Juned terus memegangi kakinya yang telah diinjak oleh Lilis.“Makanya jangan lihat payudara terus.” Kata Lilis sambil melirik ke arah Juned.“Lagian itu kesempatan, sayang kalau dilewatkan hehehe.” Balas Juned terkekeh sambil berdiri tegak.Lilis langsung menepuk pundak Juned dengan keras dan melangkah pergi.“Kenapa sih orang itu, dari tadi aneh banget.” Juned menyusul mengikuti langkah Lilis dari belakang.Tak lama kemudian mereka berdua berhenti di sebuah konter hp dan secara kebetulan juga di sebelahnya ada dealer motor juga. Mereka pun masuk ke konter hp terlebih dahulu.“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu.” Ujar salah satu wanita pegawai konter dengan ramah.“Saya mau cari hp mbak” sahut Lilis.“Oh iya, perkenalkan nama saya Anis. Silahkan mau cari hp apa?” Jawab wanita itu sambil menunjuk ke arah id card yang menggantung di lehernya.Ketika hendak ingin menjawab tiba-tiba datang seorang wanita lain yang menghampiri.“Loh, bukannya kamu Juned ya? Teman sekolahku.” Sahut wa
Seorang Pria dengan kemeja dan celana jogger berjalan dengan penuh wibawa mendekati kerumunan.“Mas Angga..” gumam Anis dengan wajah tegang, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. “Semuanya silahkan bubar! Kembali bekerja.” Dengan nada tegas Angga memerintahkan semua orang yang berkerumun untuk membubarkan diri.Semua orang langsung membubarkan diri menyisakan Juned, Lilis, Dewi dan Anis yang masih berada di tempat.“Ada apa ini? Kenapa kok ribut sekali?” Tanya Angga setelah merasa suasana kembali kondusif.“Begini mas, mbak ini sama mas ini mau....” Ucapan Anis seketika terhenti bersamaan dengan Dewi yang berkata, “Dia telah menamparku, sayang.” Ujar Dewi menunjuk ke arah Lilis.Dewi menyandarkan kepalanya di bahu Angga dengan manja.Angga yang mendengarkan omongan Dewi emosinya langsung memuncak seolah seperti lava yang akan tersembur.“Apa beraninya kamu menampar kekasihku?!!”Angga mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu mengayunkan ke arah Lilis. Namun sesaat sebelum tangan
“Apa yang kau lakukan, pria miskin?!!” Angga langsung mendorong tubuh Juned hingga terjengkang.Tubuh Angga menerjang ke atas tubuh Juned dan menindihnya.Angga mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.Dari arah pintu masuk seorang perempuan berlari sekencang-kencangnya untuk menghentikan Angga.“Berhenti, ada apa ini?!” Teriaknya sambil menjauhkan tubuh Angga dari atas tubuh Juned.“Siapa lagi ini yang mengganggu? Pasti keluarga si miskin ini.” Angga meludah ke samping.Juned yang melihat perempuan itu sedikit terkejut, matanya melotot dan mulutnya menganga.“Marina..?” Gumam Juned lirih.“Sebenarnya ada apa ini kok ribut sekali?.” Ujar Marina sambil membantu Juned berdiri.“Begini mbak, mas sama mbak ini mau membeli hp di sini.” Kata Anis sambil menunjuk ke arah Juned dan Lilis. “Awalnya saya yang melayani mereka sesuai prosedur, namun teman saya ini mengganggu dan menghina mereka.” Lanjut Anis sambil menunjuk Dewi.“Kamu itu siapa? Jangan sok jadi pahlawan di sini.” Sahu
Dengan suara lantang Marina memecat mereka berdua. Angga dan Dewi langsung bersimpuh di kaki Marina.“Jangan pecat kami Bu, kami mohon.” Ucap Dewi sambil memeluk erat kaki Marina.Angga yang berlutut di belakang dewi merapatkan kedua telapak tangannya, “saya minta maaf Bu, tolong jangan pecat saya!, saya masih punya cicilan mobil.”“Kesalahan kalian sudah sangat fatal, kalian sudah sangat keterlaluan merendahkan orang lain.” Ucap Marina sambil melangkah mundur, mencoba melepaskan kakinya dari pelukan Dewi.Sementara Angga kembali berdiri kemudian mengangkat tubuh Dewi dengan kasar.“Ini semua gara-gara kamu, wanita sialan. Kalau saja aku tak mendengar ucapanmu aku tidak akan berada dalam situasi ini.” Angga menampar Dewi dengan keras lalu melangkah pergi meninggalkan toko.Dewi menangis sesenggukan sambil memegang pipinya. Hal itu membuat Juned merasa sedikit iba kepadanya.Semua orang yang ada di sana hanya terdiam melihat Dewi yang tengah meratapi kesalahannya.“Juned, Maafkan aku.
