Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.
Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.
Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan, iya.
Ck, pacar dari mana, nya? Memangny pacar seperti apa yang akan memperlakukan kekasihnya layaknya seorang budak. Menyuruh ini dan itu. Membuatnya kerepotan setiap hari hanya untuk alasan kekanakan. Membawakan tas, buku, memasak bekal sarapan pagi untuk sang tuan muda, mengerjakan tugas pria itu, yang ternyata satu tingkatan dengannya hanya berbeda kelas.
Hal itu juga lah, yang pernah terlintas dipikaran Ziana, jika Zen satu tingkatan dengannya… kenapa pria itu dan sahabatnya bisa lolos dari masa perbudakan kakak senior yang dikemas dengan nama orientasi siswa? Namun, seakan ditampar oleh kenyataan, dia mulai sadar akan sesuatu. Jawabannya tentu saja hanya satu. Karena seorang Zen Kusuma Diningrat mempunyai kuasa untuk melakukannya.
Dan yang lebih menyebalkannya lagi, setiap bibirnya baru akan mengajukan protes tidak setuju terhadap perlakuan semena-mena Zen. Dengan sekali ancaman, mulutnya akan kembali terkunci rapat, tidak berani membantah sang tuan muda.
Sebuah ancaman yang kerap kali membuat gadis itu merinding ketakutan. Ancaman akan menuntutnya ke pengadilan, jika tidak menuruti perintah dan ancaman lainnya yang terkadang membuat Ziana sangat ingin mencakar wajah yang selalu terkekeh sinis itu.
“Bugh…”
Suara keras benda yang jatuh tepat di atas meja, tempat tangannya bertumpu, sukses membuat Ziana terperanjat kaget. Sugguh… jantungnya terasa mencelos beberapa saat. Ziana juga dapat merasakan nyawanya sempat terbang pada detik pertama setelah kejadian. Dia yakin, jika kejadian seperti ini terus berulang, maka jadwal kematiannya dapat dipastikan lebih cepat daripada yang seharusnya.
Ziana masih terdiam sambil melotot kaget melihat penampakan di depannya. Ada sebuah tas ransel berwarna hitam yang sekarang teronggok cantik di depan wajahnya. Tas yang mulai dikenalinya sebagai milik dari manusia yang selalu membuatnya naik darah.
Tas siapa lagi, jika bukan tas milik si tuan muda. Karena tas bermerek yang kini berada tepat di depan wajahnya ini adalah tas yang akhir-akhir ini selalu dibawanya kemana-mana pada saat mengikuti kemanapun kaki sang tuan muda melangkah selama di lingkungan sekolah.
Sebuah aktivitas yang sering kali membuat Ziana mendengar bisikan-bisikan iri dari para murid perempuan lain, karena dirinya bisa berdekatan dengan mudah dengan Zen. Padahal, jika mereka menginginkannya, Ziana akan dengan sangat ikhlas memberikan posisinya yang sebagai budak ini, kepada mereka.
Tapi sayangnya, si tuan muda manja yang sekarang tengah menatapnya dengan kesal, hanya menginginkan dirinya sebagai korban kerja paksa, seperti penjajahan zaman dulu. Ck, pria kurang ajar batin Ziana mengumpat.
“Lo bener-bener nggak dengerin omongan gue diparkiran tadi pagi ya, Zian? Ohh… atau sekarang, lo udah berani ngebantah gue, iya? Sekarang lo tinggal pilih, mau gue laporin ke polisi atau lo ganti…”
“Ehh… Nggak, nggak gitu, Zen. Adu… maaf, maafin aku. Aku… aku masih nyatet pelajaran tadi, serius deh! Aku nggak bohong. Hn, jangan laporin aku ke polisi, ya? Please… aku nggak bakalan ngulangin kelasalahan aku lagi, aku janji.” ujar Ziana cepat. Raut wajahnya dibuat semelas mungkin agar Zen mencabut perkataan yang akan menuntutnya atas kejadian tempo hari.
Tidak! Masa mudanya tidak ingin dihabiskannya di dalam penjara karena tidak bertanggung jawab pada saat berkendara. Cita-cita yang di impikannya masih belum tercapai. Walaupun sudah tercapai sekali pun, dirinya tidak berniat untuk menjadi tahanan kriminal.
