“Sudah sana, jangan coba-coba sama tante. Kesempatanmu sudah lewat tadi.” Kata Lilis sambil menghentakkan kakinya dengan pelan mendorong kaki Juned.Juned hanya tertawa terkekeh kemudian menunjukkan amplop kepada Lilis.“Apa itu, Jun?” Tanya Lilis sambil menunjuk ke arah amplop.Juned menunjukkan isi dari amplop tebal itu.“Ini dari Winda, Tante. Pasien yang tadi datang dengan Marina.” Kata Juned lalu memberikan semua uang itu kepada Lilis.Mulut Lilis menganga dan matanya berbinar saat menerima uang itu.“Astaga!, ini banyak sekali Juned!” Suara Lilis bergetar saking terkejutnya.Juned tersenyum bahagia melihat tantenya senang.“Iya tante, Lumayan bisa buat biaya renovasi.”Mata Lilis masih terfokus pada segepok uang sementara tangan dan jari jemarinya begitu lincah menghitung uang tersebut.“Kalau ini sih bukan Cuma renovasi Juned, tapi juga bisa beli motor buat kamu.” Ujar Lilis.Juned terkejut mendengar ucapan Lilis, selama ini dia memimpikan bisa memiliki sepeda motor sendiri aga
“Aaaaaaaaaaaaggghhh” Teriak Lilis sesaat setelah masuk ke kamar Juned.Juned berusaha menutupi kejantanannya yang dalam keadaan tidak aktif. “Tante kok masuk sih, Juned kan sudah bilang untuk tidak masuk.”Juned menutupi barangnya dengan kedua tangannya. Meski begitu, Lilis masih sempat melihat barang Juned yang walaupun lemas tapi tampak masih begitu besar.“Ya mana aku tahu, kenapa juga kamu tidur enggak pakai baju?.” Tanya Lilis sambil menutup matanya dengan kedua tangan.“Gerah tante, sudah tante keluar dulu aku mau pakai baju dulu!” Ujar Juned tangannya menunjuk ke arah pintu.Dengan tetap menutup mata dengan satu tangan, Lilis berjalan mundur meraih gagang pintu dengan tangan lainnya, sambil sesekali mengintip dari celah jarinya.“Ya sudah, cepat siap-siap kita akan pergi beli motor sama hp. Sekalian juga beli camilan untuk para tukang yang sedang renovasi klinikmu.” Ujar Lilis diikuti suara pintu yang tertutup.Begitu Lilis keluar dari kamar, Juned langsung secepat kilat member
Juned terus memegangi kakinya yang telah diinjak oleh Lilis.“Makanya jangan lihat payudara terus.” Kata Lilis sambil melirik ke arah Juned.“Lagian itu kesempatan, sayang kalau dilewatkan hehehe.” Balas Juned terkekeh sambil berdiri tegak.Lilis langsung menepuk pundak Juned dengan keras dan melangkah pergi.“Kenapa sih orang itu, dari tadi aneh banget.” Juned menyusul mengikuti langkah Lilis dari belakang.Tak lama kemudian mereka berdua berhenti di sebuah konter hp dan secara kebetulan juga di sebelahnya ada dealer motor juga. Mereka pun masuk ke konter hp terlebih dahulu.“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu.” Ujar salah satu wanita pegawai konter dengan ramah.“Saya mau cari hp mbak” sahut Lilis.“Oh iya, perkenalkan nama saya Anis. Silahkan mau cari hp apa?” Jawab wanita itu sambil menunjuk ke arah id card yang menggantung di lehernya.Ketika hendak ingin menjawab tiba-tiba datang seorang wanita lain yang menghampiri.“Loh, bukannya kamu Juned ya? Teman sekolahku.” Sahut wa
Seorang Pria dengan kemeja dan celana jogger berjalan dengan penuh wibawa mendekati kerumunan.“Mas Angga..” gumam Anis dengan wajah tegang, bola matanya bergerak ke kanan dan ke kiri. “Semuanya silahkan bubar! Kembali bekerja.” Dengan nada tegas Angga memerintahkan semua orang yang berkerumun untuk membubarkan diri.Semua orang langsung membubarkan diri menyisakan Juned, Lilis, Dewi dan Anis yang masih berada di tempat.“Ada apa ini? Kenapa kok ribut sekali?” Tanya Angga setelah merasa suasana kembali kondusif.“Begini mas, mbak ini sama mas ini mau....” Ucapan Anis seketika terhenti bersamaan dengan Dewi yang berkata, “Dia telah menamparku, sayang.” Ujar Dewi menunjuk ke arah Lilis.Dewi menyandarkan kepalanya di bahu Angga dengan manja.Angga yang mendengarkan omongan Dewi emosinya langsung memuncak seolah seperti lava yang akan tersembur.“Apa beraninya kamu menampar kekasihku?!!”Angga mengangkat tangannya tinggi-tinggi lalu mengayunkan ke arah Lilis. Namun sesaat sebelum tangan
“Apa yang kau lakukan, pria miskin?!!” Angga langsung mendorong tubuh Juned hingga terjengkang.Tubuh Angga menerjang ke atas tubuh Juned dan menindihnya.Angga mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.Dari arah pintu masuk seorang perempuan berlari sekencang-kencangnya untuk menghentikan Angga.“Berhenti, ada apa ini?!” Teriaknya sambil menjauhkan tubuh Angga dari atas tubuh Juned.“Siapa lagi ini yang mengganggu? Pasti keluarga si miskin ini.” Angga meludah ke samping.Juned yang melihat perempuan itu sedikit terkejut, matanya melotot dan mulutnya menganga.“Marina..?” Gumam Juned lirih.“Sebenarnya ada apa ini kok ribut sekali?.” Ujar Marina sambil membantu Juned berdiri.“Begini mbak, mas sama mbak ini mau membeli hp di sini.” Kata Anis sambil menunjuk ke arah Juned dan Lilis. “Awalnya saya yang melayani mereka sesuai prosedur, namun teman saya ini mengganggu dan menghina mereka.” Lanjut Anis sambil menunjuk Dewi.“Kamu itu siapa? Jangan sok jadi pahlawan di sini.” Sahu
Dengan suara lantang Marina memecat mereka berdua. Angga dan Dewi langsung bersimpuh di kaki Marina.“Jangan pecat kami Bu, kami mohon.” Ucap Dewi sambil memeluk erat kaki Marina.Angga yang berlutut di belakang dewi merapatkan kedua telapak tangannya, “saya minta maaf Bu, tolong jangan pecat saya!, saya masih punya cicilan mobil.”“Kesalahan kalian sudah sangat fatal, kalian sudah sangat keterlaluan merendahkan orang lain.” Ucap Marina sambil melangkah mundur, mencoba melepaskan kakinya dari pelukan Dewi.Sementara Angga kembali berdiri kemudian mengangkat tubuh Dewi dengan kasar.“Ini semua gara-gara kamu, wanita sialan. Kalau saja aku tak mendengar ucapanmu aku tidak akan berada dalam situasi ini.” Angga menampar Dewi dengan keras lalu melangkah pergi meninggalkan toko.Dewi menangis sesenggukan sambil memegang pipinya. Hal itu membuat Juned merasa sedikit iba kepadanya.Semua orang yang ada di sana hanya terdiam melihat Dewi yang tengah meratapi kesalahannya.“Juned, Maafkan aku.