Setelah keluar dari toko hp, Juned melangkah memasuki dealer motor dengan mata berbinar-binar. Kebetulan dealer tersebut bersebelahan dengan konter hp.“Wah, bagus-bagus banget motornya Tante.” Juned menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Hingga pada satu momen mata Juned langsung tertuju pada satu titik.Dengan antusias, Juned melangkah lebih dekat ke motor matic warna hitam mengilap yang ia incar. Tangannya bergerak menyentuh bagian setangnya dengan hati-hati, seperti sedang menyentuh benda berharga. Di sebelahnya, tante Diah memperhatikan setiap gerak-gerik Juned sambil tersenyum tipis.“Jadi, ini yang kamu mau, Juned?” tanya Lilis sambil menatap motor tersebut.Juned mengangguk mantap. “Iya, Tante. Ini motor yang sama persis seperti yang aku lihat di jalan tadi.”Lilis mengangguk, lalu memutar tubuhnya ke arah sales yang berdiri di dekat mereka. Gerakannya penuh percaya diri, menandakan bahwa dia siap untuk berbicara tentang hal-hal detail yang Juned sendiri mungkin belum paha
Setelah beberapa lama, Juned dan Lilis sampai di desa dengan motor baru, suasana di sana langsung heboh.“Wah, itu Juned, ya? Kok tiba-tiba punya motor baru?” bisik Pak Hasan dengan nada tak percaya kepada warga di sebelahnya. Beberapa warga yang sedang berkumpul di warung depan desa mendengar suara mesin motor yang berkilau, dan segera memperhatikan Juned yang melintas dengan penuh percaya diri. "Iya, padahal selama ini kita tahu dia hidupnya susah. Enggak mungkin tukang pijat bisa beli motor secepat itu," jawab Bu Siti, matanya tak lepas dari motor Juned yang berkilau di bawah sinar matahari.Juned, yang menyadari bahwa banyak mata yang menatapnya, mencoba tetap tenang sambil memarkir motornya di halaman rumah. Lilis turun dengan anggun, membalas sapaan beberapa tetangga yang menyapanya, namun tak bisa mengabaikan tatapan mereka yang tampak penuh rasa heran dan bisik-bisik yang mulai terdengar di mana-mana.“Juned, ini seriusan motormu sendiri? Gimana ceritanya kamu bisa beli moto
Di tengah keributan yang semakin memanas, tiba-tiba terdengar derap langkah yang tegas dan berat menghampiri kerumunan. Ternyata itu adalah Anton, membuat semua orang langsung terdiam, dan keributan mendadak mereda. Satu per satu warga mulai mundur dan perlahan membubarkan diri, takut kena masalah jika berada terlalu lama di dekat Anton."Jadi kau punya motor baru sekarang, baru punya motor saja sudah belagu mengundang banyak orang." ejek Anton dengan suara serak sambil menyeringai. Ia mengitari Juned dengan pandangan meremehkan, seolah-olah sedang menilai seseorang yang sama sekali tidak layak berada di sana.Juned menghela napas, mencoba menahan diri. "Kalau cuma mau ikut-ikutan Sugeng dan Sulastri buat merendahkanku, lebih baik kamu pulang saja."Anton tertawa keras, mengejek. "Pulang? Wah, Juned, Berani-beraninya kamu mengusirku, ya? Kamu ini apa, cuma tukang pijat, kok sok-sokan sekarang. Jangan mimpi jadi orang kaya di sini!"Sugeng dan Sulastri yang masih berdiri di dekat Anto
