Share

Mulai melawan

Sore itu Nimas makan ditemani oleh pria yang menjadi adik iparnya. Sejak sapaan yang hanya Nimas jawab 'baik’ atas pertanyaan pria itu, Bisma tak lagi bicara. Meski demikian, Nimas bersyukur, karena perasaan dan emosinya sungguh sedang tidak bisa diajak basa-basi.

"Arjuna sudah di jalan." penuturan Rubiah mau tak mau membuat Nimas menghela napas. Jika boleh jujur, Nimas belum siap bertemu dengan Arjuna karena luka tamparan di kedua pipinya mungkin akan segera sembuh, tetapi tidak dengan luka hatinya.

"Bu, Nimas masih mau disini."

"Kamu ngomong sama Arjuna langsung, lagian keberadaan mu disana lebih dibutuhkan."

"Dibutakan untuk menjadi babu" batin Nimas menimpali.

Rubiah memang tidak menolak Nimas secara langsung, tapi bukankah itu bentuk penolakan halus?

Meski Bisma turut berada di sana, tapi pria itu hanya diam memperhatikan dan menatap keengganan Nimas untuk kembali pulang bersama abangnya.

"Mungkin mereka bertengkar." pikir Bisma yang tetap melanjutkan makan dengan senyap.

Tak lama setelah ketiganya menyelesaikan makan, Arjuna datang. Pria itu menyapa adiknya dan dibalas dengan pelukan khas pria oleh Bisma.

"Sehat, Bang?" sapa Bisma ketika Arjuna duduk di kursi tepat di samping Nimas.

"Alhamdulillah. Kamu tambah tinggi, Bis! Makan apa di perantauan?" sapa Arjuna lagi.

Senormalnya saudara yang jarang bertemu, Nimas bisa melihat kerinduan di antara mereka.

Bisma berdecak dan bibirnya manyun menatap kakaknya. Meski sosoknya lebih jangkung, tapi sifatnya masih seperti remaja di mata Nimas.

Setelah obrolan dua pria itu selesai, Arjuna kembali pada tujuannya.

"Ayo pulang." ujarnya tanpa basa-basi. Bahkan tak ada kata maaf karena sudah memukul Nimas.

Nimas membuang pandangannya ke arah lain. Bukankah pria ini mencintainya? Mengapa Arjuna menamparnya? Mengapa Arjuna tak mempercayainya?

"Aku masih mau disini." Nimas berujar lirih.

"Jangan kekanakan. Berapa kali harus kutekankan kalau kamu itu jangan kekanakan, Nimas. Sikap kekanakanmu ini sampai melukai Winda, untung dia memaafkanmu dan memintaku menjemputmu kembali."

"Jadi, kalau Winda tidak menyuruhmu ke sini, Mas tidak akan pernah menjemputku? Sebenarnya apa yang sudah diberikan Winda sampai kamu tega menyakitiku seperti ini, Mas? Menuduhku tanpa bukti. Kalau kamu mau tahu, sebenarnya aku tidak pernah menyakiti Winda, dia menyakiti dirinya sendiri."

"Jangan berusaha playing victim dan seolah-olah kamu yang tersakiti." bentak Arjuna.

Tepat sekali yang dipikirkan Nimas, meski dia jujur, Arjuna takkan percaya.

Bisma masih mengawasi tanpa niat ikut campur. Sebab, pria itu bertekad dalam hati, kalau sampai Arjuna menyeret kasar Nimas. Barulahdia akan ikut memajukan langkahnya.

"Pulang, Nimas!! Aku tahu, kamu nggak akan bisa lepas dari aku. Kamu terlalu ketergantungan sama aku, makanya lebih baik kamu menurut. Winda saja mau menerimamu, kenapa kamu tidak?"

"Kami berbeda, dia pelacur sementara aku istri sah!!"

Kesabaran di dalam diri Arjuna lenyap. Wajahnya yang semula lembut kini berubah bengis."

"Perlukah kuhancurkan mulut sialanmu itu, Nimas?" pekik Arjuna sembari mengangkat tangannya untuk kembali memberi wanita itu pelajaran.

Namun, tangan yang telah terangkat itu kembali diturunkan karena ujung matanya telah melihat sosok Bisma yang sudah memberikan tatapan maut padanya.

Dengan sigap, tangan Bisma langsung melindungi Nimas dengan menyembunyikannya di belakang punggung.

"Jangan main kasar dengan wanita!" ucap Bisma dengan suara bariton dan tegas. Tangan kanannya masih melindungi tubuh Nimas yang sudah bersembunyi pada punggungnya.

Arjuna berdecak remeh.

"Jangan ikut campur, Bisma."

Bisma menanggapinya dengan tawa santai.

"Aku akan tetap ikut campur, bila itu di depan mataku."

"Perempuan ini istriku." tunjuk Arjuna pada Nimas.

"Memang, tapi bukan berarti abang berhak menyakitinya!" kata Bisma lagi masih dengan ketegasan.

Nimas hanya diam melihat perdebatan itu. Dalam hati kecilnya, dia berharap Bisma tahu kalau Arjuna sudah memukulnya demi membela jalangnya di rumah.

"Kau perlu datang ke rumah. Di sana kau akan menemukan perempuan yang layak kau bela." seru Arjuna dengan tatapan tajam ke Nimas.

Bisma tampak mengerutkan keningnya.

Nimas tiba-tiba terkekeh. "Apa kau tak malu memperkenalkan jalang busuk itu pada adikmu, Mas."

Bisma menipiskan bibir. Tak menyangka kalau arjuna bisa sebodoh ini. Sekarang ia tahu penyebab mata sembab Nimas dan luka memar di pipi wanita itu.

"Jangan sebut Winda jalang. Kau saja yang kurang bersyukur. Dia tidak pernah mengusikmu, dia bahkan tidak mau jika kita bertengkar, tapi kamu terus memancing emosiku."

Nimas menggeleng, "Ceraikan aku, Mas. Bertahan untuk membuatmu kembali hanya berujung harapan kelabu. Karena kamu lebih memilihnya dibanding aku."

Arjuna mendengus karena Nimas sudah mulai memanjangkan taringnya dengan permintaan cerai.

"Omong kosong," sahut Arjuna.

"Luka di wajah mbak Nimas, kamu yang melakukannya, Bang?" Bisma bertanya datar.

Sejak kecil Bisma tidak menyukai pria banci yang suka menyakiti perempuan. Terlebih bermain fisik hingga menimbulkan bekas luka, itu perbuatan kriminal.

"Dia melukai kakak iparmu yang sedang hamil, dia mendorong dan menamparnya hanya karena iri."

Bisma membuang pandangan pada Nimas, perempuan itu menggelengkan kepalanya.

"Abang harus tahu, tak selamanya tindakan kekerasan dilandasi karena dengki, kadang kala bentuk membela diri."

Nimas tidak merasa Bisma sedang berada di pihaknya, karena yang baru saja dikatakan oleh Bisma adalah landasan penting untuk melihat masalah bukan dari satu sudut pandang.

Sedangkan di sisi lain, Bisma yang baru tahu jika abangnya selingkuh kini cukup terenyuh dan menaruh iba pada Nimas.

Namun, pada akhirnya Nimas tetap ikut pulang bersama Arjuna, karena pria itu mengatakan dia akan keluar kota selama satu minggu bersama Winda sehingga Nimas diminta untuk jaga rumah. Menurut Nimas itu lebih baik dari pada dia harus tinggal bersama ibu mertuanya.

"Lihat saja, perlahan kamu akan kehilangan hal yang paling besar, yaitu kepercayaan diri. Setelah itu bagaimana kamu akan membuat keputusan? Aku menunggu prinsipmu goyah."

Suara hati itu mengikuti langkah Nimas yang memasuki mobil Arjuna.

Rubiah ikut mengantar anak dan menantunya sampai di depan pintu, sementara Bisma mengawasi keduanya dari balkon kamar, entah apa yang ada dalam pikirannya.

Namun, pandangannya tak lepas dari mobil hitam yang membawa sepasang suami istri itu hingga menghilang ditelan gelapnya malam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status