Kepergian Arjuna dan Winda dimanfaatkan Nimas untuk mencari lowongan kerja. Tak hanya itu, dirinya juga mulai mencari-cari kost murah untuk ditinggali sementara.
Setelah mendapat pukulan dua kali dari Arjuna, keinginan untuk memberi tahu pria itu tentang kehamilannya sirna sudah. Biarlah benih Arjuna tumbuh tanpa pria itu tahu, karena niatnya untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Arjuna telah berbuat zalim. Tidak hanya menyakiti fisik, Arjuna juga menyakiti jiwanya hingga rasanya luka yang digoreskan akan tetap basah selamanya. Setelah dipikir berulang kali pun, bertahan bukan pilihan yang bijak. Nimas tidak mau nantinya anak yang terlahir dari rahimnya disisihkan karena Arjuna sendiri sudah gelap mata. Antara dirinya dan Winda saja pria itu tak bisa adil, bagaimana nanti dengan anak-anak mereka? Wajah Nimas berubah murung. Akan sangat berat jika nekat meninggalkan rumah ini karena selama ini Arjuna yang menopang hidupnya. Namun, sekarang hubungannya sudah berbeda, Arjuna memiliki wanita lain sehingga Nimas tidak lagi menjadi poros hidupnya. Ketukan pintu berhasil menyadarkan Nimas dari pikirannya. Dengan langkah pelan perempuan itu menyingkap gorden jendela guna mengintip tamu yang datang. Dari celah gorden, wajah polos tanpa make-upnya terlihat terkejut. Bisma. Pemuda itu yang berkunjung di kediaman Nimas. Dengan langkah ragu Nimas membuka pintu, dan saat pintu berhasil terbuka, Nimas disambut senyum hangat dari si pemuda. "Maaf, tadinya aku mau kasih kabar kalau aku mau kesini, tapi aku lupa nggak punya nomor mbak." ujar Bisma sembari meringis lebar. Nimas yang tidak biasa mendapat kunjungan pria pun sedikit kikuk walaupun yang di depannya ini adalah adik iparnya sendiri. "Masuk, Bisma," ajak Nimas sambil memberi celah agar Bisma bisa masuk ke dalam rumah. Bisma lalu duduk di sofa tamu dengan santai sementara Nimas masih berdiri untuk menawarkan minum untuk adik iparnya. "Mau minum kopi atau teh, Bisma?" Nimas berusaha bersikap santai agar tak ada kecanggungan. Sebab, bagaimanapun juga mereka adalah keluarga. "Kita ngobrol di luar aja bagaimana, Mbak? Sekalian makan siang." Nimas agak terkejut mendengar ajakan Bisma, tapi tidak enak jika mau menolak. Akhirnya Nimas izin untuk berganti baju terlebih dahulu. Usai mengganti pakaian, ternyata Bisma sudah menunggu di samping motor berwarna hitamnya. Senyum lebar dan lambaian tangannya mengarah jelas pada Nimas. Nimas bergegas mengunci pintu sebelum menghampiri Bisma yang saat ini terlihat sedikit... keren. Bisma lantas menyerahkan satu helm putih kepada Nimas. "Kita mau kemana?" Nimas merutuki pertanyaan bodohnya, jelas-jelas tadi Bisma mengajaknya makan. "Kemana aja. Kalau mbak berkenan, kita bisa sekalian cari kontrakan." jawaban frontal itu mampu menarik atensi Nimas. "Bisma, kamu.." "Pake helmnya, kita makan dulu setelah itu mari bicara." 