Setelah mampu mengobati 2 pasien secara ajaib dalam satu hari, Nama Juned kini menjadi buah bibir di kampungnya. Para warga yang dulu tak ingin berobat ke tempat Juned, kini berbondong-bondong mencarinya untuk berobat. “Juned, tolong obati penyakitku!!” “Aku dulu, Juned!!” “Penyakitku lebih parah, biarkan aku terlebih dulu!!.” Teriakkan para warga saling menyahut di tengah terik matahari. Kerumunan para warga membuat Juned begitu kerepotan. “Tolong sabar, saudara-saudara! Semua pasti dapat giliran masing-masing.” Kedua telapak Juned diangkat ke atas untuk menenangkan massa yang saling dorong. “Syukurlah, pengobatanmu kini jadi ramai.” Kata Lilis dengan semringah mendata satu persatu calon pasien. Satu per satu Juned mengobati penyakit setiap pasien. Dengan kemampuan ajaibnya dia dengan mudah dan cepat. “Terima kasih, Juned. Aku merasa sangat bugar sekarang.” Ujar salah satu warga yang selesai berobat kepada Juned. Juned tersenyum puas dapat berguna bagi orang lain.
Cekleekk... “Maaf, aku mengganggu kalian.” Marina terkejut melihat mereka berdua yang hampir ciuman. Juned dan Lilis gelagapan dengan kedatangan Marina yang tiba-tiba. “Marina kenapa kamu ke sini malam-malam!” Juned tak kalah terkejut dengan kehadiran Marina bersama seorang wanita yang memakai kursi roda. Untuk beberapa saat Marina kebingungan menyikapi apa yang barusan ia lihat. Tubuhnya terpaku seperti sebuah patung. “Maaf, aku permisi dulu.” Kata Lilis memecah keheningan, sambil berjalan keluar klinik melewati Marina yang masih terpaku. Sementara Juned mencoba mengatur nafasnya yang sempat tersengal-sengal menormalkan birahinya. Setelah dirasa sudah stabil, Juned kembali bertanya kepada Marina, “Mar? Ada apa?.” Marina langsung tersentak mendengar pertanyaan Juned. “Ini teman saya, dia mengalami stroke di bagian kakinya sejak 6 bulan yang lalu.” Marina masih gelagapan saat berbicara. “Baiklah bawa kemari, aku akan coba memijatnya. Siapa tahu bisa kembali normal.”
Aku sembuh!! Marina, kakiku sudah tidak lumpuh lagi.” Winda kegirangan sekaligus terharu mendapati kesembuhan kakinya.Juned menghentikan pijatannya, memberikan ruang bagi Winda mengekspresikan kebahagiaannya. Dengan senyuman yang lebar, Juned turut merasakan kebahagiaan yang dirasakan Winda.Winda terduduk sambil memegang bra di dadanya agar tak lepas. Marina yang mengetahui hal itu membantu memasangkan pengaitnya.“Syukurlah, Winda. Kakimu bisa gerak lagi.” Kata Marina yang ikut bahagia, lalu memeluk sahabatnya itu dengan erat.Winda terus menggerak-gerakkan kakinya seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Matanya mulai berlinang air mata yang membasahi pipinya.“Terima kasih, Juned! Terima kasih banyak!” Ucap Winda di tengah rasa haru bercampur bahagia.Juned yang awalnya ikut senang, berkata dengan nada rendah, “Iya, sama-sama.”Dia memberikan setengah senyum yang seolah dipaksakan. Juned menggosok rambutnya dengan tangannya, lalu berbalik dan menjauhi mereka berdua.“Sumpah!,
“Sudah sana, jangan coba-coba sama tante. Kesempatanmu sudah lewat tadi.” Kata Lilis sambil menghentakkan kakinya dengan pelan mendorong kaki Juned.Juned hanya tertawa terkekeh kemudian menunjukkan amplop kepada Lilis.“Apa itu, Jun?” Tanya Lilis sambil menunjuk ke arah amplop.Juned menunjukkan isi dari amplop tebal itu.“Ini dari Winda, Tante. Pasien yang tadi datang dengan Marina.” Kata Juned lalu memberikan semua uang itu kepada Lilis.Mulut Lilis menganga dan matanya berbinar saat menerima uang itu.“Astaga!, ini banyak sekali Juned!” Suara Lilis bergetar saking terkejutnya.Juned tersenyum bahagia melihat tantenya senang.“Iya tante, Lumayan bisa buat biaya renovasi.”Mata Lilis masih terfokus pada segepok uang sementara tangan dan jari jemarinya begitu lincah menghitung uang tersebut.“Kalau ini sih bukan Cuma renovasi Juned, tapi juga bisa beli motor buat kamu.” Ujar Lilis.Juned terkejut mendengar ucapan Lilis, selama ini dia memimpikan bisa memiliki sepeda motor sendiri aga
