"Chaira!"
Gadis manis berjilbab itu menoleh,
"Ini pulpen kamu, makasih ya." ucap Jun Ki setelah berlari menghampiri Chaira.
"Jungki, lo ngasih apa sama my honey Chaira?" tanya Bian.
"Dih jijik banget lu!" sambar Sandi mendengar Bian menyebut Chaira dengan embel-embel My honey.
"Diem lu! Jungki, bisa-bisanya lu merebut cewek inceran kita berdua." ucap Bian yang disetujui oleh Sandi.
"Maksudnya? Aku cuma mengembalikan pulpen kok. Lagipula, malam ini aku ada kencan buta dengan seseorang."
"Anjir, gue baru tau di Indonesia juga ada kencan buta." kata Bian,
"Ini rekomendasi dari adikku, aku hanya mengikuti saja."
"Semoga sukses ya!" ucap Sandi memberi semangat.
***
Chaira memakai seragam kerjanya, dilanjutkan dengan memoles sedikit Make up."Hmm, siapa peduli aku memakai riasan saat pulang kuliah."
Benar, Chaira bukan orang yang hobi memoles wajahnya. Ia nyaris tak pernah memakai make up, karna ia tidak percaya diri dengan riasan. Toh, tanpa make up pun, ada beberapa orang yang mengatakan Chaira cantik! Pikirnya.
Namun semenjak melihat Kinanti, rasa ingin memakai riasan menjadi tergugah. Maka saat bekerja, Chaira membiasakan diri memakainya.
"Kak, dua yah, rasa mathca dan redvelvet."
"Iya, sebentar ya."
Chaira melirik lelaki di depannya, sambil melayani pesanan. Hmm, kenapa akhir-akhir ini Chaira dikelilingi cowok-cowok Korea sih?
Melihat wajah sang pembeli, Chaira yakin dia adalah orang Korea. Matanya agak sipit, kulitnya putih bersih dan postur tubuhnya tinggi. Mengingatkan Chaira pada Lee Jun Ki.
"Jung hee!"
Chaira terhenti melihat orang yang baru saja memanggil pelanggannya.
'lee jun ki? aduh, gimana nih, gak bisa ngumpet'
"Ada apa Hyung?"
'H-hyung? Apakah mereka kakak beradik?'
"Sudah belinya?"
"Sudah tuh, sedang dilayani."
"Kamu ... Chaira kan?" Jun Ki terkejut melihat teman kuliahnya, terlihat berbeda.
"I-iya."
"Kamu kerja disini?"
Chaira mengangguk, setelah pesanan selesai, Chaira langsung memberikannya pada seroang lelaki di sebelah Lee Jun Ki.
"Terima kasih." ucapnya.
"too ..."
Chaira segera membalikkan badannya, sementara Jun Ki terlihat bingung, lalu mengikuti adiknya menuju mobil.
"Kau kenal cewek itu?" tanya Rangga-nama Indonesia Jung Hee, saat mereka sudah memasuki mobil.
"Dia teman kuliahku."
"Kalau begitu, kau tidak perlu melakukan kencan buta lagi." ujar sang adik.
"Aku yakin, kau dikelilingi banyak cewek cantik di kampus." Lanjutnya.
"Siapa peduli? Kau kan yang memaksaku melakukan itu." ucap Jun Ki, mengingat kembali malam kencan butanya yang tak berjalan baik.
Jung hee terkekeh.
"Benar kata ayah. Hyung, kau harus belajar bahasa Indonesia lebih baik lagi. Ehmm, bukan-bukan, lebih tepatnya, kau harus belajar bahasa anak muda zaman sekarang."***
Chaira tidak tau apa yang harus dilakukannya saat di kampus nanti. Jun Ki melihatnya memakai riasan dan berjualan Thai tea. Semoga saja, Jun Ki tidak menceritakan pada teman-temannya.Di toilet kampus.
"Chaira!"
"Ada apa kak?"
"Belikan aku jus alpukat."
"B-baik kak."
Rika menyuruh Chaira membelikan minuman. Ini bukan pertama kalinya, masih ingatkan, saat Rika meminta agar Chaira menurut padanya?
Terkadang Chaira berpikir, ia seperti babu saja bagi Rika.
_
Setiap ulang tahun kemerdekaan Indonesia, di kampus AA, selalu mengadakan berbagai macam lomba. Bukan lomba olahraga atau permainan seperti hal nya saat di SMA, namun hanya lomba-lomba penampilan seperti puisi solo, puisi berantai, stand up comedy, drama musikal, teater, bernyanyi, model, lomba karya tulis ilmiah, dan sebagainya.
