Hari ini merupakan hari yang paling menyebalkan bagi seorang gadis kecil, bermata sipit dengan rambut ikal yang menggantung indah dipundaknya itu. Ya, gadis itu sedang kesal. Sangat!
Rambut berwarna hitam sekelam malam yang dikuncir kuda itu pun terus bergoyang ke sana kemari mengikuti ritme yang dibuat oleh tuannya.
Karena Ziana, sang pemilik tubuh mungil tersebut terus mondar-mandir tidak jelas di dalam kelasnya yang kini sudah mulai ramai, karena sebentar lagi bel akan berbunyi dengan nyaring seantero sekolah.
Ziana terus berdecak sebal. Bahkan lesung pipi yang biasa menghiasi wajah manisnya, belum terlihat sejak tadi. Gadis yang tengah menempuh jenjang pendidikan di kelas X1. MIPA1 di SMA Garuda itu terus menggerutu. Bahkan sejak dirinya bangun tadi pagi.
“Hari Senin lagi. Menjengkelkan!” gerutu Ziana yang entah untuk ke berapa kalinya sejak menginjakkan kaki diparkiran sekolah beberapa menit yang lalu. Hari ini merupakan hari yang selalu ingin Ziana hindari dalam hidupnya.
Hari yang akan menjadi saksi betapa sengsara hidupnya di SMA Garuda, tempatnya menuntut ilmu. Setiap kali mengingat ini adalah hari Senin, helaan napas panjang yang menguar panas dari mulutnya tidak dapat dihindarinya di cuaca yang cukup dingin pagi hari ini.
Sebenarnya ketika duduk di bangku SD dan SMP, hari Senin tidak pernah menjadi hari yang paling menakutkan bagi seorang Ziana Putri Prameshwari. Semua hari biasa saja baginya. Tidak ada yang istimewa. Akan tetapi semuanya berubah, tepat pada saat dia memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu bangku SMA.
Ya, semuanya berawal dari sana. Sejak dia melakukan kesalahan pada hari pertamanya di sekolah ini. Kejadian naas itu terjadi pada hari Senin saat sepeda motor Scoopy CBS-ISS keluaran tahun 2018 miliknya tidak sengaja menyerempet sekilas mobil mewah Bentley Mulliner Bacalar keluaran terbaru milik pria yang kini dipanggilnya dengan sebutan tuan muda.
Mobil mewah asal Inggris yang masuk ke dalam kategori barchetta, yakni mobil tanpa atap yang katanya hanya di produksi dua belas unit. Dan, sudah dapat dipastikan orang mampu membeli mobil ini untuk sekelas siswa SMA adalah seorang anak Milyarder yang hartanya pasti melimpah ruah.
Walaupun ekonomi keluarga Ziana hanya berada digolongan menengah, dirinya tau dengan sangat, berapa harga mobil mewah yang di tabrak dengan tidak manusiawi oleh motor Scoopy putih kesayangannya.
Tidak main-main, harga yang ditawarkan untuk satu unit Bentley Mulliner Bacalar bisa mencapai lebih $2 juta atau setara dengan 33,3 Milyar rupiah. Harga yang sangat fantastis hanya untuk satu unit mobil.
Bahkan jika dibandingkan, Bentley Mulliner Bacalar milik sang tuan muda dengan ratusan Scoopy putih miliknya hal itu juga tidak akan ada artinya.
Memikirkan itu saja sudah membuat Ziana ingin menangis histeris. Dia hanya berharap tidak akan kehabisan ogsigen pada saat menghadapi kemurkaan sang pemilik mobil. God, help me!
Yap, kalian benar… dari sanalah petaka Ziana dimulai.
Ziana masih ingat dengan jelas, bagaimana merah padamnya wajah mahkluk tinggi besar layaknya titan itu kepadanya pada hari itu. Tidak hanya mengumpat, kata-kata kasar yang tidak pernah disaring terlebih dahulu juga terus keluar dari bibir si tuan muda.
Bahkan pria yang kini Ziana ketahui bernama Zen Kusuma Diningrat itu tidak peduli saat dirinya sudah mulai menangis dan hampir kehilangan napas karena rasa cemas berlebihan yang dideritanya sejak kecil.
