"Apa susahnya kamu tinggal terima Winda jadi adik madumu? Kamu juga kenal dia, gimana baiknya dia, royalnya dia. Ibu juga nggak asal kasih izin kalau Arjun nikahnya sama wanita sembarangan”.
Luntur semangat Nimas kali ini. Niat hati ingin mengadu pada ibu mertuanya, tapi yang ada dia malah dicecar habis-habisan. "Tapi, Bu.." "Dengar ya, Nimas. Selama ini ibu sudah sabar menunggu kamu hamil, sedangkan semakin hari ibu makin tua. Jadi, apa salah kalau ibu ingin menimang cucu?" cecar Rubiah yang tak membiarkan Nimas membantah. Lagian kan laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu itu adalah hal yang lumrah. Pandangan Nimas memburam karena pelupuk matanya mulai terisi air mata yang siap mengalir. Kini tidak seorang pun yang berpihak padanya. Nimas bahkan belum sempat memberi tahu suami dan mertuanya soal dirinya yang hamil. Tak cuma Arjuna yang enggan mendengar apa yang ingin Nimas sampaikan, Rubiah juga demikian, kata-kata Nimas selalu dipotong sebelum perempuan itu selesai bicara. Nimas dapat melihat tatapan kurang suka Rubiah kala dia kembali menangis. Setiap orang akhirnya berubah seiring dengan berjalannya waktu. Sebab, dulu Rubiah tidak begitu. Wanita yang melahirkan Arjuna itu turut menyayangi Nimas. Namun, karena Nimas yang tak kunjung hamil, lambat-laun sikap Rubiah mulai berubah tak acuh pada Nimas. Hal itu pun dibarengi dengan perubahan Arjuna yang mulai enggan membawanya pergi ketika ada acara keluarga. "Ibu kok datang gak bilang-bilang?" Nimas bergeming, karena suara lembut yang dulu selalu disambut senyum hangat olehnya mulai detik ini akan menjadi suara paling dibenci dalam hidupnya. Sedangkan suara milik Winda disambut pekikan bahagia oleh Rubiah. "Wahhh mantu ibu, bagaimana kabar penerus?" Nimas mengabaikan keduanya dan memilih pergi ke kamar tamu tempatnya kini menumpahkan segala lara, tapi baru saja kakinya sampai di depan pintu suara Arjuna mengejutkannya. "Kok kamu jadi nggak sopan begitu? Ibu datang bukannya langsung dibuatkan minum kok malah langsung ditinggal pergi. Kamu juga melupakan tugasmu sebagai istri. Pagi ini kamu bahkan tidak masak sarapan untukku dan Winda. Sudah dong marahnya, kamu itu sudah bukan anak kecil." protes Arjuna tanpa perduli dengan hati Nimas yang terbelah karenanya. Mendengar ucapan Arjuna, mau tidak mau Nimas memutar tubuh guna melihat laki-laki yang sudah menyakiti hati serta mentalnya sejak kedatangannya membawa istri baru semalam. "Winda juga istrimu, minta saja dilayani olehnya!" balas Nimas sedikit berani. "Kamu kenapa sih? Dosa besar kamu menolak poligami sedang agama kita saja memperbolehkan! Mau menyalahkan syariat?" "Poligami juga ada syaratnya mas, bukan asal tambah istri!" timpal Nimas. "Tertulis jelas di Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan dan di Pasal 56 ayat (1) KHI. Apa perlu aku jabarkan satu persatu isinya kepada mas?" Arjuna kicep. Soal undang-undang istrinya jelas lebih tahu karena Nimas memang jebolan akademi hukum, tapi sebagai laki-laki tentu Arjuna merasa diremehkan dengan ucapan Nimas. "Surgamu masih di bawah kakiku, Nimas. Jadi, jangan bangga karena bisa melawan suami! Coba kamu belajar dari Winda, biarpun memiliki jabatan tinggi di kantor, dia masih memiliki rasa hormat terhadapku sebagai suaminya." Kali ini Nimas yang bungkam. Rasanya hatinya terasa sakit sekali, karena Arjuna dengan tega membanding-bandingkannya dengan Winda. Lagipula, kurang hormat apalagi dia selama ini? Dibanding Winda, dia lebih lama menemani Arjuna. Ibarat kata, keduanya sudah mengenal baik luar dalam. Jadi, mana bisa disamaratakan dengan orang baru? Air mata kembali menjadi teman perempuan itu. Nimas nelangsa, bertahan menyakitkan, pergi tak ada tujuan. "Di dunia nggak cuma kamu perempuan yang dipoligami suaminya, malah banyak di luaran sana yang tahu diri meminta suaminya menikah lagi demi keturunan!" Mata Nimas berkilat mendengar cemoohan Arjuna, karena kali ini pria itu menghinanya sangat dalam. "Aku memang bukan perempuan satu-satunya yang dipoligami, Mas, tapi aku salah satu dari mereka yang menentang poligami tanpa izin istri pertama. Sumpah demi Allah, aku nggak ridho. Aku nggak rela untuk itu kamu lebih baik ceraikan aku." "Jadi perempuan jangan sok! Sudah mandul, songong pula!!" ujar Winda yang datang bersama Rubiah mendekati suami istri yang bertengkar. "Tutup mulutmu, Winda! Aku nggak mandul, sekarang aku ..." "Kalau nggak mandul harusnya kamu sudah jadi ibu. Sudah bertahun-tahun loh, kamu menjadi istri mas Arjun. Aku yang baru enam bulan aja sudah isi." cetus Winda memotong kalimat Nimas dengan tatapan mengejek sedangkan tangan kanan perempuan itu mengelus perutnya sendiri. Sebenarnya Arjuna agak terkejut mendengar permintaan cerai dari Nimas, tapi fokusnya buyar karena Winda ikut masuk kedalam obrolan mereka. Nimas membuang muka karena merasa geram dengan Winda yang sok ikut campur. Seandainya dia tidak ingat kalau sedang mengandung, tentu akan Nimas ladeni Winda meski harus bergulat sekalipun. "Kalian ini apa-apaan sih kok malah jadi ribut?" Rubiah melirik Nimas yang sekarang enggan melihat mereka. Kemudian, dia memberi kode kepada Arjuna untuk membawa Winda beranjak. Walaupun kurang suka dengan emosi Nimas yang meledak-ledak, tetapi Rubiah tidak bisa mengabaikan status Nimas yang lebih unggul dari Winda. "Kemana?" tanya Rubiah saat melihat Nimas akan beranjak. "Cari makan Bu, Nimas lapar." "Sekalian belikan Arjun dan Winda ya. Ibu pulang dulu. Kalian yang akur." Belum sempat Nimas menimpali, Rubiah sudah pergi. ****** Sesudah makan siang, Nimas yang sedang merenung di kamar tiba-tiba didatangi oleh Arjun. Pria itu ikut duduk di samping istrinya tanpa mau menatap ke arah Nimas. "Sampai kapan pun aku nggak akan ceraikan kamu. Jadi, jangan ulangi lagi omonganmu yang bodoh itu kayak tadi." "Kalau gitu, kamu harus ceraikan Winda." tantang Nimas. "Jangan bikin aku marah, Nimas!" ujar Arjuna kembali emosi. Kali ini wajahnya sudah menatap ke arah Nimas dan tangannya tanpa sadar menarik kasar tangan wanita itu. "Terus maumu apa, Mas? Jangan tamak!" ujar Nimas berusaha melepaskan cengkraman tangan Arjuna. "Kamu atau Winda tidak akan ada yang aku lepaskan!" bentak Arjuna kian emosi karena istrinya tidak bisa diajak bicara baik-baik. "Egois!" desis Nimas. "Terserah kamu mau bilang apa. Kamu itu istriku. Jadi, tetap lakukan tugas dan kewajibanmu sebagai seorang istri!" dengan napas yang naik turun, Arjun menunjuk kening Nimas. "Sekarang keluar, buatkan Winda nasi goreng. Anak kami ngidam nasi goreng buatanmu!" "Apa?" Di balik pintu kamar bercat coklat Winda tersenyum penuh kemenangan. Tangannya