Kepergian Arjuna dan Winda dimanfaatkan Nimas untuk mencari lowongan kerja. Tak hanya itu, dirinya juga mulai mencari-cari kost murah untuk ditinggali sementara.
Setelah mendapat pukulan dua kali dari Arjuna, keinginan untuk memberi tahu pria itu tentang kehamilannya sirna sudah. Biarlah benih Arjuna tumbuh tanpa pria itu tahu, karena niatnya untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Arjuna telah berbuat zalim. Tidak hanya menyakiti fisik, Arjuna juga menyakiti jiwanya hingga rasanya luka yang digoreskan akan tetap basah selamanya. Setelah dipikir berulang kali pun, bertahan bukan pilihan yang bijak. Nimas tidak mau nantinya anak yang terlahir dari rahimnya disisihkan karena Arjuna sendiri sudah gelap mata. Antara dirinya dan Winda saja pria itu tak bisa adil, bagaimana nanti dengan anak-anak mereka? Wajah Nimas berubah murung. Akan sangat berat jika nekat meninggalkan rumah ini karena selama ini Arjuna yang menopang hidupnya. Namun, sekarang hubungannya sudah berbeda, Arjuna memiliki wanita lain sehingga Nimas tidak lagi menjadi poros hidupnya. Ketukan pintu berhasil menyadarkan Nimas dari pikirannya. Dengan langkah pelan perempuan itu menyingkap gorden jendela guna mengintip tamu yang datang. Dari celah gorden, wajah polos tanpa make-upnya terlihat terkejut. Bisma. Pemuda itu yang berkunjung di kediaman Nimas. Dengan langkah ragu Nimas membuka pintu, dan saat pintu berhasil terbuka, Nimas disambut senyum hangat dari si pemuda. "Maaf, tadinya aku mau kasih kabar kalau aku mau kesini, tapi aku lupa nggak punya nomor mbak." ujar Bisma sembari meringis lebar. Nimas yang tidak biasa mendapat kunjungan pria pun sedikit kikuk walaupun yang di depannya ini adalah adik iparnya sendiri. "Masuk, Bisma," ajak Nimas sambil memberi celah agar Bisma bisa masuk ke dalam rumah. Bisma lalu duduk di sofa tamu dengan santai sementara Nimas masih berdiri untuk menawarkan minum untuk adik iparnya. "Mau minum kopi atau teh, Bisma?" Nimas berusaha bersikap santai agar tak ada kecanggungan. Sebab, bagaimanapun juga mereka adalah keluarga. "Kita ngobrol di luar aja bagaimana, Mbak? Sekalian makan siang." Nimas agak terkejut mendengar ajakan Bisma, tapi tidak enak jika mau menolak. Akhirnya Nimas izin untuk berganti baju terlebih dahulu. Usai mengganti pakaian, ternyata Bisma sudah menunggu di samping motor berwarna hitamnya. Senyum lebar dan lambaian tangannya mengarah jelas pada Nimas. Nimas bergegas mengunci pintu sebelum menghampiri Bisma yang saat ini terlihat sedikit... keren. Bisma lantas menyerahkan satu helm putih kepada Nimas. "Kita mau kemana?" Nimas merutuki pertanyaan bodohnya, jelas-jelas tadi Bisma mengajaknya makan. "Kemana aja. Kalau mbak berkenan, kita bisa sekalian cari kontrakan." jawaban frontal itu mampu menarik atensi Nimas. "Bisma, kamu.." "Pake helmnya, kita makan dulu setelah itu mari bicara." 🌿🌿🌿🌿🌿 Nimas tidak menyangka kalau Bisma adalah sosok yang humoris, karena sepanjang perjalanan pria itu terus membuatnya tertawa. Derai tawanya bahkan baru terhenti bersamaan dengan laju motor yang melambat. "Suka batagor nggak, Mbak?" Nimas menelan ludah. Ini sungguh kebetulan atau memang rejeki bayinya? Sebab. sejak semalam Nimas memang sangat ingin menikmati batagor dan dimakan langsung di tempat. Dan kini bersama Bisma keinginannya itu terwujud. "Suka," maka dengan cepat Nimas menyahut. Dari balik