Beruntung, sebelum Ziana benar-benar hampir pingsan kehabisan napas, tuan muda berdarah biru itu menghentikan caciannya. Entah karena kasihan melihatnya yang seperti ikan koi yang baru saja dilempar ke tanah atau karena lelah terus mengomel.
Yang pasti pada saat itu Ziana sudah tidak peduli lagi, karena mengatur laju pernapasannya jauh lebih penting daripada memikirkan hal lain.
Tidak hanya sampai di sana, ternyata masih ada kalimat menakutkan lainnya yang diucapkan oleh pria itu. Kalimat yang akan lebih membuat Ziana merinding ngeri daripada sekedar bentakan kasar tadi.
“Siapa nama lo?” Tuan muda itu berjongkok duduk menyelarasikan tubuhnya di depan Ziana yang sudah terduduk jatuh sejak pertama kali diteriaki oleh Zen.
Gadis yang masih terisak pelan itu bergerak menjauh kebelakang. Terlalu dekat pikirnya. Bahkan deru napas memburu milik pria itu dapat dirasakannya menggelitik tipis leher sawo matang miliknya yang memang tengah memakai seragam olahraga hari ini. Karena setiap siswa dan siswi baru diwajibkan memakai baju olahraga selama masa orientasi siswa atau selama selama masa penyiksaan berlangsung.
“Selain ceroboh, cengeng dan punya penyakit asma, lo juga bisu, ya?” desis pria itu kesal melihat tingkah Ziana yang masih terlihat seperti kehilangan orientasinya.
“N…na...nama aku Zian...”
“Ok, Zian. Nama lo cowok banget, ya? Nggak cocok sama sekali sama tampang lo yang lembek. Tapi, masa bodoh. Bukan urusan gue juga. Ok, Zian... Karna lo nggak mampu bayar biaya perbaikan mobil gue. Jadi, mulai sekarang. Tepatnya pada hari Senin. Gue... Zen Kusuma Diningrat bersumpah akan membuat lo menyesal pernah masuk ke sekolah ini. Dan jangan harap lo bisa sekolah dengan damai di sini. Ingat itu baik-baik!”
Ziana gemetar hanya dengan mendengar suara pria itu. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Mengganti perbaikan mobil itu? Jangan bercanda! Bisa bersekolah dan makan dengan baik saja Ziana sudah sangat bersyukur.
Dia tidak akan pernah sanggup membiayai perbaikannya. Tapi, hidup dibawah ancaman dan bayang-bayang pria itu juga bukan pilihan yang baik. Bisa dipastikan, dia akan langsung kehilangan nyawanya dalam waktu singkat.
Bahkan, daripada memperhatikan wajar pria di depannya, Ziana lebih tertarik melihat ke bawah. Tanah yang dihiasi rumput berwarna hijau itu jauh lebih menarik daripada wajah merah mahkluk tinggi besar di depannya ini. Menyeramkan sekali. Sekarang bagaimana? Apa yang harus dilakukannya?
“Ah, satu lagi Zian…”
“Ziana. Nama aku Ziana, bukan Zian,” sambar gadis itu cepat.
Salah pria itu sendiri memotong ucapannya yang belum selesai tadi. Tidak tahukah pria yang bernama Zen itu, jika dia sangat benci dipanggil dengan nama Zian? Kesannya tomboy. Padahal aslinya tidak. Tidak ada kesan seperti itu dalam dirinya. Dan Ziana tidak menyukai apa yang tidak sesuai dengan dirinya, baik itu dari segi apapun. Termasuk pria kaya yang ada di depannya saat ini. Dia sangat tidak menyukainya titik!
“Wow.. lo udah berani protes sama gue, Zian?” kekeh Zen tajam.
Matanya ikut melotot tajam mencari mata Ziana yang terus berusaha menghindari tatapannya dan terus menatap ke bawah sejak tadi. Apakah itu berarti wajah tampan miliknya sudah tidak menarik lagi? Shit! Tidak mungkin batin Zen.
“Kenapa diam?” tanya Zen cepat.
“Maaf, Zem...”
“A…APA? Coba ulang sekali lagi! Zem lo bilang, HA? Nama gue Zen... Zen Kusuma Diningrat salah satu keturunan bangsawan berdarah biru. Dan lo... Zian! Jangan seenaknya ganti nama gue! Paham lo?”
“I...iya. Maaf Zen,” cicit Ziana lirih.
“Bagus! Sekarang lo selamat karna gue masih ada urusan. Tapi lo jangan khawatir, gue akan ngunjungin lo lagi nanti. Jadi siapkan uang atau apa pun bayaran yang sesuai sama kerusakan mobil gue. Paham lo? ” ujar Zen dengan raut puas setelah melihat wajah pucat gadis di depannya sebelum kemudian melangkah menjauhi gadis itu. Sangat menghibur pikirnya.
Mata Ziana tidak berhenti mengikuti langkah tegap Zen yang kini berjalan menghampiri beberapa siswa di koridor sekolah. Mereka semua memakai baju putih abu-abu sama seperti Zen. Bukan baju olahraga sepertinya.
Seketika Ziana tersentak kaget. Dirinya baru sadar akan sesuatu. Apakah dia baru saja membuat masalah dengan kakak senior? Jika iya. Tamatlah riwayatnya.
Ziana ketakutan, sangat! Jika masalah ini di bawa ke jalur hukum, dia tidak tau siapa yang akan berada dipihaknya. Dia merasa sendirian. Meskipun terkadang ditampar kenyataan, jika dirinya masih berbagi atap yang sama dengan dua orang yang dipanggilnya dengan ayah dan ibu.
Banyak yang bilang ilalang akan tumbuh subur di padang rumput, tapi kenapa kali ini berbeda? Ilalang itu tumbuh meliar di padang pasir, sendirian, sebatang kara… melawan terik matahari yang membakar badannya setiap detik. Sampai pada masanya, si ilalang akan layu, kering dan mati seorang diri tanpa dipedulikan oleh oleh siapapun. Ilalang kecil tak berdaya itu Ziana. Gadis manis yang dipaksa mengerti, tanpa dimengerti.
Satu harapan gadis itu hari ini... Zen Kusuma Diningrat, pria kaya kerturunan bangsawan berdarah biru itu tidak datang mencarinya ke kelas, sama seperti hari sebelumya. Karena mereka belum bertemu lagi sejak kejadiaan naas itu terjadi.
Takdir diciptakan tuhan untuk mengatur alam semesta agar makhluknya sadar akan posisi mereka yang hanya sebagai hamba. Hidup, mati, siang dan malam merupakan takdir yang tidak dapat diubah oleh manusia. Karena sudah menjadi ketentuan mutlak dari sang pencipta.Tidak semua takdir tidak dapat di ubah, ada beberapa takdir yang bisa di ubah olah manusia itu sendiri. Semuanya tergantung sekuat apa usaha seseorang untuk mau mengubah jalan takdirnya menjadi lebih baik.Jika kamu dilahirkan dalam keluarga yang hangat, sesekali tolong lihat mereka yang hidup dalam kedinginan, agar kamu mengerti arti bersyukur. Karena jutaan manusia bahkan lebih, ingin memiliki kehidupan yang sama dengan kamu.Tapi, apakah hal itu berlaku juga untuk Ziana? Seorang gadis yang baru saja melewati usia tujuh belas tahunnya dua dua bulan yang lalu, yang sering mengatakan betapa tidak adilnya tuhan atas hidupnya.Tidak cukup dengan konflik internal di dalam rumahnya, kini dirinya juga memili
Dengan tenaga yang sudah mulai terkuras habis, Ziana hanya bisa pasrah menghadapi tingkah tidak konsisten Zen. Sekarang apa lagi? Tubuh dan hatinya sudah meminta untuk istirahat. Tidak kah pria itu mengerti? Dia lelah. Jujur, lebih baik mengerjakan soal Matematika dibandingkan menghadapi sikap kekanakan seorang Zen Kusuma Diningrat.“Apa lagi?” desah Ziana tidak bertenaga. Sesaat matanya bergerak tidak fokus dan terus mengusap bokongnya yang terasa ngilu. Sebelum kemudian fokus melawan rasa takutnya dan menatap Zen dengan raut kesal. Alisnya mengerut tidak suka saat melihat pria itu tidak berhenti tertawa melihatnya mengerang kesakitan. Dasar pria brengsek! Keturunan darah biru seperti apa yang memiliki sifat seperti iblis? Bukannya darah biru, Zen lebih layak dipanggil tuan muda berdarah kotor.“Gue mau Tanya sesuatu sama lo,” “Tanya apa?” jawab Ziana cuek.“Kenapa lo bisa masuk ke sekolah ini? Lo murid beasiswa? Dilihat dari tampilan lo yang s
