Ziana tersentak kaget. Matanya yang semula terus berusaha menghindar agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Zen, kini di arahkannya kepada wajah pria itu. Pucat, bahkan lebih pucat dari tadi pagi. Sialan, Ziana! Kalau begini ceritanya, bukan Zen yang akan membunuhnya, tapi dirinya yang akan membunuh si tuan muda, karena terus mengulur waktu untul memasakkan makanan untuk pria itu.
Lagi pula yang membuat Ziana bingung, kenapa harus menunggu masakannya? Bukankan, tuan muda yang mengaku memiliki keturunan bangsawan berdarah biru itu bisa membeli makanan apa saja untuk dimakannya? Kenapa harus menunggunya. Dan bagaimana jika nanti tuan muda ini meninggal saat tengah bersamanya sekarang? Sudah dapat dipastikan, tersangka utama adalah dirinya. Mati kau Ziana ujar batinnya.
Astaga, demi kerang ajaib! Masa depannya sedang dipertaruhkan. Untuk kali ini saja, Ziana harus menahan perasaan takutnya untuk sejenak. Setidaknya, sampai dirinya menyelesaikan memasak makanan untuk pria itu. Setelah itu, dia akan langsung pamit pulang ,tanpa menunggu Zen menyelesaikan makannya. Ya, sepertinya itu adalah rencana terbaik yang ada di dalam pikirannya sejauh ini.
Dia tidak boleh membiarkan tenaga pria itu pulih sebelum dirinya berhasil kabur dari rumah pria itu nanti. Karena bisa saja Zen menyergapnya setelah kembali bugar. Bisa saja, bukan? Ya, harus seperti itu.
“Eh, kenapa kamu belum makan? Wajah kamu pucat banget, lho. Ayo… kita cari makanan dulu sebelum pulang ke rumah kamu,” ajak Ziana.
“Gue nggak mau makanan lain selain masakan lo! Kalau gue mau, gue udah pesen makanan dari tadi, ketimbang nungguin lo diparkiran sampe gue jamuran,” ketus Zen.
Keras kepala, khas orang kaya. Menghela napasnya berat, Ziana membuka tas hitamnya untuk mencari sepotong roti dan air mineral yang diingatnya masih ada di dalam tas hitamnya sejak kemarin. Dengan cepat, dibukanya roti tersebut, sebelum kemudian diberikannya kepada Zen. Tapi pria itu masih keras kepala, tidak mau menerimanya.
“Kamu harus makan, setidaknya makan roti ini dulu. Asal kamu tau aja, aku masih pengen hidup. Kalau kamu nyetir dalam keadaan lemah dan pucat gini, nggak menutup kemungkin, kita bisa aja kecelakaan. Nggak, aku nggak mau, ya! Dan kalau kamu masih tetap keras kepala, aku nggak bakalan ikut sama kamu. Jangan harap, aku juga bakalan masakin kamu abis ini,” gertak Ziana sok berani sambil menyerahkan sebungkus roti dan air mineral itu kepada Zen.
Padahal jatungnya sudah bergemuruh hebat menantikan respon dari Zen. Bagaimana jika pria itu murka kepadanya yang terkesan mendikte? Ziana pasrah… paling parah dia sebentar lagi dia akan dibanting dan di bunuh di semak-semak belakang sekolah.
Namun di luar dugaan, Ziana malah melihat mata pria itu bergerak liar. Ada kilasan cemas yang sempat ditangkapnya bersarang di mata cokelat keemasan itu. Astaga… apakah Zen setakut itu jika tidak bisa merasakan masakannya? Seenak itu kah masakan yang dibuatnya beberapa hari belakangan ini? Apakah dia sudah bisa mendaftar dalam ajang kompetisi memasak di televise yang jurinya selalu mengeluarkan komentar pedas kepada peserta yang gagal dalam memasak?
Hiih… tidak. Bisa mati berdiri dirinya jika dibentak seperti itu. Dibentak oleh Zen saja, dia sudah syukur masih hidup sampai sekarang, dan jika ditambah dengan ujian ketahan mental di bentak orang lain lagi, Ziana yakin dirinya pasti akan langsung menangis dan meminta pulang di tengah ajang kompetisi. Selanjutnya dia akan viral karena menangis di televisi dan para netizen yang jahat juga akan ikut berkomentar pedas untuknya. Tidak! Jangan sampai hal itu terjadi. Dia masih ingin hidup dengan nyaman di luar sana.
“Ya, sudah. AAA...”
“A…AAA… itu apa, sih?” bingung Ziana. Jujur saja, saat melihat Zen membuka mulutnya, Ziana si gadis yang memiliki mata minimalis itu melongo tidak mengerti.