Setelah keluar dari toko hp, Juned melangkah memasuki dealer motor dengan mata berbinar-binar. Kebetulan dealer tersebut bersebelahan dengan konter hp.“Wah, bagus-bagus banget motornya Tante.” Juned menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Hingga pada satu momen mata Juned langsung tertuju pada satu titik.Dengan antusias, Juned melangkah lebih dekat ke motor matic warna hitam mengilap yang ia incar. Tangannya bergerak menyentuh bagian setangnya dengan hati-hati, seperti sedang menyentuh benda berharga. Di sebelahnya, tante Diah memperhatikan setiap gerak-gerik Juned sambil tersenyum tipis.“Jadi, ini yang kamu mau, Juned?” tanya Lilis sambil menatap motor tersebut.Juned mengangguk mantap. “Iya, Tante. Ini motor yang sama persis seperti yang aku lihat di jalan tadi.”Lilis mengangguk, lalu memutar tubuhnya ke arah sales yang berdiri di dekat mereka. Gerakannya penuh percaya diri, menandakan bahwa dia siap untuk berbicara tentang hal-hal detail yang Juned sendiri mungkin belum paha
Setelah beberapa lama, Juned dan Lilis sampai di desa dengan motor baru, suasana di sana langsung heboh.“Wah, itu Juned, ya? Kok tiba-tiba punya motor baru?” bisik Pak Hasan dengan nada tak percaya kepada warga di sebelahnya. Beberapa warga yang sedang berkumpul di warung depan desa mendengar suara mesin motor yang berkilau, dan segera memperhatikan Juned yang melintas dengan penuh percaya diri. "Iya, padahal selama ini kita tahu dia hidupnya susah. Enggak mungkin tukang pijat bisa beli motor secepat itu," jawab Bu Siti, matanya tak lepas dari motor Juned yang berkilau di bawah sinar matahari.Juned, yang menyadari bahwa banyak mata yang menatapnya, mencoba tetap tenang sambil memarkir motornya di halaman rumah. Lilis turun dengan anggun, membalas sapaan beberapa tetangga yang menyapanya, namun tak bisa mengabaikan tatapan mereka yang tampak penuh rasa heran dan bisik-bisik yang mulai terdengar di mana-mana.“Juned, ini seriusan motormu sendiri? Gimana ceritanya kamu bisa beli moto
Entah berapa lama Juned tidur, namun tiba-tiba terdengar suara ketukan dari luar kamar kosnya.Tok... tok...Ternyata itu adalah Dinda yang baru saja kembali dari menemui pelanggan mendapati kamar Juned masih tertutup. Dia berdiri di depan pintu, mengetuk pelan sambil memanggil, “Juned? Udah pulang, kan? Bangun, dong.”Tidak ada jawaban.Dinda menghela napas, merasa aneh karena biasanya Juned cukup responsif. Penasaran, dia mencoba memutar gagang pintu dan ternyata tidak dikunci.Begitu pintu terbuka, pemandangan yang tak terduga menyambutnya. Juned terlelap di atas kasur, tanpa memakai baju dengan napas teratur. Wajahnya terlihat begitu damai dalam tidur, dan tubuhnya yang atletis tampak jelas di bawah cahaya lampu kamar.Dinda terdiam sejenak, lalu mendekat dengan langkah pelan. Awalnya dia hanya ingin membangunkan Juned, tapi entah kenapa dia malah terdiam, memperhatikan tubuh Juned terutama barang milik Juned yang berukuran sangat luar biasa.Tergoda, dia membungkuk sedikit, lal
Saat Juned mulai makan, Mbak Yuni duduk di seberangnya, menyandarkan dagunya di tangan sambil tersenyum. Tatapan matanya tak lepas dari Juned, memperhatikan setiap gerakan pria itu dengan penuh minat.Juned yang awalnya fokus menikmati makanan mulai merasa risih. Dia melirik sekilas ke arah Mbak Yuni dan melihat ekspresi wanita itu yang tampak… berbeda. Ada senyum kecil di sudut bibirnya, dan matanya menatap Juned dengan penuh ketertarikan.“Makan yang banyak, Juned,” kata Mbak Yuni dengan suara lembut. “Biar makin kuat.”Juned menelan makanannya dengan sedikit gugup. “Iya, Mbak. Makanannya enak banget.”Mbak Yuni tertawa kecil. “Kalau suka, besok-besok bisa makan di sini lagi. Aku sering masak, tapi nggak ada yang nemenin makan.”Juned hanya tersenyum sopan. “Makasih, Mbak. Saya nggak enak sering-sering numpang makan.”Mbak Yuni menggeleng sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi, memperlihatkan ekspresi menggoda. “Nggak usah sungkan. Aku malah senang kalau ada yang nemenin.”Juned menc
Dinda berjalan di samping Juned, menuntunnya menuju rumah pemilik kos. “Kamu bakal suka tempat ini,” ucapnya dengan nada santai. “Yang punya juga orangnya baik kok.”Mereka tiba di sebuah rumah sederhana tapi terlihat terawat, lokasinya tepat di samping kos-kosan. Dinda mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, seorang wanita muncul dari balik pintu. Dia terlihat berusia sekitar pertengahan 30-an, dengan wajah yang cantik dan penampilan yang santai.“Oh, Dinda,” sapanya dengan senyum ramah. “Ada perlu apa?”Dinda tersenyum balik. “Mbak Yuni, ini temanku, Juned. Dia lagi cari kamar kos. Katanya ada yang kosong di sebelah kamarku?”Mbak Yuni mengalihkan pandangannya ke Juned, menatapnya dengan penuh minat. “Oh, Jadi kamu yang mau kos di sini?” tanyanya lembut.Juned mengangguk sopan. “Iya, Mbak, kalau masih ada kamar kosong.”Mbak Yuni tersenyum manis. “Ada, kebetulan masih kosong. Sebentar aku ambil kunci kamar dulu, biar aku tunjukan kamarnya.”Setelah Mbak Yuni mengambil kunci, dia ber
Setelah membujuk Juned untuk berhenti jadi tukang pijat keliling, Dinda menatapnya dengan penuh pertimbangan.“Juned, ikut aku ke kos, yuk,” ajaknya tiba-tiba.Juned mengangkat alis. “Ngapain ke kos kamu?”Dinda tersenyum kecil. “Ada yang mau aku omongin, penting. Lagian, di sana lebih enak ngobrolnya daripada di taman begini.”Juned awalnya ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Ya udah, ayo.”Mereka berjalan keluar taman, lalu naik angkutan ke kos Dinda. Setelah sampai, Dinda membuka pintu dan mengajak Juned masuk. Kosnya cukup rapi, dengan perabot sederhana tapi nyaman.Dinda duduk di kursi dekat meja kecilnya, sementara Juned memilih duduk di lantai bersandar ke dinding. “Jadi, apa yang mau kamu omongin?” tanya Juned.Dinda menghela napas, lalu berkata, “Di sebelah kamar aku ada kamar kosong. Aku kepikiran, kenapa kamu nggak tinggal di situ aja agar operasional bisa lebih lancar?”Juned terdiam sejenak, terkejut dengan tawaran itu. “Serius? Tapi aku takut kalau sewaktu-waktu nggak ada u
Setelah keluar dari hotel, Juned berdiri sejenak di trotoar, menghirup udara pagi yang masih segar. Dia merogoh saku celananya, memeriksa uang yang diberikan Bu Ratna tersimpan dengan aman. Saat dia hendak berjalan kaki, matanya menangkap seorang pengemudi ojek online yang sedang berhenti di depan hotel, mungkin sedang menunggu penumpang. Tanpa ragu, Juned segera menghampirinya.“Mas, bisa antar saya ke taman yang ada di dekat sini?” tanyanya sopan.Pengemudi itu menoleh, mengamati Juned sebentar sebelum mengangguk. “Bisa, Mas. Naik aja.”Juned segera naik ke motor, dan tanpa banyak bicara, pengemudi itu langsung melajukan kendaraannya.Sepanjang perjalanan, Juned hanya diam, memperhatikan jalanan yang mulai sibuk dengan kendaraan. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian pagi ini di hotel. Rasanya sedikit, tapi dia juga tahu bahwa uang yang dia dapatkan bisa membantunya bertahan hidup lebih lama.Tak lama kemudian, motor yang dia tumpangi berhenti di depan taman. Juned turun dan meng
Juned mengangguk kecil, tetap profesional. “Beberapa teknik pijat memang dipercaya bisa membantu melancarkan sirkulasi darah ke organ reproduksi, Bu. Biasanya dipijat di sekitar pinggang, perut, dan paha.”Bu Ratna tersenyum tipis. “Kalau begitu, tolong lakukan yang terbaik untukku, Juned. Aku benar-benar ingin mencoba segala cara agar bisa memiliki anak.”Juned sedikit ragu, tapi tetap melanjutkan pijatan dengan penuh kehati-hatian. Ia mulai dari bagian punggung bawah, menekan titik-titik akupresur yang diyakini bisa membantu meningkatkan aliran darah ke organ reproduksi. Setelah beberapa menit, ia beralih ke area pinggul, menggunakan gerakan melingkar untuk merilekskan otot-otot di sana.Bu Ratna merasakan tubuhnya semakin rileks. “Ah... ini cukup enak. Apakah ini bisa benar-benar membantu, Juned?” tanyanya dengan suara pelan.Juned tetap fokus. “Pijat bisa membantu mengurangi stres dan meningkatkan sirkulasi darah, Bu. Tapi untuk masalah kesuburan, sebaiknya Ibu tetap berkonsultasi
Setelah tiba di kamar hotel, Bu Ratna membuka blazer yang dikenakannya dan duduk di sofa dengan santai. Juned, yang masih berdiri di dekat pintu, memperhatikan sekeliling ruangan yang luas dengan fasilitas lengkap.“Kamu mau sarapan dulu?” tawar Bu Ratna sambil menunjuk ke meja di sudut ruangan yang sudah tertata rapi dengan aneka makanan.Juned menggeleng pelan. “Terima kasih, Bu. Saya lebih baik langsung mulai saja, biar nanti bisa cari pelanggan lagi di taman.”Bu Ratna tersenyum tipis. “Santai saja, Juned. Kamu seperti sedang dikejar waktu. Aku nggak suka dipijat dalam suasana terburu-buru.”Juned sedikit terdiam. Memang benar, pekerjaannya bergantung pada pelanggan yang datang. Namun, ada sesuatu dari Bu Ratna yang membuatnya enggan berlama-lama di ruangan ini.Tiba-tiba, Bu Ratna menyebutkan sesuatu yang membuat Juned terkejut.“Satu juta untuk satu jam, tapi kamu harus penuhi semua permintaanku selama pijatan.”Juned menatap Bu Ratna dengan ragu. Jumlah itu jauh lebih besar dar
Saat Juned dan Bu Ratna berjalan keluar dari taman, Bu Ratna melirik Juned dengan tatapan penasaran. Ia melangkah santai di sampingnya, tangan kirinya menggenggam tas kecil yang mahal.“Juned, perempuan tadi… kenapa dia sampai segitunya menghalangi kamu jadi tukang pijat?” tanyanya dengan nada ringan, tapi ada rasa ingin tahu yang jelas dalam suaranya. “Apa ada yang salah dengan pekerjaan ini?”Juned menghela napas, lalu mengangkat bahu. “Gak tahu, Bu. Mungkin dia cuma khawatir berlebihan.”Bu Ratna tersenyum miring. “Ah, aku rasa lebih dari sekadar khawatir.”Juned meliriknya sekilas. “Maksudnya?”Bu Ratna terkekeh pelan. “Khawatir sih wajar, tapi tadi ekspresinya… lebih seperti seseorang yang cemburu.”Juned hampir tersedak udara saat mendengar kata itu. Ia buru-buru menoleh ke arah lain, mencoba menyembunyikan ekspresinya. “Ah, nggak mungkin, Bu.”“Benarkah?” Bu Ratna menaikkan alis, seolah menantang Juned untuk mengaku. “Aku ini wanita, Juned. Aku tahu kalau seorang perempuan bers
Tanpa membuang waktu, ia mulai mengguyur tubuhnya dengan air dari gayung. Sensasi dingin langsung menyentuh kulitnya, membuatnya menghela napas panjang.“Ah, segarnya… kayak orang hidup lagi,” katanya pelan.Ia menggosok tubuhnya dengan sabun, memastikan semua keringat dan debu yang menempel sejak kemarin terbilas bersih. Beberapa kali ia mengucek wajahnya, berharap bisa menghilangkan rasa kantuk yang masih tersisa.Setelah selesai, Juned mengeringkan tubuhnya dengan handuk kecil yang selalu ia bawa di dalam tas. Ia berganti dengan kaos bersih dan celana yang lebih nyaman. Sebelum keluar, ia kembali bercermin, merapikan rambutnya yang masih sedikit basah.“Lumayan lah, gak keliatan kumuh banget,” ujarnya sambil tersenyum tipis.Saat ia keluar dari bilik mandi, petugas tadi menatapnya sekilas. “Segeer, Mas?” tanyanya dengan nada bercanda.Juned tertawa kecil. “Banget, Pak. Makasih ya!”Saat berjalan keluar dari toilet umum di taman, Juned merasa tubuhnya jauh lebih segar. Udara pagi m