Beberapa fakultas ada yang tidak mengikuti, namun untuk Maba, acara ini wajib diikuti. Termasuk kelas Chaira, fakultas ekonomi jurusan manajemen.
Beberapa mahasiswa dikelas Chaira berkumpul membicarakan persiapan untuk acara.
"Trus lo bisanya apa dong?"
"Aku tidak punya bakat apapun."
"Ada apasih?" tanya sandi, saat melihat Chaira dan teman cewek lainya ribut.
"Semua udah kebagian. Drama musikal sama teater. Lo disuruh ikut drama musikal gak mau, teater gak bisa. Bisanya apa? Sebel!" adu seorang mahasiswi yang bernama meli.
"Chaira, emang kamu gak bisa apapun?" kali ini, Ajeng yang mengatakan.
"Tau! Masa punyanya kekurangan doang?"
"Chaira, kamu bisa nyanyi?" tanya sandi. Sementara Chaira hanya menggeleng sebagai jawaban.
Jun Ki yang sedari tadi melihat perselisihan teman-temannya, ikut menimpali, "Jangan terlalu fokus pada kekurangan orang lain. Untuk apa Tuhan menciptakan malam kalau tidak ada bulan untuk menerangi nya? intinya, setiap ciptaan Tuhan, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Jadikan saja dia model, dia cantik kan?"
Semua orang terkejut mendengar Jun Ki. Termasuk kedua temanya, Bian dan Sandi.
"Bener banget, baru aja gue mau ngomong gitu." ujar Bian dengan bangga.
"Ya udah, lo jadi model, jangan bilang gak bisa!" ucap Meli mengakhiri.
Kuliah Pak Ilham, artinya Jun Ki harus pindah tempat duduk lagi menjadi di samping Chaira.
"Jangan dipikirkan perkataan mereka."
Chaira menoleh, heran mengapa Jun Ki tiba-tiba sudah di sampingnya?
"Aku bukan memikirkan perkataan mereka, tapi omongan kamu!"
"Omongan aku? Kenapa?"
"Gimana bisa kamu nunjuk aku sebagai model? Aku tidak secantik itu!"
Jun Ki tersenyum, "Kamu cantik."
"Hei, anak Korea! Jangan pernah kamu berpikir untuk cerita sama temen-temen kalo aku bekerja di sana."
"Bekerja dan menjadi cantik?"
Chaira memelototkan matanya, namun Jun Ki terkekeh melihat tingkah Chaira. Sebenarnya Chaira orang yang cukup asik kalo sudah kenal, pikirnya.
Kelas Pak Ilham sudah selesai, tapi Jun Ki masih betah duduk di sebelah Chaira. Tak jarang ia mencuri tatap pada gadis di sebelahnya.
"Kau suka drama Korea?" tanya Jun Ki saat tak sengaja melihat layar ponsel Chaira yang menggambarkan drama Korea.
"Apa urusanmu?"
"Selain asik, kau juga cukup jutek yah?"
Lagi-lagi Chaira membulatkan matanya pada Jun Ki. Kali ini sambil memajukan bibirnya.
"Ini terlalu dini Chaira. Kita bahkan belum lama berbincang."
Chaira menepuk mejanya, "Maksud kamu apa?"
Jun Ki terkekeh. Namun saat ia mau menjawab kembali perkataan Chaira, teman sialannya malah dengan sengaja memindahkan tubuhnya dari tempat duduk samping Chaira.
"Apa yang kalian lakukan? Lepaskan."
Sandi dan Bian saling tertawa, begitu juga Chaira, Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan. Teman-temannya itu, ada-ada saja!
"Ngapain lo deket-deket Chaira hah? Kelas udah selesai, kenapa lo masih di sana?" cecar Bian dan Sandi.
"Kau! Apa kau tau, gara-gara kamu aku mengacaukan kencan butaku!" seru Jun Ki pada Bian.
"Maksud lo? Kok lo nyalahin gue sih?"
"Emang kenapa kencan butanya?" tanya Sandi, penasaran apa yang membuat Jun Ki kesal.
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?"
Seketika Bian dan sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel.
***
"Apa kau bilang? Apa kau bercanda? Kau tidak lihat teman-temanmu yang lain memanggil ku apa? Op-pa! Panggil aku oppa!""Anak Korea!"
"Apa kau tau? Kau bahkan lebih muda dariku."
