"Aku gak mau memilikinya, aku gak mau memilikinya, aku gak mau!"
Chaira meremas hadiahnya dengan gemas, tempo hari Chaira memenangkan juara harapan ke dua lomba model. Ia sangat menyesali, kenapa ia harus memiliki prestasi dari bakat yang tidak diinginkannya?
Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, tepat saat itu ponselnya berbunyi.
"Hhh ... Anak Korea itu."
Belakangan ini, Jun Ki beberapa kali mengiriminya pesan. Bertanya kosakata yang tidak diketahuinya, tapi entah kenapa meski merasa aneh, Chaira tetap membalas semua chat dari lelaki tampan itu.
"Kak!" panggil Karmila setelah memasuki kamar Chaira yang tidak tertutup rapat.
"Eh, ada apa Mil?"
"Kakak dapet hadiah darimana?"
"Oh, ini ... kamu mau?" Chaira memyerahkan syal berwarna marun pada adiknya.
"Wah, bagus banget. Buat aku nih?"
"Ambil saja kalo mau."
"Makasih, jadi ... ini dari siapa?"
Chaira menggela napas, "Itu hadiah dari lomba."
"Wah, lomba apa?"
"Model."
"Hebat kamu kak!" seru Karmila tak percaya, "Dapet juara berapa?" lanjutnya.
"Juara harapan ke dua. Oh iya, sama uang nih."
Chaira menyerahkan dua lembar uang kertas berwarna merah pada adiknya."Buat aku?" tanya Karmila lagi yang dibalas anggukan oleh sang kakak.
"Tapi, ini kan ... uang-"
"Pake aja, kakak masih ada kok. Ayah dimana?"
"Ayah sudah mulai bekerja lagi."
"Apa?! Emangnya ayah udah sembuh?"
"Katanya sih gitu."
Chaira melamun membayangkan sang ayah harus bekerja kembali di tengah terik matahari begini. Ia mengambil baju di lemari, lalu memakainya.
"Mau kemana?"
"Aku kerja dulu ya."
***
Sandi memeperhatikan Bian yang terlihat diam saja dari tadi, tidak seperti biasanya.
Ia menepuk pundak temanya, "Lo kenapa diem aja?"
"Haduh ... emak gue, masa nyuruh gue buat bantuin dia ngajar anak TK?" jawab lelaki berambut gondrong itu.
Seketika Sandi tertawa, lalu mencolek Jun Ki yang juga ikut tertawa.
"Gampang itu mah." ujar Sandi setelah meredakan tawanya.
"Diem, lo."
"Nih, tinggal ajarin mereka gini aja, Hemat pangkal kaya, Rajin pangkal?"
"Paha!" seru Jun Ki yang membuat Bian dan Sandi terkejut.
"Heh Jun Ki! Darimana lu dapet kata2 begitu? Bisa-bisanya lu merusak pepatah nasihat negara Indonesia." Omel Bian, namun tidak bisa menahan tawanya.
Jun Ki hanya tertawa.
"Gue yakin nih, kali ini pasti dia udah tau. Cuma pura2 polos aja!" ucap Sandi, lalu mereka saling menoyor.
Para Mahasiswa memasuki kelas, lantas beberapa yang sudah di kelas pun duduk bersiap.
"Jungki, lo mu kemana?" tanya Bian saat Jun Ki yang biasa duduk di sebelah Sandi, memilih pergi ke tempat duduk lain.
Tanpa menjawab pertanyaan Bian, Jun Ki malah tersenyum seraya mengacungkan jari berbentuk ceklis di dagunya.
"Sok cantik!" ejek Bian.
"Dia ngapain kesana?"
"Entah tuh, anjir ternyata dia duduk di deket Chaira!"
Sementara Chaira yang baru datang, merasa heran tiba-tiba Jun Ki sudah di samping tempat duduknya.
"Kamu ngapain di sini? Emang ini kelas Pak Ilham?"
"Kiara, apa sekarang kau memilih untuk mengurusiku terus?" goda Jun Ki.
"Namaku Chairaaa!!" ralat Chaira dengan nada gemas, sudah berapa kali Jun Ki salah menyebut namanya?
Namun, Jun Ki malah tertawa melihat ekspresi Chaira yang menggemaskan.
Setelah kelas selesai, Chaira menyerongkan duduknya, matanya memicing melihat Jun Ki masih betah di tempat duduknya.
"Kenapa kamu masih di sini?"
Melihat posisi Chaira, Jun Ki mengubah posisi bangkunya menghadap Chaira.
Kemudian tersenyum, "Kau lupa sesuatu."
"Ngapain kamu kaya gitu?"
"Chaira, kamu lupa sesuatu."
"Sihirisnyi Kimi miminggilki ippi!" ejek Chaira.
"A-apa itu? Apa maksudmu?" Jun Ki berpikir sebentar, setelah ia mengerti yang dimaksud Chaira, ia terkekeh.
"Benar!"
"Kamu sekarang mengaturku! Lagian ngapain aku manggil kamu begitu, kamu saja masih salah memanggil namaku!" cecar Chaira.
Jun Ki bertepuk tangan, "Wah Chaira, ternyata kamu cukup cerewet. Ehm, tapi kan sekarang aku sudah benar memanggil namamu."
Gadis berjilbab itu memalingkan wajahnya.
"Chaira, ayo kita buat kesepakatan. Kau panggil aku Oppa, dan aku takkan salah menyebut namamu lagi."
"Gak!" tolak Chaira.
"Kau memang gadis yang cuek, kalau dipikir-pikir, cuma kamu yang tidak memanggilku Oppa."
"Hih, dia sangat haus panggilan aneh itu." gumam Chaira yang masih terdengar oleh Jun Ki.
"Apa katamu?"
Kali ini Chaira memilih mengabaikan lelaki di sampingnya, ia membuka buku dan membacanya. Namun Chaira teringat sesuatu,
"Jun Ki, ada hubungan apa kamu dan Pak Rayyan? Apa kalian masih satu keluarga?"
Chaira menoleh ke samping, saat cowok Korea di sampingnya itu malah mendiamkannya.
"Jun Ki!"
"Call me Oppa ..." ucap Jun Ki dengan nada seolah sedang bernyanyi.
Dasar cowok sok keren satu ini, Chaira benar-benar kesal dibuatnya. Ia berdiri dari duduknya, menatap Jun Ki, lalu berteriak. "OPPA!!"
Semua orang yang tersisa di kelas serentak melihat Chaira, tadinya Chaira masih tidak sadar, dengan mata melotot, Chaira membuat ekspresi seolah ingin mencabik-cabik pria di depanya.
"Ne ... sayang ..."
Menghela napas kasar, Chaira hendak mengomeli Jun Ki namun matanya sekilas melihat sekeliling, langsung saja Chaira duduk kembali, dan melanjutkan membaca bukunya.
Ia malu sekali, bisa-bisanya sih ia berteriak di kelas dengan banyak orang, yang sedang membaca, karna kelas selanjutnya ada kuis.
'Aku ngapain sih?'
ucapnya dalam hati.***
"Chaira, kamu jadian sama Jun Ki?"
Chaira terkejut mendapati pertanyaan yang sama dari teman-temanya.
"Hah? Nggak ..."
"Cieee ... dapet cowok Korea." ejek salah satu teman kelasnya yang bernama Ajeng.
"Apaan sih, nggak kok."
"Kemaren kamu kenapa kok teriakin dia 'Oppa!" tanya Ajeng sembari meragakan bagaimana Chaira berteriak kemarin.
"Dia bikin kesel."
Kemudian Chaira memilih duduk di kursinya, alih-alih meneruskan obrolan yang tak jelas itu.
"Kok ngantuk ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Chaira menguap untuk yang ke beberapa kalinya, ia melirik jam dinding, "tidur dulu deh, mempeng Dosen belum dateng." ucapnya, lalu menjatuhkan kepalanya ke meja.
Beberapa saat kemudian, seseorang menoel lengan Chaira. Awalnya Chaira tak peduli, namun ia sadar dirinya sedang di kampus.
"Apa Dosen sudah datang?" ucapnya setelah duduk dengan tegap.
Namun yang ia dapati adalah cowok Korea yang sudah duduk di sampingnya, sambil memperhatikan Chaira.
"Kenapa kamu disini?"
"Chaira, kamu sangat pelupa ya?"
"Apa sekarang kelas Pak Ilham?"
"Call me Oppa ..."
Chaira menutup kedua telinganya, mendengar Jun Ki lagi-lagi menyanyikan lirik asal-asalannya itu.
Heran, kenapa teman-teman Jun Ki membiarkan cowok Korea ini duduk di samping Chaira sih? Biasanya mereka langsung mengganggu Jun Ki.
Gadis itu memperhatikan kedua lelaki di bangku terakhir sana, mereka tengah mengobrol ria tanpa memperdulikan satu temannya yang ada di samping Chaira.
Tiba-tiba kepala Jun Ki menghalangi Chaira yang tengah melihat Bian dan Sandi, seolah sengaja, Jun Ki mengikuti kepala Chaira ke kiri dan ke kanan. Menghalangi gadis berjilbab itu.
Dengan kesal, Chaira menarik kuping Jun Ki dengan keras.
"Aww! Aaaww!!"
Setelah melepasnya, Chaira menghadap ke depan dan memilih mengabaikan Jun Ki.
"Chaira, kau kasar sekali." keluh Jun Ki, sambil mengusap-ngusap telinganya.
***
Jangan lupa vote, coment dan berlangganan ya!
I* : Reast07
Kinanti terbangun dengan memegang kepalanya yang pusing luar biasa. Ia mengingat-ngingat kejadian semalam. "Hah?!" Ia terkejut, spontan menutup mulutnya. Menoleh ke samping, tidak didapatinya pria yang semalam bersamanya. Lalu Kinanti memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa busana. "Apa yang aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri, sambil memijat-mijat kepalanya. Tidak sulit untuk Kinanti mengingat kejadian semalam, ia menyodorkan tubuhnya pada pria dewasa, Ingat! MENYODORKAN!! Ia menghela napas kasar, "Apa karna sudah lama?" Tak lama pintu kamarnya diketuk, Kinanti langsung memilih bajunya random. "Sebentar." Begitu dibuka, ternyata Ismi yang mengetuk pintunya. "Ada apa Mbak?" "Ayo sarapan, yang lain sudah pada nunggu." Dalam hati, Kinanti mengumpat kesal. Kenapa harus ke bawah sih? Kenapa tidak diantar saja makanannya? Ia lupa kalau rombongannya bukan tamu VIP. "Masuk
Rayyan menarik gadis cantik yang berjalan di depannya, lalu membawanya ke ruang musik yang sedang kosong. "Lepasin!" gadis cantik yang bernama Kinanti itu, melepas paksa tangannya yang digenggam erat. Alih-alih menuruti permintaan Kinanti, Rayyan malah menariknya kembali dengan pelan menuju rak buku "Maaf." "Apa kamu harus melakukan ini?" tanya Kinanti dengan putus asa, setelah Rayyan menarik tangannya kencang, lalu mengusapnya perlahan. 'Entah apa yang diinginkannya.'batinnya Ekspresi Rayyan mulai serius, tangan kanannya memegang rak di depannya, lalu menunduk menatap gadis yang keheranan dibuatnya. "Kinan, ayo kita menikah! Aku akan bertanggung jawab." "Hah? apaan sih! Aku bilang, aku sudah punya pacar! Seenaknya kamu ngajak aku nikah." ujar Kinanti seraya mendorong Rayyan agar menjauh darinya. "Kita melakukannya! Gimana kalo kamu hamil? Kamu pikir pacarmu itu mau bertanggung jawab?"
"Refi! Kamu kenapa?" Dengan cepat Arsen membawa wanita itu ke ruang kesehatan. Mengambil minyak hangat, lalu dioleskan pada kepala Refi, sambil memijatnya. Kali ini Refi mengaduh kesakitan di bagian perutnya. "Kamu pasti belum makan." tebak Arsen. Refi mengangguk. Lalu tak lama kemudian, Arsen membawakan roti dan segelas air di tangannya. "Makanlah." "Makasih." "Kenapa kamu bisa sampai telat makan sih? Kamu masih belum sadar juga punya penyakit lambung? Lagian kamu gak perlu diet-diet lagi kan? Kamu kan sudah bukan model lagi!" omel Arsen dengan nada agak tinggi. Sementara Refi hanya tersenyum melihat Arsen yang seolah menghawatirkannya, mau tidak mau, hal itu menambah kepercayaan dirinya. "Aku suka lupa jadwal makan. Habis, gak ada yang ingetin sih." "Terus?" "Maka kembalilah padaku, cuma kamu yang segitu perhatian sama aku." Lagi, Refi mengucapkan kata-kata itu dengan seenaknya,
"Refi, kamu cantik sekali." Perempuan itu bergelayut manja, memeluk lengan Arsen. "Dia memang selalu cantik, namanya juga model, gak cantik, gak tenar." celetuk salah satu MUA. "Kamu juga ganteng banget deh, kalian berdua itu pasangan yang serasi." lanjutnya, sambil menggoda. "Jadi ... sudah selesai kan? Dia sudah boleh ku bawa pulang, kan?" tanya Arsen pada semua kru. "Ya, silakan, sudah boleh dibawa." jawab beberapa karyawan, tak urung menggoda pasangan tersebut. "Kamu capek?" Arsen mengusap kening Refi yang sudah tak berkeringat. Refi mengambil tangan besar itu, lalu menggenggamnya. "Kita makan yu, aku lapar." Sepanjang perjalanan, Refi terus menggenggam tangan Arsen meski tau kekasihnya sedang menyetir. Baginya, waktu bersama Arsen tidak boleh terbuang sia-sia. Kalau bisa, ia ingin membawa tangan pelindung itu kemana-mana.
"Chaira, aku antar pulang ya." "Siapa juga yang mau pulang." Gadis berjilbab itu membereskan buku ke dalam tasnya. "Terus, kamu mau ngapain di sini?" "Lee Jun Ki, kamu kepo sekali." Tawa junki terdengar merespon ucapan Chaira. "Kau mengikutiku ya?" Tanpa membalas perkataan Jun Ki, Chaira memasukkan hendsetnya ke dalam tas. "Jungki! Gue duluan ya!!" seru Sandi diikuti Bian. "Iya ..." balasnya seraya melambaikan tangan. "Kamu gak pulang bareng temenmu?" "Kan, aku pulang sama kamu?" Chaira memutar bola matanya. "Aku tahu kamu hari ini tidak membawa motor, kan?" 'Bagaimana dia bisa tau?'tanya Chaira dalam hati. Suasana kelas sudah kosong, tinggal mereka berdua. Hari ini Chaira memang tidak membawa motor, karna dipakai adiknya. "Sudah ku bilang, aku tidak pulang." "Oh, kau mau makan siang ya?" Kini mereka sudah keluar kelas, s
Jun Ki dengan cepat menuruni panggung saat seseorang yang dilihatnya pergi begitu saja. Tanpa memperdulikan panggilan dari kedua temannya, Jun Ki berlari keluar gerbang kampus, mencari-cari, lalu menemukan seorang gadis yang sepertinya tengah menunggu angkot. Ia berjalan mendekati gadis yang bernama Chaira itu, saat gadis itu melambaikan tangannya untuk memanggil mobil umum, Jun Ki mempercepat jalannya dan langsung menghentikan Chaira. Dengan tangan kirinya, ia menahan Chaira yang akan menaiki angkot. "Pak, maaf, tidak jadi." ucapnya. Setelah mobil itu pergi, Jun Ki ingin mengajak Chaira pulang bersama, namun gadis itu sudah pergi menjauhinya. "Chaira!" Susah payah Jun Ki berlari kembali menyejajarkan langkahnya dengan Chaira. "Kenapa kamu lari?" tanya pria keturunan Korea tersebut, sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. "Kamu tuh ngapain sih? Sebenernya kamu tuh mau apa?" "Aku hanya
"Kinanti, dipanggil Pak Rayyan tuh." seru Mbak Ismi, menyadarkan Kinanti dari lamunannya. "Aku sudah cocok jadi imam kamu kan?" tanya Rayyan dengan wajah menggodanya. Kinanti memutar bola matanya, tak berniat menjawab. "Sudahlah, sana pergi. Keburu adzan tuh ... jangan godain anak gadis mulu." ujar Mrs.Hana, mengusir Rayyan dan asistennnya yang belum pergi juga. "Gadis bukan perawan maksudnya? Haha ..." Rayyan menyenggol Dito, asistennya. Lalu dengan cepat Dito menutup mulutnya, begitu melihat Kinanti tidak menanggapi candaannya. "Sorry,ya Kinan. Gue berncanda." ucapnya, lantas tangannya ditarik Rayyan untuk segera keluar. Kinanti jadi bingung sendiri, kenapa bisa Dito bicara begitu? apa yang Rayyan ceritakan padanya? entahlah, Kinanti tidak mau membuat pusing dirinya dengan perkataan konyol lelaki itu.-Sudah lama semenjak kejadian di Bali, namun Rayyan masih saja belum menyerah mengaja
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja