"Buruan!" nada perintah itu semakin tegas saja Nimas dengar.
"Mas, aku lelah. Suruh Winda bikin nasi goreng sendiri." kata Nimas berusaha menolak, karena dia tidak sudi menjadi pesuruh Winda. Sebab, Nimas sadar ngidam adalah akal-akalan Winda untuk menindas dirinya. "Bukankah sudah kubilang, jadi istri itu yang penurut. Apa susahnya buatkan nasi goreng doang? Jadi manusia yang berguna sedikit kek!" "Kalau menurut mas Arjun, Nimas sudah nggak berguna, maka lepaskan aku, Mas. Kehidupan ini terlalu singkat, berbahagialah bersama Winda." Mata Arjuna berkilat, perkataan Nimas berhasil menghunus hatinya. Nimas berusaha menopang tubuh agar tak ambruk di depan Arjuna. Sejak Arjuna memperlakukannya bak seorang pelayan, pria itu telah meremas Nimas hingga remuk tak berbentuk. Arjuna yang awalnya menjanjikan kebahagiaan, justru dia sendiri yang sekarang menjadi sumber luka terbesarnya. Menciptakan ribuan tombak beracun yang menancap apik di setiap sisi membuat pola duka pada hidup Nimas. "Sejak kapan kau jadi pembangkang?" teriak Arjuna sembari meremas bahu Nimas. Perlakuan Arjuna itu membuat Nimas tersenyum tipis. Ia memang sudah berhenti menangis, tapi kedua mata sendunya tak bisa berbohong karena banyak luka yang membusuk di dalam sana. "Sudah berapa kali aku katakan. Aku tidak akan melepasmu, Nimas. Jadi, berhenti menyalahkan aku dan Winda. Salahkan juga dirimu yang nggak subur." lanjut Arjuna lagi. Kali ini Nimas benar-benar tercengang. "Bersikaplah baik dan jangan pancing amarahku kalau kamu masih ingin kubiarkan bebas berkeliaran. Jika kamu terus saja membangkang, jangan salahkan aku jika harus menguncimu di kamar tamu sepanjang hari!" ancam Arjuna. Mendengar itu, Nimas tersentak dan hatinya menjadi semakin dingin. Sebab, dia tau kalau perkataan itu bukan ancaman belaka, Arjuna sudah dibutakan oleh cinta menggebunya pada perempuan baru. 🌿🌿🌿🌿🌿🌿 Layaknya sebuah gasing yang terus berputar tak jauh dari tempatnya, seperti itulah hubungan Arjuna dan Nimas, berputar-putar dengan perdebatan tentang hal yang sama. Sampai sekarang Nimas belum juga memberitahu Arjuna tentang kehamilannya, lebih tepatnya Nimas sudah tidak berniat memberitahu ayah dari janinnya itu. Sebab, setiap kali Nimas mengajak pria itu bicara, ujungnya selalu berakhir dengan pertengkaran. Nimas juga sudah mulai merasakan tanda-tanda kehamilan dari kemarin-kemarin. Di tambah ia merasakan perubahan perasaan yang cepat, bahkan ia tak bisa mengontrol tubuhnya. Ketakutan mulai merayap ke dalam sanubari, menggerogoti hari semakin terasa sesak hingga Nimas merasa tak punya pilihan selain bertahan. Setidaknya sampai dia menemukan tempat tinggal serta pekerjaan baru. Pagi itu, Nimas yang baru minum susu hamilnya dikejutkan dengan kedatangan Winda ke dapur. Wanita yang pernah sedekat urat nadi itu tersenyum manis pada Nimas. Dua hari belakangan Nimas merasa hidupnya semrawut karena kehadiran perempuan yang kini justru mendatanginya. "Bagaimana rasanya diabaikan?" tiba-tiba Winda bersuara di dekat telinga Nimas. "Enyah kau.." kata Nimas yang hendak berdiri tapi Winda menariknya untuk kembali duduk. "Beri pujian untukku dong. Aku kan sudah berhasil merebut hati mas Arjun darimu." "Jauhi suamiku, Winda!" "Tidak, karena aku mencintainya." saut Winda lantang. "Cinta?" Nimas berdecak, "Cinta apa yang membuat orang lain terluka, Winda?! Cinta yang terus tumbuh disaat kamu tahu kalau itu adalah sebuah kesalahan. Pria yang kau cintai itu sudah beristri dan dia adalah suami sahabatmu sendiri, dasar jalang!" seru Nimas lepas kontrol. Hormon hamil membuat emosinya labil. "Kau! Aduh!" Tak lama berselang tubuh Winda sudah bersimpuh di lantai, dengan mata kepalanya sendiri Nimas melihat perempuan itu menjambak dan menyakiti diri. Belum sempat mencerna keadaan dari arah belakang datang Arjuna dan Rubiah. "Apa-apaan kamu, Nimas?" Bentak Arjuna yang langsung berjongkok memeriksa kondisi Winda. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Nimas menatap pemandangan itu nanar. Sebab, kini dengan Winda Arjuna bertutur lemah lembut sedang dengannya Arjuna justru berteriak dan membentak. "Mas, Nimas mendorongku! Pipiku juga ditampar, Mas. Nimas memintaku untuk menjauhimu, tapi aku tidak bisa karena saat ini bayiku... Anak kita membutuhkan mu." Plak Plak Arjuna menampar pipi kanan dan kiri milik Nimas dengan sekuat tenaga. Setelahnya, Arjuna menyeret Nimas dengan tiba-tiba. Mata pria itu memerah karena marah. Apa yang terjadi membuat Winda menang dengan pembelaan Arjuna. Sebab, diseret oleh orang yang dicintai saat baru saja melawan musuh adalah hal memalukan. Jelas sekali, Arjuna marah atas hal yang tidak Nimas lakukan. Arjuna seolah tak peduli dengan luka yang Nimas rasakan. Sebab, pria itu hanya takut jika Winda terluka. Ia menyeret Nimas kasar dari dapur sebelum kemudian menyentak lengan wanita itu hingga membuat wajah mereka saling berhadapan. "Kau keterlaluan, Nimas! Kau memukulnya!" teriak Arjuna. Nimas mengepalkan tangannya dengan napasnya memburu. "Katakan kenapa kau memukulnya?" Seolah belum puas menampar kedua pipi istrinya kini Arjuna mencengkram lengan Nimas. Nilam tersenyum kecut, ia berbalik menatap tajam suaminya. Tatapan keduanya bersirobok, beradu saling menghunus satu sama lain. "Tentu jika bisa akan ku cincang jalang yang sudah merebut suamiku!" sahut Nimas merendahkan. Percuma Nimas mengatakan yang sebenarnya jika pada akhirnya Arjuna tidak akan percaya. Mata laki-laki itu telah dibutakan oleh sihir cinta Winda. "Tutup mulut sialanmu itu, Nimas!" ucap Arjuna, napasnya menderu kentara amarah belum reda. Nimas bungkam, sejak tiga hari terakhir dia sudah tidak mengenali sosok Arjuna. Suaminya sudah sangat jauh berbeda. Ternyata, manusia memang unik karena mereka memilih hidup dengan duri-duri tajam asal dengan orang dicinta, terlalu lucu namun itu nyata ada. Arjuna lebih memikirkan Winda dibanding Nimas yang sudah ia lukai dengan ribuan sayatan tak terlihat. Benar-benar dua sisi yang berbeda, yang satu memikirkan nasib kedepannya yang satu memikirkan istri barunya yang pura-pura tersakiti. Melupakan fakta jika wanita yang disakitinya saat ini adalah pasangan hidup yang sesungguhnya. 🌿🌿🌿🌿🌿 Nimas bangun ketika matahari sudah terbenam, ia merasa persendiannya remuk. Nimas beranjak, menatap sekeliling dimana saat ini dia tengah berada di rumah Rubiah. Tadi setelah pertengkaran hebatnya dengan Arjuna, Rubiah memaksanya ikut pulang bersama perempuan itu. Nimas yang tak punya pilihan lain menurut. Dipikirnya akan lebih baik jika dia menjauh dari dua manusia tidak punya hati itu. Masalah yang seharusnya bisa diselesaikan oleh mereka saja, kini melibatkan orang tua dan disini Nimas tidak akan diberikan kesempatan kecuali dibawah perintah. "Sudah bangun?" Buru-buru Nimas menoleh mendengar suara asing dari belakangnya. Beda dengan Nimas yang masih dilanda kebingungan, pria tersebut justru tertawa melihatnya. Nimas berdiam sejenak. Dia mengamati pria asing itu dari atas ke bawah. "Ternyata perempuan kalau bangun tidur itu jelek," tutur pria itu. "Bisma! Jangan ganggu kakak iparmu itu. Biarkan dia mandi, karena satu jam lagi Arjuna akan menjemputnya." suara Rubiah memudarkan rasa bingung Nimas. Ternyata pria berambut gondrong itu Bisma, adik iparnya. Sudah lama mereka tak pernah bertemu. Sebab, mereka memang hanya sekali bertemu saat Arjuna melamarnya. Bahkan di hari pernikahan mereka saja Bisma tidak datang. Kata Arjuna, adiknya itu sedang di mutasi. Jadi, wajar jika Nimas asing dengan sosok tersebut. Laki-laki bernama Bisma itu lalu berdiri dengan senyum yang masih terpatri di bibirnya. Definisi seorang Bisma menurut Nimas adalah tinggi dan tidak kalah tampan dari Arjuna, tapi kulitnya sedikit lebih gelap. "Apa kabar, mbak? Akhirnya kita bertemu lagi."Sore itu Nimas makan ditemani oleh pria yang menjadi adik iparnya. Sejak sapaan yang hanya Nimas jawab 'baik’ atas pertanyaan pria itu, Bisma tak lagi bicara. Meski demikian, Nimas bersyukur, karena perasaan dan emosinya sungguh sedang tidak bisa diajak basa-basi."Arjuna sudah di jalan." penuturan Rubiah mau tak mau membuat Nimas menghela napas. Jika boleh jujur, Nimas belum siap bertemu dengan Arjuna karena luka tamparan di kedua pipinya mungkin akan segera sembuh, tetapi tidak dengan luka hatinya."Bu, Nimas masih mau disini.""Kamu ngomong sama Arjuna langsung, lagian keberadaan mu disana lebih dibutuhkan.""Dibutakan untuk menjadi babu" batin Nimas menimpali.Rubiah memang tidak menolak Nimas secara langsung, tapi bukankah itu bentuk penolakan halus?Meski Bisma turut berada di sana, tapi pria itu hanya diam memperhatikan dan menatap keengganan Nimas untuk kembali pulang bersama abangnya."Mungkin mereka bertengkar." pikir Bisma yang tetap melanjutkan makan dengan senyap.Tak la
Kepergian Arjuna dan Winda dimanfaatkan Nimas untuk mencari lowongan kerja. Tak hanya itu, dirinya juga mulai mencari-cari kost murah untuk ditinggali sementara.Setelah mendapat pukulan dua kali dari Arjuna, keinginan untuk memberi tahu pria itu tentang kehamilannya sirna sudah.Biarlah benih Arjuna tumbuh tanpa pria itu tahu, karena niatnya untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Arjuna telah berbuat zalim. Tidak hanya menyakiti fisik, Arjuna juga menyakiti jiwanya hingga rasanya luka yang digoreskan akan tetap basah selamanya.Setelah dipikir berulang kali pun, bertahan bukan pilihan yang bijak. Nimas tidak mau nantinya anak yang terlahir dari rahimnya disisihkan karena Arjuna sendiri sudah gelap mata. Antara dirinya dan Winda saja pria itu tak bisa adil, bagaimana nanti dengan anak-anak mereka?Wajah Nimas berubah murung. Akan sangat berat jika nekat meninggalkan rumah ini karena selama ini Arjuna yang menopang hidupnya. Namun, sekarang hubungannya sudah berbeda, Arjuna memili
Mata Nimas yang bersirobok dengan netra milik Bisma memburam. Nimas menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisan yang keluar, gambaran dari betapa dia begitu rapuh dan butuh sandaran.Bisma mengurungkan niat untuk mendekat. Dia memilih membiarkan Nimas untuk menyelesaikan tangisannya dulu agar lebih lega.Bisma tidak akan meminta Nimas untuk berhenti menangis. Memberikan waktu untuk seseorang menuangkan tangisannya sampai selesai, bagaikan membiarkan dia mengoceh dan mengeluarkan amarah lewat ucapan.Hanya 10 menit waktu yang dibutuhkan Nimas untuk menuangkan kesedihannya melalui sebuah tangisan. Setelah itu, Nimas mencoba untuk menarik nafas dalam kemudian memberanikan diri menatap manik Bisma yang masih berdiri pada posisi semula."Aku nggak berniat sembunyikan kehamilanku, awalnya aku ingin memberi tahu mas Arjuna, tapi hingga detik ini, dia..."Nimas tak mampu melanjutkan ucapannya dadanya sungguh sesak memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.Sementara Bisma ekspresinya begitu se
Nimas baru keluar kamar saat tiba waktu makan malam.Dimeja makan sudah ada Arjuna dan Winda yang tengah menikmati hidangan tanpa perduli pada Nimas yang masih merupakan nyonya rumah disini.Sekuat-kuatnya hati Nimas jika terus-terusan melihat suami dan pelakor berbahagia diatas penderitaan yang dia alami hatinya tetap saja terluka."Sudah bangun?" suara Arjuna tak Nimas jawab."Sini makan, tadi Winda sudah pesan banyak makanan untuk makan malam kita." tatapan hangat kembali Arjuna layangkan pada istri pertamanya."Aku nggak lapar.""Dasar nggak bersyukur, gengsi aku yang beli makanannya? La situ pemalas, tidur nggak tau waktu.""Kamu..,""Sudahlah Nimas, jangan diambil hati. Winda lagi hamil muda, mood-nya naik turun." nasehat Arjuna yang terkesan membela Winda. Lagi dan lagi."Mas, kamu nggak pernah ngertiin aku, aku juga istrimu.""Apa kamu sudah merasa jadi istri yang baik? Sudah beberapa hari ini kamu nggak lakuin tugasmu layaknya istri." suara Arjuna kembali naik.Egois. Banyak
"Siapa suruh kamu tidak hamil-hamil? " Nimas membelalakkan mata setelah mendengar Arjuna mengatakan hal itu. "Dengan atau tanpa izin darimu Winda akan tetap tinggal disini selama dirinya hamil!" tambah Arjuna dengan lantang. Mata Nimas berhenti berkedip seakan jiwanya telah terlepas dari raga. Dia terus menatap Arjuna yang sekarang menatapnya penuh ancaman. Bagai disayat sembilu, hati Nimas kini terasa hancur lebur. Suaminya baru saja mengakui bahwa telah menikahi sahabatnya dan ia dipaksa menerima wanita itu sebagai adik madu. Lebih gilanya lagi, Arjuna berencana untuk membawa wanita itu untuk tinggal satu atap dengannya! Di mana hati nurani Arjuna? Nimas sedang dalam mode tak sadarkan jiwa, sampai sebuah dorongan menyentuh lengannya. Nimas mengerjapkan mata. "Cepat buatkan susu hamil untuk Winda! Di tas itu ada lengkap kebutuhan Winda dan calon anak kami!" Bukan lagi sakit hati Nimas, melainkan hancur. Manik coklat itu berembun dan lambat laun mengeluarkan bulir-b
"Apa susahnya kamu tinggal terima Winda jadi adik madumu? Kamu juga kenal dia, gimana baiknya dia, royalnya dia. Ibu juga nggak asal kasih izin kalau Arjun nikahnya sama wanita sembarangan”.Luntur semangat Nimas kali ini. Niat hati ingin mengadu pada ibu mertuanya, tapi yang ada dia malah dicecar habis-habisan."Tapi, Bu..""Dengar ya, Nimas. Selama ini ibu sudah sabar menunggu kamu hamil, sedangkan semakin hari ibu makin tua. Jadi, apa salah kalau ibu ingin menimang cucu?" cecar Rubiah yang tak membiarkan Nimas membantah. Lagian kan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu itu adalah hal yang lumrah.Pandangan Nimas memburam karena pelupuk matanya mulai terisi air mata yang siap mengalir. Kini tidak seorang pun yang berpihak padanya. Nimas bahkan belum sempat memberi tahu suami dan mertuanya soal dirinya yang hamil.Tak cuma Arjuna yang enggan mendengar apa yang ingin Nimas sampaikan, Rubiah juga demikian, kata-kata Nimas selalu dipotong sebelum perempuan itu selesai bicara.Ni