"Aku tidak tau dan tidak mau ta...u."
"Aku serius lebih tua darimu Chaira."
"Baiklah - baiklah, Oppa!!"
"Telingaku, huuhh, ohww!"
***
Oppa!š Jangan lupa komen dan berlangganan ya! Ig : @reast07
Rayyan menutup buku yang tengah dikoreksinya. Ia menghela napas selama beberapa saat, hal yang biasa dilakukannya saat sedang penat. Itulah kenapa, teman-temannya selalu menyarankan agar ia segera menikah, Setidaknya mempunyai seorang kekasih. Supaya ada sedikit hiburan untuk melepas penat. Bagi Rayyan, memiliki seorang kekasih bukan suatu keharusan. Untuk apa berpacaran kalau hanya untuk dijadikan hiburan? Tidak semua wanita itu penghibur bukan? Ia tersenyum miris. lagi pula, Rayyan tidak berniat menikah di usianya yang menuju kepala tiga ini. Jika teman-temannya menikah di atas tiga puluh tahun setelah menghabiskan bermain-main dengan para wanita, mungkin tidak bagi Rayyan. Sampai saat ini pun, tidak ada satupun wanita yang didekatinya. Jarinya mengusap layar ponsel, mengutak-atiknya hingga menemukan foto seseorang di sebuah sosial media. Gadis cantik, imut, seksi, seperti halnya gadis-gadis yang pernah dikenalnya. Dia adalah
(21++ā¼ļøļø) "Kamu beneran gak apa-apa sendirian di kamar?" "Iya gak apa-apa Mbak, kepalaku sedikit pusing." "Ya sudah, Mbak duluan ya. Istirahat, masuk sana. Gak perlu mengantar Mbak." "Ya sudah, hati-hati ya ..." ucap Kinanti setelah mengantar Mbak Ismi ke depan lift. Usai makan malam, Kinanti memilih kembali ke kamar, alih-alih mengikuti yang lainya untuk melihat-lihat pantai. Entahlah,mood-nya sedang tidak bagus sekarang. Saat kembali ke kamar, Kinanti heran lantai kamarnya basah. Perasaan, ia tadi belum ke kamar mandi. Kakinya melangkah menuju kamar mandi, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Kinanti terkejut mendapati Rayyan ada di sana. "Aaaaaa ..." "Kinan! Sedang apa kau di sini?" "Mas Rayyan! Harusnya aku yang tanya, Mas ngapain di sini?" "Ini kamarku ... kan?" jawab Rayyan sedikit ragu. "Ini ka
-Tidak peduli seberapa sering kau membuatnya tersenyum, yang penting adalah, bagaimana caramu mempertahankannya.- *** Dua insan yang baru beberapa kali bertemu itu saling pandang. Kemudian tersenyum, memamerkan senyum manis. Yasmin bergeser lebih dekat pada suaminya, tubuh polos yang terbalut selimut saling bergesekan. "Mas, katanya mau cerita. Kok malah senyum terus dari tadi?" Arsen mengecup rambut wanita yang bersandar di pelukanya. "Aku mau tanya dulu sama kamu." "Apa?" "Kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Dan apa yang membuatmu menerimaku meski kau sudah tau keadaanku?" "Kenapa aku mau menikah denganmu? Aku juga mau jawaban yang sama dari kamu." "Jawab saja pertanyaanku." Arsen mengalihkan pandangan, sejujurnya ia tak suka dibantah. "Karna aku, tidak punya pilihan lain. Aku yakin apa yang dipilihkan ayah, adalah yang terbaik untukku." "Kenap
Yasmin belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi jika menyukai seseorang, ia pernah beberapa kali. Bahkan Yasmin pernah terjebak di dalam dilema perasaan yang sama. Ia pernah, begitu menyukai seseorang, dan ternyata orang itu juga sama sukanya pada Yasmin. Itulah dilemanya, saat dua insan saling menyukai, tapi tak bisa bersama sebab suatu alasan. Yasmin tidak ingin punya status selain menikah. Sementara waktu itu, umurnya masih genap enam belas tahun. Dengan yakin, Yasmin melenyapkan perasaan itu. Meski banyak alasan indah, sampai Yasmin bisa menyukai pria masa lalunya itu. Sekarang, entah bagaimana awalnya, Yasmin begitu menyukai lelaki di hadapannya. Lelaki berbadan kokoh itu tengah sibuk kesana kemari membereskan barang-barangnya. Yasmin berinisiatif mengambil segelas air untuk suaminya. "Minum dulu, Mas." "Makasih, sayang." Yasmin merasa gugup mendengar panggilan Arsen yang begitu baru di telinga