Apakah Zen, tiba-tiba menjadi gagap dalam sekejap? Tidak mungkin, bukan? Ck, sudah berapa kali dikatakannya, menyelesaikan soal fisika jauh lebih mudah daripada menghadapi tingkah laku sang tuan muda. Jika, Fisika memiliki rumus untuk memecahkan soalnya, maka berbeda dengan Zen. Tidak ada clue apa pun untuk bisa memahami, bagaimana jalan pikiran berandal satu itu. Pikiran orang kaya memang rumit, batin Ziana pusing. Bahkan kepalanya selalu berdenyut nyeri setiap kali berbicara dengan Zen.
“Bodoh, bego, tolol, udik! Suapin gue, keriting!”
“Astaga, Zen kasar banget, sih. Bilang dong dari tadi, kalau mau aku suapin,”
Loading…
“EEEHH? APA? SUAPIN?” pekik Ziana nyaring.
Generalized anxiety disorder (GAD) atau yang sering dikatakan sebagai gangguan kecemasan, ditandai dengan perasaan cemas, khawatir dan rasa takut berlebihan yang akan berlangsung secara konstan terhadap penderitanya.Perasaan itu lah yang seringkali dirasakan oleh seorang gadis muda yang tahun ini baru saja memasuki bangku SMA. Sebuah gangguan kecemasan yang sudah mulai jarang dirasakannya akhir-akhir ini karena terlalu sibuk berdebat dengan Zen, kini terasa meroket naik kepermukaan.Bagaimana tidak, pada saat mereka berada di dalam mobil menuju ke rumah pria itu, tiba-tiba saja ada tiga mobil mewah yang menghadang mereka dari depan. Seakan-akan orang itu tahu, jika mereka akan melewati jalan ini. Dan sialnya… jalan yang sedang mereka lewati kali ini memang tergolong jalan yang cukup sepi untuk ukuran jalan raya di pusat kota.Tubuh Ziana yang berada disamping kemudi mobil Land Range Rover milik Zen, mulai bergetar ketakutan. Perasaan takut dan keringat dingin juga
Tidak pernah terlintas dipikiran Ziana sebelumnya, tuan muda yang selalu bersikap kasar kepada semua orang dan kepadanya ternyata serius menganggapnya sebagai seorang kekasih. Kenapa harus dirinya dari sekian banyak gadis menarik lainnya di SMA Garuda, kenapa tuan muda itu lebih memilihnya?Tapi, dibandingkan dengan kekasih… nampaknya, posisi Ziana lebih mengacu kepada budak. Bagaimana tidak, saat ini Ziana sudah berada di dapur mewah, rumah tuan muda Zen yang terhormat. Untuk apa lagi jika bukan untuk memasakkan menu makan siangnya untuk yang mulia. Karena setelah berpamitan dengan tiga orang sahabatnya di area tawuran tadi, dalam diam… mungkin menahan sakit. Zen langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatang tinggi menuju ke kediamannya. Beruntung mereka sampai dengan selamat sampai ke tujuan.Pada awalnya, Ziana berpikir mereka akan mampir ke supermarker terlebih dahulu untuk membeli bahan makanan. Bukankah biasanya orang kaya jarang memasak dan lebih memilih maka
Dalam diam, Ziana menata makanan yang baru dimasaknya di atas meja. Hanya masakan rumahan sederhana, ayam goreng tepung bumbu, sayur kangkung dengan taburan sosis di atasnya, lalu tahu dan tempe goreng.Ya, hanya ada tiga menu masakan yang bisa Ziana sajikan di depan sang tuan muda itu saat ini. Ziana sengaja tidak memasak makanan yang membutuhkan waktu lama untuk dikerjakan. Terlalu takut Zen akan mati jika tidak segera makan.Masakan yang dibuat Ziana baru saja selesai dihidangkannya di atas meja. Namun, ekspresi Zen yang mengerngit saat makanan itu di letakkan di depannya, membuat Ziana tidak berhenti mengutuk dalam hati. Mungkin untuk orang sekelas Zen, dia belum pernah melihat masakan sejenis ini, entah lah.Tapi, dia tidak peduli, jika si brengsek ini tidak mau memakannya. Jangan salahkan dirinya, panci penggorengan yang masih terdapat minyak panas di dapur tadi akan menghantam mulutnya dengan keras. Karena tenaga dan waktu berharga yang seharusnya dapat digu
Setelah acara termehek-mehek dirumah Zen, sekarang Ziana tiba di depan rumahnya. Jangan lupakan siapa orang yang mengantarnya pulang sampai di depan rumahnya, siapa lagi jika bukan Zen. Sudah ada ratusan kali Ziana minta supaya tidak perlu untuk mengantarnya pulang, tapi bagi Ziana yang memang sudah hapal sifat keras kepala Zen, semuanya menjadi biasa sajabaginya saata Zen bersikeras untuk tetap mengantarny pulang dengan selamat. Walaupun seperti biasa, perjalanan mereka menuju rumah Ziana tidak pernah sepi. Karena ada sa tingkah Ziana atau pun Zen yang membuat mereka akan terus berdebata sepanjang malam.Tidak cukup hanya mengantar Ziana pulang, Zen bahkan mengikutinya masuk ke dalam pekarangan rumahnya yang dihalangi oleh pagar besi yang lumayan tinggi, walau pun tidak setinggi pagar dirumah pria itu.Gelap. Seperti itu lah kondisi rumah Ziana saat ini, padahal jam baru saja menunjukkan pukul delapan malam. Kurang lebih mereka berkendara selama satu jam dari rum