“Aaaaaaaaaaaaggghhh” Teriak Lilis sesaat setelah masuk ke kamar Juned.Juned berusaha menutupi kejantanannya yang dalam keadaan tidak aktif. “Tante kok masuk sih, Juned kan sudah bilang untuk tidak masuk.”Juned menutupi barangnya dengan kedua tangannya. Meski begitu, Lilis masih sempat melihat barang Juned yang walaupun lemas tapi tampak masih begitu besar.“Ya mana aku tahu, kenapa juga kamu tidur enggak pakai baju?.” Tanya Lilis sambil menutup matanya dengan kedua tangan.“Gerah tante, sudah tante keluar dulu aku mau pakai baju dulu!” Ujar Juned tangannya menunjuk ke arah pintu.Dengan tetap menutup mata dengan satu tangan, Lilis berjalan mundur meraih gagang pintu dengan tangan lainnya, sambil sesekali mengintip dari celah jarinya.“Ya sudah, cepat siap-siap kita akan pergi beli motor sama hp. Sekalian juga beli camilan untuk para tukang yang sedang renovasi klinikmu.” Ujar Lilis diikuti suara pintu yang tertutup.Begitu Lilis keluar dari kamar, Juned langsung secepat kilat member
Juned terus memegangi kakinya yang telah diinjak oleh Lilis.“Makanya jangan lihat payudara terus.” Kata Lilis sambil melirik ke arah Juned.“Lagian itu kesempatan, sayang kalau dilewatkan hehehe.” Balas Juned terkekeh sambil berdiri tegak.Lilis langsung menepuk pundak Juned dengan keras dan melangkah pergi.“Kenapa sih orang itu, dari tadi aneh banget.” Juned menyusul mengikuti langkah Lilis dari belakang.Tak lama kemudian mereka berdua berhenti di sebuah konter hp dan secara kebetulan juga di sebelahnya ada dealer motor juga. Mereka pun masuk ke konter hp terlebih dahulu.“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu.” Ujar salah satu wanita pegawai konter dengan ramah.“Saya mau cari hp mbak” sahut Lilis.“Oh iya, perkenalkan nama saya Anis. Silahkan mau cari hp apa?” Jawab wanita itu sambil menunjuk ke arah id card yang menggantung di lehernya.Ketika hendak ingin menjawab tiba-tiba datang seorang wanita lain yang menghampiri.“Loh, bukannya kamu Juned ya? Teman sekolahku.” Sahut wa
Seorang Pria dengan kemeja dan celana jogger berjalan dengan penuh wibawa mendekati kerumunan.“Mas Angga..” gumam Anis dengan wajah tegang, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. “Semuanya silahkan bubar! Kembali bekerja.” Dengan nada tegas Angga memerintahkan semua orang yang berkerumun untuk membubarkan diri.Semua orang langsung membubarkan diri menyisakan Juned, Lilis, Dewi dan Anis yang masih berada di tempat.“Ada apa ini? Kenapa kok ribut sekali?” Tanya Angga setelah merasa suasana kembali kondusif.“Begini mas, mbak ini sama mas ini mau....” Ucapan Anis seketika terhenti bersamaan dengan Dewi yang berkata, “Dia telah menamparku, sayang.” Ujar Dewi menunjuk ke arah Lilis.Dewi menyandarkan kepalanya di bahu Angga dengan manja.Angga yang mendengarkan omongan Dewi emosinya langsung memuncak seolah seperti lava yang akan tersembur.“Apa beraninya kamu menampar kekasihku?!!”Angga mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu mengayunkan ke arah Lilis. Namun sesaat sebelum tangan
“Apa yang kau lakukan, pria miskin?!!” Angga langsung mendorong tubuh Juned hingga terjengkang.Tubuh Angga menerjang ke atas tubuh Juned dan menindihnya.Angga mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.Dari arah pintu masuk seorang perempuan berlari sekencang-kencangnya untuk menghentikan Angga.“Berhenti, ada apa ini?!” Teriaknya sambil menjauhkan tubuh Angga dari atas tubuh Juned.“Siapa lagi ini yang mengganggu? Pasti keluarga si miskin ini.” Angga meludah ke samping.Juned yang melihat perempuan itu sedikit terkejut, matanya melotot dan mulutnya menganga.“Marina..?” Gumam Juned lirih.“Sebenarnya ada apa ini kok ribut sekali?.” Ujar Marina sambil membantu Juned berdiri.“Begini mbak, mas sama mbak ini mau membeli hp di sini.” Kata Anis sambil menunjuk ke arah Juned dan Lilis. “Awalnya saya yang melayani mereka sesuai prosedur, namun teman saya ini mengganggu dan menghina mereka.” Lanjut Anis sambil menunjuk Dewi.“Kamu itu siapa? Jangan sok jadi pahlawan di sini.” Sahu
Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“Seharusny
Mata para wanita—Marina, Lilis, Lastri, Vivi, dan Rini—tertumbuk pada Juned. Mereka terdiam sejenak, lalu hampir serentak menunjukkan ekspresi kagum.“Ya ampun, Juned! Keponakanku Ganteng banget!” ujar Lilis dengan suara riang, tangannya menutup mulut seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Vivi mengangguk setuju. “Aku sampai nggak kenal tadi. Serius ini kamu Juned? Kayak model yang mau pergi ke gala dinner aja,” katanya sambil tersenyum lebar.Lastri menambahkan dengan nada menggoda. “Juned, kayaknya kalau ada perempuan yang lihat kamu kayak gini, mereka langsung naksir, deh.”Juned hanya tersenyum canggung, merasa sedikit kikuk dengan perhatian yang begitu besar dari mereka. “Ah, jangan bercanda kalian. Ini cuma karena pakaian yang terlihat bagus,” ucapnya merendah sambil menggaruk belakang kepalanya.Namun Marina, yang duduk di sofa dengan anggun, memberikan komentar yang berbeda. “Lihatlah, ini yang aku maksud. Penamp
Juned hanya bisa duduk terpaku, tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan bertindak kasar. Namun, sebelum Winda melanjutkan aksinya, tubuhnya tiba-tiba melemah, dan ia terjatuh ke samping, pingsan karena mabuk.Juned menghela napas lega, tapi matanya langsung tertuju pada Marina dan Tari yang kini juga tampak setengah sadar, mencoba bernyanyi dengan suara yang sudah tidak jelas. Tidak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai pingsan, termasuk Rini. Suasana yang tadi penuh dengan tawa dan nyanyian kini berubah menjadi hening.Melihat mereka semua terbaring di lantai dan sofa, Juned menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. "Ya Allah, ini benar-benar malam yang melelahkan," gumamnya sambil mengusap wajahnya.Dengan hati-hati, Juned mulai memindahkan mereka satu per satu ke kamar Marina yang besar. Ia mengangkat Winda lebih dulu, lalu kembali ke ruangan karaoke untuk membawa Marina, Tari, dan akhirnya Rini. Setelah memast
Juned tersentak, tapi ia tetap tenang. "Tari, kamu mabuk. Lebih baik kamu duduk di sana dan istirahat.""Aku nggak mabuk," balas Tari sambil terkekeh, meskipun jelas dari gerak-geriknya bahwa ia mulai kehilangan kendali. Ia memiringkan tubuhnya, kini kepalanya bersandar di bahu Juned. "Kamu itu terlalu kaku. Nggak apa-apa, rileks sedikit. Kita ini cuma bersenang-senang."Juned menoleh ke Marina yang duduk di sisi lain ruangan, berharap mendapatkan bantuan. Namun Marina hanya mengangkat gelas anggurnya sambil tersenyum tenang, seolah-olah tidak ingin ikut campur. Winda dan Rini juga tampak terlalu sibuk dengan tawa mereka sendiri."Tari, aku serius," Juned berkata dengan nada lebih tegas, tapi tetap menjaga suaranya rendah agar tidak mengganggu suasana pesta. "Kamu perlu menjaga sikapmu. Aku hanya di sini untuk membantu, bukan untuk hal lain."Namun Tari justru memeluk Juned, membuatnya semakin sulit untuk melepaskan diri tanpa menimbulkan keributan. "Juned, kamu baik sekali. Kamu bahk
Marina memimpin rombongan ke sebuah ruangan yang ada di lantai bawah rumahnya. Begitu pintu ruangan itu dibuka, Juned tertegun. Ruangan itu sangat mewah, penuh dengan lampu neon warna-warni yang berkedip, sofa besar empuk, dan layar besar di dinding yang memutar daftar lagu karaoke. Di sudut ruangan, terdapat meja yang dipenuhi dengan camilan, minuman, dan beberapa botol anggur.Marina melangkah masuk dengan percaya diri, diikuti oleh Winda, Tari, dan Rini. Tari segera mengambil remote kontrol dan mulai menjelajahi daftar lagu. "Tempat ini adalah tempat favoritku di rumah Marina," katanya sambil tertawa. "Aku nggak pernah bosan."Juned, di sisi lain, hanya berdiri di pintu, tampak kebingungan. Dia menggaruk kepala dan mendekati Rini. "Aku nggak bisa nyanyi, Rini. Jadi buat apa aku ada di sini?"Rini menahan senyum. "Sudah, santai saja, Juned. Nggak ada yang maksa kamu nyanyi kalau nggak mau. Nikmati saja suasananya."Namun, Marina yang mendengar percakapan itu langsung menoleh. "Jun
Rini yang sedari tadi hanya duduk di ruangan, akhirnya angkat bicara setelah hanya menjadi pendengar sejauh ini. Dengan nada yang penuh arti, ia menatap Juned sambil tersenyum. “Mas Juned, kamu nggak perlu khawatir soal ini. Tanpa kamu sadari, sebenarnya kamu punya kemampuan alami untuk membuat orang lain tertarik sama kamu.”Juned menoleh ke arah Rini dengan alis yang sedikit terangkat. “Apa maksudmu, Mbak Rini? Aku nggak pernah merasa seperti itu.”Rini tertawa kecil, lalu mendekati Juned. “Apa kamu lupa sudah banyak wanita yang mengagumimu saat ini?”Juned menghela napas, masih merasa skeptis. “Tapi aku gak merasa membuat mereka kagum. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa, jika mereka senang aku juga senang.”Marina menyela dengan santai, memanfaatkan momen itu untuk memperkuat keyakinan Juned. “Rini benar. Justru karena kamu nggak terlihat seperti pria korporat yang penuh tipu daya, itu akan menjadi keuntungan besar. Kamu akan terlihat tulus, dan itu yang akan membuat dia terta
Marina mengangguk dengan senyum yang masih tertempel di wajahnya. “Iya, memang. Kami sudah beroperasi cukup lama dan memiliki banyak proyek besar yang berjalan. Itu salah satu alasan kenapa aku bisa menangani Anton tanpa masalah.” Marina menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, sambil menatap Juned dengan tatapan tajam, seolah mengukur seberapa banyak yang sudah dia pelajari tentang Anton.“Aku tidak pernah menyangka bahwa kamu adalah orang yang memiliki perusahaan sebesar itu,” kata Juned dengan terkejut, masih tidak bisa sepenuhnya mempercayai fakta tersebut.Marina tersenyum santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. “Bagi banyak orang, itu mungkin mengejutkan. Tapi bagiku, itu adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun. Dan kini, aku harus menghadapi pesaing baru yang bernama Anton. Dia pikir dia bisa menguasai pasar, tapi aku yakin aku punya lebih banyak cara untuk mengalahkannya.”Juned merasa terkesan dengan ketenangan Marina dalam menghadapi situasi seperti ini
Saat sudah berada di ambang pintu ruangan, Marina berbalik arah kembali masuk dengan langkah tenang. Juned dan Rini yang masih saling pandang tak tahu harus berkata apa saat melihat Marina mendekat. Wajahnya terlihat serius kali ini, dan ada secercah ketegasan dalam suaranya."Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada beberapa orang yang harus kita pastikan keselamatannya terlebih dahulu," kata Marina sambil duduk kembali. "Aku butuh informasi tentang keberadaan seseorang bernama Novi, Vivi, dan juga Lilis serta Lastri."Juned langsung menjawab tanpa ragu. "Lilis dan Lastri ada di rumahku, aman. Mereka tidak dalam bahaya."Marina mengangguk, lalu memandang ke arah Rini. "Bagaimana dengan Vivi dan anakmu?"Rini terlihat cemas, menggigit bibir bawahnya. "Vivi dan Novi sedang ditahan di rumah Pak Slamet, kepala desa. Dia orang kepercayaan Anton dan sering melakukan apa pun yang Anton perintahkan."Marina mendengar penjelasan itu dengan ekspresi tenang, meskipun kedua matanya tampak menila