Takdir diciptakan tuhan untuk mengatur alam semesta agar makhluknya sadar akan posisi mereka yang hanya sebagai hamba. Hidup, mati, siang dan malam merupakan takdir yang tidak dapat diubah oleh manusia. Karena sudah menjadi ketentuan mutlak dari sang pencipta.
Tidak semua takdir tidak dapat di ubah, ada beberapa takdir yang bisa di ubah olah manusia itu sendiri. Semuanya tergantung sekuat apa usaha seseorang untuk mau mengubah jalan takdirnya menjadi lebih baik.
Jika kamu dilahirkan dalam keluarga yang hangat, sesekali tolong lihat mereka yang hidup dalam kedinginan, agar kamu mengerti arti bersyukur. Karena jutaan manusia bahkan lebih, ingin memiliki kehidupan yang sama dengan kamu.
Tapi, apakah hal itu berlaku juga untuk Ziana? Seorang gadis yang baru saja melewati usia tujuh belas tahunnya dua dua bulan yang lalu, yang sering mengatakan betapa tidak adilnya tuhan atas hidupnya.
Tidak cukup dengan konflik internal di dalam rumahnya, kini dirinya juga memiliki konflik eksternal dengan salah satu siswa yang memiliki pengaruh besar di sekolahnya.
Ck, takdir sangat suka mempermainkan hidupnya. Kesalahan besar apa yang pernah diperbuatnya di masa lampau, sehingga hidupnya tidak pernah terlepas dari masalah?
Muak, kesal, marah, itulah yang Ziana rasakan saat ini. Bahkan di saat semua teman sekelasnya sibuk mengakrabkan diri, pergi ke kantin dan ke perpustakaan pada jam istirahat. Ziana lebih memilih duduk dalam diam dan menyendiri di bawah pohon ketaping berdaun lebat di atas kepalanya.
Karena berteman dengannya hanya akan membuat mereka sial, jadi lebih baik tidak sama sekali. Lagi pula teman-teman sekelasnya tidak ada yang memperhatikannya.
Itu jauh lebih baik daripada beramah tamah kepada orang asing yang hanya ingin mengetahui kehidupan pribadinya yang sangat tidak menarik untuk dipublikasikan.
Mata sipitnya menatap kosong daun yang baru jatuh mengenai sepatu hitam dihiasi dengan tali putih yang tengah dikenakannya hari ini. Tangan langsung mengambil daun sudah menguning itu dan meletakkannya ringan di atas telapak tangannya yang kecil.
“Huff… Apa yang harus aku lakukan. Bagaimana jika tuan muda itu datang menemuiku?” bisiknya lirih kepada angin.
Ini sudah hampir seminggu dan mereka sudah juga sudah selesai mengikuti masa orientasi penyiksaan siswa yang diakukan oleh para senior. Dan sampai sekarang pria itu belum juga menunjukkan batang hidungnya.
Helaan napas panjang kembali menyesaki paru-parunya. Kapan semuanya akan berakhir.
Apakah nasibnya juga akan sama dengan daun kering yang baru saja jatuh ini? Jatuh dan diinjak sesuka hati oleh orang yang berada di atasnya.
Terlalu larut dalam lamunannya, Ziana sampai tidak menyadari seorang pria yang memiliki netra tajam keemasan itu menghapinya dan menepuk pundaknya lumayan keras.
Tentu saja. Siapa yang tidak terkejut saat sedang merenung tiba-tiba di datangi makhluk asing yang baru dikenalnya seminggu ini.
Sejujurnya Ziana heran, kenapa pria yang mengancamnya di hari pertama OSPEK itu tidak juga menemuinya untuk membahas masalah mobilnya. Bukannya Ziana ingin dibahas.
Tapi, dia juga butuh kejelasan akan nasibnya. Sempat terlintas dipikiranya, apakah pria itu sudah melupakan itu? Batin Ziana berdeak malas, setelah melihat tubuh tinggi tegap itu menjulang di depannya. Harapannya pupus. Akhirnya tuan muda itu kembali.
“Lagi ngapain lo di bawah pohon gini, ati-ati kesurupan lo,” ujar Zen santai.
“Kamu jangan bercanda,” balas Ziana sedikit takut. Matanya bergulir ke atas untuk memastikan tidak ada hal mistis yang menggantung dia tas pohon tempatnya berteduh.
Setelah memastikan tidak ada apa-apa, Ziana langsung mengalihkan tatapan ke arah Zen. Dirinya terllalu takut, jika terus di amati dia kan berhalusinasi melihat penampakan.
Ya, walaupun pria yang ada di depannya ini jugasalah satu penampakan yang wajib di waspainya.
Bedanya… tuan muda ini masih berdiri di atas tanah. Setidaknya itu yang masih Ziana syukuri untuk sekarang.
“Lagian lo siang-siang gini malah ngelamun, di bawah pohon lagi.”
Ziana diam, tidak berniat membalas perkataan tidak penting Zen. Matanya lebih fokus melihat beberapa siswi yang melewati mereka sering kedapatan terang-terangan menatap ke arah mereka. Ratat, bukan dirinya. Hanya menatap tuan muda Zen saja.
“Lo kok diem aja? Penyakit bisu lo kambuh, apa gimana? Gue perhatiin lo makin berani ya sama gue. Padahal di hari pertama kita ketemu seminggu yang lalu… lo keliatan lemah banget di mata gue. Punya duit berapa lo sekarang buat ganti kerusakan mobil gue?” tanya Zen kesal.
Matanya menyorot tajam, kesal karena gadis di depannya ini berani sekali mengacuhkannya. Tidak pernah ada yang berani melakukan hal seperti itu padanya sejak dulu. Sehingga, pada saat gadis itu mengacuhkannya, Zen sangat kesal setengah mati.
“A…Aku, maafkan aku, eung… belum...” balas Ziana meminta maaf yang hanya dibalas dengan dengusan kesal dari Zen.
Dalam hati, banyak sekali umpatan yang ingin gadis manis itu dikeluarkan. Namun semuanya tidak pernah menjadi kenyataan.
Setiap kalimat kasar yang sudah tersusun rapi di otaknya kembali akan tersangkut ditenggorokannya.
Lagi pula Ziana masih cukup waras untuk tidak menyuarakan bentuk protesnya. Dia terlalu takut masalah ini akan dibawa ke jalur hukum oleh pria yang mengaku sebagai keturunan bangsawan ini.
“Ck, udah gue duga lo miskin.”
Astaga, apakah hobi baru tuan muda berdarah biru ini adalah menghinanya?
Merasa kesal karena terus dihina, akhirnya Ziana memberanikan diri untuk meminta izin kembali ke kelas. Daripada dia meledak dan membunuh tuan muda itu di sini.
Itu akan menjadi kasus besar yang akan disiarkan di televisi dan wajahnya juga akan masuk korang berita pembunuhan.
Dan Ziana tidak berencana menghabiskan hidupnya dalam jeruji besi.
“Hmm, itu… bo...leh aku permisi sekarang? A... aku mau ke kelas, sebentar lagi bel bunyi.”
Mata gadis itu bergulir ke kanan dan kiri melihat melihat banyak tatapan yang kini mengarah kepada mereka.
Dan sialnya, Ziana baru menyadari bahwa meraka berdua tengah menjadi pusat perhatian sejak tadi.
Bagus Zia, bagus! Kau sudah menjadi artis di hari pertama masuk sekolah dan sekarang kau membuat season duanya.
Demi tuhan! Ziana sangat benci menjadi pusat perhatian. Apalagi dalam drama bodoh seperti ini. Dimana dirinya yang menjadi bintang utama dalam serial azab dengan si tuan muda.
Namun ceritanya akan berbeda ketika dia memperoleh perhatian akan penghargaan yang berhasil disumbangkannya ke sekolah menengah pertamanya dulu.
Bukannya sombong, Ziana hanya ingin menjadi orang yang dapat menginspirasi banyak orang dengan terus belajar. Dengan belajar dunia ini akan terasa jauh lebih luas. Karena ada ilmu yang akan mengimbangi ketika hati dan pikiran sedang tidak berjalan beriringan.
“Silahkan...”
Ziana melongo tidak percaya saat Zen melepaskannya dengan mudah, tanpa perlu usaha yang berarti. Jika tahu akan seperti ini akhirnya, Ziana akan meminta kabur sejak tadi.
Jujur saja, dirinya bisa kehilangan napas kapan saja jika berlama-lama berada dalam radius kurang dari satu meter dengan pria bermata cokelat keemasan itu.
Tatapannya terlalu tajam, terlalu intens dan terlalu.. menyesakkan paru-parunya.
Tepat ketika Ziana hendak berdiri tegak dari duduknya di atas tanah, pada saat itu juga tangannya ditarik keras dan membuatnya kembali harus merasakan sakit pada bokongnya karena langsung menghempas tanah dengan lumayan keras.
Ziana melotot horror melihat siapa pelakunya. Ya, siapa lagi kalau bukan Zen. Pria berandalan itu.
Astaga, apa sebenarnya mau tuan muda ini?
Dengan tenaga yang sudah mulai terkuras habis, Ziana hanya bisa pasrah menghadapi tingkah tidak konsisten Zen. Sekarang apa lagi? Tubuh dan hatinya sudah meminta untuk istirahat. Tidak kah pria itu mengerti? Dia lelah. Jujur, lebih baik mengerjakan soal Matematika dibandingkan menghadapi sikap kekanakan seorang Zen Kusuma Diningrat.“Apa lagi?” desah Ziana tidak bertenaga. Sesaat matanya bergerak tidak fokus dan terus mengusap bokongnya yang terasa ngilu. Sebelum kemudian fokus melawan rasa takutnya dan menatap Zen dengan raut kesal. Alisnya mengerut tidak suka saat melihat pria itu tidak berhenti tertawa melihatnya mengerang kesakitan. Dasar pria brengsek! Keturunan darah biru seperti apa yang memiliki sifat seperti iblis? Bukannya darah biru, Zen lebih layak dipanggil tuan muda berdarah kotor.“Gue mau Tanya sesuatu sama lo,” “Tanya apa?” jawab Ziana cuek.“Kenapa lo bisa masuk ke sekolah ini? Lo murid beasiswa? Dilihat dari tampilan lo yang s
Selalu seperti ini setiap kali mereka sarapan bersama. Suram, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang memecah keheningan kegiatan sarapan keluarga mereka. Ibu dan ayahnya diam membisu, layaknya orang asing yang tidak saling mengenal.Bahkan sekedar bertanya tentang makanan apa yang diinginkannya hari ini saja tidak.Ibu dan ayahnya sama-sama sibuk mengedepankan egonya masing-masing. Sampai mereka lupa, puteri yang pernah mereka timang sejak kecil itu, kini sudah mulai beranjak dewasa.Kesibukan ayahnya yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di kota ini membuat mereka jarang berkumpul bersama. Dikarenakan ayahnya sering mendapat tugas dinas di luar kota berminggu-minggu bahkan bisa dua bulan sekali baru ayahnya kan pulang.Dan sekalinya pulang ke rumah, hanya suasana sunyi yang terus menggerogoti mereka.Suasananya pengap, pekat, sampai Ziana merasakan sesak saat akan menghirup udara di sekitarnya.Jika
Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan,
Ziana tersentak kaget. Matanya yang semula terus berusaha menghindar agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Zen, kini di arahkannya kepada wajah pria itu. Pucat, bahkan lebih pucat dari tadi pagi. Sialan, Ziana! Kalau begini ceritanya, bukan Zen yang akan membunuhnya, tapi dirinya yang akan membunuh si tuan muda, karena terus mengulur waktu untul memasakkan makanan untuk pria itu.Lagi pula yang membuat Ziana bingung, kenapa harus menunggu masakannya? Bukankan, tuan muda yang mengaku memiliki keturunan bangsawan berdarah biru itu bisa membeli makanan apa saja untuk dimakannya? Kenapa harus menunggunya. Dan bagaimana jika nanti tuan muda ini meninggal saat tengah bersamanya sekarang? Sudah dapat dipastikan, tersangka utama adalah dirinya. Mati kau Ziana ujar batinnya. Astaga, demi kerang ajaib! Masa depannya sedang dipertaruhkan. Untuk kali ini saja, Ziana harus menahan perasaan takutnya untuk sejenak. Setidaknya, sampai dirinya menyelesaikan
Generalized anxiety disorder (GAD) atau yang sering dikatakan sebagai gangguan kecemasan, ditandai dengan perasaan cemas, khawatir dan rasa takut berlebihan yang akan berlangsung secara konstan terhadap penderitanya.Perasaan itu lah yang seringkali dirasakan oleh seorang gadis muda yang tahun ini baru saja memasuki bangku SMA. Sebuah gangguan kecemasan yang sudah mulai jarang dirasakannya akhir-akhir ini karena terlalu sibuk berdebat dengan Zen, kini terasa meroket naik kepermukaan.Bagaimana tidak, pada saat mereka berada di dalam mobil menuju ke rumah pria itu, tiba-tiba saja ada tiga mobil mewah yang menghadang mereka dari depan. Seakan-akan orang itu tahu, jika mereka akan melewati jalan ini. Dan sialnya… jalan yang sedang mereka lewati kali ini memang tergolong jalan yang cukup sepi untuk ukuran jalan raya di pusat kota.Tubuh Ziana yang berada disamping kemudi mobil Land Range Rover milik Zen, mulai bergetar ketakutan. Perasaan takut dan keringat dingin juga
Tidak pernah terlintas dipikiran Ziana sebelumnya, tuan muda yang selalu bersikap kasar kepada semua orang dan kepadanya ternyata serius menganggapnya sebagai seorang kekasih. Kenapa harus dirinya dari sekian banyak gadis menarik lainnya di SMA Garuda, kenapa tuan muda itu lebih memilihnya?Tapi, dibandingkan dengan kekasih… nampaknya, posisi Ziana lebih mengacu kepada budak. Bagaimana tidak, saat ini Ziana sudah berada di dapur mewah, rumah tuan muda Zen yang terhormat. Untuk apa lagi jika bukan untuk memasakkan menu makan siangnya untuk yang mulia. Karena setelah berpamitan dengan tiga orang sahabatnya di area tawuran tadi, dalam diam… mungkin menahan sakit. Zen langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatang tinggi menuju ke kediamannya. Beruntung mereka sampai dengan selamat sampai ke tujuan.Pada awalnya, Ziana berpikir mereka akan mampir ke supermarker terlebih dahulu untuk membeli bahan makanan. Bukankah biasanya orang kaya jarang memasak dan lebih memilih maka
Dalam diam, Ziana menata makanan yang baru dimasaknya di atas meja. Hanya masakan rumahan sederhana, ayam goreng tepung bumbu, sayur kangkung dengan taburan sosis di atasnya, lalu tahu dan tempe goreng.Ya, hanya ada tiga menu masakan yang bisa Ziana sajikan di depan sang tuan muda itu saat ini. Ziana sengaja tidak memasak makanan yang membutuhkan waktu lama untuk dikerjakan. Terlalu takut Zen akan mati jika tidak segera makan.Masakan yang dibuat Ziana baru saja selesai dihidangkannya di atas meja. Namun, ekspresi Zen yang mengerngit saat makanan itu di letakkan di depannya, membuat Ziana tidak berhenti mengutuk dalam hati. Mungkin untuk orang sekelas Zen, dia belum pernah melihat masakan sejenis ini, entah lah.Tapi, dia tidak peduli, jika si brengsek ini tidak mau memakannya. Jangan salahkan dirinya, panci penggorengan yang masih terdapat minyak panas di dapur tadi akan menghantam mulutnya dengan keras. Karena tenaga dan waktu berharga yang seharusnya dapat digu
Setelah acara termehek-mehek dirumah Zen, sekarang Ziana tiba di depan rumahnya. Jangan lupakan siapa orang yang mengantarnya pulang sampai di depan rumahnya, siapa lagi jika bukan Zen. Sudah ada ratusan kali Ziana minta supaya tidak perlu untuk mengantarnya pulang, tapi bagi Ziana yang memang sudah hapal sifat keras kepala Zen, semuanya menjadi biasa sajabaginya saata Zen bersikeras untuk tetap mengantarny pulang dengan selamat. Walaupun seperti biasa, perjalanan mereka menuju rumah Ziana tidak pernah sepi. Karena ada sa tingkah Ziana atau pun Zen yang membuat mereka akan terus berdebata sepanjang malam.Tidak cukup hanya mengantar Ziana pulang, Zen bahkan mengikutinya masuk ke dalam pekarangan rumahnya yang dihalangi oleh pagar besi yang lumayan tinggi, walau pun tidak setinggi pagar dirumah pria itu.Gelap. Seperti itu lah kondisi rumah Ziana saat ini, padahal jam baru saja menunjukkan pukul delapan malam. Kurang lebih mereka berkendara selama satu jam dari rum