mengusap lembut perutnya dengan sayang. Mulai saat ini, dia akan terus menggunakan alasan ngidam untuk membuat istri pertama Arjuna sengsara. Sama seperti yang dikatakan Nimas, Winda juga salah satu orang yang tidak mengharapkan poligami. Oleh karena itu, kalau Arjuna tidak bersedia menceraikan Nimas, maka dia yang akan membuat Nimas pergi dari kehidupan Arjuna. Winda melangkah cepat meninggalkan pasangan suami istri yang tengah adu mulut itu dan membiarkan keduanya semakin bertengkar. Akan lebih baik lagi kalau Nimas terus memancing amarah Arjuna. Sebab, kalau laki-laki itu lepas kendali dan menyakiti Nimas, maka itu akan lebih menyenangkan hatinya."Buruan!" nada perintah itu semakin tegas saja Nimas dengar."Mas, aku lelah. Suruh Winda bikin nasi goreng sendiri." kata Nimas berusaha menolak, karena dia tidak sudi menjadi pesuruh Winda. Sebab, Nimas sadar ngidam adalah akal-akalan Winda untuk menindas dirinya."Bukankah sudah kubilang, jadi istri itu yang penurut. Apa susahnya buatkan nasi goreng doang? Jadi manusia yang berguna sedikit kek!""Kalau menurut mas Arjun, Nimas sudah nggak berguna, maka lepaskan aku, Mas. Kehidupan ini terlalu singkat, berbahagialah bersama Winda."Mata Arjuna berkilat, perkataan Nimas berhasil menghunus hatinya.Nimas berusaha menopang tubuh agar tak ambruk di depan Arjuna. Sejak Arjuna memperlakukannya bak seorang pelayan, pria itu telah meremas Nimas hingga remuk tak berbentuk. Arjuna yang awalnya menjanjikan kebahagiaan, justru dia sendiri yang sekarang menjadi sumber luka terbesarnya. Menciptakan ribuan tombak beracun yang menancap apik di setiap sisi membuat pola duka pada hidup Nimas."Sejak
Sore itu Nimas makan ditemani oleh pria yang menjadi adik iparnya. Sejak sapaan yang hanya Nimas jawab 'baik’ atas pertanyaan pria itu, Bisma tak lagi bicara. Meski demikian, Nimas bersyukur, karena perasaan dan emosinya sungguh sedang tidak bisa diajak basa-basi."Arjuna sudah di jalan." penuturan Rubiah mau tak mau membuat Nimas menghela napas. Jika boleh jujur, Nimas belum siap bertemu dengan Arjuna karena luka tamparan di kedua pipinya mungkin akan segera sembuh, tetapi tidak dengan luka hatinya."Bu, Nimas masih mau disini.""Kamu ngomong sama Arjuna langsung, lagian keberadaan mu disana lebih dibutuhkan.""Dibutakan untuk menjadi babu" batin Nimas menimpali.Rubiah memang tidak menolak Nimas secara langsung, tapi bukankah itu bentuk penolakan halus?Meski Bisma turut berada di sana, tapi pria itu hanya diam memperhatikan dan menatap keengganan Nimas untuk kembali pulang bersama abangnya."Mungkin mereka bertengkar." pikir Bisma yang tetap melanjutkan makan dengan senyap.Tak la
Kepergian Arjuna dan Winda dimanfaatkan Nimas untuk mencari lowongan kerja. Tak hanya itu, dirinya juga mulai mencari-cari kost murah untuk ditinggali sementara.Setelah mendapat pukulan dua kali dari Arjuna, keinginan untuk memberi tahu pria itu tentang kehamilannya sirna sudah.Biarlah benih Arjuna tumbuh tanpa pria itu tahu, karena niatnya untuk bercerai dari suaminya semakin kuat. Arjuna telah berbuat zalim. Tidak hanya menyakiti fisik, Arjuna juga menyakiti jiwanya hingga rasanya luka yang digoreskan akan tetap basah selamanya.Setelah dipikir berulang kali pun, bertahan bukan pilihan yang bijak. Nimas tidak mau nantinya anak yang terlahir dari rahimnya disisihkan karena Arjuna sendiri sudah gelap mata. Antara dirinya dan Winda saja pria itu tak bisa adil, bagaimana nanti dengan anak-anak mereka?Wajah Nimas berubah murung. Akan sangat berat jika nekat meninggalkan rumah ini karena selama ini Arjuna yang menopang hidupnya. Namun, sekarang hubungannya sudah berbeda, Arjuna memili