helm, Bisma tersenyum tipis. Mereka duduk berhadapan di bangku lesehan sederhana. Senyum cerah yang dihiasi lesung pipi dan gigi gingsul ditunjukan Nimas ke hadapan Bisma yang sempat tertegun untuk beberapa detik. Nimas begitu menikmati batagor yang berada di piringnya. Bisma sangat menyukai cara makan Nimas, karena ketika mengunyah Nimas tidak menunjukkan deretan gigi-giginya. Mulutnya pun selalu tertutup rapat. Terdengar suara kecapan pun tidak. Bahkan sendok dan piring tidak selalu terdengar suara sentuhannya. "Mau nambah ?" tanya Bisma begitu melihat makanan Nimas tandas. Nimas menggeleng dengan tersenyum manis. "Udah nggak kuat, padahal semalam aku kepingin banget makan batagor, sampai nggak bisa tidur." ujar Nimas jujur. Raut muka Bisma sejenak berubah, sebelum senyum manisnya ikut muncul. 🌿🌿🌿🌿🌿 "Kemana perempuan itu?" Di Bali, Arjuna sedang berusaha menghubungi Nimas, tapi hingga panggilan keempat pun perempuan itu belum juga mengangkat telepon darinya. "Mas, kamu ngapain? Kita di sini sedang bulan madu lho. Jadi, jangan bilang kamu masih sibuk dengan pekerjaan." Rasa kesal Arjuna kini memudar seiring dengan tangan lentik yang memeluknya dari belakang diiringi dengan protes manja. Arjuna kalah dengan pesona yang ditawarkan Winda. Perempuan yang empat tahun lalu dikenalkan Nimas padanya itu kini berhasil mencuri seluruh perhatiannya. Arjuna sadar dengan menikahi Winda akan menyakiti Nimas. Namun, keinginan untuk memiliki wanita ini seutuhnya sangat kuat. Walaupun sebagian dirinya mengakui jika cinta untuk Nimas masih ada. Arjuna kalah dengan nafsu, mengabaikan rasa sakit yang diterima Nimas akibat perbuatan mereka. Nimas tidak hanya dikhianati satu orang, melainkan dua orang yang berarti di kehidupan wanita itu. "Kamu kenapa sih mas? Dari tadi kulihat dari tadi kurang semangat." protes Winda yang kini sudah berada di dalam pelukan hangat Arjuna. Winda merenggut karena sejak menginjakkan kaki di Bali, dia sering mendapati Arjuna melamun. Perempuan berambut sebahu itu bahkan menyadari jika Arjuna tidak menikmati bulan madu mereka. "Jangan cemberut begitu. Nanti cantiknya hilang, Sayang." rayu Arjuna yang berhasil membuat Winda tersipu. "Mas Arjun, ih." pukulan lembut mendarat di dada Arjuna. 🌿🌿🌿🌿🌿🌿 Enam hari Arjuna meninggalkan Nimas. Perempuan itu kini mulai terbiasa menjalani harinya dengan kehamilan. Pagi dan sore perempuan itu meminum susu hamil yang disimpan di lemari kabinet, Nimas juga gencar mencari pekerjaan yang cocok untuknya, tapi sampai saat ini belum ada yang sesuai. "Nak, doakan ibu segera menemukan pekerjaan dan tempat tinggal sebelum ayahmu menyadari kehadiranmu di rahim ibu, ya." Nimas menunduk menatap pada perutnya yang masih rata, tangan kanannya bergerak naik turun guna memberi usapan lembut di sana. "Aku sudah mengetuk pintu puluhan kali, pantas saja kamu nggak denger. Ternyata kamu asik ngobrol dengan bayi di rahimmu." Deg! Tubuh Nimas menegang. Dia belum siap ada orang yang mengetahui kehamilannya dan kini dia tidak tahu harus berbuat apa ketika suara familiar itu menyapa membuat kedua tangannya mengepal kuat. "Kita butuh bicara!" dan ucapan tegas itu tak bisa Nimas tolak, dengan mata berpendar dia berbalik badan. Tungkainya lemas seketika, harapan yang sudah disusun rapi harus kandas karena pria itu sudah kembali.Mata Nimas yang bersirobok dengan netra milik Bisma memburam. Nimas menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisan yang keluar, gambaran dari betapa dia begitu rapuh dan butuh sandaran.Bisma mengurungkan niat untuk mendekat. Dia memilih membiarkan Nimas untuk menyelesaikan tangisannya dulu agar lebih lega.Bisma tidak akan meminta Nimas untuk berhenti menangis. Memberikan waktu untuk seseorang menuangkan tangisannya sampai selesai, bagaikan membiarkan dia mengoceh dan mengeluarkan amarah lewat ucapan.Hanya 10 menit waktu yang dibutuhkan Nimas untuk menuangkan kesedihannya melalui sebuah tangisan. Setelah itu, Nimas mencoba untuk menarik nafas dalam kemudian memberanikan diri menatap manik Bisma yang masih berdiri pada posisi semula."Aku nggak berniat sembunyikan kehamilanku, awalnya aku ingin memberi tahu mas Arjuna, tapi hingga detik ini, dia..."Nimas tak mampu melanjutkan ucapannya dadanya sungguh sesak memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.Sementara Bisma ekspresinya begitu se
Nimas baru keluar kamar saat tiba waktu makan malam.Dimeja makan sudah ada Arjuna dan Winda yang tengah menikmati hidangan tanpa perduli pada Nimas yang masih merupakan nyonya rumah disini.Sekuat-kuatnya hati Nimas jika terus-terusan melihat suami dan pelakor berbahagia diatas penderitaan yang dia alami hatinya tetap saja terluka."Sudah bangun?" suara Arjuna tak Nimas jawab."Sini makan, tadi Winda sudah pesan banyak makanan untuk makan malam kita." tatapan hangat kembali Arjuna layangkan pada istri pertamanya."Aku nggak lapar.""Dasar nggak bersyukur, gengsi aku yang beli makanannya? La situ pemalas, tidur nggak tau waktu.""Kamu..,""Sudahlah Nimas, jangan diambil hati. Winda lagi hamil muda, mood-nya naik turun." nasehat Arjuna yang terkesan membela Winda. Lagi dan lagi."Mas, kamu nggak pernah ngertiin aku, aku juga istrimu.""Apa kamu sudah merasa jadi istri yang baik? Sudah beberapa hari ini kamu nggak lakuin tugasmu layaknya istri." suara Arjuna kembali naik.Egois. Banyak
Nimas baru selesai membersihkan diri ketika pintu ruangannya terbuka.Bisma datang setelah selesai piket, pria itu membawa sesuatu di tangannya.Kemarin Nimas sudah membawa kasus penganiayaan yang dialami nya ke kantor polisi, seharusnya hari ini surat panggilan sudah diterima Arjuna.2 hari Nimas berada di rumah sakit untuk pemulihan. 2 hari juga ponselnya sengaja dinonaktifkan.Berpuluh-puluh kali juga Arjuna menghubungi tapi nomor Nimas tidak terhubung.Arjuna semakin murka saja saat Winda memberikan bukti rekaman dimana Nimas pergi menaiki mobil dengan pria lain dua hari yang lalu. Di tambah hari ini sebuah surat panggilan tiba-tiba datang kepadanya semakin membuat pria itu dilanda emosi yang luar biasa.Karena itu intensitas panggilan dan pesan dari pria itu makin menggila.Nimas yang baru mengaktifkan telpon genggamnya langsung mendapatkan notifikasi ratusan panggilan dan pesan dari Arjuna.Baru akan meletakkan benda itu kembali di atas meja, benda itu berdering, dan nama Arjun
