Untuk sesaat, aku merasa dunia ini hanya hayalan yang tidak nyata.-Yasmin.
***
Yasmin benar-benar tidak menyangka, besok adalah hari terakhirnya ia menyandang status single
dalam hidupnya.Hidupnya seperti kelinci yang kehilangan arah. Berjalan, lalu melompat lebih jauh dari seharusnya.
Bukankah baru kemarin ia duduk di bangku sekolah, memakai seragam putih abu-abu, dan bercanda ria bersama teman-temannya?
Cita-citanya tidak terhitung. Banyak sekali, sampai Chaira saja malas menghitungnya.
Yasmin tersenyum mengingat sahabatnya itu, Chaira berhasil kuliah dikampus keinginannya. Lalu kenapa dengan Yasmin?
Kenapa ia tidak mendapatkan satu dari banyaknya keinginannya? Kenapa ia harus melompat secepat itu?
Tak dapat dipungkiri, menjadi seorang istri adalah salah satu cita-cita Yasmin juga, dan menikah adalah solusinya. Namun tidak secepat ini, ia masih harus berjalan untuk mencapai satu demi satu impiannya.
Sekolah, kuliah sampai pendidikan tertinggi, bekerja, menjadi penulis, mempunyai butik muslimah, lalu menikah.
Bayangkan, betapa banyak cita-cita Yasmin yang terloncat.
Hal yang ia sesali, perihal peristiwa yang menimpa ayahnya, hingga membuat dirinya berada diposisi saat ini.
Dua Minggu yang lalu, ayahnya mengalami kecelakaan serius, saat berjalan pulang usai berjualan. Kecelakaan itu menyebabkan kedua kakinya lumpuh. Yasmin membayar banyak untuk biaya pengobatan sang ayah, padahal uang itu adalah tabungannya untuk memasuki kuliah. Itupun tidak seberapa, dengan total yang harus ia keluarkan.
Untunglah, orang yang menabrak ayahnya mau bertanggung jawab,
"Saya menghabiskan banyak untuk anda. Apa anda Sudi membantu saya kali ini?"
"Tidak perlu sungkan, katakan saja apa yang harus saya lakukan? Jika saya mampu, pasti saya bantu."
"Saya ingin putri anda menikah dengan putra tunggal saya."
Begitulah kira-kira percakapan antar dua orang, yaitu ayahnya dan orang yang menabrak, yang Yasmin dengar sewaktu dirumah sakit.Yasmin tidak sanggup mendengar lebih jauh, ia tidak mau tahu keputusan apa yang di ambil ayahnya. Biarlah, waktu yang perlahan akan menjawabnya.
Pria itu ... pria yang akan menjadi suaminya, Yasmin belum mengenal lebih jauh seperti apa dia. Yasmin bahkan hanya bertemu satu kali saat lamaran saja, itupun hanya beberapa saat. Melihat sikapnya, Yasmin yakin calonnya itu juga tidak ingin dijodohkan dengannya.
Andaikan kisah hidupnya seperti di novel-novel yang pernah ia baca. Meski dijodohkan, akan hidup bahagia pada akhirnya.
***
"Putri ayah yang tercantik."
Sambil tersenyum, ayah Yasmin mengusap kepala putri semata wayangnya itu."Bukankah itu karna aku Putri ayah?"
Jawab Yasmin yang hampir meneteskan air mata."Hanya ada kebahagiaan untuk putri ayah. Mulai sekarang, kamu tidak boleh menangis."
Yasmin memeluk sang ayah.
"Ini untuk kebaikan ayah dan Yasmin kan? Ayah akan baik-baik saja kan?"
"Kenapa menghawatirkan ayah? Ayah tidak akan sendirian, sebentar lagi ibumu pulang."
Ibu Yasmin adalah seorang TKW di Hongkong. Dihari pernikahannya ini, sang ibu tidak bisa menghadiri.
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Yasmin binti Ibrahim dengan seperangkat alat sholat dan emas delapan puluh gram dibayar tunai."
Dengan lantang, Arsen mengucap ijab kabul didepan penghulu dan disaksikan banyak orang.
Yah, hari ini ia menikah dengan gadis yang tidak ia kenal sebelumnya. Arsen tidak punya cukup keyakinan bahwa ia akan menyukai gadis yang sekarang sudah menjadi istrinya itu. Ia bahkan tidak tertarik untuk menilai seperti apa wanita yang kini duduk disebelahnya.
Hidupnya sudah kacau, namun kini sang ayah melengkapinya dengan seenak hati menjodohkan Arsen.
Umurnya sudah menginjak dua puluh delapan tahun. itu artinya, jika dibandingkan dengan Yasmin, umurnya terpaut sembilan tahun lebih tua.
"Entah apa yang ayahku pikirkan, mencarikan istri dibawah umur begini." gumam Arsen sambil melirik sekilas pada Yasmin.
Sementara Yasmin hanya menunduk dari tadi. Kini mereka sudah duduk di atas pelaminan.
Pura-pura tersenyum, bahagia, dan bercanda ria.
"Chaira ... hiks, huuuu ..." Yasmin tumbang dipelukan sahabatnya. Ia menumpahkan segala emosi yang terpendam dari kemarin.
Begitupun Chaira, ia ikut bersedih melihat sang sahabat menangis dipelukanya.
"Yasmin, jangan nangis ... huhuuu ..." Chaira mengusap punggung Yasmin sambil ikut menangis.
Arsen menatap takjub istri dan temanya itu. Bisa-bisanya mereka menangis berjamaah di atas pelaminan.
"Apa kalian tidak akan bertemu lagi setelah ini?" tegur Arsen, mengisyaratkan banyak tamu undangan berdiri dibelakang mereka.
"Yasmin adalah gadis yang baik, tolong jangan sakiti dia Pak."
"Apa kamu bilang? siapa bapak?" Arsen terkejut mendengar ucapan gadis berjilbab cream itu. Memangnya Arsen setua itu?
"Apa aku terlihat seperti gurumu? Huh?" lanjut Arsen.
"Ma'af Pak. eh, Om."
Arsen membulatkan matanya.
"Sudah, sudah ... Chaira, nanti kita bicara lagi ya ..."
Dengan segera Yasmin menengahi perselisihan antara Chaira dan suaminya.
Jujur saja, Yasmin sempat lega akan itu, rupanya suaminya yang terlihat cuek itu, ternyata tidak seperti yang ia bayangkan. Dari tadi, Yasmin baru mendengar suaranya. Ia sangat bersyukur.
"Temanmu lancang sekali. Lihat aku!" Arsen menyerongkan duduknya agar wajahnya bisa terlihat jelas dimata Yasmin.
"Apa aku terlihat sangat tua? Apa make up menjadikanku terlihat tua?"
Arsen bertanya berkali-kali pada Yasmin. Hal itu membuat Yasmin tersenyum.
"Nggak kok, Mas Arsen terlihat muda dan tampan."
Diam sebentar, Arsen terkesiap.
Tidak tidak!! Mengapa Arsen merasa malu mendengar jawaban Yasmin? Dan apa itu? Kenapa wajah Yasmin terlihat sangat cantik?Ini bukan kali pertamanya Arsen mendengar pujian ketampanan nya. Tapi, kenapa ia jadi segugup ini?
Dan lagi, akhirnya ia memperhatikan wajah istrinya itu. Padahal, beberapa mantan pacarnya sangat cantik dan seksi. Ada juga yang berprofesi sebagai model, tentu dengan itu, Arsen sudah banyak menemui wanita-wanita cantik.Tapi melihat Yasmin, kenapa rasanya seperti baru? Yah, rasanya seperti baru kali ini ia melihat wanita secantik Yasmin.
Sadarlah Arsen, dia bahkan seorang gadis dibawah umur. Bagaimana bisa ia menyebut nya sebagai wanita? Apa ia boleh menggaulinya..
Ya Tuhan! Kenapa pikirannya kemana-kemana??