Mata Nimas yang bersirobok dengan netra milik Bisma memburam. Nimas menutup wajah dengan kedua tangan. Tangisan yang keluar, gambaran dari betapa dia begitu rapuh dan butuh sandaran.Bisma mengurungkan niat untuk mendekat. Dia memilih membiarkan Nimas untuk menyelesaikan tangisannya dulu agar lebih lega.Bisma tidak akan meminta Nimas untuk berhenti menangis. Memberikan waktu untuk seseorang menuangkan tangisannya sampai selesai, bagaikan membiarkan dia mengoceh dan mengeluarkan amarah lewat ucapan.Hanya 10 menit waktu yang dibutuhkan Nimas untuk menuangkan kesedihannya melalui sebuah tangisan. Setelah itu, Nimas mencoba untuk menarik nafas dalam kemudian memberanikan diri menatap manik Bisma yang masih berdiri pada posisi semula."Aku nggak berniat sembunyikan kehamilanku, awalnya aku ingin memberi tahu mas Arjuna, tapi hingga detik ini, dia..."Nimas tak mampu melanjutkan ucapannya dadanya sungguh sesak memikirkan kemungkinan yang akan terjadi.Sementara Bisma ekspresinya begitu se
Nimas baru keluar kamar saat tiba waktu makan malam.Dimeja makan sudah ada Arjuna dan Winda yang tengah menikmati hidangan tanpa perduli pada Nimas yang masih merupakan nyonya rumah disini.Sekuat-kuatnya hati Nimas jika terus-terusan melihat suami dan pelakor berbahagia diatas penderitaan yang dia alami hatinya tetap saja terluka."Sudah bangun?" suara Arjuna tak Nimas jawab."Sini makan, tadi Winda sudah pesan banyak makanan untuk makan malam kita." tatapan hangat kembali Arjuna layangkan pada istri pertamanya."Aku nggak lapar.""Dasar nggak bersyukur, gengsi aku yang beli makanannya? La situ pemalas, tidur nggak tau waktu.""Kamu..,""Sudahlah Nimas, jangan diambil hati. Winda lagi hamil muda, mood-nya naik turun." nasehat Arjuna yang terkesan membela Winda. Lagi dan lagi."Mas, kamu nggak pernah ngertiin aku, aku juga istrimu.""Apa kamu sudah merasa jadi istri yang baik? Sudah beberapa hari ini kamu nggak lakuin tugasmu layaknya istri." suara Arjuna kembali naik.Egois. Banyak
"Siapa suruh kamu tidak hamil-hamil? " Nimas membelalakkan mata setelah mendengar Arjuna mengatakan hal itu. "Dengan atau tanpa izin darimu Winda akan tetap tinggal disini selama dirinya hamil!" tambah Arjuna dengan lantang. Mata Nimas berhenti berkedip seakan jiwanya telah terlepas dari raga. Dia terus menatap Arjuna yang sekarang menatapnya penuh ancaman. Bagai disayat sembilu, hati Nimas kini terasa hancur lebur. Suaminya baru saja mengakui bahwa telah menikahi sahabatnya dan ia dipaksa menerima wanita itu sebagai adik madu. Lebih gilanya lagi, Arjuna berencana untuk membawa wanita itu untuk tinggal satu atap dengannya! Di mana hati nurani Arjuna? Nimas sedang dalam mode tak sadarkan jiwa, sampai sebuah dorongan menyentuh lengannya. Nimas mengerjapkan mata. "Cepat buatkan susu hamil untuk Winda! Di tas itu ada lengkap kebutuhan Winda dan calon anak kami!" Bukan lagi sakit hati Nimas, melainkan hancur. Manik coklat itu berembun dan lambat laun mengeluarkan bulir-b