🌿🌿🌿🌿🌿 Nimas tidak menyangka kalau Bisma adalah sosok yang humoris, karena sepanjang perjalanan pria itu terus membuatnya tertawa. Derai tawanya bahkan baru terhenti bersamaan dengan laju motor yang melambat. "Suka batagor nggak, Mbak?" Nimas menelan ludah. Ini sungguh kebetulan atau memang rejeki bayinya? Sebab. sejak semalam Nimas memang sangat ingin menikmati batagor dan dimakan langsung di tempat. Dan kini bersama Bisma keinginannya itu terwujud. "Suka," maka dengan cepat Nimas menyahut. Dari balik helm, Bisma tersenyum tipis. Mereka duduk berhadapan di bangku lesehan sederhana. Senyum cerah yang dihiasi lesung pipi dan gigi gingsul ditunjukan Nimas ke hadapan Bisma yang sempat tertegun untuk beberapa detik. Nimas begitu menikmati batagor yang berada di piringnya. Bisma sangat menyukai cara makan Nimas, karena ketika mengunyah Nimas tidak menunjukkan deretan gigi-giginya. Mulutnya pun selalu tertutup rapat. Terdengar suara kecapan pun tidak. Bahkan sendok dan piring tidak selalu terdengar suara sentuhannya. "Mau nambah ?" tanya Bisma begitu melihat makanan Nimas tandas. Nimas menggeleng dengan tersenyum manis. "Udah nggak kuat, padahal semalam aku kepingin banget makan batagor, sampai nggak bisa tidur." ujar Nimas jujur. Raut muka Bisma sejenak berubah, sebelum senyum manisnya ikut muncul. 🌿🌿🌿🌿🌿 "Kemana perempuan itu?" Di Bali, Arjuna sedang berusaha menghubungi Nimas, tapi hingga panggilan keempat pun perempuan itu belum juga mengangkat telepon darinya. "Mas, kamu ngapain? Kita di sini sedang bulan madu lho. Jadi, jangan bilang kamu masih sibuk dengan pekerjaan." Rasa kesal Arjuna kini memudar seiring dengan tangan lentik yang memeluknya dari belakang diiringi dengan protes manja. Arjuna kalah dengan pesona yang ditawarkan Winda. Perempuan yang empat tahun lalu dikenalkan Nimas padanya itu kini berhasil mencuri seluruh perhatiannya. Arjuna sadar dengan menikahi Winda akan menyakiti Nimas. Namun, keinginan untuk memiliki wanita ini seutuhnya sangat kuat. Walaupun sebagian dirinya mengakui jika cinta untuk Nimas masih ada. Arjuna kalah dengan nafsu, mengabaikan rasa sakit yang diterima Nimas akibat perbuatan mereka. Nimas tidak hanya dikhianati satu orang, melainkan dua orang yang berarti di kehidupan wanita itu. "Kamu kenapa sih mas? Dari tadi kulihat dari tadi kurang semangat." protes Winda yang kini sudah berada di dalam pelukan hangat Arjuna. Winda merenggut karena sejak menginjakkan kaki di Bali, dia sering mendapati Arjuna melamun. Perempuan berambut sebahu itu bahkan menyadari jika Arjuna tidak menikmati bulan madu mereka. "Jangan cemberut begitu. Nanti cantiknya hilang, Sayang." rayu Arjuna yang berhasil membuat Winda tersipu. "Mas Arjun, ih." pukulan lembut mendarat di dada Arjuna. 🌿🌿🌿🌿🌿🌿 Enam hari Arjuna meninggalkan Nimas. Perempuan itu kini mulai terbiasa menjalani harinya dengan kehamilan. Pagi dan sore perempuan itu meminum susu hamil yang disimpan di lemari kabinet, Nimas juga gencar mencari pekerjaan yang cocok untuknya, tapi sampai saat ini belum ada yang sesuai. "Nak, doakan ibu segera menemukan pekerjaan dan tempat tinggal sebelum ayahmu menyadari kehadiranmu di rahim ibu, ya." Nimas menunduk menatap pada perutnya yang masih rata, tangan kanannya bergerak naik turun guna memberi usapan lembut di sana. "Aku sudah mengetuk pintu puluhan kali, pantas saja kamu nggak denger. Ternyata kamu asik ngobrol dengan bayi di rahimmu." Deg! Tubuh Nimas menegang. Dia belum siap ada orang yang