-"Mas Arsen?" Yasmin mencoba memanggil lelaki yang duduk di depannya. Kali ini mereka sedang beristirahat dan makan siang.
"Kenapa mas diam saja daritadi? Maafkan sahabat aku ya, Chaira itu bukan seorang yang bisa bersikap lancang. Dia orang yang baik, dia sangat cerewet dan kadang ceroboh. Ia juga bisa menjadi cuek dan sombong, atau bahkan jadi pendiam. Dia tipe orang yang tidak mudah bergaul, makanya jadi pendiam. Tapi kalau sudah kenal, semua orang akan senang berteman dengannya."
Yasmin bercerita tentang sahabatnya dengan sangat senang. Seolah ia sedang memamerkan sahabat yang begitu ia banggakan. Ia bahkan tak malu menceritakan pengalamannya bersama Chaira saat di sekolah.
Cerita itu sama sekali tidak penting untuk didengarkan, tapi kenapa Arsen menikmatinya? Bukan isi cerita nya yang menarik, melainkan cara Yasmin bercerita.
Ia benar-benar gadis yang lembut.
Tutur Arsen dalam hati.
Apakah Arsen jatuh cinta, pada pandangan kali ini?
***
Love dari Mas Arsen🥰
"Woy Arsen!"Arsen melirik ke arah suara yang memanggilnya.Sialan temanya itu! Beraninya dia mengganggu waktunya dengan Yasmin. Lihat saja nanti, saat malam tiba, tidak boleh ada yang mengganggunya barang sebentar pun!Ehmm, memangnya apa yang akan ia lakukan nanti malam? Apa ia boleh menggauli..Tidak!! Pikiran sialannya itu!!"Selamat ya, pasangan Arsen dan Yasmin.. semoga kalian menjadi keluarga yang Sakinah, Mawadah, wa Rohmah."Satu persatu teman-teman Arsen menyalami Arsen dan Yasmin."Sen, ma'af ya, gue nyusup. Gue gak bisa lama-lama soalnya, abis ini mau ke acara seminar d
"Gimana Jun Ki, kamu betah kuliah di sini?" tanya Ayah Lee Jun Ki saat sedang menyantap makan malam. "Ya betah, bukan pertama kalinya aku sekolah disini." jawab Jun ki. "Bagus, kamu belajar bahasa Indonesia dengan baik." "Ayah, bukankah dia sudah lama tinggal di Indonesia? kenapa juga dia harus salah menggunakan bahasa Indonesia lagi?" adik Jun Ki yang biasa disapa Jung hee, ikut menanggapi. "Karna dua tahun kemarin Jun Ki tinggal dikorea, bahasa Indonesianya jadi berantakan." jawab sang Ayah. "Lagian Jun Ki gak mungkin gak betah lah yah, di sana kan banyak perempuan cantik." celetuk Jung hee seraya terkekeh. Apa-apaan adiknya
"Chaira!" Gadis manis berjilbab itu menoleh, "Ini pulpen kamu, makasih ya." ucap Jun Ki setelah berlari menghampiri Chaira. "Jungki, lo ngasih apa samamy honey Chaira?" tanya Bian. "Dih jijik banget lu!" sambar Sandi mendengar Bian menyebut Chaira dengan embel-embelMy honey. "Diem lu! Jungki, bisa-bisanya lu merebut cewek inceran kita berdua." ucap Bian yang disetujui oleh Sandi. "Maksudnya? Aku cuma mengembalikan pulpen kok. Lagipula, malam ini aku ada kencan buta dengan seseorang." "Anjir, gue baru tau di Indonesia juga ada kencan buta." kata Bian, "Ini rekomendasi dari adikku, aku hanya mengikuti saja." "Semoga sukses ya!" ucap Sandi memberi semangat. ***Chaira memakai seragam kerjanya, dilanjutkan dengan memoles sedikitMake up. "Hmm, siapa peduli aku memakai riasan saat pulang kuliah." Benar, Chaira bukan orang yang hobi memoles w
Rayyan menutup buku yang tengah dikoreksinya. Ia menghela napas selama beberapa saat, hal yang biasa dilakukannya saat sedang penat. Itulah kenapa, teman-temannya selalu menyarankan agar ia segera menikah, Setidaknya mempunyai seorang kekasih. Supaya ada sedikit hiburan untuk melepas penat. Bagi Rayyan, memiliki seorang kekasih bukan suatu keharusan. Untuk apa berpacaran kalau hanya untuk dijadikan hiburan? Tidak semua wanita itu penghibur bukan? Ia tersenyum miris. lagi pula, Rayyan tidak berniat menikah di usianya yang menuju kepala tiga ini. Jika teman-temannya menikah di atas tiga puluh tahun setelah menghabiskan bermain-main dengan para wanita, mungkin tidak bagi Rayyan. Sampai saat ini pun, tidak ada satupun wanita yang didekatinya. Jarinya mengusap layar ponsel, mengutak-atiknya hingga menemukan foto seseorang di sebuah sosial media. Gadis cantik, imut, seksi, seperti halnya gadis-gadis yang pernah dikenalnya. Dia adalah
(21++‼️️) "Kamu beneran gak apa-apa sendirian di kamar?" "Iya gak apa-apa Mbak, kepalaku sedikit pusing." "Ya sudah, Mbak duluan ya. Istirahat, masuk sana. Gak perlu mengantar Mbak." "Ya sudah, hati-hati ya ..." ucap Kinanti setelah mengantar Mbak Ismi ke depan lift. Usai makan malam, Kinanti memilih kembali ke kamar, alih-alih mengikuti yang lainya untuk melihat-lihat pantai. Entahlah,mood-nya sedang tidak bagus sekarang. Saat kembali ke kamar, Kinanti heran lantai kamarnya basah. Perasaan, ia tadi belum ke kamar mandi. Kakinya melangkah menuju kamar mandi, tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Kinanti terkejut mendapati Rayyan ada di sana. "Aaaaaa ..." "Kinan! Sedang apa kau di sini?" "Mas Rayyan! Harusnya aku yang tanya, Mas ngapain di sini?" "Ini kamarku ... kan?" jawab Rayyan sedikit ragu. "Ini ka
-Tidak peduli seberapa sering kau membuatnya tersenyum, yang penting adalah, bagaimana caramu mempertahankannya.- *** Dua insan yang baru beberapa kali bertemu itu saling pandang. Kemudian tersenyum, memamerkan senyum manis. Yasmin bergeser lebih dekat pada suaminya, tubuh polos yang terbalut selimut saling bergesekan. "Mas, katanya mau cerita. Kok malah senyum terus dari tadi?" Arsen mengecup rambut wanita yang bersandar di pelukanya. "Aku mau tanya dulu sama kamu." "Apa?" "Kenapa kamu mau dijodohkan denganku? Dan apa yang membuatmu menerimaku meski kau sudah tau keadaanku?" "Kenapa aku mau menikah denganmu? Aku juga mau jawaban yang sama dari kamu." "Jawab saja pertanyaanku." Arsen mengalihkan pandangan, sejujurnya ia tak suka dibantah. "Karna aku, tidak punya pilihan lain. Aku yakin apa yang dipilihkan ayah, adalah yang terbaik untukku." "Kenap
Yasmin belum pernah berpacaran sebelumnya. Tapi jika menyukai seseorang, ia pernah beberapa kali. Bahkan Yasmin pernah terjebak di dalam dilema perasaan yang sama. Ia pernah, begitu menyukai seseorang, dan ternyata orang itu juga sama sukanya pada Yasmin. Itulah dilemanya, saat dua insan saling menyukai, tapi tak bisa bersama sebab suatu alasan. Yasmin tidak ingin punya status selain menikah. Sementara waktu itu, umurnya masih genap enam belas tahun. Dengan yakin, Yasmin melenyapkan perasaan itu. Meski banyak alasan indah, sampai Yasmin bisa menyukai pria masa lalunya itu. Sekarang, entah bagaimana awalnya, Yasmin begitu menyukai lelaki di hadapannya. Lelaki berbadan kokoh itu tengah sibuk kesana kemari membereskan barang-barangnya. Yasmin berinisiatif mengambil segelas air untuk suaminya. "Minum dulu, Mas." "Makasih, sayang." Yasmin merasa gugup mendengar panggilan Arsen yang begitu baru di telinga
"Buriq? Kau tau buriq bukan kata-kata yang bagus bukan?" Seketika Bian dan Sandi tertawa, membuat Jun Ki semakin jengkel. "Emang apa yang terjadi dengan kencan buta lo?" tanya Sandi penasaran. (Malam sebelumnya) "Jadi, kamu Oppa-nya Jung hee?" "Iya." "Makasih ya sudah mau datang. Namaku Jessi." "Aku Jun Ki." "Aku, tak secantik cewek-cewek di Korea, bahkan kulitku saja gak putih." "Bukan masalah." Jessi tersenyum senang, sementara Jun Ki memutar bola matanya, apanya yang gak putih? Siapapun bisa melihat kalau Jessi berkulit putih cerah. Setelah pesanan datang, mereka menyantap makanan dalam hening. "Ah!" Jessi merasakan tasnya terjatuh, dan dengan sigap Jun Ki mengambilkannya. "Gomawo, Oppa!" "Ada apa dengan kakimu? Gatal?" tanya Jun Ki terheran saat melihat ga
"Cepat siapkan mobil saya Pak!" perintah Arsen yang langsung dituruti Pak Adi.Adi melajukan mobil sambil bercerita. "Tadi saya lagi nongkrong tuh Pak, di pangkalan sini, dekat mamang penjual sate. Tiba-tiba Non Yasmin telpon, tapi ternyata itu orang lain, bilang kalo yang punya HP kecelakaan di lampu merah jalan Purnama sakti." jelasnya."Kenapa orang itu gak telpon saya?" tanya Arsen penasaran. Teman-temannya tidak ikut serta karna sudah larut. Apalagi Ardi yang sudah berkeluarga."Saya kurang tau Pak, tapi biasanya kan yang dihubungi itu nomor panggilan terakhir. Saya ingat tadi waktu mau ngantar teman-temannya Pak Arsen, Non Yasmin sempat telpon saya untuk jemput. Tapi saya sudah disuruh antar teman Pak arsen, jadi saya tidak bisa." tutur Adi.Arsen merutuki kebodohannya. Kalau sudah seperti ini, hanya penyesalan yang dirasakannya sekarang. Dalam hati, ia terus menggumamkan maaf untuk Yasmin. Tangan kanannya mengusap wajah kasar. Bi Narti tidak ikut serta karna wanita itu di rumah
"Apa kabar Bu?" Yasmin berhambur ke pelukan ibunya. Menyalurkan rasa rindu sekaligus perasaan sedih yang tengah dialaminya saat ini. Yah, suasana hatinya sedang tidak baik.Fatimah-Ibu Yasmin, membalas pelukan anaknya setelah menaruh barang. "Ibu baik, kamu sehat?" Ia menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan baik. Sudah dewasa. Fatimah bahkan lupa kapan terakhir kali ia memandang putrinya seperti ini.Hampir tujuh tahun lamanya Fatimah merantau di negeri orang. Dengan tekad yang kuat, ia memaksakan keinginannya meski suaminya tidak mengizinkan. Saat itu Yasmin masih duduk di kelas enam SD. Posisinya waktu itu, ia tidak terlalu mengerti mengapa Ibunya harus pergi sangat jauh hanya untuk bekerja. Namun semakin dewasa, Yasmin mengerti, semua dilakukan untuknya juga.Mereka sudah berada di dalam taksi. Fatimah bersandar pada kursi mobil, tangannya tak henti mengusap kepala Yasmin dengan sayang. "Ibu hanya pergi lama, tapi tidak cukup membe
"Nikah yuk!" Ajakan itu bukan pertama kalinya Rayyan lontarkan, tapi berhasil membuat Kinanti tak berkutik. Kenapa? Bukankah ini yang ditunggu sedari tadi? Apa karna kali ini Kinanti menantikannya? Jika yang mengucapkannya itu Gibran, pasti Kinanti akan lebih terkejut sekaligus senang berkali-kali lipat. Tapi tidak, Ia tidak boleh memikirkan lelaki itu lagi. Sudah dapat berlian, kenapa harus memungut batu? Akhinya, dengan percaya diri, Kinanti berkata, "Ayok!" Rayyan mengalihkan pandangan sambil mengulum senyum, "Jangan senyum seperti itu." perintahnya. Setengah terkejut karna baru sekarang Kinanti tersenyum, saat di mobil tadi hanya diam saja. "Kenapa? Aku cantik ya?" Rayyan mengeratkan genggamannya seraya tertawa lepas. Ledekan demi ledekan mereka terima sepanjang hari. Baik itu berasal dari dosen, maupun para mahasiswa._ Rayyan tersenyum melihat Kinanti yang tengah fokus dengan ko
Tidak ada hari yang indah. Bagi Kinanti, tidak ada lagi hari yang indah setelah semua keinginannya melebur. Setelah takdir ternyata tak berpihak padanya. Wanita itu berdiri tepat di depan jendela kamar yang terbuka, menatap kosong apapun di hadapannya. Sial, bahkan di saat seperti ini, kenangan itu terus keluar menyeruak dari ingatannya, masuk ke dalam pikirannya yang sedang kosong. "Kamu cantik sekali. Kamu tau, kata teman-temanku, kamu adalah idaman semua pria. Aku beruntung memiliki kamu." Gibran mengecup lembut tangan Kinanti seraya menatap matanya. Mengerling dengan pandangan nakal. Kinanti mengalihkan pandangan, semburat merah bisa menjelaskan sipu malu yang dirasakannya. "Kamu tidak berniat menjadi model?" Seharusnya Kinanti sadar dengan pertanyaan sederhana yang dilontarkan Gibran waktu itu. Lelaki itu berharap Kinanti menjadi model? Kenapa seseorang yang mencintainya rela mem
"Hih, dasar anak Korea! gitu aja marah. jadi laki kok gak ada pengertiannya." Chaira terpaksa bejalan sendirian, karna Jun Ki meninggalkannya. Tak lama, Bian dan Sandi menghampiri Chaira."Ra, emang kalian benean pacaran ya?" Chaira menoleh sekilas, tidak tertarik dengan pertanyaan yang dilontakan Bian. Mereka berjalan beriringan ke tempat parkir. "Harus ya, aku kasih tau?" jawab Chaira dengan malas. "Jelas dong, kalau kalian menutupi sebuah hubungan, efeknya gak akan baik." jelas Sandi. Chaira mengernyit, "Kenapa?" Sandi sampai berhenti bejalan sebentar untuk menjelaskan masudnya. Chaira dan Bian ikut berhenti."Presentasi orang ketiga akan meningkat. Menutupi sebuah hubungan akan membuat kalian didekati banyak orang, tanpa tau kalau kalian sudah punya pasangan." "Susah ya jelasinnya, tapi aku ngerti kok. Makasih ya." tutup Chaira.Ia menyadari perkataan Sandi memang ada benarnya. Memangnya Chai
"Kamu ngapain sih, masih di sini?" Chaira berkacak pinggang, sambil terus memperhatikan lelaki yang duduk di sampingnya. Ini kali pertamanya Jun ki menemani Chaira bekerja, lebih tepatnya sih merecoki. Bahkan cowok itu dengan lantangnya mengatakan, bersedia menemani Chaira setiap hari. Hmm, pacarnya itu membuat pusing saja. Masalahnya, bukan bantuan yang dia berikan, tapi gangguan. Selain merecoki saat Chaira meracik, Jun ki kerap digoda oleh pelanggan wanita. Menambah Chaira kesal, sehingga membuat bibirnya maju beberapa senti. Jelas hal itu sangat mengganggu Chaira, bagaimana kalo bosnya datang? Jun ki tidak tau saja watak bosnya Chaira yang sangat tegas dan nyaris tidak pernah tersenyum. "Sayang, kalau kamu cemburu bilang saja ... nanti kalau ada gadis pelanggan, aku akan bersembunyi." "Apa kamu bilang?" Chaira duduk kembali di kursinya. Sial, Jun ki selalu mengatakan hal-hal yang tidak biasa didengar oleh Chaira. Ia bing
Selama tiga hari berturut-turut, Arsen tidak pulang ke rumah. Jelas saja hal itu membuat Yasmin khawatir dan sedih, ia menimbang-nimbang antara harus menelpon Arsen atau tidak. Ponselnya masih setia di tangannya, beberapa saat kemudian, tiba-tiba ada panggilan dari orang yang memenuhi pikirannya saat itu. Tangan Yasmin sampai bergetar menerima telpon tersebut. "Assalamualaikum, iya Mas?" "..." "Oh, begitu. Iya, akan aku cari Mas." Tanpa mengucap salam, Arsen menutup telponnya. Yasmin memeriksa kembali telponnya yang teryata sudah dimatikan. Meski begitu, Yasmin merasa senang dihubungi suaminya yang sudah beberapa hari tidak pulang itu. Lalu ia mencari barang yang Arsen pinta. Yah, Arsen meminta Yasmin mencarikannya sebuah dokumen penting, yang disimpannya di kamar. Sorenya, Arsen pulang dengan pakaian santai seperti bukan dari kantor. Yasmin menghampiri lelaki itu dengan ragu. "Mas, maaf ... a
"Aku akan memikirkan sesuatu, merefresh pikiranku,mencari jawaban atas pertanyaanku, pada siapa aku akan memberi rasa." Sejak saat itu, hubungan mereka merenggang. Yasmin dan Arsen hidup satu atap, namun seperti tidak mengenal satu sama lain, Arsen bahkan mempekerjakan Asisten rumah tangga yang sebelumnya bekerja di rumah orang tuanya. Hal itu sengaja dilakukannya, sehingga ia tidak perlu bantuan Yasmin lagi. Arsen selalu pulang larut, dan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali. Waktu untuk Yasmin nyaris tidak ada, hal itu membuat Yasmin ragu untuk sekedar menyapa suaminya itu. Namun, tidak mungkin kan mereka akan seperti itu terus? Akhirnya Yasmin berusaha mendekati Arsen kembali dengan berbagai cara. "Bi, biar aku saja yang masak ya." pinta Yasmin pada Bi Narti, Asisten rumah tangganya. "Gapapa Non, biar Bibi aja. Den Arsen kan sebentar lagi berangkat, Non Yasmin sudah siapin keperluanya?" "Sudah kok Bi."
Dito berjalan cepat dari kelas, ia tak sabar untuk memberi tahu Rayyan sebuah penemuan baru. Sementara Rayyan yang saat itu akan mengajar, awalnya tak menghiraukan Dito sama sekali. "Aku sibuk." "Pak, ini benar-benar berita hangat Pak, dadakan kaya tahu bulat." Rayyan berlalu melewati Dito, namun Dito segera menahannya. "Pak, serius gak mau tau?" "Apa sih Dit? Hehh ... dua detik. Cepat!" "Ada test pack di toilet cewek!" Seketika Rayyan langsung terdiam. "Terus?" "Positif." "Apa?! Coba jelaskan dengan rinci." "Seorang mahasiswi menemukan Tespek positif di tempat sampah toliet cewek." Entah kenapa Rayyan teringat Kinanti, ia berpikir, bisa saja itu milik Kinanti. Namun, wanita itu mungkin tidak cukup bodoh menggunakan alat tes kehamilan di kampus. Rayyan jadi gelisah sendiri, bagaimana jika itu memang benar? Dengan cepat, Rayyan menyerahkan buku pada Dito. "Kau saja