Sore menjelang, Juned melaju dengan motornya di jalanan desa yang lengang. Penampilannya sekarang jauh lebih percaya diri: jaket kulit hitam, celana jeans, dan kacamata hitam yang semakin menambah kesan berani. Juned hendak pergi ke rumah Rini tetangga baru Juned yang tinggal di ujung desa. Sebelum sampai di rumah Rini, Juned berteduh di sebuah pohon sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Tanpa sengaja dia kembali bertemu dengan Sulastri yang kebetulan lewat. Juned mengangkat sedikit kacamata hitamnya sambil tersenyum. “Lihat siapa yang kutemui di sini. Lastri si kembang desa bermulut kasar.” Sapa Juned dengan nada santai.Sulastri mendengus kecil, berusaha mempertahankan sikap dinginnya. “Hah, tumben kamu keliling desa sore-sore, Juned. Biasanya sih Cuma mondar-mandir di rumah, bukan?” balasnya, sambil menyilangkan tangan di dada, meski matanya jelas memperhatikan setiap detail perubahan Juned.Juned terkekeh, menyadari bahwa Sulastri tengah berusaha menutupi ketertarikannya.
Setelah beberapa saat bergulat dengan perasaannya sendiri, Vivi akhirnya mengambil keputusan. Dengan hati-hati, ia berpindah posisi, mendekat ke arah Juned yang sudah tertidur. Tanpa berpikir panjang, Vivi menyibakkan selimut yang menutupi tubuh Juned.Barang milik Juned yang masih terlihat besar setelah dipakai membuat tubuh Vivi semakin bergejolak. Tanpa menunggu persetujuan dari Juned, Vivi membuka baju dan langsung memainkan barang milik pria itu dengan tangan beserta mulutnya yang mungil.Saat itu Juned yang sudah lelap tidak merasakan apa-apa. Tapi, seiring dengan semakin intens permainan Vivi di sekitar barangnya, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Ia membuka matanya perlahan, sedikit bingung. “Lastri, kamu lagi ngapain sih? Sudah cepat tidur aja,” gumam Juned setengah sadar mengira itu adalah Lastri.Namun, ketika ia menoleh ke bawah, matanya membelalak kaget. “Vivi?! Apa yang kamu lakukan?”Vivi tidak menjawab pertanyaan Juned malah semakin menjadi jadi.“Vivi, aku moh
Di ruang tengah kini terasa sunyi hanya terdengar suara jangkrik yang bernyanyi dari luar rumah. Juned terlelap di tengah kedua wanita itu, sama dengan Vivi sudah terlelap dalam tidurnya, napasnya teratur dan tenang. Sementara itu, Lastri melirik ke arah Juned yang tidur di sebelah kanannya. Wajah Juned terlihat lelah, dengan napas berat yang terdengar teratur. Lastri menggigit bibir, ragu-ragu, tapi akhirnya memberanikan diri untuk memanggil Juned. “Juned… Jun…” panggilnya dengan suara pelan nyaris seperti bisikan, sambil menyenggol lengan Juned perlahan.Namun, Juned tetap tidak bergerak. Ia tertidur terlalu lelap untuk mendengar panggilan pelan Lastri. Merasa panggilannya tidak cukup, Lastri mencoba lagi, kali ini lebih keras.“Juned! Bangun, dong.”Tetap tidak ada reaksi. Lastri mulai kesal. Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan dan mengarahkan tangannya ke barang milik Juned dengan perlahan. Tangannya bergerilya di area itu tapi Juned tidak menunjukkan tanda-tanda bangun.“J
“Aaaaah!!!” Vivi dan Lastri langsung menjerit bersamaan. Mereka berdua melompat dari tempat duduk dan memeluk tubuh Juned dari kedua sisi dengan tiba-tiba.“Jun! Itu tadi suara apa?!” tanya Lastri dengan suara gemetar.Juned, yang sebenarnya juga terkejut, mencoba tenang. “Ssst, kalian tenang dulu. Mungkin itu hanya suara kucing atau apa.”“Kucing dari mana, Jun?! Kamu enggak pelihara kucing!” Vivi masih memeluk erat lengan Juned, wajahnya penuh ketakutan.Kedua gundukan Vivi begitu terasa menyenggol lengan Juned.Juned menghela napas panjang dan mencoba melepaskan diri dari pelukan mereka. “Ya sudah kalau begitu, biar aku cek dulu. Kalian tunggu di sini.”“Jun, jangan pergi sendiri! Nanti kalau ada apa-apa gimana?” Vivi memegang tangan Juned erat, menahan agar Juned tidak beranjak dari duduknya.Lastri mengangguk, suaranya masih gemetar. “Iya, Jun, kita lihat bareng-bareng aja. Kami enggak berani kalau di sini berdua.”Juned menatap mereka berdua, yang kini terlihat seperti anak keci
Setelah makan malam selesai, Juned, Lastri, dan Vivi duduk santai di ruang tengah. Lastri menata sisa makanan yang belum dibereskan, sementara Vivi menyalakan kipas angin agar udara lebih sejuk. Juned bersandar di sofa dengan wajah puas, merasa kenyang setelah diperlakukan seperti raja oleh kedua wanita itu.“Eh, Juned,” Lastri tiba-tiba memecah kesunyian, “Masih ingat enggak waktu kecil dulu, kita sering main di sungai dekat sawah? Kamu selalu yang paling takut kalau diajak lompat dari batu besar ke air.” Lastri tertawa pelan, menutup mulutnya dengan tangan.June langsung menimpali dengan senyum yang agak malu. “Habisnya, kalian tuh nekat banget! Batu itu kan licin. Kalau terpeleset gimana? Aku enggak mau jatuh dan jadi bahan ketawaan kalian.”Vivi terkekeh mendengar celotehan mereka. “Iya, aku ingat banget. Juned selalu berdiri di tepi sungai, mukanya tegang banget, sementara aku sama Lastri sudah lompat duluan. Tapi anehnya, kamu selalu mau ikut kalau diajak. Padahal sudah tahu bak
Lilis bangkit dari sofa sambil merapikan bajunya. Ia menatap Juned dan Vivi dengan senyuman tipis. “Aku pamit dulu ya. Hari ini Anton suda pulang, jadi aku harus buru-buru balik,” katanya sambil mengambil tasnya.Juned tampak ragu sejenak, ingin mengatakan sesuatu. “Tante Lilis, tunggu. Ada yang mau aku bicarakan denganmu...” ucap Juned dengan nada mendesak.Namun Lilis mengangkat tangan, menghentikan Juned sebelum ia sempat melanjutkan. “Juned, lain kali aja ya. Aku benar-benar harus pulang sekarang,” katanya dengan cepat sebelum bergegas menuju pintu.Juned hanya bisa menatap punggung Lilis yang semakin menjauh. Ia menghela napas panjang, rasa khawatir jelas terpancar di wajahnya. Sementara itu Lastri menuju ke dapur sambil membawa beberapa kantong belanjaan. Vivi, yang memperhatikan ekspresi Juned, akhirnya membuka suara. “Juned, tadi mau bicara apa dengan mbak Lilis?”Juned menatap Vivi sejenak, lalu memutuskan untuk menceritakan apa yang terjadi. “Aku tadi sempat bertemu Anton d
Sesampainya di rumah, suasana terasa begitu sunyi. Vivi dan Lastri masih belum terlihat. Juned masuk ke dalam rumah sambil menyalakan lampu ruang tamu, mencoba mengusir kegelisahannya.Namun, meski sudah berada di tempat yang seharusnya nyaman, pikiran Juned tetap tak tenang. Ia duduk di sofa, menatap kosong ke arah dinding. Kata-kata pria tua itu terus terngiang di kepalanya, seolah mengingatkan Juned akan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.“Kalau memang dia bukan manusia… apa dia tadi mencoba menolongku?” gumam Juned pelan. Ia merasa merinding lagi, namun kali ini bukan karena takut, melainkan karena sebuah rasa aneh yang sulit dijelaskan.Juned berpindah tempat duduk ke kursi depan rumah, mencoba menenangkan pikirannya setelah semua kejadian hari itu, dikejutkan oleh suara sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumahnya. Ia mengangkat wajah, melihat pintu taksi terbuka, dan keluar Lilis serta Vivi bersama seorang wanita bercadar.Juned mengerutkan alis, bingung. Ia bangkit d
Juned, yang merasa penasaran dan tak tenang dengan siapa wanita yang bersama Anton, memutuskan untuk mengikuti mobil Anton dari kejauhan. Ia memastikan jaraknya cukup aman agar Anton tidak menyadari dirinya diikuti. Akhirnya mobil Anton berhenti di depan sebuah rumah Anton, Juned memarkir motornya di sudut jalan, lalu berjalan pelan menuju pagar rumah Anton memilih tempat yang cukup tersembunyi untuk mengintip ke dalam. Di sana, ia melihat Anton keluar dari mobil bersama wanita itu. Anton dengan santainya merangkul bahu wanita tersebut, sementara wanita itu tertawa kecil, tampak nyaman dengan kedekatan mereka.“Aku tak tahu apa yang dirasakan tante Lilis kalau melihat ini.” Gumam Juned.Juned mengendap-endap mendekati jendela ruang tamu. Dari celah tirai, ia melihat Anton dan wanita itu duduk di sofa di mana Wanita itu menyandarkan kepalanya di bahu Anton, sementara tangan Anton membelai rambutnya dengan mesra. Mereka tampak begitu intim, seolah tidak ada yang salah dengan perbuatan
Kata-kata itu seperti petir di siang bolong baginya. Hatinya langsung terasa seperti dihantam batu besar. Ia menelan ludah, berusaha meredam perasaannya yang tiba-tiba bergejolak.“Mas Juned, serius?” tanya Novi dengan suara bergetar, meskipun ia mencoba menutupi emosinya.Juned mengangguk perlahan. “Aku enggak lihat cara lain, Novi. Mungkin dengan aku menikahinya, keluarganya enggak bisa memaksa dia menikah dengan Sugeng.”Novi menatap Juned dengan tatapan campur aduk. Antara kaget, kecewa, dan khawatir. Ia mencoba bersikap realistis meski hatinya hancur mendengar keputusan itu. “Tapi, mas… apa Kamu enggak mikir panjang? Menikahi mbak Lastri itu seperti... seperti bunuh diri. Keluarganya pasti enggak akan terima. Sugeng juga enggak akan tinggal diam. Dia bisa lebih nekat untuk menyakitimu.”Juned terdiam sejenak, menatap lantai dengan mata yang terlihat bimbang. “Aku akan pikirkan lagi, Novi. Semoga saja aku akan dapat menemukan cara lain.”Percakapan Juned dan Novi terhenti ketika b
Ucapan itu membuat Juned terdiam sejenak. Ia menatap Novi dengan ekspresi bingung, seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Novi, kamu serius? Jangan bercanda, ya.”“Aku serius, Kak,” Novi menegaskan, suaranya bergetar namun tetap tegas. “Sejak kamu datang ke rumah untuk menawarkan pekerjaan, sejak itu pula aku selalu memikirkanmu, tapi aku enggak pernah berani bilang. Mas Juned itu... beda dari laki-laki lain. Kamu perhatian, sabar, dan... aku merasa aman kalau dekat Mas Juned.”Juned menghela napas panjang. Ia menatap Novi dengan lembut, namun ada nada penolakan dalam suaranya. “Novi, dengar ya. Aku menghargai perasaan kamu, tapi Aku enggak bisa. Aku menganggap kamu seperti adikku sendiri. Kamu juga orang yang menyenangkan.”Novi menunduk, wajahnya tampak kecewa. “Tapi kenapa, mas? Apa karena aku lebih muda? Atau karena Kamu sudah suka sama orang lain?”Juned tersenyum tipis, mencoba meredakan suasana. “Bukan begitu, Novi. Kadang, rasa nyaman itu enggak selalu berart