Setelah beberapa lama, Juned dan Lilis sampai di desa dengan motor baru, suasana di sana langsung heboh.“Wah, itu Juned, ya? Kok tiba-tiba punya motor baru?” bisik Pak Hasan dengan nada tak percaya kepada warga di sebelahnya. Beberapa warga yang sedang berkumpul di warung depan desa mendengar suara mesin motor yang berkilau, dan segera memperhatikan Juned yang melintas dengan penuh percaya diri. "Iya, padahal selama ini kita tahu dia hidupnya susah. Enggak mungkin tukang pijat bisa beli motor secepat itu," jawab Bu Siti, matanya tak lepas dari motor Juned yang berkilau di bawah sinar matahari.Juned, yang menyadari bahwa banyak mata yang menatapnya, mencoba tetap tenang sambil memarkir motornya di halaman rumah. Lilis turun dengan anggun, membalas sapaan beberapa tetangga yang menyapanya, namun tak bisa mengabaikan tatapan mereka yang tampak penuh rasa heran dan bisik-bisik yang mulai terdengar di mana-mana.“Juned, ini seriusan motormu sendiri? Gimana ceritanya kamu bisa beli moto
Di tengah keributan yang semakin memanas, tiba-tiba terdengar derap langkah yang tegas dan berat menghampiri kerumunan. Ternyata itu adalah Anton, membuat semua orang langsung terdiam, dan keributan mendadak mereda. Satu per satu warga mulai mundur dan perlahan membubarkan diri, takut kena masalah jika berada terlalu lama di dekat Anton."Jadi kau punya motor baru sekarang, baru punya motor saja sudah belagu mengundang banyak orang." ejek Anton dengan suara serak sambil menyeringai. Ia mengitari Juned dengan pandangan meremehkan, seolah-olah sedang menilai seseorang yang sama sekali tidak layak berada di sana.Juned menghela napas, mencoba menahan diri. "Kalau cuma mau ikut-ikutan Sugeng dan Sulastri buat merendahkanku, lebih baik kamu pulang saja."Anton tertawa keras, mengejek. "Pulang? Wah, Juned, Berani-beraninya kamu mengusirku, ya? Kamu ini apa, cuma tukang pijat, kok sok-sokan sekarang. Jangan mimpi jadi orang kaya di sini!"Sugeng dan Sulastri yang masih berdiri di dekat Anto
Sore menjelang, Juned melaju dengan motornya di jalanan desa yang lengang. Penampilannya sekarang jauh lebih percaya diri: jaket kulit hitam, celana jeans, dan kacamata hitam yang semakin menambah kesan berani. Juned hendak pergi ke rumah Rini tetangga baru Juned yang tinggal di ujung desa. Sebelum sampai di rumah Rini, Juned berteduh di sebuah pohon sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Tanpa sengaja dia kembali bertemu dengan Sulastri yang kebetulan lewat. Juned mengangkat sedikit kacamata hitamnya sambil tersenyum. “Lihat siapa yang kutemui di sini. Lastri si kembang desa bermulut kasar.” Sapa Juned dengan nada santai.Sulastri mendengus kecil, berusaha mempertahankan sikap dinginnya. “Hah, tumben kamu keliling desa sore-sore, Juned. Biasanya sih Cuma mondar-mandir di rumah, bukan?” balasnya, sambil menyilangkan tangan di dada, meski matanya jelas memperhatikan setiap detail perubahan Juned.Juned terkekeh, menyadari bahwa Sulastri tengah berusaha menutupi ketertarikannya.
Juned duduk di kursi kayu depan rumah sambil menunggu kepulangan Rini.Tak berselang lama Novi sudah kembali keluar dengan membawa segelas teh.“Ini mas silahkan di minum.” Ujar Novi yang menunduk di depan Juned sambil meletakkan teh di atas meja.Sekilas Juned dapat melihat belahan milik Novi saat ia menunduk. Mata Juned melotot tanpa berkedip saat melihat pemandangan indah itu.Novi merasa Juned tengah memperhatikannya dan segera dia mengangkat tubuhnya dan bergegas duduk di kursi sebelah Juned.“Silahkan mas, Juned.” Novi menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya saat duduk. Dia mengalihkan pandangan ke halaman rumah untuk menutupi kecemasannya.“Terima kasih, Novi.” Juned langsung menyerobot segelas teh itu dan menyeruputnya.“Oh iya, mas. Kalau boleh tahu ada urusan apa ya cari ibu?” Tanya Novi untuk membuka obrolan.Juned meletakkan kembali gelas teh itu ke atas meja sambil menyilangkan kakinya untuk menutupi barangnya yang mulai mengembang.“Mas Juned mau...” Belum selesai June
Juned sampai di rumah tepat saat azan maghrib berkumandang. Dia menengok ke arah klinik yang ternyata sudah diperbaiki oleh para pekerjanya.Salah satu pekerja yang sekaligus tetangga menghampiri Juned yang baru saja memarkirkan motor di depan rumah.“Jun, kaca yang pecah sudah aman. Apa perlu di cat sekalian biar tambah bagus?” Tanya pak Sodik.“Bentar ya pak, nanti aku tanyakan ke tante Lilis dulu, dia yang pegang uangnya.” Jawab Juned sambil melihat kliniknya dari jauh.“Ayo lah Jun, biar kita ada kerjaan lagi. Kalau Cuma sehari selesai begini, besok menganggur lagi hehe.” Kata Pak Sodik sambil tersenyum merayu Juned.“Aku sih mau saja pak, Cuma yang pegang uangnya kan tante Lilis.” Balas Juned ikut tersenyum sambil menepuk pelan bahu pak Sodik.Meski terlihat dari wajahnya yang penuh harap kepada Juned namun Pak Sodik tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala saja. “Baiklah kalau begitu Jun. Aku pamit pulang dulu.” Kata Pak Sodik sambil melenggang meninggalkan rumah Juned.Setela
Pagi harinya, Juned berdiri di depan klinik kecilnya yang baru saja direnovasi. Bangunan yang sebelumnya hanya sebuah ruang sederhana kini tampak lebih layak. Beberapa peralatan medis sederhana, tempat tidur pijat, dan rak obat-obatan sudah tersusun rapi di dalam.Lilis datang membawa segelas teh manis untuk Juned yang tampak sibuk menata tanaman di depan klinik. “Gimana, Juned? Puas sama hasil renovasinya?” tanya Lilis sambil menyerahkan teh itu.Juned mengangguk, tersenyum puas. “Alhamdulillah, Tante. Pekerjaan Pak Sodik dan teman-temannya begitu rapi.”Juned sepertinya sudah melupakan tentang penemuan celana dalam semalam.Lilis tersenyum, menepuk bahu Juned. “Kamu benar. Pak Sodik sangat cekatan dalam hal pembangunan di desa kita.”Tak berselang lama Novi datang ke klinik Juned untuk mulai bekerja.“Pagi mas Juned, tante Lilis. Apakah aku datang terlambat?” Sapa Novi sambil tersenyum ramah.Lilis dan Juned kompak menggelengkan kepala dengan sedikit cepat.“Kliniknya buka jam 8 Nov
Hari itu berlalu begitu cepat bagi Juned suasana klinik yang cukup rame membuat Juned tenggelam dalam kesibukannya.Juned tidak bisa tenang sejak pagi tadi. Saat siang hari Klinik terasa lengang, tapi pikiran Juned penuh dengan kegelisahan. “Tante, apa kamu yakin menerima pertukaran ini. Aku mohon, pikirkan ini lagi,” kata Juned menatap Lilis dengan mata memohon, berharap dia berubah pikiran.Lilis hanya tersenyum tipis. “Juned, ini keputusan yang sudah aku ambil. Kamu enggak perlu khawatir. Aku tahu apa yang aku lakukan.”“Tapi ini enggak masuk akal! Kamu enggak bisa menyerahkan dirimu ke orang seperti Anton!” Juned membalas nada meninggi.Lilis berhenti sejenak, menatap Juned dengan pandangan lembut namun tegas. "Juned, aku sudah memutuskan. Jangan tanya lagi, ya."Juned berdiri, mencoba mendekat ke arah Lilis. "Dia enggak pernah punya niat baik. Dia hanya mau memanfaatkanmu, Tante."Lilis menunduk, matanya tak mampu menatap Juned. "Kamu enggak tahu semua yang terjadi, Juned. Kamu
Suasana di klinik Juned siang itu dipenuhi ketegangan. Anton membuka beberapa dokumen yang berbentuk map cokelat. Dia mengeluarkan selembar kertas putih, lengkap dengan bolpoin yang siap digunakan.“Ini adalah Surat perjanjian sebagai bentuk formalitas pertukaran yang kita sepakati” kata Anton.Lilis memandang Juned dengan tatapan tegas, sementara Anton tampak menyeringai puas. Vivi, di sisi lain, terlihat gelisah, seperti ingin berbicara tetapi memilih diam.“Juned,” ucap Lilis akhirnya, memecah kesunyian. “Kamu tahu ini Cuma sementara. Seminggu aja. Jadi, enggak usah khawatir, ya?”Juned menatap surat itu dengan ragu. “Aku mengerti, Tante. Tapi... kenapa harus ada surat segala? Aku mau melihat isinya terlebih dahulu.”Anton tertawa kecil, nadanya sinis. “Juned, kita ini orang dewasa. Aku tidak mau kalau ada orang yang tiba-tiba berubah pikiran. Surat ini buat memastikan semua berjalan lancar.”Juned menggigit bibirnya. Ia memang bukan orang yang terbiasa dengan dokumen resmi seperti
Marina membuka semua busana Juned dengan cepat. Mereka tenggelam bersama di ranjang hotel yang empuk, menikmati setiap hembusan nafas yang saling berebut di antara bibir."Juned," kata Marina tiba-tiba sambil melepaskan ciumannya di bibir pria itu. "Aku punya tawaran untukmu."Juned menatap Marina, terlihat ragu-ragu. "Apa itu, Marina?"Marina menatap pria itu dalam-dalam, senyumnya samar namun tajam. "Aku ingin kamu tinggal di kota ini. Lupakan rumahmu di desa, lupakan semua yang pernah terjadi dengan Anton. Mulailah hidup baru di sini bersamaku."Juned mengernyit, merasa bingung dengan maksud ucapan Marina. "Apa maksudmu? Aku tidak mengerti."Marina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Jadilah laki-laki simpananku, Juned! Aku akan memberimu kekayaan, kenyamanan, dan keamanan. Semua yang kamu butuhkan. Kamu hanya perlu ada untukku."Ucapan itu membuat Juned terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tawaran Ma
Pria itu tampak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. “Perwakilan dari Anton Perkasa memang sudah tiba pagi ini, lebih awal dari jadwal semula. Dan mereka langsung diterima oleh Ibu Ratna.”Mendengar penjelasan itu, wajah Marina berubah. Sorot matanya menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Sementara Juned, yang berdiri di sampingnya, hanya bisa mengerutkan dahi, tak sepenuhnya memahami situasi.Tepat saat itu, Marina dan Juned melihat Ibu Ratna keluar dari ruangannya, berjalan menuju pintu utama bersama seorang pria muda. Pria itu mengenakan setelan jas hitam yang sempurna, rambutnya tersisir rapi, dengan senyum penuh percaya diri. Sosoknya begitu kharismatik, membuat siapa pun yang melihatnya langsung terkesan.Marina memperhatikan pria itu dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian, dia berbisik kepada Juned, “Itu perwakilan dari Anton Perkasa. Tapi... sesuatu tidak beres di sini.”“Apa maksudmu?” tanya Juned bingung.“Seharusny
Mata para wanita—Marina, Lilis, Lastri, Vivi, dan Rini—tertumbuk pada Juned. Mereka terdiam sejenak, lalu hampir serentak menunjukkan ekspresi kagum.“Ya ampun, Juned! Keponakanku Ganteng banget!” ujar Lilis dengan suara riang, tangannya menutup mulut seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Vivi mengangguk setuju. “Aku sampai nggak kenal tadi. Serius ini kamu Juned? Kayak model yang mau pergi ke gala dinner aja,” katanya sambil tersenyum lebar.Lastri menambahkan dengan nada menggoda. “Juned, kayaknya kalau ada perempuan yang lihat kamu kayak gini, mereka langsung naksir, deh.”Juned hanya tersenyum canggung, merasa sedikit kikuk dengan perhatian yang begitu besar dari mereka. “Ah, jangan bercanda kalian. Ini cuma karena pakaian yang terlihat bagus,” ucapnya merendah sambil menggaruk belakang kepalanya.Namun Marina, yang duduk di sofa dengan anggun, memberikan komentar yang berbeda. “Lihatlah, ini yang aku maksud. Penamp
Juned hanya bisa duduk terpaku, tidak ingin membuat situasi semakin buruk dengan bertindak kasar. Namun, sebelum Winda melanjutkan aksinya, tubuhnya tiba-tiba melemah, dan ia terjatuh ke samping, pingsan karena mabuk.Juned menghela napas lega, tapi matanya langsung tertuju pada Marina dan Tari yang kini juga tampak setengah sadar, mencoba bernyanyi dengan suara yang sudah tidak jelas. Tidak lama kemudian, satu per satu dari mereka mulai pingsan, termasuk Rini. Suasana yang tadi penuh dengan tawa dan nyanyian kini berubah menjadi hening.Melihat mereka semua terbaring di lantai dan sofa, Juned menyadari bahwa ia tidak bisa membiarkan mereka begitu saja. "Ya Allah, ini benar-benar malam yang melelahkan," gumamnya sambil mengusap wajahnya.Dengan hati-hati, Juned mulai memindahkan mereka satu per satu ke kamar Marina yang besar. Ia mengangkat Winda lebih dulu, lalu kembali ke ruangan karaoke untuk membawa Marina, Tari, dan akhirnya Rini. Setelah memast
Juned tersentak, tapi ia tetap tenang. "Tari, kamu mabuk. Lebih baik kamu duduk di sana dan istirahat.""Aku nggak mabuk," balas Tari sambil terkekeh, meskipun jelas dari gerak-geriknya bahwa ia mulai kehilangan kendali. Ia memiringkan tubuhnya, kini kepalanya bersandar di bahu Juned. "Kamu itu terlalu kaku. Nggak apa-apa, rileks sedikit. Kita ini cuma bersenang-senang."Juned menoleh ke Marina yang duduk di sisi lain ruangan, berharap mendapatkan bantuan. Namun Marina hanya mengangkat gelas anggurnya sambil tersenyum tenang, seolah-olah tidak ingin ikut campur. Winda dan Rini juga tampak terlalu sibuk dengan tawa mereka sendiri."Tari, aku serius," Juned berkata dengan nada lebih tegas, tapi tetap menjaga suaranya rendah agar tidak mengganggu suasana pesta. "Kamu perlu menjaga sikapmu. Aku hanya di sini untuk membantu, bukan untuk hal lain."Namun Tari justru memeluk Juned, membuatnya semakin sulit untuk melepaskan diri tanpa menimbulkan keributan. "Juned, kamu baik sekali. Kamu bahk
Marina memimpin rombongan ke sebuah ruangan yang ada di lantai bawah rumahnya. Begitu pintu ruangan itu dibuka, Juned tertegun. Ruangan itu sangat mewah, penuh dengan lampu neon warna-warni yang berkedip, sofa besar empuk, dan layar besar di dinding yang memutar daftar lagu karaoke. Di sudut ruangan, terdapat meja yang dipenuhi dengan camilan, minuman, dan beberapa botol anggur.Marina melangkah masuk dengan percaya diri, diikuti oleh Winda, Tari, dan Rini. Tari segera mengambil remote kontrol dan mulai menjelajahi daftar lagu. "Tempat ini adalah tempat favoritku di rumah Marina," katanya sambil tertawa. "Aku nggak pernah bosan."Juned, di sisi lain, hanya berdiri di pintu, tampak kebingungan. Dia menggaruk kepala dan mendekati Rini. "Aku nggak bisa nyanyi, Rini. Jadi buat apa aku ada di sini?"Rini menahan senyum. "Sudah, santai saja, Juned. Nggak ada yang maksa kamu nyanyi kalau nggak mau. Nikmati saja suasananya."Namun, Marina yang mendengar percakapan itu langsung menoleh. "Jun
Rini yang sedari tadi hanya duduk di ruangan, akhirnya angkat bicara setelah hanya menjadi pendengar sejauh ini. Dengan nada yang penuh arti, ia menatap Juned sambil tersenyum. “Mas Juned, kamu nggak perlu khawatir soal ini. Tanpa kamu sadari, sebenarnya kamu punya kemampuan alami untuk membuat orang lain tertarik sama kamu.”Juned menoleh ke arah Rini dengan alis yang sedikit terangkat. “Apa maksudmu, Mbak Rini? Aku nggak pernah merasa seperti itu.”Rini tertawa kecil, lalu mendekati Juned. “Apa kamu lupa sudah banyak wanita yang mengagumimu saat ini?”Juned menghela napas, masih merasa skeptis. “Tapi aku gak merasa membuat mereka kagum. Aku hanya melakukan apa yang aku bisa, jika mereka senang aku juga senang.”Marina menyela dengan santai, memanfaatkan momen itu untuk memperkuat keyakinan Juned. “Rini benar. Justru karena kamu nggak terlihat seperti pria korporat yang penuh tipu daya, itu akan menjadi keuntungan besar. Kamu akan terlihat tulus, dan itu yang akan membuat dia terta
Marina mengangguk dengan senyum yang masih tertempel di wajahnya. “Iya, memang. Kami sudah beroperasi cukup lama dan memiliki banyak proyek besar yang berjalan. Itu salah satu alasan kenapa aku bisa menangani Anton tanpa masalah.” Marina menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, sambil menatap Juned dengan tatapan tajam, seolah mengukur seberapa banyak yang sudah dia pelajari tentang Anton.“Aku tidak pernah menyangka bahwa kamu adalah orang yang memiliki perusahaan sebesar itu,” kata Juned dengan terkejut, masih tidak bisa sepenuhnya mempercayai fakta tersebut.Marina tersenyum santai, seolah hal itu bukan sesuatu yang luar biasa. “Bagi banyak orang, itu mungkin mengejutkan. Tapi bagiku, itu adalah hasil dari kerja keras bertahun-tahun. Dan kini, aku harus menghadapi pesaing baru yang bernama Anton. Dia pikir dia bisa menguasai pasar, tapi aku yakin aku punya lebih banyak cara untuk mengalahkannya.”Juned merasa terkesan dengan ketenangan Marina dalam menghadapi situasi seperti ini
Saat sudah berada di ambang pintu ruangan, Marina berbalik arah kembali masuk dengan langkah tenang. Juned dan Rini yang masih saling pandang tak tahu harus berkata apa saat melihat Marina mendekat. Wajahnya terlihat serius kali ini, dan ada secercah ketegasan dalam suaranya."Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada beberapa orang yang harus kita pastikan keselamatannya terlebih dahulu," kata Marina sambil duduk kembali. "Aku butuh informasi tentang keberadaan seseorang bernama Novi, Vivi, dan juga Lilis serta Lastri."Juned langsung menjawab tanpa ragu. "Lilis dan Lastri ada di rumahku, aman. Mereka tidak dalam bahaya."Marina mengangguk, lalu memandang ke arah Rini. "Bagaimana dengan Vivi dan anakmu?"Rini terlihat cemas, menggigit bibir bawahnya. "Vivi dan Novi sedang ditahan di rumah Pak Slamet, kepala desa. Dia orang kepercayaan Anton dan sering melakukan apa pun yang Anton perintahkan."Marina mendengar penjelasan itu dengan ekspresi tenang, meskipun kedua matanya tampak menila