Eh, ada apa Mil?""Kakak dapet hadiah darimana?""Oh, ini ... kamu mau?" Chaira memyerahkan syal berwarna marun pada adiknya."Wah, bagus banget. Buat aku nih?""Ambil saja kalo mau.""Makasih, jadi ... ini dari siapa?"Chaira menggela napas, "Itu had
Kinanti terbangun dengan memegang kepalanya yang pusing luar biasa. Ia mengingat-ngingat kejadian semalam. "Hah?!" Ia terkejut, spontan menutup mulutnya. Menoleh ke samping, tidak didapatinya pria yang semalam bersamanya. Lalu Kinanti memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa busana. "Apa yang aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri, sambil memijat-mijat kepalanya. Tidak sulit untuk Kinanti mengingat kejadian semalam, ia menyodorkan tubuhnya pada pria dewasa, Ingat! MENYODORKAN!! Ia menghela napas kasar, "Apa karna sudah lama?" Tak lama pintu kamarnya diketuk, Kinanti langsung memilih bajunya random. "Sebentar." Begitu dibuka, ternyata Ismi yang mengetuk pintunya. "Ada apa Mbak?" "Ayo sarapan, yang lain sudah pada nunggu." Dalam hati, Kinanti mengumpat kesal. Kenapa harus ke bawah sih? Kenapa tidak diantar saja makanannya? Ia lupa kalau rombongannya bukan tamu VIP. "Masuk
Rayyan menarik gadis cantik yang berjalan di depannya, lalu membawanya ke ruang musik yang sedang kosong. "Lepasin!" gadis cantik yang bernama Kinanti itu, melepas paksa tangannya yang digenggam erat. Alih-alih menuruti permintaan Kinanti, Rayyan malah menariknya kembali dengan pelan menuju rak buku "Maaf." "Apa kamu harus melakukan ini?" tanya Kinanti dengan putus asa, setelah Rayyan menarik tangannya kencang, lalu mengusapnya perlahan. 'Entah apa yang diinginkannya.'batinnya Ekspresi Rayyan mulai serius, tangan kanannya memegang rak di depannya, lalu menunduk menatap gadis yang keheranan dibuatnya. "Kinan, ayo kita menikah! Aku akan bertanggung jawab." "Hah? apaan sih! Aku bilang, aku sudah punya pacar! Seenaknya kamu ngajak aku nikah." ujar Kinanti seraya mendorong Rayyan agar menjauh darinya. "Kita melakukannya! Gimana kalo kamu hamil? Kamu pikir pacarmu itu mau bertanggung jawab?"
"Refi! Kamu kenapa?" Dengan cepat Arsen membawa wanita itu ke ruang kesehatan. Mengambil minyak hangat, lalu dioleskan pada kepala Refi, sambil memijatnya. Kali ini Refi mengaduh kesakitan di bagian perutnya. "Kamu pasti belum makan." tebak Arsen. Refi mengangguk. Lalu tak lama kemudian, Arsen membawakan roti dan segelas air di tangannya. "Makanlah." "Makasih." "Kenapa kamu bisa sampai telat makan sih? Kamu masih belum sadar juga punya penyakit lambung? Lagian kamu gak perlu diet-diet lagi kan? Kamu kan sudah bukan model lagi!" omel Arsen dengan nada agak tinggi. Sementara Refi hanya tersenyum melihat Arsen yang seolah menghawatirkannya, mau tidak mau, hal itu menambah kepercayaan dirinya. "Aku suka lupa jadwal makan. Habis, gak ada yang ingetin sih." "Terus?" "Maka kembalilah padaku, cuma kamu yang segitu perhatian sama aku." Lagi, Refi mengucapkan kata-kata itu dengan seenaknya,
"Refi, kamu cantik sekali." Perempuan itu bergelayut manja, memeluk lengan Arsen. "Dia memang selalu cantik, namanya juga model, gak cantik, gak tenar." celetuk salah satu MUA. "Kamu juga ganteng banget deh, kalian berdua itu pasangan yang serasi." lanjutnya, sambil menggoda. "Jadi ... sudah selesai kan? Dia sudah boleh ku bawa pulang, kan?" tanya Arsen pada semua kru. "Ya, silakan, sudah boleh dibawa." jawab beberapa karyawan, tak urung menggoda pasangan tersebut. "Kamu capek?" Arsen mengusap kening Refi yang sudah tak berkeringat. Refi mengambil tangan besar itu, lalu menggenggamnya. "Kita makan yu, aku lapar." Sepanjang perjalanan, Refi terus menggenggam tangan Arsen meski tau kekasihnya sedang menyetir. Baginya, waktu bersama Arsen tidak boleh terbuang sia-sia. Kalau bisa, ia ingin membawa tangan pelindung itu kemana-mana.
"Chaira, aku antar pulang ya." "Siapa juga yang mau pulang." Gadis berjilbab itu membereskan buku ke dalam tasnya. "Terus, kamu mau ngapain di sini?" "Lee Jun Ki, kamu kepo sekali." Tawa junki terdengar merespon ucapan Chaira. "Kau mengikutiku ya?" Tanpa membalas perkataan Jun Ki, Chaira memasukkan hendsetnya ke dalam tas. "Jungki! Gue duluan ya!!" seru Sandi diikuti Bian. "Iya ..." balasnya seraya melambaikan tangan. "Kamu gak pulang bareng temenmu?" "Kan, aku pulang sama kamu?" Chaira memutar bola matanya. "Aku tahu kamu hari ini tidak membawa motor, kan?" 'Bagaimana dia bisa tau?'tanya Chaira dalam hati. Suasana kelas sudah kosong, tinggal mereka berdua. Hari ini Chaira memang tidak membawa motor, karna dipakai adiknya. "Sudah ku bilang, aku tidak pulang." "Oh, kau mau makan siang ya?" Kini mereka sudah keluar kelas, s
Jun Ki dengan cepat menuruni panggung saat seseorang yang dilihatnya pergi begitu saja. Tanpa memperdulikan panggilan dari kedua temannya, Jun Ki berlari keluar gerbang kampus, mencari-cari, lalu menemukan seorang gadis yang sepertinya tengah menunggu angkot. Ia berjalan mendekati gadis yang bernama Chaira itu, saat gadis itu melambaikan tangannya untuk memanggil mobil umum, Jun Ki mempercepat jalannya dan langsung menghentikan Chaira. Dengan tangan kirinya, ia menahan Chaira yang akan menaiki angkot. "Pak, maaf, tidak jadi." ucapnya. Setelah mobil itu pergi, Jun Ki ingin mengajak Chaira pulang bersama, namun gadis itu sudah pergi menjauhinya. "Chaira!" Susah payah Jun Ki berlari kembali menyejajarkan langkahnya dengan Chaira. "Kenapa kamu lari?" tanya pria keturunan Korea tersebut, sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. "Kamu tuh ngapain sih? Sebenernya kamu tuh mau apa?" "Aku hanya
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja