"Kamu ngapain sih, masih di sini?"
Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja.
Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum.
"Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi."
"Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Jangan lupa vote. coment dan berlangganan ya!
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
Cerita cinta ini, sama sekaligus berbedadengan kisah lainya.Tentang rindu yang mengumpul menjadi satu, tentang cinta yang tak urung berliku-liku.***"Yasmin!!"Gadis manis berjilbab hitam itu melambai pada temanya, lalu menghampirinya."Chaira, kamu senang banget, ada kabar apa?"Seolah baru saja dapat jackpot, gadis yang bernama Chaira itu tak dapat lagi menyembunyikan kebahagiaan di binar matanya."Aku diterima di kampus AA!!" ucapnya dengan gembira.Melihat temannya yang sangat bahagia, Yasmin tersenyum lebar, ikut bahagia juga. Walau di sisi lain, ia merasa sangat sedih karena tidak bisa kuliah seperti teman-temannya yang lain."Yasmin, kamu harus janji, setelah kamu mengumpulkan uang, kamu juga akan kuliah sama sepertiku ya?" pinta Chaira
BAB 1 | Hari Pertama Chaira KuliahHujanAda yang berbeda dengan hujan kali ini..Cara langit menumpahkan air, di mataku tampak tak biasa. Kadang dengan lembut mereka turun, lalu bertambah kian deras.Ah, bukankah hanya air yang datang secara bersamaan? Mengapa aku merasa terusik?Rupanya, hujan kali ini hadir diringi kenangan.Menyaksikanya, aku bagai bercermin dengan masa lalu.Kala itu, aku tengah termenung, tanganku menengadah ke atas, rintikan hujan beramai-ramai membasahiku. Tak terkecuali wajahku, yang sesekali menatap bagaimana air itu terjun ke bumi. Sudah menjadi hobi untukku, berlama-lama memandang hujan. Bedanya kali ini, aku lebih berani memperhatikannya, karena ia berhasil membuatku melamun, dan dengan lancangnya mengingatkanku pada secarik masa lalu..
"Ingat ini, kamu bekerja hanya setengah hari daripada yang lainya. Jadi gajimu hanya delapan ratus ribu saja perbulan. Datang jam dua siang dan jaga sampai malam. Paham?""Saya mengerti Bu, terima kasih banyak."Dengan erat Chaira menggenggam peralatan yang diperlukannya untuk bekerja besok._Seharusnya sesudah sholat subuh Chaira tidak boleh tidur lagi. Tapi kebiasaan buruknya itu sudah mendarah daging hingga saat ini. meski dalam hati, ia selalu mengingatkan diri sendiri untuk mengubah kebiasaannya itu. Karena mulai sekarang, ia akan bekerja keras dan menjalani kuliah dengan sepenuh hati.Chaira bersiap-siap memasak sebelum mandi, namun ternyata di dapur tidak ada bahan makanan yang memadai. Ada telur, tapi tidak ada beras ata
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja