Seorang Pria dengan kemeja dan celana jogger berjalan dengan penuh wibawa mendekati kerumunan.“Mas Angga..” gumam Anis dengan wajah tegang, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. “Semuanya silahkan bubar! Kembali bekerja.” Dengan nada tegas Angga memerintahkan semua orang yang berkerumun untuk membubarkan diri.Semua orang langsung membubarkan diri menyisakan Juned, Lilis, Dewi dan Anis yang masih berada di tempat.“Ada apa ini? Kenapa kok ribut sekali?” Tanya Angga setelah merasa suasana kembali kondusif.“Begini mas, mbak ini sama mas ini mau....” Ucapan Anis seketika terhenti bersamaan dengan Dewi yang berkata, “Dia telah menamparku, sayang.” Ujar Dewi menunjuk ke arah Lilis.Dewi menyandarkan kepalanya di bahu Angga dengan manja.Angga yang mendengarkan omongan Dewi emosinya langsung memuncak seolah seperti lava yang akan tersembur.“Apa beraninya kamu menampar kekasihku?!!”Angga mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu mengayunkan ke arah Lilis. Namun sesaat sebelum tangan
“Apa yang kau lakukan, pria miskin?!!” Angga langsung mendorong tubuh Juned hingga terjengkang.Tubuh Angga menerjang ke atas tubuh Juned dan menindihnya.Angga mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.Dari arah pintu masuk seorang perempuan berlari sekencang-kencangnya untuk menghentikan Angga.“Berhenti, ada apa ini?!” Teriaknya sambil menjauhkan tubuh Angga dari atas tubuh Juned.“Siapa lagi ini yang mengganggu? Pasti keluarga si miskin ini.” Angga meludah ke samping.Juned yang melihat perempuan itu sedikit terkejut, matanya melotot dan mulutnya menganga.“Marina..?” Gumam Juned lirih.“Sebenarnya ada apa ini kok ribut sekali?.” Ujar Marina sambil membantu Juned berdiri.“Begini mbak, mas sama mbak ini mau membeli hp di sini.” Kata Anis sambil menunjuk ke arah Juned dan Lilis. “Awalnya saya yang melayani mereka sesuai prosedur, namun teman saya ini mengganggu dan menghina mereka.” Lanjut Anis sambil menunjuk Dewi.“Kamu itu siapa? Jangan sok jadi pahlawan di sini.” Sahu
Dengan suara lantang Marina memecat mereka berdua. Angga dan Dewi langsung bersimpuh di kaki Marina.“Jangan pecat kami Bu, kami mohon.” Ucap Dewi sambil memeluk erat kaki Marina.Angga yang berlutut di belakang dewi merapatkan kedua telapak tangannya, “saya minta maaf Bu, tolong jangan pecat saya!, saya masih punya cicilan mobil.”“Kesalahan kalian sudah sangat fatal, kalian sudah sangat keterlaluan merendahkan orang lain.” Ucap Marina sambil melangkah mundur, mencoba melepaskan kakinya dari pelukan Dewi.Sementara Angga kembali berdiri kemudian mengangkat tubuh Dewi dengan kasar.“Ini semua gara-gara kamu, wanita sialan. Kalau saja aku tak mendengar ucapanmu aku tidak akan berada dalam situasi ini.” Angga menampar Dewi dengan keras lalu melangkah pergi meninggalkan toko.Dewi menangis sesenggukan sambil memegang pipinya. Hal itu membuat Juned merasa sedikit iba kepadanya.Semua orang yang ada di sana hanya terdiam melihat Dewi yang tengah meratapi kesalahannya.“Juned, Maafkan aku.
Setelah keluar dari toko hp, Juned melangkah memasuki dealer motor dengan mata berbinar-binar. Kebetulan dealer tersebut bersebelahan dengan konter hp.“Wah, bagus-bagus banget motornya Tante.” Juned menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Hingga pada satu momen mata Juned langsung tertuju pada satu titik.Dengan antusias, Juned melangkah lebih dekat ke motor matic warna hitam mengilap yang ia incar. Tangannya bergerak menyentuh bagian setangnya dengan hati-hati, seperti sedang menyentuh benda berharga. Di sebelahnya, tante Diah memperhatikan setiap gerak-gerik Juned sambil tersenyum tipis.“Jadi, ini yang kamu mau, Juned?” tanya Lilis sambil menatap motor tersebut.Juned mengangguk mantap. “Iya, Tante. Ini motor yang sama persis seperti yang aku lihat di jalan tadi.”Lilis mengangguk, lalu memutar tubuhnya ke arah sales yang berdiri di dekat mereka. Gerakannya penuh percaya diri, menandakan bahwa dia siap untuk berbicara tentang hal-hal detail yang Juned sendiri mungkin belum paha
Setelah beberapa lama, Juned dan Lilis sampai di desa dengan motor baru, suasana di sana langsung heboh.“Wah, itu Juned, ya? Kok tiba-tiba punya motor baru?” bisik Pak Hasan dengan nada tak percaya kepada warga di sebelahnya. Beberapa warga yang sedang berkumpul di warung depan desa mendengar suara mesin motor yang berkilau, dan segera memperhatikan Juned yang melintas dengan penuh percaya diri. "Iya, padahal selama ini kita tahu dia hidupnya susah. Enggak mungkin tukang pijat bisa beli motor secepat itu," jawab Bu Siti, matanya tak lepas dari motor Juned yang berkilau di bawah sinar matahari.Juned, yang menyadari bahwa banyak mata yang menatapnya, mencoba tetap tenang sambil memarkir motornya di halaman rumah. Lilis turun dengan anggun, membalas sapaan beberapa tetangga yang menyapanya, namun tak bisa mengabaikan tatapan mereka yang tampak penuh rasa heran dan bisik-bisik yang mulai terdengar di mana-mana.“Juned, ini seriusan motormu sendiri? Gimana ceritanya kamu bisa beli moto
Di tengah keributan yang semakin memanas, tiba-tiba terdengar derap langkah yang tegas dan berat menghampiri kerumunan. Ternyata itu adalah Anton, membuat semua orang langsung terdiam, dan keributan mendadak mereda. Satu per satu warga mulai mundur dan perlahan membubarkan diri, takut kena masalah jika berada terlalu lama di dekat Anton."Jadi kau punya motor baru sekarang, baru punya motor saja sudah belagu mengundang banyak orang." ejek Anton dengan suara serak sambil menyeringai. Ia mengitari Juned dengan pandangan meremehkan, seolah-olah sedang menilai seseorang yang sama sekali tidak layak berada di sana.Juned menghela napas, mencoba menahan diri. "Kalau cuma mau ikut-ikutan Sugeng dan Sulastri buat merendahkanku, lebih baik kamu pulang saja."Anton tertawa keras, mengejek. "Pulang? Wah, Juned, Berani-beraninya kamu mengusirku, ya? Kamu ini apa, cuma tukang pijat, kok sok-sokan sekarang. Jangan mimpi jadi orang kaya di sini!"Sugeng dan Sulastri yang masih berdiri di dekat Anto
Sore menjelang, Juned melaju dengan motornya di jalanan desa yang lengang. Penampilannya sekarang jauh lebih percaya diri: jaket kulit hitam, celana jeans, dan kacamata hitam yang semakin menambah kesan berani. Juned hendak pergi ke rumah Rini tetangga baru Juned yang tinggal di ujung desa. Sebelum sampai di rumah Rini, Juned berteduh di sebuah pohon sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Tanpa sengaja dia kembali bertemu dengan Sulastri yang kebetulan lewat. Juned mengangkat sedikit kacamata hitamnya sambil tersenyum. “Lihat siapa yang kutemui di sini. Lastri si kembang desa bermulut kasar.” Sapa Juned dengan nada santai.Sulastri mendengus kecil, berusaha mempertahankan sikap dinginnya. “Hah, tumben kamu keliling desa sore-sore, Juned. Biasanya sih Cuma mondar-mandir di rumah, bukan?” balasnya, sambil menyilangkan tangan di dada, meski matanya jelas memperhatikan setiap detail perubahan Juned.Juned terkekeh, menyadari bahwa Sulastri tengah berusaha menutupi ketertarikannya.
Juned duduk di kursi kayu depan rumah sambil menunggu kepulangan Rini.Tak berselang lama Novi sudah kembali keluar dengan membawa segelas teh.“Ini mas silahkan di minum.” Ujar Novi yang menunduk di depan Juned sambil meletakkan teh di atas meja.Sekilas Juned dapat melihat belahan milik Novi saat ia menunduk. Mata Juned melotot tanpa berkedip saat melihat pemandangan indah itu.Novi merasa Juned tengah memperhatikannya dan segera dia mengangkat tubuhnya dan bergegas duduk di kursi sebelah Juned.“Silahkan mas, Juned.” Novi menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya saat duduk. Dia mengalihkan pandangan ke halaman rumah untuk menutupi kecemasannya.“Terima kasih, Novi.” Juned langsung menyerobot segelas teh itu dan menyeruputnya.“Oh iya, mas. Kalau boleh tahu ada urusan apa ya cari ibu?” Tanya Novi untuk membuka obrolan.Juned meletakkan kembali gelas teh itu ke atas meja sambil menyilangkan kakinya untuk menutupi barangnya yang mulai mengembang.“Mas Juned mau...” Belum selesai June
Tania hanya tersenyum kecil, tangannya mantap di kemudi.“Tania, ini arah ke kampungku,”* Juned bersuara lebih keras, tidak bisa menyembunyikan keheranannya. “Kenapa kau bawa aku kesini?”Tangan Tania meraih tangan Juned sebentar. “Tenang, kamu akan segera mengetahui apa yang belum pernah kamu tahu selama ini.”Mobil melewati jalan desa yang semakin Juned kenal. Setiap tikungan, setiap pohon besar di pinggir jalan, membangkitkan memori masa kecilnya. “Aku serius penasaran sekarang,” gumam Juned saat mereka melewati SD tempat dulu ia bersekolah. Tania akhirnya menjawab dengan suara lembut, “Aku ingin mengunjungi seseorang yang sangat penting... seseorang yang membantuku menjadi seperti sekarang ini.”Juned mengerutkan kening, mencoba menebak siapa yang Tania maksud di daerah ini. Mobil tiba-tiba berbelok ke kanan, meninggalkan jalan utama menuju jalur yang lebih kecil. Juned menahan napas saat mereka melewati papan nama ‘Pemakaman Umum Desa’ “Hah...” keluar dari mulutnya tanpa
Juned mengerutkan kening. “Kenapa aku harus mendekatinya lagi?”“Dia satu-satunya orang yang punya akses ke Ratna Wijaya, pemilik PT Cakra Buana,” jelas Tania. “Tapi kami tidak punya foto Ratna – dia sangat tertutup dan menghindari publikasi.”Juned mengangguk pelan, mencerna informasi ini. “Itu masuk akal, namun sepertinya akan berat mendekati Marina setelah semua yang terjadi di masa lalu.”“Kau sering dipuji Marina bahkan dia berani menjadikanmu simpanannya, kan?” Tania menatap Juned dengan tegas.Tak ada keraguan dalam diri Tania mengenai ide yang sebenarnya dapat memancing kecemburuan.Juned menggeleng keras. “Tidak. Aku tidak akan jadi mata-matamu dengan cara begitu." Tubuhnya tegang saat menatap istrinya. “Mending aku langsung hadapi Anton. Aku bisa menghancurkannya dengan tanganku.” Tania menghela napas panjang. “Kau tahu tidak mungkin semudah itu. Anton punya pengacara dan—”“Lebih baik seperti itu daripada aku harus pura-pura mesra dengan Marina!” suara Juned meninggi tan
Juned nyaris tersedak saat mengenali sosok itu. “Bu Ratna...?” suaranya serak. Wanita itu tersenyum manis, tapi matanya menyala dengan kenangan yang hanya mereka berdua yang tahu. “Sudah lama tidak bertemu, Pak Juned. Ternyata kamu sekarang sudah buka praktik di rumah ya?”Bu Reni terkejut, matanya membulat. “Lho? Kalian sudah kenal?!”Bu Ratna menyeringai. “Iya, Ren. Aku bertemu Mas Juned dulu saat dia jadi tukang pijat keliling di taman”“Wah, berarti kamu sudah merasakan hebatnya pijatan Mas Juned dong?” Bu Reni bersemangat, tak menyadari makna ganda dalam kata-katanya. “Dia itu jempol banget! Titik-titik saraf semuanya dia kuasai!”Juned menggaruk-garuk lehernya yang tiba-tiba terasa panas. “Reni ini sahabat SMP-ku, Mas Jun,” Bu Ratna menjelaskan dengan senyum penuh arti. “Kebetulan ketemu di acara reuni kemarin...”Bu Reni langsung menyambung dengan semangat, “Iya! Sudah gak perlu cerita tentang hal itu, gak terlalu penting. Ratna ini sebenarnya mau pijat jadi aku antar k
Juned mengangguk, tangannya mulai membuat gerakan melingkar di atas tulang dada tanpa benar-benar menyentuh payudaranya. “Zat aktifnya akan meresap melalui kulit. Baik untuk kesehatan jaringan payudaramu,” jelasnya dengan nada profesional, meski nafasnya sendiri semakin berat. Rizka menutup mata, menyerah pada sensasi aneh namun nikmat saat minyak itu terus merayap ke bawah, membuat pakaian dalamnya yang tipis semakin transparan. “Nngh... Mas Juned... aku tidak yakin—”“Percayalah,” Juned memotong, jarinya sekarang mengusap lembut area sekitar gunung, “aku tahu apa yang kulakukan.”Setiap sentuhan sengaja diarahkan untuk memijat otot-otot di sekitar gunung tanpa menyentuh puncaknya, namun efeknya justru membuat Rizka semakin tidak bisa menyembunyikan reaksi tubuhnya. Juned menahan napas saat tangannya melayang tepat di atas tulang selangka Rizka, minyak pijat membentuk jalur-jalur mengkilap di kulitnya yang halus. “Titik meridian di sini...” bisiknya, suara serak, “...mempeng
Juned perlahan memindahkan tangannya ke punggung Rizka, minyak hangat mengalir di sepanjang tulang belakangnya. “Kita lanjut ke bagian punggungmu,” bisik Juned, suaranya berat. Rizka mengangguk lemah, wajahnya masih tertanam di bantal. “Baik...”Ketika tangan Juned mulai membentuk gerakan melingkar dari bahu ke tulang rusuk, jari-jarinya tanpa sengaja menyentuh tepi samping gunung Rizka dari belakang. “Ah—!” Rizka menahan napas, tubuhnya bergetar tak terkendali. Juned berpura-pura tidak menyadari. “Maaf, apakah aku menekan terlalu keras?” Rizka menggigit bibirnya. “Tidak... itu hanya... aku tidak menyangka...”Tangan Juned kembali bergerak, kali ini sengaja memperluas area pijatan hingga mendekati ketiak, membuat ujung jarinya kembali menyapu tepian gunung yang sensitif. “Nngh... Mas...” erang Rizka, tangannya mencengkeram seprei. “Tenang, ini akan membuka aliran darah yang membuat tubuhmu kaku,” Juned berbisik, meski detak jantungnya tak karuan. Rizka menutup mata erat
“Sebelum mulai, aku perlu beberapa informasi dulu,” ujarnya dengan suara profesional. Rizka duduk di tepi ranjang, jari-jarinya memilin ujung jilbab. Juned memperhatikan tubuh Rizka yang canggung."Kamu umur berapa, Mbak?" "Dua puluh tujuh," jawab Rizka sambil menunduk. "Sudah berapa lama kamu menikah?" "Baru... enam bulan," balas Rizka, menghitung di jarinya.Juned mengangguk, lalu bertanya lebih dalam. “Kapan terakhir kali kamu berhubungan dengan suamimu?” Rizka tersedak. “A-apa harus dijawab?” Juned tersenyum. “Ini untuk menyesuaikan teknik pijatnya.” Rizka memerah sampai ke leher. “Kalau tidak salah... sebulan yang lalu. Akhir-akhir ini dia terlalu capek kerja.” Juned mengangguk pelan seolah paham dengan yang terjadi.“Bagian tubuh mana yang paling sensitif?” Rizka menggeliat gelisah. “Aku... aku tidak pernah memperhatikan...” “Leher?” Juned menebak. “Paha? Atau...”“D–dada,” bisik Rizka hampir tak terdengar. “Kalau dipegang... rasanya aneh.” Wajah
Selepas kepergian Tania, Juned menoleh ke jam dinding di sudut kamar menunjukkan masih pukul lima pagi. Pria itu berniat untuk melanjutkan tidur yang masih belum tuntas.Ding.. Dong...Baru saja hendak memejamkan mata kembali, suara bel rumah berbunyi membuat Juned sedikit kesal.Juned mengusap wajah yang masih berbekas kantuk saat membuka pintu. Rizka berdiri di teras dengan keranjang belanja setengah kosong, jari-jarinya memilin ujung kaosnya.“Maaf mengganggu pagi-pagi, Mas Jun,” ujarnya cepat. “Aku... aku baru pulang dari pasar pagi, kebetulan lewat.” Matanya melirik ke dalam rumah. “Apa Mbak Tania sudah berangkat?” Juned menguap lebar. “Iya, dapat panggilan darurat. Ada perlu sama Tania?” Rizka menunduk. “Sebenarnya aku mau minta pendapat Mbak Tania... tapi...” Napasnya tersendat. “Aku tidak tahu harus bicara pada siapa lagi.” Mata Juned terbuka lebih lebar. “Ada masalah?” “Ibu mertuaku...” Rizka mengangkat wajah yang memerah. “Aku... aku tidak sanggup menghadapinya
“Kita harus mencari tahu informasi tentang komandan itu.” Ujar Juned sambil mengusap dagunya beberapa kali.Tania mencoba mengatur nafasnya yang sempat memburu tak karuan. “Aku akan menanyakan hal itu kepada Rangga, teman polisiku.”Tania sudah mengangkat ponselnya, jarinya siap menekan nomor Rangga—rekan kerjanya yang paling dipercaya. "Tunggu." Juned menutup tangan di atas ponsel Tania, matanya tajam. "Kita tidak bisa percaya siapa pun sekarang. Jika Komandan Heru bisa berkhianat..." Tania mengerutkan kening. "Rangga sudah seperti saudara bagiku. Dia—" "Dan Komandan Heru?" Juned memotong. "Bukankah dia juga orang kepercayaanmu?" Alisa tiba-tiba menggeliat kesakitan di sofa. "Dia... dia benar. Ada lebih banyak... seperti benang hitam menjalar di kepolisian..." Tania meletakkan ponselnya perlahan, wajahnya berkerut dalam konflik batin. "Lalu bagaimana kita bisa tahu siapa yang masih bisa dipercaya?" Juned mengambil napas dalam. "Kita mulai dari nol. Asumsikan semua
“Alisa?!”Adik perempuannya yang berusia 18 tahun itu berdiri dengan wajah pucat, baju kusut, dan mata yang penuh ketakutan. Juned yang tadi santai seketika berdiri tegak, semua pakaiannya sudah kembali rapi."Masuk, cepat!" Tania menarik lengan Alisa dengan kasar, matanya langsung memindai jalanan di belakang adiknya. Alisa gemetar seperti daun. "Mereka... mereka menemukan persembunyian kami." Tania mengunci pintu berganda, wajahnya berubah dingin seperti saat bertugas. "Ayah?" "Masih aman," bisik Alisa. "Aku lari lewat jalur berbeda." Juned sudah berdiri di depan jendela, mengintip keluar melalui celah tirai. "Tidak ada yang mengejar." Tania menarik Alisa ke sofa. "Kau seharusnya tetap di tempat persembunyian!" Alisa menggeleng liar. "Tidak bisa! Orang-orang itu sudah tahu lokasinya. Aku... aku bisa merasakan pikiran saat tanpa sengaja menyentuh salah satu dari mereka."Tania menghela napas, tangannya mengepal. “Aku akan panggil tim darurat dari kantor.” “Ti