mengetahui kehamilannya dan kini dia tidak tahu harus berbuat apa ketika suara familiar itu menyapa membuat kedua tangannya mengepal kuat. "Kita butuh bicara!" dan ucapan tegas itu tak bisa Nimas tolak, dengan mata berpendar dia berbalik badan. Tungkainya lemas seketika, harapan yang sudah disusun rapi harus kandas karena pria itu sudah kembali.Mata Nimas yang bersirobok dengan netra milik Bisma memburam. Nimas menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisan yang keluar, gambaran dari betapa dia begitu rapuh dan butuh sandaran.Bisma mengurungkan niat untuk mendekat. Dia memilih membiarkan Nimas untuk menyelesaikan tangisannya dulu agar lebih lega.Bisma tidak akan meminta Nimas untuk berhenti menangis. Memberikan waktu untuk seseorang menuangkan tangisannya sampai selesai, bagaikan membiarkan dia mengoceh dan mengeluarkan amarah lewat ucapan.Hanya 10 menit waktu yang dibutuhkan Nimas untuk menuangkan kesedihannya melalui sebuah tangisan. Setelah itu, Nimas mencoba untuk menarik nafas dalam kemudian memberanikan diri menatap manik Bisma yang masih berdiri pada posisi semula."Aku nggak berniat sembunyikan kehamilanku, awalnya aku ingin memberi tahu mas Arjuna, tapi hingga detik ini, dia..."Nimas tak mampu melanjutkan ucapannya dadanya sungguh sesak memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.Sementara Bisma ekspresinya begitu se
Nimas baru keluar kamar saat tiba waktu makan malam.Dimeja makan sudah ada Arjuna dan Winda yang tengah menikmati hidangan tanpa perduli pada Nimas yang masih merupakan nyonya rumah disini.Sekuat-kuatnya hati Nimas jika terus-terusan melihat suami dan pelakor berbahagia diatas penderitaan yang dia alami hatinya tetap saja terluka."Sudah bangun?" suara Arjuna tak Nimas jawab."Sini makan, tadi Winda sudah pesan banyak makanan untuk makan malam kita." tatapan hangat kembali Arjuna layangkan pada istri pertamanya."Aku nggak lapar.""Dasar nggak bersyukur, gengsi aku yang beli makanannya? La situ pemalas, tidur nggak tau waktu.""Kamu..,""Sudahlah Nimas, jangan diambil hati. Winda lagi hamil muda, mood-nya naik turun." nasehat Arjuna yang terkesan membela Winda. Lagi dan lagi."Mas, kamu nggak pernah ngertiin aku, aku juga istrimu.""Apa kamu sudah merasa jadi istri yang baik? Sudah beberapa hari ini kamu nggak lakuin tugasmu layaknya istri." suara Arjuna kembali naik.Egois. Banyak
"Siapa suruh kamu tidak hamil-hamil? " Nimas membelalakkan mata setelah mendengar Arjuna mengatakan hal itu. "Dengan atau tanpa izin darimu Winda akan tetap tinggal disini selama dirinya hamil!" tambah Arjuna dengan lantang. Mata Nimas berhenti berkedip seakan jiwanya telah terlepas dari raga. Dia terus menatap Arjuna yang sekarang menatapnya penuh ancaman. Bagai disayat sembilu, hati Nimas kini terasa hancur lebur. Suaminya baru saja mengakui bahwa telah menikahi sahabatnya dan ia dipaksa menerima wanita itu sebagai adik madu. Lebih gilanya lagi, Arjuna berencana untuk membawa wanita itu untuk tinggal satu atap dengannya! Di mana hati nurani Arjuna? Nimas sedang dalam mode tak sadarkan jiwa, sampai sebuah dorongan menyentuh lengannya. Nimas mengerjapkan mata. "Cepat buatkan susu hamil untuk Winda! Di tas itu ada lengkap kebutuhan Winda dan calon anak kami!" Bukan lagi sakit hati Nimas, melainkan hancur. Manik coklat itu berembun dan lambat laun mengeluarkan bulir-b
"Apa susahnya kamu tinggal terima Winda jadi adik madumu? Kamu juga kenal dia, gimana baiknya dia, royalnya dia. Ibu juga nggak asal kasih izin kalau Arjun nikahnya sama wanita sembarangan”.Luntur semangat Nimas kali ini. Niat hati ingin mengadu pada ibu mertuanya, tapi yang ada dia malah dicecar habis-habisan."Tapi, Bu..""Dengar ya, Nimas. Selama ini ibu sudah sabar menunggu kamu hamil, sedangkan semakin hari ibu makin tua. Jadi, apa salah kalau ibu ingin menimang cucu?" cecar Rubiah yang tak membiarkan Nimas membantah. Lagian kan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu itu adalah hal yang lumrah.Pandangan Nimas memburam karena pelupuk matanya mulai terisi air mata yang siap mengalir. Kini tidak seorang pun yang berpihak padanya. Nimas bahkan belum sempat memberi tahu suami dan mertuanya soal dirinya yang hamil.Tak cuma Arjuna yang enggan mendengar apa yang ingin Nimas sampaikan, Rubiah juga demikian, kata-kata Nimas selalu dipotong sebelum perempuan itu selesai bicara.Ni
"Buruan!" nada perintah itu semakin tegas saja Nimas dengar."Mas, aku lelah. Suruh Winda bikin nasi goreng sendiri." kata Nimas berusaha menolak, karena dia tidak sudi menjadi pesuruh Winda. Sebab, Nimas sadar ngidam adalah akal-akalan Winda untuk menindas dirinya."Bukankah sudah kubilang, jadi istri itu yang penurut. Apa susahnya buatkan nasi goreng doang? Jadi manusia yang berguna sedikit kek!""Kalau menurut mas Arjun, Nimas sudah nggak berguna, maka lepaskan aku, Mas. Kehidupan ini terlalu singkat, berbahagialah bersama Winda."Mata Arjuna berkilat, perkataan Nimas berhasil menghunus hatinya.Nimas berusaha menopang tubuh agar tak ambruk di depan Arjuna. Sejak Arjuna memperlakukannya bak seorang pelayan, pria itu telah meremas Nimas hingga remuk tak berbentuk. Arjuna yang awalnya menjanjikan kebahagiaan, justru dia sendiri yang sekarang menjadi sumber luka terbesarnya. Menciptakan ribuan tombak beracun yang menancap apik di setiap sisi membuat pola duka pada hidup Nimas."Sejak
Sore itu Nimas makan ditemani oleh pria yang menjadi adik iparnya. Sejak sapaan yang hanya Nimas jawab 'baik’ atas pertanyaan pria itu, Bisma tak lagi bicara. Meski demikian, Nimas bersyukur, karena perasaan dan emosinya sungguh sedang tidak bisa diajak basa-basi."Arjuna sudah di jalan." penuturan Rubiah mau tak mau membuat Nimas menghela napas. Jika boleh jujur, Nimas belum siap bertemu dengan Arjuna karena luka tamparan di kedua pipinya mungkin akan segera sembuh, tetapi tidak dengan luka hatinya."Bu, Nimas masih mau disini.""Kamu ngomong sama Arjuna langsung, lagian keberadaan mu disana lebih dibutuhkan.""Dibutakan untuk menjadi babu" batin Nimas menimpali.Rubiah memang tidak menolak Nimas secara langsung, tapi bukankah itu bentuk penolakan halus?Meski Bisma turut berada di sana, tapi pria itu hanya diam memperhatikan dan menatap keengganan Nimas untuk kembali pulang bersama abangnya."Mungkin mereka bertengkar." pikir Bisma yang tetap melanjutkan makan dengan senyap.Tak la