"Oke, kalau itu maumu! Tapi jangan ada barang satupun yang kamu bawa dari hasil uangku!" Kepala Nimas terangkat guna melihat wajah Arjuna, dari ekor matanya Nimas bisa menangkap ekspresi mengejek Winda karena ucapan Arjuna. Tekat Nimas sudah bulat, lebih baik pergi dalam keadaan terhina dari pada menanggung rasa sakit yang akan merenggut kewarasannya. Untuk kehamilannya, Nimas memutuskan bungkam, biar waktu yang akan menguak segalanya. Saat ini menjauh dari Arjuna adalah pilihan terbaik. Nimas menunduk guna menahan gejolak luka akibat perkataan Arjuna, dia merasa terbuang dan terhina di depan Winda. Tapi tidak apa-apa, lagi pula dia membawa bagian dari Arjuna yang akan dibesarkan sepenuh cinta. Setelah sedikit tenang perempuan itu akhirnya mengangkat kepalanya, senyum hangat tersungging di bibirnya. Nimas tidak berteriak, ataupun meraung, perempuan itu justru tersenyum anggun. "Baiklah," sepatah kata yang mampu menarik perhatian Arjuna sepenuhnya. Arjuna tidak akan mendug
"Disini saja, lagian kamu udah keluarin uang banyak untuk rumah ini." ujar Nimas dengan segala pertimbangan.Bisma dan Bu Yuri pun saling berpandangan dengan senyum yang tersembunyi."Ayo masuk!" ajak Bisma.Nimas mengangguk ragu.Sesampainya didalam Nimas di suguhkan keadaan rumah yang bersih dan lengkap dengan segala fasilitasnya. Ada sofa di ruang tamu, ada televisi di ruang tengah dengan karpet bulu tebal berwarna hijau mint seperti warna cat rumah, ada rak buku di sudut ruangan serta pintu yang sepertinya mengarah ke dapur."Rumah ini sebenarnya memiliki dua lantai, kamu bisa menemukan ruang lain dibawah." ucap Bisma menerangkan.Nimas mengekor kemanapun Bisma berjalan, pemuda itu juga mengajak Nimas turun kelantai bawah yang ternyata juga terdapat satu kamar tidur lengkap dengan kamar mandi serta ruang baca. Jujur rumah ini sangat nyaman, belum apa-apa saja Nimas merasa betah."Kenapa fasilitasnya selengkap ini, pasti mahal ya uang sewa nya?" mendapat pertanyaan seperti itu Bism
Arjuna menarik begitu saja tubuh Nimas memaksanya berdiri, tangan kanan pria itu sudah terangkat keatas ingin melayangkan tamparan pada wajah istrinya.Nimas yang takut sudah menutup wajahnya dengan kedua siku, perempuan itu berusaha melindungi diri dari pukulan Arjuna.Nyaris saja....Andai suara dari petugas kepolisian tidak terdengar, Nimas mungkin akan kembali mendapatkan tindak kekerasan dari Arjuna.Perlahan Arjuna seperti mendapatkan kesadarannya, pria itu segera menurunkan tangan yang hampir saja menyakiti Nimas.Sepersekian detik mereka semua saling diam, sebelum akhirnya sebuah pilihan Nimas ajukan."Setuju bercerai atau hukuman penjara. Kamu ada dua pilihan Mas."Arjuna meminta waktu pada petugas kepolisian untuk bicara dengan Nimas, berjanji akan memenuhi panggilan dari pihak kepolisian.Winda merenggut saat Arjuna meminta waktu untuk bicara berdua saja dengan Nimas."Apa maksudnya dengan bercerai atau hukuman penjara, Nimas?" tanya Arjuna setelah Winda dan Rubiah meningga
Keinginan Arjuna ingin bertemu dengan Nimas terus tertunda karena dirinya kehilangan jejak perempuan itu. Ditambah lagi dengan pekerjaan Arjuna yang sempat bermasalah sehingga menyita waktu, Arjuna harus mengesampingkan kepentingan yang berkaitan dengan Nimas.Hari persidangan itu semakin dekat dan Arjuna yakin Nimas tidak akan hadir di persidangan mereka nanti.Bohong jika arjuna tidak merindukan sosok istri pertamanya, perempuan dengan lesung pipi serta gigi gingsul itu sudah menemaninya sejak lama hijrah dari Jogja ke ibukota. Nimas juga yang sudah menemaninya berjuang sampai pada titik ini.Pria itu pikir setelah mengatakan yang sebenarnya pada Nimas, istrinya hanya akan marah beberapa hari, dengan percaya diri Arjuna mengira Nimas akan menerima Winda seiring berjalannya waktu, mengingat seberapa dekat mereka dulu, Nimas dan Winda seperti tidak terpisahkan. Arjuna tidak menduga jika Nimas justru menuntut pisah. Hal yang sangat jauh dari pikirannya."Ngelamun lagi?" Arjuna hanya te
"Apa yang kamu katakan, Bisma?"Nimas terperangah dengan ucapan yang baru saja Bisma katakan.Bisma melihat kearah Nimas sejenak, sebelum mengarahkan sebatang nikotin yang terapit jemari itu menuju bibirnya, menyulutnya dengan korek api sebelum dihisap dalam-dalam, kepulangan asap segera memenuhi udara disekitarnya begitu Bisma menghembuskan nafasnya."Kisah Mama dan kisah mu serupa, tapi Mama sedikit lebih beruntung. Wanita simpanan ayahku sedang hamil saat beliau mengetahui bahwa ayahku sudah memiliki istri, tapi kamu tau apa yang dia lakukan. Dia meninggalkan ayahku." Bisma tampak menerawang, kemudian pria itu menoleh pada Nimas."Saat itu ayahku mati-matian mempertahankan wanita itu. Tapi wanita itu tetap menolak, tidak lama kabar kehamilan Mama didengar oleh telinga wanita itu. Tanpa mengatakan sepatah katapun perempuan itu pergi meninggalkan kota yang menjadi tempat tinggalnya selama ini."Raut sendu Bisma mengusik Nimas."Kamu seperti mengenal sekali sosok yang kamu ceritakan,
"Jangan terburu-buru, saya tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang." Yudhistira menenangkan Nimas.Bukan soal paksaan, tapi ini perihal hati. Antara kebahagiaan dan masa depan.Menerima lamaran Bisma. Nimas rasa dia akan bahagia, karena pemuda itu memiliki sebagian hatinya. Akan tetapi Nimas harus siap ditinggal-tinggal. Waktu kebersamaan jelas tak seperti pasangan pada umumnya. Apakah dia sanggup?Menerima lamaran Yudhistira. Nimas rasa dia akan hidup berkecukupan. Cukup harta, cukup waktu, cukup segalanya. Yudhistira juga pasti menerima Vanilla, pria itu penyayang. Tapi Nimas ragu, karena hatinya memilih Bisma. Walaupun dia percaya ungkapan cinta datang karena terbiasa itu mungkin saja terjadi, Namun, apakah dia akan mengorbankan perasaannya untuk jaminan hidup?Beruntung kehadiran Bu Surti membuat obrolan mereka berganti topik. Ternyata Yudhistira memiliki kesamaan dengan Bisma. Sama-sama pintar mengambil hati Vanilla.Lihat saja saat ini putri kecil Nimas sudah berani duduk di
Winda menatap suaminya yang tengah memakan sarapannya dengan pandangan mengarah pada layar handphone. Sesekali terdengar suara decakan keluar dari mulutnya dan membuat Winda hanya bisa diam tanpa berniat untuk menanyakan apa yang terjadi.Hampir 4 tahun tinggal bersama membuatnya begitu hafal apa saja kebiasaan pria itu. Winda sudah tahu kebiasaan Arjuna. Kesukaannya, apa yang tidak disukainya, alergi apa. Semua tentang Arjuna nyaris dia ketahui semuanya.Sebenarnya Winda ingin membicarakan satu hal yang penting pada suaminya itu, tapi melihat Arjuna yang sudah bad mood di pagi hari, membuatnya mengurungkan niat tersebut. Lain kali saja sepertinya."Aku ingin bicara sesuatu." ujar Arjuna ketika istrinya ikut duduk di sampingnya."Sudah beberapa kali aku mengirim pesan pada Nimas, tapi tak juga kunjung mendapatkan balasan. Di telpon juga tidak diangkat."Dia baru tahu jika arjuna memiliki nomor Nimas bahkan sampai berniat menghubungi wanita itu. Sebelumnya pria itu tidak pernah mengat
Di hari minggu, biasanya Nimas akan mengajak Vanilla bermain di taman komplek yang letaknya tak jauh dari rumahnya, agar Vanilla bisa bermain bersama teman sebayanya. Berhubung hari ini mereka bangun terlambat, Vanilla hanya bermain di teras rumah ditemani secangkir coklat hangat dan potongan kue brownies. Melihat Bu Surti yang tengah sibuk dengan kebun mininya.Hingga sebuah mobil HRV hitam yang baru saja datang dan berhenti di depan pagar rumah, menarik perhatian Vanilla. Bu Surti lantas menghentikan kegiatan menyiram cabai dan daun bawang saat seorang pria paruh baya keluar dari sana, di susul oleh pria bertubuh jangkung yang tersenyum ramah ke arah wanita paruh baya itu."Pagi, Bu. Benar ini tempat tinggalnya Nimas?"Bu Surti lantas mematikan keran dan beranjak untuk membuka pagar."Iya, benar. Masnya ini siapa, ya? Apa mau pesan catering?"Pria tersebut semakin melebarkan senyumannya ketika Bu Surti menatapnya dengan bingung. "Saya Yudhistira, Bu. Saudara dari mantan suami Nimas t
Jemari menguntai aksara tentang mereka yang sedang mabuk dalam kesakitan dan memilih bertahan.Kehadiran seseorang diantara keduanya sama sekali tidak diinginkan, tapi dia tumbuh dengan cepat ingin mengumpulkan pecahan cermin yang pernah menjadi bukti keindahan cinta masa lalu dari salah satu di antara mereka.Mereka pernah saling mencintai, ada satu alasan yang membuat mereka menoleh bersamaan, tidak bisa diabaikan apalagi dibuang karena ini menyangkut darah.Arjuna sadar cepat atau lambat dia harus tetap menemui Nimas. Bukan karena karma yang membayangi hidupnya saat ini. Tapi karena ikatan darah daging yang mengharuskannya bertanggung jawab.Winda menatap nanar suaminya yang sejak tadi tenggelam dalam dunianya sendiri. Sejak pulang dari rumah sakit Winda merasakan perubahan yang signifikan pada suaminya.Arjuna kerap kali kepergok melamun, Setiap di tegur pria itu selalu beralasan sedang memikirkan pekerjaan.Tidak hanya Arjuna, Winda juga menyadari perubahan yang terjadi pada mert
Arjuna termenung di ruang kerja dengan kedua tangan saling bertaut. Pandangannya menatap lurus ke depan salat tengah memikirkan banyak hal dalam kepala.Setelah kejadian hari itu, Arjuna merasa ketenangannya tiba-tiba terusik. Dia tidak pernah merasakan lagi apa itu tidur nyenyak, makan enak ataupun hari yang bahagia. Setiap harinya, ia akan disibukkan oleh segudang kesibukan di kantor, dan malam harinya dia tidak bisa beristirahat. Otaknya seolah menolak untuk diajak istirahat se lelah apapun fisiknya.Hal tersebut mulai merubahnya perlahan, entah itu dari fisik yang tidak setegap dulu dan dia juga mulai kecanduan nikotin. Setiap hari pasti dia akan menghisap rokok karena hanya itu satu-satunya yang membuatnya merasa jauh lebih baik.Arjuna menyudahi renungannya, kakinya mulai melangkah ke arah kamarnya selama ini. Menatap sosok wanita yang tengah berbaring di atas ranjang seraya tertidur lalap setelah meminum obatnya.Sama halnya dulu mantan istrinya. Winda terlihat begitu menderita
"Menikahlah denganku, aku adalah wali nikah Vanilla yang sah." deru nafas Bisma memburu seperti lagu yang siap membawa Nimas melayang."Stop, Bisma!""Aku nggak bisa menahan perasaanku malam ini, Nimas." sahut Bisma tenang."Pak Bisma dini hari begini, masih sempat saja anda yaa?""Wah Ibu Nimas meragukan saya?"Bisma tertawa. "Aku benar-benar merindukanmu." ujar Bisma dengan suara lembut di akhir tawanya.Kali ini Nimas terdiam. Jika sebelumnya bisa saja Nimas mengira itu hanya candaan atau basa-basi Bisma semata, tapi dengan tindakannya malam ini yang berani mencuri kecupan di pipinya ini sudah membuktikan keseriusan pemuda itu dalam ucapannya."Kamu sadar nggak, seberapa dalam kamu menyakitiku saat memilih pergi, Nimas?"Astaga Bisma, kenapa dia malam ini? Nimas menjadi sangat gugup."Nggak sanggup ku ungkapkan seberapa sakit hati ini, jika saja kamu memilih pria lain yang lebih dariku rasanya lebih baik, dari pada kamu pergi tanpa bisa kulihat sedikitpun."Bisma terdiam, kedua m
"Aku capek. Aku capek karena terus berakhir sama. Aku benar-benar capek, Mas. Aku mau nyerah!" Arjuna merenggangkan pelukan mereka, menangkup kedua pipi Winda yang berurai air mata.Setelah melakukan kurete, kini Winda sedang beristirahat di kamarnya ditemani Arjuna yang sengaja hari ini tidak berangkat ke kantor. Untuk kegagalan kali ini mereka belum berani untuk memberitahukan kepada Rubiah. Takut wanita paruh baya itu kecewa dan berkata yang tidak-tidak."Dengerin aku. Selagi dokter masih bilang kita punya harapan, itu tandanya masih ada kesempatan lagi buat kita. Oke? Jangan nyerah, semua usaha kita pasti akan menunjukkan hasilnya nanti." Winda terisak, kedua matanya terpejam erat dan kedua tangannya memegang kedua lengan Arjuna."Aku takut kamu ninggalin aku, Mas. Aku sulit kasih kamu seorang anak dan aku mulai cemas, kalau kamu jenuh sama aku. Aku takut kamu capek dengan semua ini. Aku benar-benar takut jika suatu hari nanti ibumu memintamu menikah lagi seperti saat dulu Nimas t
Setelah berhasil mengambil Vanilla dari bahu Genta, Nimas memaksakan senyum untuk lelaki itu."Mau ku antar pulang?" Tanya Genta, seolah tak tahu jika Nimas dan pria asing itu terlibat percakapan. Atau pria itu hanya pura-pura tidak tahu? Entahlah."Nanti aku pulang sendiri saja, masih ada sedikit urusan." Sekali lagi Genta melirik pada lelaki yang berada dalam satu ruangan dengan Nimas, tapi pada akhirnya pria itu mengalah dan keluar dari pintu yang sejak Bisma masuk memang dibiarkan terbuka.Bisma membalik badan, ketika suara langkah kaki terdengar menjauh. Seketika matanya berbinar-binar melihat sosok gemoy di gendongan Nimas."Nimas, dia ...," titik bening mengalir dari mata ibu satu anak itu, kepalanya mengangguk memberi jawaban atas tanya Bisma yang tak usai.Pemuda itu menarik kedua sudut bibirnya. "Dia cantik seperti ibunya." Nimas mengigit bibir bawah dan menatap nanar pada Bisma."Boleh aku menggendongnya?" Nimas tak lantas menjawab dia melihat pada putrinya yang saat ini me
"Mirip Nimas gak sih?" gumam Yusup, yang seketika membuat seseorang menegang seketika."Hus!" tegur Novrian pada sahabatnya yang dirasa ngelantur, walaupun dirinya sendiri memiliki penilaian yang sama dengan Yusup, hanya saja Novrian takut salah menebak.Bisma yang tadinya acuh sedikit terusik karena nama yang baru disebutkan oleh Yusup. Dia bahkan sempat menegang beberapa saat. Namun, ketika ingin ikut melihat pada layar ponsel Android Novrian, mobil yang membawa mereka telah berhenti disebuah bangunan yang saat ini diterangi lampu yang begitu terang."Cok, deg-degan gue.." seru Novrian sambil membenahi jas yang dikenakannya ketika sudah keluar dari mobil.Bisma hanya menggeleng pelan dengan tingkah sahabatnya itu.Mereka disambut oleh keluarga wanita dengan ramah, Novrian di gandeng oleh orang tuanya, di belakangnya ada Bisma dan Yusup, di susul keluarga besar lainnya.Iring-iringan keluarga Novrian dipersilahkan memasuki ruangan yang sudah dihias sedemikian rupa, di sebuah meja ada