Pagi yang cerah mulai menyinari salah satu kamar bernuansa biru muda dengan sinarnya yang masih mengintip malu-malu disela jendela kamar. Sebuah kamar yang hampir seluruh dindingnya dihiasi dengan berbagai macam pose dari aktor favoritnya. Siapa lagi jika bukan seorang aktor yang tengah naik daun yang berasal dari negeri gajah putih itu… Bright Vachirawit Chiva-aree.Semua sudut kamarnya berisi tentang poster dan marchandise sang aktor. Bermacam pose tampan sang aktor terpampang nyata disekelilingnya, baik itu ketika dirinya ingin tidur setelah lelah beraktivitas atau pun ketika bagun di pagi hari dan akan di sambut langsung oleh senyuman sang idola.Setelah bangun tidur… Ziana sang pemilik kamar akan tersenyum dan menyapanya terlebih dahulu, sebelum kembali fokus pada rutinitasnya menjadi seorang siswi dan menghadapi kebengalan Zen yang terus saja mengganggunya setiap saat.Tapi, sepertinya hari ini rutinitas yang telah dilakukannya selama hampir
“Jeffry… diam kamu!” gertak Pak Budi yang mulai kesal karena semua anak mulai riuh akibat godaan Jeffry kepada salah satu anak berprestasi di SMA Garuda ini.“Ya… elah, pak…”“Diam kamu! Dan kamu Ziana kenapa bisa datang terlambat? Seharusnya sebagai salah satu muriD berprestasi kamu bisa memberikan contoh yang baik kepada teman-teman kamu yang lain, bukan malah bergabung bersama mereka untuk melangar peraturan sekolah,” ujar Pak Budi tegas tanpa memperdulikan Ziana yang sudah mulai bergetar ketakutan.Takut… itu lah yang dirasakannya kini. Tangannya yang kecil terus saja memilin tas yang di sandangnya, sedangkan matanya menunduk ke bawah, tidak berani menatap sang guru. Karena apa yang dikatakan Pak Budi memang benar.Seharusnya dia memberikan contoh yang baik, bukan malah melanggarnya. Bahunya yang sempit juga ikut melemas mendengar kemarahan gurunya itu. Lagi… dia mengec
Setelah kejadian memalukan terkait aksi gendong menggendong yang dilakukan Zen dengan tidak tahu malunya itu, tentu saja membuat gadis bermata sipit itu merasa kesal setengah mati. Bukannya malah menurunkan tubuhnya, pria itu malah mengancam akan melemparkannya ke dinding.Ck… dasar tidak berperikemanusiaan. Hampir di setiap kelas yang mereka lewati, semua siswa akan berteriak histeris karena melihat pujaan hati mereka sedang menggendong seorang gadis beasiswa seperti dirinya. Bahkan tidak sedikit juga Ziana dengar cibiran dari murid lain untuk dirinya.Sementara manusia yang menjadi biang masalahnya malah berjalan santai setelah berhasil membuat dua keributan di pagi hari. Pertama insiden pemecatan Pak Budi dan sekarang Tuan muda itu membuat heboh kembali dengan cara membawa tubuhnya dengan enteng.Pada awalnya Ziana mengira, Zen akan membawanya langsung ke kelas, tapi ternyata langkah kakinya yang lebar malah membawa mereka berdua menuju UKS. Ziana yang
Suara musik dari lagu milik IU yang berjudul Old Story mengalir dengan lembut di telinganya. Sesekali matanya tertutu, sementara bibir tipisnya ikut menyenandungkan lagu patah hati itu dengan penuh penghayatan, karena makna dari lagunya benar-benar bagus menurutnya.Sebuah lagu mellow yang menceritakan tentang hancurnya perasaan seorang wanita yang ditinggal oleh prianya. Seorang wanita yang masih mengingat masa lalu yang membuatnya kecewa akan sikap pria yang dicintainya yang sangat egois terhadap hubungan mereka.Setelah lagu dari IU berakhir, telinganya kembali dimanjakan dengan lagu lain yang tidak kalah sedih yang semakin membuat perasaannya bercampur aduk.Jika diingat-ingat lagi… kenapa gadis itu, Ziana… memutar lagu sedih ditengah siang bolong di belakang sekolah, dibawah pohon besar yang merupakan tempat favoritnya untuk membaca buku setiap jam istirahat? Padahal dia tidak dalam mode patah hati. Eh… benarkah?Gadis manis berm