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?" Seketika Bian dan Sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel. "Emang apa yang terjadi dengan kencan buta lo?" tanya Sandi penasaran. (Malam sebelumnya) "Jadi, kamu Oppa-nya Jung hee?" "Iya." "Makasih ya sudah mau datang. Namaku Jessi." "Aku Jun Ki." "Aku, tak secantik cewek-cewek di Korea, bahkan kulitku saja gak putih." "Bukan masalah." Jessi tersenyum senang, sementara Jun Ki memutar bola matanya, apanya yang gak putih? Siapapun bisa melihat kalau Jessi berkulit putih cerah. Setelah pesanan datang, mereka menyantap makanan dalam hening. "Ah!" Jessi merasakan tasnya terjatuh, dan dengan sigap Jun Ki mengambilkannya. "Gomawo, Oppa!" "Ada apa dengan kakimu? Gatal?" tanya Jun Ki terheran saat melihat ga
"Aku gak mau memilikinya, aku gak mau memilikinya, aku gak mau!"Chaira meremas hadiahnya dengan gemas, tempo hari Chaira memenangkan juara harapan ke dua lomba model. Ia sangat menyesali, kenapa ia harus memiliki prestasi dari bakat yang tidak diinginkannya?Ia menjatuhkan dirinya ke kasur, tepat saat itu ponselnya berbunyi."Hhh ... Anak Korea itu."Belakangan ini, Jun Ki beberapa kali mengiriminya pesan. Bertanya kosakata yang tidak diketahuinya, tapi entah kenapa meski merasa aneh, Chaira tetap membalas semuachatdari lelaki tampan itu."Kak!" panggil Karmila setelah memasuki kamar Chaira yang tidak tertutup rapat."Eh, ada apa Mil?""Kakak dapet hadiah darimana?""Oh, ini ... kamu mau?" Chaira memyerahkan syal berwarna marun pada adiknya."Wah, bagus banget. Buat aku nih?""Ambil saja kalo mau.""Makasih, jadi ... ini dari siapa?"Chaira menggela napas, "Itu had
Kinanti terbangun dengan memegang kepalanya yang pusing luar biasa. Ia mengingat-ngingat kejadian semalam. "Hah?!" Ia terkejut, spontan menutup mulutnya. Menoleh ke samping, tidak didapatinya pria yang semalam bersamanya. Lalu Kinanti memegang erat selimut yang menutupi tubuhnya tanpa busana. "Apa yang aku lakukan?" tanyanya pada diri sendiri, sambil memijat-mijat kepalanya. Tidak sulit untuk Kinanti mengingat kejadian semalam, ia menyodorkan tubuhnya pada pria dewasa, Ingat! MENYODORKAN!! Ia menghela napas kasar, "Apa karna sudah lama?" Tak lama pintu kamarnya diketuk, Kinanti langsung memilih bajunya random. "Sebentar." Begitu dibuka, ternyata Ismi yang mengetuk pintunya. "Ada apa Mbak?" "Ayo sarapan, yang lain sudah pada nunggu." Dalam hati, Kinanti mengumpat kesal. Kenapa harus ke bawah sih? Kenapa tidak diantar saja makanannya? Ia lupa kalau rombongannya bukan tamu VIP. "Masuk
Rayyan menarik gadis cantik yang berjalan di depannya, lalu membawanya ke ruang musik yang sedang kosong. "Lepasin!" gadis cantik yang bernama Kinanti itu, melepas paksa tangannya yang digenggam erat. Alih-alih menuruti permintaan Kinanti, Rayyan malah menariknya kembali dengan pelan menuju rak buku "Maaf." "Apa kamu harus melakukan ini?" tanya Kinanti dengan putus asa, setelah Rayyan menarik tangannya kencang, lalu mengusapnya perlahan. 'Entah apa yang diinginkannya.'batinnya Ekspresi Rayyan mulai serius, tangan kanannya memegang rak di depannya, lalu menunduk menatap gadis yang keheranan dibuatnya. "Kinan, ayo kita menikah! Aku akan bertanggung jawab." "Hah? apaan sih! Aku bilang, aku sudah punya pacar! Seenaknya kamu ngajak aku nikah." ujar Kinanti seraya mendorong Rayyan agar menjauh darinya. "Kita melakukannya! Gimana kalo kamu hamil? Kamu pikir pacarmu itu mau bertanggung jawab?"
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja