Sore itu Nimas makan ditemani oleh pria yang menjadi adik iparnya. Sejak sapaan yang hanya Nimas jawab 'baik’ atas pertanyaan pria itu, Bisma tak lagi bicara. Meski demikian, Nimas bersyukur, karena perasaan dan emosinya sungguh sedang tidak bisa diajak basa-basi.
"Arjuna sudah di jalan." penuturan Rubiah mau tak mau membuat Nimas menghela napas. Jika boleh jujur, Nimas belum siap bertemu dengan Arjuna karena luka tamparan di kedua pipinya mungkin akan segera sembuh, tetapi tidak dengan luka hatinya. "Bu, Nimas masih mau disini." "Kamu ngomong sama Arjuna langsung, lagian keberadaan mu disana lebih dibutuhkan." "Dibutakan untuk menjadi babu" batin Nimas menimpali. Rubiah memang tidak menolak Nimas secara langsung, tapi bukankah itu bentuk penolakan halus? Meski Bisma turut berada di sana, tapi pria itu hanya diam memperhatikan dan menatap keengganan Nimas untuk kembali pulang bersama abangnya. "Mungkin mereka bertengkar." pikir Bisma yang tetap melanjutkan makan dengan senyap. Tak lama setelah ketiganya menyelesaikan makan, Arjuna datang. Pria itu menyapa adiknya dan dibalas dengan pelukan khas pria oleh Bisma. "Sehat, Bang?" sapa Bisma ketika Arjuna duduk di kursi tepat di samping Nimas. "Alhamdulillah. Kamu tambah tinggi, Bis! Makan apa di perantauan?" sapa Arjuna lagi. Senormalnya saudara yang jarang bertemu, Nimas bisa melihat kerinduan di antara mereka. Bisma berdecak dan bibirnya manyun menatap kakaknya. Meski sosoknya lebih jangkung, tapi sifatnya masih seperti remaja di mata Nimas. Setelah obrolan dua pria itu selesai, Arjuna kembali pada tujuannya. "Ayo pulang." ujarnya tanpa basa-basi. Bahkan tak ada kata maaf karena sudah memukul Nimas. Nimas membuang pandangannya ke arah lain. Bukankah pria ini mencintainya? Mengapa Arjuna menamparnya? Mengapa Arjuna tak mempercayainya? "Aku masih mau disini." Nimas berujar lirih. "Jangan kekanakan. Berapa kali harus kutekankan kalau kamu itu jangan kekanakan, Nimas. Sikap kekanakanmu ini sampai melukai Winda, untung dia memaafkanmu dan memintaku menjemputmu kembali." "Jadi, kalau Winda tidak menyuruhmu ke sini, Mas tidak akan pernah menjemputku? Sebenarnya apa yang sudah diberikan Winda sampai kamu tega menyakitiku seperti ini, Mas? Menuduhku tanpa bukti. Kalau kamu mau tahu, sebenarnya aku tidak pernah menyakiti Winda, dia menyakiti dirinya sendiri." "Jangan berusaha playing victim dan seolah-olah kamu yang tersakiti." bentak Arjuna. Tepat sekali yang dipikirkan Nimas, meski dia jujur, Arjuna takkan percaya. Bisma masih mengawasi tanpa niat ikut campur. Sebab, pria itu bertekad dalam hati, kalau sampai Arjuna menyeret kasar Nimas. Barulahdia akan ikut memajukan langkahnya. "Pulang, Nimas!! Aku tahu, kamu nggak akan bisa lepas dari aku. Kamu terlalu ketergantungan sama aku, makanya lebih baik kamu menurut. Winda saja mau menerimamu, kenapa kamu tidak?" "Kami berbeda, dia pelacur sementara aku istri sah!!" Kesabaran di dalam diri Arjuna lenyap. Wajahnya yang semula lembut kini berubah bengis." "Perlukah kuhancurkan mulut sialanmu itu, Nimas?" pekik Arjuna sembari mengangkat tangannya untuk kembali memberi wanita itu pelajaran. Namun, tangan yang telah terangkat itu kembali diturunkan karena ujung matanya telah melihat sosok Bisma yang sudah memberikan tatapan maut padanya. Dengan sigap, tangan Bisma langsung melindungi Nimas dengan menyembunyikannya di belakang punggung. "Jangan main kasar dengan wanita!" ucap Bisma dengan suara bariton dan tegas. Tangan kanannya masih melindungi tubuh Nimas yang sudah bersembunyi pada punggungnya. Arjuna berdecak remeh. "Jangan ikut campur, Bisma." Bisma menanggapinya dengan tawa santai. "Aku akan tetap ikut campur, bila itu di depan mataku." "Perempuan ini istriku." tunjuk Arjuna pada Nimas. "Memang, tapi bukan berarti abang berhak menyakitinya!" kata Bisma lagi masih dengan ketegasan. Nimas hanya diam melihat perdebatan itu. Dalam hati kecilnya, dia berharap Bisma tahu kalau Arjuna sudah memukulnya demi membela jalangnya di rumah. "Kau perlu datang ke rumah. Di sana kau akan menemukan perempuan yang layak kau bela." seru Arjuna dengan tatapan tajam ke Nimas. Bisma tampak mengerutkan keningnya. Nimas tiba-tiba terkekeh. "Apa kau tak malu memperkenalkan jalang busuk itu pada adikmu, Mas." Bisma menipiskan bibir. Tak menyangka kalau arjuna bisa sebodoh ini. Sekarang ia tahu penyebab mata sembab Nimas dan luka memar di pipi wanita itu. "Jangan sebut Winda jalang. Kau saja yang kurang bersyukur. Dia tidak pernah mengusikmu, dia bahkan tidak mau jika kita bertengkar, tapi kamu terus memancing emosiku." Nimas menggeleng, "Ceraikan aku, Mas. Bertahan untuk membuatmu kembali hanya berujung harapan kelabu. Karena kamu lebih memilihnya dibanding aku." Arjuna mendengus karena Nimas sudah mulai memanjangkan taringnya dengan permintaan cerai. "Omong kosong," sahut Arjuna. "Luka di wajah mbak Nimas, kamu yang melakukannya, Bang?" Bisma bertanya datar. Sejak kecil Bisma tidak menyukai pria banci yang suka menyakiti perempuan. Terlebih bermain fisik hingga menimbulkan bekas luka, itu perbuatan kriminal. "Dia melukai kakak iparmu yang sedang hamil, dia mendorong dan menamparnya hanya karena iri." Bisma membuang pandangan pada Nimas, perempuan itu menggelengkan kepalanya. "Abang harus tahu, tak selamanya tindakan kekerasan dilandasi karena dengki, kadang kala bentuk membela diri." Nimas tidak merasa Bisma sedang berada di pihaknya, karena yang baru saja dikatakan oleh Bisma adalah landasan penting untuk melihat masalah bukan dari satu sudut pandang. Sedangkan di sisi lain, Bisma yang baru tahu jika abangnya selingkuh kini cukup terenyuh dan menaruh iba pada Nimas. Namun, pada akhirnya Nimas tetap ikut pulang bersama Arjuna, karena pria itu mengatakan dia akan keluar kota selama satu minggu bersama Winda sehingga Nimas diminta untuk jaga rumah. Menurut Nimas itu lebih baik dari pada dia harus tinggal bersama ibu mertuanya. "Lihat saja, perlahan kamu akan kehilangan hal yang paling besar, yaitu kepercayaan diri. Setelah itu bagaimana kamu akan membuat keputusan? Aku menunggu prinsipmu goyah." Suara hati itu mengikuti langkah Nimas yang memasuki mobil Arjuna. Rubiah ikut mengantar anak dan menantunya sampai di depan pintu, sementara Bisma mengawasi keduanya dari balkon kamar, entah apa yang ada dalam pikirannya. Namun, pandangannya tak lepas dari mobil hitam yang membawa sepasang suami istri itu hingga menghilang ditelan gelapnya malam.Kepergian Arjuna dan Winda dimanfaatkan Nimas untuk mencari lowongan kerja. Tak hanya itu, dirinya juga mulai mencari-cari kost murah untuk ditinggali sementara.Setelah mendapat pukulan dua kali dari Arjuna, keinginan untuk memberi tahu pria itu tentang kehamilannya sirna sudah.Biarlah benih Arjuna tumbuh tanpa pria itu tahu, karena niatnya untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Arjuna telah berbuat zalim. Tidak hanya menyakiti fisik, Arjuna juga menyakiti jiwanya hingga rasanya luka yang digoreskan akan tetap basah selamanya.Setelah dipikir berulang kali pun, bertahan bukan pilihan yang bijak. Nimas tidak mau nantinya anak yang terlahir dari rahimnya disisihkan karena Arjuna sendiri sudah gelap mata. Antara dirinya dan Winda saja pria itu tak bisa adil, bagaimana nanti dengan anak-anak mereka?Wajah Nimas berubah murung. Akan sangat berat jika nekat meninggalkan rumah ini karena selama ini Arjuna yang menopang hidupnya. Namun, sekarang hubungannya sudah berbeda, Arjuna memili
Mata Nimas yang bersirobok dengan netra milik Bisma memburam. Nimas menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisan yang keluar, gambaran dari betapa dia begitu rapuh dan butuh sandaran.Bisma mengurungkan niat untuk mendekat. Dia memilih membiarkan Nimas untuk menyelesaikan tangisannya dulu agar lebih lega.Bisma tidak akan meminta Nimas untuk berhenti menangis. Memberikan waktu untuk seseorang menuangkan tangisannya sampai selesai, bagaikan membiarkan dia mengoceh dan mengeluarkan amarah lewat ucapan.Hanya 10 menit waktu yang dibutuhkan Nimas untuk menuangkan kesedihannya melalui sebuah tangisan. Setelah itu, Nimas mencoba untuk menarik nafas dalam kemudian memberanikan diri menatap manik Bisma yang masih berdiri pada posisi semula."Aku nggak berniat sembunyikan kehamilanku, awalnya aku ingin memberi tahu mas Arjuna, tapi hingga detik ini, dia..."Nimas tak mampu melanjutkan ucapannya dadanya sungguh sesak memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.Sementara Bisma ekspresinya begitu se
Nimas baru keluar kamar saat tiba waktu makan malam.Dimeja makan sudah ada Arjuna dan Winda yang tengah menikmati hidangan tanpa perduli pada Nimas yang masih merupakan nyonya rumah disini.Sekuat-kuatnya hati Nimas jika terus-terusan melihat suami dan pelakor berbahagia diatas penderitaan yang dia alami hatinya tetap saja terluka."Sudah bangun?" suara Arjuna tak Nimas jawab."Sini makan, tadi Winda sudah pesan banyak makanan untuk makan malam kita." tatapan hangat kembali Arjuna layangkan pada istri pertamanya."Aku nggak lapar.""Dasar nggak bersyukur, gengsi aku yang beli makanannya? La situ pemalas, tidur nggak tau waktu.""Kamu..,""Sudahlah Nimas, jangan diambil hati. Winda lagi hamil muda, mood-nya naik turun." nasehat Arjuna yang terkesan membela Winda. Lagi dan lagi."Mas, kamu nggak pernah ngertiin aku, aku juga istrimu.""Apa kamu sudah merasa jadi istri yang baik? Sudah beberapa hari ini kamu nggak lakuin tugasmu layaknya istri." suara Arjuna kembali naik.Egois. Banyak
"Siapa suruh kamu tidak hamil-hamil? " Nimas membelalakkan mata setelah mendengar Arjuna mengatakan hal itu. "Dengan atau tanpa izin darimu Winda akan tetap tinggal disini selama dirinya hamil!" tambah Arjuna dengan lantang. Mata Nimas berhenti berkedip seakan jiwanya telah terlepas dari raga. Dia terus menatap Arjuna yang sekarang menatapnya penuh ancaman. Bagai disayat sembilu, hati Nimas kini terasa hancur lebur. Suaminya baru saja mengakui bahwa telah menikahi sahabatnya dan ia dipaksa menerima wanita itu sebagai adik madu. Lebih gilanya lagi, Arjuna berencana untuk membawa wanita itu untuk tinggal satu atap dengannya! Di mana hati nurani Arjuna? Nimas sedang dalam mode tak sadarkan jiwa, sampai sebuah dorongan menyentuh lengannya. Nimas mengerjapkan mata. "Cepat buatkan susu hamil untuk Winda! Di tas itu ada lengkap kebutuhan Winda dan calon anak kami!" Bukan lagi sakit hati Nimas, melainkan hancur. Manik coklat itu berembun dan lambat laun mengeluarkan bulir-b
"Apa susahnya kamu tinggal terima Winda jadi adik madumu? Kamu juga kenal dia, gimana baiknya dia, royalnya dia. Ibu juga nggak asal kasih izin kalau Arjun nikahnya sama wanita sembarangan”.Luntur semangat Nimas kali ini. Niat hati ingin mengadu pada ibu mertuanya, tapi yang ada dia malah dicecar habis-habisan."Tapi, Bu..""Dengar ya, Nimas. Selama ini ibu sudah sabar menunggu kamu hamil, sedangkan semakin hari ibu makin tua. Jadi, apa salah kalau ibu ingin menimang cucu?" cecar Rubiah yang tak membiarkan Nimas membantah. Lagian kan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu itu adalah hal yang lumrah.Pandangan Nimas memburam karena pelupuk matanya mulai terisi air mata yang siap mengalir. Kini tidak seorang pun yang berpihak padanya. Nimas bahkan belum sempat memberi tahu suami dan mertuanya soal dirinya yang hamil.Tak cuma Arjuna yang enggan mendengar apa yang ingin Nimas sampaikan, Rubiah juga demikian, kata-kata Nimas selalu dipotong sebelum perempuan itu selesai bicara.Ni
"Buruan!" nada perintah itu semakin tegas saja Nimas dengar."Mas, aku lelah. Suruh Winda bikin nasi goreng sendiri." kata Nimas berusaha menolak, karena dia tidak sudi menjadi pesuruh Winda. Sebab, Nimas sadar ngidam adalah akal-akalan Winda untuk menindas dirinya."Bukankah sudah kubilang, jadi istri itu yang penurut. Apa susahnya buatkan nasi goreng doang? Jadi manusia yang berguna sedikit kek!""Kalau menurut mas Arjun, Nimas sudah nggak berguna, maka lepaskan aku, Mas. Kehidupan ini terlalu singkat, berbahagialah bersama Winda."Mata Arjuna berkilat, perkataan Nimas berhasil menghunus hatinya.Nimas berusaha menopang tubuh agar tak ambruk di depan Arjuna. Sejak Arjuna memperlakukannya bak seorang pelayan, pria itu telah meremas Nimas hingga remuk tak berbentuk. Arjuna yang awalnya menjanjikan kebahagiaan, justru dia sendiri yang sekarang menjadi sumber luka terbesarnya. Menciptakan ribuan tombak beracun yang menancap apik di setiap sisi membuat pola duka pada hidup Nimas."Sejak