Selalu seperti ini setiap kali mereka sarapan bersama. Suram, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang memecah keheningan kegiatan sarapan keluarga mereka. Ibu dan ayahnya diam membisu, layaknya orang asing yang tidak saling mengenal.Bahkan sekedar bertanya tentang makanan apa yang diinginkannya hari ini saja tidak.Ibu dan ayahnya sama-sama sibuk mengedepankan egonya masing-masing. Sampai mereka lupa, puteri yang pernah mereka timang sejak kecil itu, kini sudah mulai beranjak dewasa.Kesibukan ayahnya yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di kota ini membuat mereka jarang berkumpul bersama. Dikarenakan ayahnya sering mendapat tugas dinas di luar kota berminggu-minggu bahkan bisa dua bulan sekali baru ayahnya kan pulang.Dan sekalinya pulang ke rumah, hanya suasana sunyi yang terus menggerogoti mereka.Suasananya pengap, pekat, sampai Ziana merasakan sesak saat akan menghirup udara di sekitarnya.Jika
Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan,
Ziana tersentak kaget. Matanya yang semula terus berusaha menghindar agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Zen, kini di arahkannya kepada wajah pria itu. Pucat, bahkan lebih pucat dari tadi pagi. Sialan, Ziana! Kalau begini ceritanya, bukan Zen yang akan membunuhnya, tapi dirinya yang akan membunuh si tuan muda, karena terus mengulur waktu untul memasakkan makanan untuk pria itu.Lagi pula yang membuat Ziana bingung, kenapa harus menunggu masakannya? Bukankan, tuan muda yang mengaku memiliki keturunan bangsawan berdarah biru itu bisa membeli makanan apa saja untuk dimakannya? Kenapa harus menunggunya. Dan bagaimana jika nanti tuan muda ini meninggal saat tengah bersamanya sekarang? Sudah dapat dipastikan, tersangka utama adalah dirinya. Mati kau Ziana ujar batinnya. Astaga, demi kerang ajaib! Masa depannya sedang dipertaruhkan. Untuk kali ini saja, Ziana harus menahan perasaan takutnya untuk sejenak. Setidaknya, sampai dirinya menyelesaikan
Generalized anxiety disorder (GAD) atau yang sering dikatakan sebagai gangguan kecemasan, ditandai dengan perasaan cemas, khawatir dan rasa takut berlebihan yang akan berlangsung secara konstan terhadap penderitanya.Perasaan itu lah yang seringkali dirasakan oleh seorang gadis muda yang tahun ini baru saja memasuki bangku SMA. Sebuah gangguan kecemasan yang sudah mulai jarang dirasakannya akhir-akhir ini karena terlalu sibuk berdebat dengan Zen, kini terasa meroket naik kepermukaan.Bagaimana tidak, pada saat mereka berada di dalam mobil menuju ke rumah pria itu, tiba-tiba saja ada tiga mobil mewah yang menghadang mereka dari depan. Seakan-akan orang itu tahu, jika mereka akan melewati jalan ini. Dan sialnya… jalan yang sedang mereka lewati kali ini memang tergolong jalan yang cukup sepi untuk ukuran jalan raya di pusat kota.Tubuh Ziana yang berada disamping kemudi mobil Land Range Rover milik Zen, mulai bergetar ketakutan. Perasaan takut dan keringat dingin juga
Tidak pernah terlintas dipikiran Ziana sebelumnya, tuan muda yang selalu bersikap kasar kepada semua orang dan kepadanya ternyata serius menganggapnya sebagai seorang kekasih. Kenapa harus dirinya dari sekian banyak gadis menarik lainnya di SMA Garuda, kenapa tuan muda itu lebih memilihnya?Tapi, dibandingkan dengan kekasih… nampaknya, posisi Ziana lebih mengacu kepada budak. Bagaimana tidak, saat ini Ziana sudah berada di dapur mewah, rumah tuan muda Zen yang terhormat. Untuk apa lagi jika bukan untuk memasakkan menu makan siangnya untuk yang mulia. Karena setelah berpamitan dengan tiga orang sahabatnya di area tawuran tadi, dalam diam… mungkin menahan sakit. Zen langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatang tinggi menuju ke kediamannya. Beruntung mereka sampai dengan selamat sampai ke tujuan.Pada awalnya, Ziana berpikir mereka akan mampir ke supermarker terlebih dahulu untuk membeli bahan makanan. Bukankah biasanya orang kaya jarang memasak dan lebih memilih maka
Dalam diam, Ziana menata makanan yang baru dimasaknya di atas meja. Hanya masakan rumahan sederhana, ayam goreng tepung bumbu, sayur kangkung dengan taburan sosis di atasnya, lalu tahu dan tempe goreng.Ya, hanya ada tiga menu masakan yang bisa Ziana sajikan di depan sang tuan muda itu saat ini. Ziana sengaja tidak memasak makanan yang membutuhkan waktu lama untuk dikerjakan. Terlalu takut Zen akan mati jika tidak segera makan.Masakan yang dibuat Ziana baru saja selesai dihidangkannya di atas meja. Namun, ekspresi Zen yang mengerngit saat makanan itu di letakkan di depannya, membuat Ziana tidak berhenti mengutuk dalam hati. Mungkin untuk orang sekelas Zen, dia belum pernah melihat masakan sejenis ini, entah lah.Tapi, dia tidak peduli, jika si brengsek ini tidak mau memakannya. Jangan salahkan dirinya, panci penggorengan yang masih terdapat minyak panas di dapur tadi akan menghantam mulutnya dengan keras. Karena tenaga dan waktu berharga yang seharusnya dapat digu
"Kenapa wajah lo kusut terus dari tadi? Kurang disetrika, eh?" decih Zen sebal. Bagaimana tidak, gadis yang ada disampingnya ini terus saja menampilkan wajahnya yang ditekuk sejak ia memaksa untuk pergi bersamanya ke sekolah. Salahnya dimana coba? Bukankah seharusnya Ziana senang diantar jemput olehnya? Heran. Di saat hampir semua gadis disekolah ini ingin sekali berdekatan dengan dirinya, Ziana malah seolah-olah menjaga jarak darinya. Dasar aneh dengus Zen dalam hati. "Bukan urusan lo!" balas Ziana acuh tak acuh. "Hei! Nggak sopan ya, Zian— make lo-gue sama pacar sendiri!" "Pacar? Sejak kapan kita pacaran? Seperti yang pernah kamu bilang hari itu— we are nothing!" tekan Ziana. Ia berusaha menggali kenangan menyakitkan itu lagi. Ia menghela napasnya dalam-dalam menahan sesak yang mulai berdatangan. Ck... Ziana benci menjadi lemah seperti ini. Apalagi itu hanya karen
Hosh...Hosh...Hosh..."Zen tunggu, astaga tuan muda satu itu!" Ziana terus menggerutu sepanjang langkah kakinya mengikuti Zen. Bukan apa-apa langkah kaki panjang Zen dan sahabat-sahabatnya terlalu cepat untuk gadis yang memiliki kaki pendek dan minimalis seperti dirinya.Tapi— apakah Zen peduli? Jawabannya sudah pasti tidak. Pria itu terus mengabaikannya dan hanya berteriak untuk lebih cepat lagi. Karena setalah menunggu Ziana tepat di depan kelas tadi, Zen langsung memberikan tas sekolah untuk dibawakan olehnya. Sama seperti yang sering ia lakukan sebelumnya."Ck... Lamban sekali. Dasar pendek!" dengus Zen ketika akhirnya Ziana berhasil menyamai langkah kaki pria itu. Itu pun karena Zen dan kawanannya sudah terlebih dahulu berhenti di parkiran khusus mobil-mobil mewah. Lebih tepatnya di depan mobil si tuan muda.&nbs
"Lo udah makan?" Zen bertanya disela-sela kunyahan-nya. Ziana yang sejak tadi fokus menyuapkan Zen makan pun mau tak mau sedikit terlonjak kaget ketika mendapatkan pernyataan yang terkesan tiba-tiba itu. "Gue bertanya, Zian— lo udah makan?" tanya Zen sekali lagi. Kesal juga dengan tingkah Ziana yang terlihat takut-takut saat mata mereka bertatapan. "B—belum." "Kenapa?" balas Zen tajam. "Karena makananku kan kamu ambil—" "Hei! Kau menyalahkanku?" ujar Zen melotot tidak terima ketika disalahkan Ziana. Ya... Walaupun itu merupakan kebenaran tentu saja ia tidak akan mau mengakuinya. Lagipula bukan salahnya, seharusnya gadis itu paham jika status-nya masih lah pembantu Zen. Dan harus menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk makanan. Salah sendiri hanya membawa satu bekal. "Bu—bukan begitu Zen. A—aku tidak menyalakanmu
Tring... Tring... Tring... Bel sekolah berbunyi nyaring hampir di seluruh pelataran sekolah. Riak gembira juga dirasakannya di dalam kelas yang baru saja isi dengan pelajaran matematika. Sebuah mata pelajaran yang terkadang membuat banyak murid sakit kepala dan membencinya. Begitupun dengan Ziana hari ini. Karena biasanya, ia akan bersemangat untuk menyambut mata pelajaran hitung-hitungan itu. Namun kali ini ia tidak begitu aktif dalam jalannya proses belajar mengajar itu. Bahkan gurunya Bu Rani pun terlihat heran melihatnya yang tidak seperti biasanya. Tapi Ziana tidak mau ambil pusing. Bayang-bayang tentang ucapan Zen sebelum melepaskannya tadi pagi masih terngiang di telinganya sampai saat ini. Dan itu artinya... Ia akan kembali berurusan dengan pria itu. Mau bagaimana lagi. Zen memiliki kuasa dan hak untuk melakukannya. Karena pria itu pasti merasa dirugikan a
Pagi ini cuaca bersinar terang. Nyanyian burung di pagi hari membuat bumi seakan bergembira menyambut sang surya. Namun tidak untuk gadis bermata sipit dengan rambut ikal menggantung itu. Ia tidak terlihat begitu semangat di pagi ini. Alasannya masih berpendar pada laki-laki berandalan yang sudah tidak pernah ditemuinya lagi dua hari belakangan. Ziana memutuskan untuk menjauh dari sisi pria itu. Ia takut kehadirannya dihadapan Zen akan membuat masalah baru yang pastinya hanya akan membuatnya ikut malu. Terlebih setelah kalimat menyakitkan yang pernah terlontar dari bibir merah itu. Ziana ragu ia akan tetap bertahan setelah kata penuh penghinaan itu meluncur dengan bebas. Ia sakit hati. Akan tetapi tidak jauh lebih sakit saat Zen pada akhirnya juga memilih untuk menjauh darinya. Tanpa berniat untuk meminta maaf, apalagi menjelaskan kejadian hari itu. Malahan hari demi hari Zen juga semakin dekat dengan gadis berhidung mancung bernama Aura itu. Zian
Ziana akhirnya berseru lega saat dilihatnya sosok Jeffry di depannya, bukan lagi anak-anak nakal menyebalkan tadi. Yang walaupun sudah membubarkan diri tetap saja menonton gerak-geriknya. Terutama Zen yang masih setia duduk di tempatnya tanpa berniat menolongnya sama sekali. Jika saja Jeffry tidak menolongnya dengan cepat, bisa saja saat ini tubuhnya sudah menyatu dengan tanah alias pingsan. “Aku… mau ngasih ini sama Zen,” Ziana menunjukkan kotak bekal yang tadi disembunyikannya dibelakang tubuhnya ke depan wajah Jeffry yang membuat pria itu terkekeh gemas. Kenapa juga Ziana memperlihatkan apa yang dibawanya tepat di depan wajahnya. Bahkan hampir menyentuh hidung mancungnya. Dengan sisa kekehan yang masih bertahan di bibirnya, Jeff sedikit menjauhkan kotak bekal imut itu dari hidungnya. Melihat hal itu Ziana dengan cepat menarik kotak itu dan menjauhkannya dari wajah Jeff agar tidak menyakiti pria baik itu nanti. “Maaf,” “Zen ada Ziana nih, ka
Tidak ada yang berubah dengan hubungan Zen dan Ziana selama hampir setengah semester di SMA Garuda. Ziana masih lah anak beasiswa yang seringkali terkena serangan panik dan Zen masih seorang berandalan yang tidak pernah patuh akan aturan. Ah… mungkin dirinya melupakan sesuatu. Ada yang perubahan kecil. Kedatangan Aura membuat fokus tuan muda itu tidak lagi padanya, bahkan tidak jarang akhir-akhir ini Ziana lebih santai dalam menjalani kehidupan sekolah tanpa bayang-banyak Zen disekitarnya. Karena pria itu sibuk dengan gadis yang bernama Aur-auran itu. Walaupun Aura sangat cantik,dia tidak akan pernah sudi mengakui ular keket itu jauh lebih menarik daripada dirinya sehingga bisa membuat perhatian Zen tercurah sepenuhnya kepada gadis itu. Sebenarnya ini bukan masalah besar, bukan? Bukankah hak asasi seperti ini yang selalu di inginkannya sejak memasuki gerbang sekolah ini dulu? Bebas tanpa gangguan pria menyebalkan itu. Tapi sekarang apa? Ziana malah sepe
“Zian, lo mau kemana?” pertanyaan dari suara berat dari belakang tubuhnya sukses membuat langkah gadis itu terhenti untuk mencari tahu siapa yang sudah mengganggu perjalanannya. Padahal dia sudah membayangkan pulau kapuk dikamarnya. Menyebalkan, batinya setelah mengetahui siapa dalangnya. Zen! Tapi dia tidak bisa berkata kasar. “Pulang?” “Kok malah balik nanya ke gue?” “Eh… itu… iya aku mau pulang,” “Gue anter,” “Nggak usah,” “Gue anter!” “Eh… ak…” “Zen… bukannya kamu mau nganterin aku pulang, ya? Kenapa sekarang malah nawarin tumpangan ke orang lain, sih?” Perdebatan absurd diantara sang pentolah SMA Garuda dan gadis beasiswa itu terhenti oleh suara yang terdengar cukup asing ditelinga Ziana. Oh… Dia melupakan keberadaan gadis yang bersama Zen tadi pagi sedang berada di samping pria itu sambil menyorotnya angkuh dengan tangannya dilipatkan di atas dada sambil menatapnya dari atas sampai ke bawah dengan tatapan
Suara musik dari lagu milik IU yang berjudul Old Story mengalir dengan lembut di telinganya. Sesekali matanya tertutu, sementara bibir tipisnya ikut menyenandungkan lagu patah hati itu dengan penuh penghayatan, karena makna dari lagunya benar-benar bagus menurutnya.Sebuah lagu mellow yang menceritakan tentang hancurnya perasaan seorang wanita yang ditinggal oleh prianya. Seorang wanita yang masih mengingat masa lalu yang membuatnya kecewa akan sikap pria yang dicintainya yang sangat egois terhadap hubungan mereka.Setelah lagu dari IU berakhir, telinganya kembali dimanjakan dengan lagu lain yang tidak kalah sedih yang semakin membuat perasaannya bercampur aduk.Jika diingat-ingat lagi… kenapa gadis itu, Ziana… memutar lagu sedih ditengah siang bolong di belakang sekolah, dibawah pohon besar yang merupakan tempat favoritnya untuk membaca buku setiap jam istirahat? Padahal dia tidak dalam mode patah hati. Eh… benarkah?Gadis manis berm