Ziana menyatukan kedua tangannya membentuk sebuah permintaan maaf dan bibirnya terus berceloteh ribut, tentang tidak akan melakukan melakukan hal itu lagi setelah ini. Keringat dingin juga mulai dirasakan Ziana, dia terlalu takut jika sudah di ancam Zen. Apalagi, tatapan pria itu saat ini terlihat sangat tajam, tepat mengarah ke matanya yang minimalis.
Kening Zen mengerut kesal saat mendengar perkataan Ziana yang terlalu cepat. Terlebih lagi, gadis itu berani memotong kalimat yang belum diselesaikannya tadi. Tapi, wajah ketakutan Ziana nyatanya selalu berhasil menghibur dirinya akhir-akhir ini. Sehingga, kekesalan yang sempat dirasakannya beberapa saat yang lalu menguap dengan cepat.
Walaupun masih dengan mempertahankan wajah datar dan terkesan masih kesal. Percayalah… di dalam hatinya sang tuan muda saat ini, dia sedang tertawa iblis karena telah berhasil menakuti Ziana yang sedang terlihat kalut di depannya.
Mata setajam elang milik Zen memindai ruangan kelas yang ditempati oleh Ziana. Ruangan yang cukup sempit untuk ukuran orang berkelebihan kaya sepertinya. Bahkan di dalam kelas ini hanya terdapat dua buah kipas angin yang tidak akan berfungsi dengan baik, jika semua murid berada dalam ruangan yang sama pada saat belajar.
Berbeda dengan ruangan kelasnya yang hampir dua kali lipat lebih luas daripada kelas ini, kelas mereka juga dilengkapi dengan AC yang akan membuat mereka tetap nyaman di dalam kelas.Ya, walaupun itu semua belum bisa membuatnya betah di dalam kelas. Tapi, setidaknya kelasnya nyaman dan tidak panas.
Apakah seperti ini kelas beasiswa? Ck, miskin sekali. Zen mulai berpikir, nampaknya dia harus memprotes masalah hal ini kepada kepala sekolah nanti. Setidaknya, kelas ini harus dibuat sedikit manusiawi untuk orang elit, sekelas dirinya.
Bagaimana mungkin mereka bisa tetap fokus belajar, di saat suasana kelas terasa sangat panas seperti ini. Bersyukur lah Zen, memiliki kekuasaan, sehingga dia tidak perlu merasakan siksaan dunia ini. Belajar di dalam ruangan sejuk ber-Ac saja tidak membuatnya rajin belajar, apalagi harus duduk berjam-jam di kelas panas ini. Ck, mustahil.
“Zen, maafin aku, ya?”
Terlalu larut dalam lamunanya membuat Zen sedikit terkejut, saat suara Ziana kembali mendayu lembut di telinganya. Sebelum membalas perkataan gadis itu, Zen kembali memasang tampang datar andalannya yang selalu membuat Ziana sedikit ngeri.
“Hn… jangan diulangin lagi, ok? Kalau gue ngomong, dengerin baik-baik! Jangan ngelawan, dosa! Berdiri cepetan, bawaiin tas gue! Capek gue nungguin lo. Tau gini, mending gue samperin aja lo ke kelas dari tadi,” dengusnya kesal. Zen masih tidak terima, mengingat dirinya sudah menunggu Ziana selama kurang lebih setengah jam diparkiran. Pikirnya gadis itu kabur.
Dan yang lebih membuatnya kesal, ternyata Ziana malah sibuk melamun di dalam kelasnya. Jadi dari tadi… dia menunggu orang yang nyawanya tengah melanglang buana, begitu?
Setelah mendengar perkataan Zen yang masih terdengar cukup kesal, dengan patuh Ziana mulai membereskan bukunya yang masih berserakan di atas meja. Memasukkan satu persatu alat tulis, penghapus dan buku-buku kecil yang berisi rumus fisika kesukaannya.
Setelah semuanya terkumpul rapi di dalam tas rajut berwarna hitam miliknya, baru setelahnya dia menggerakkan tubuhnya dengan menggeser kursi yang tadi di dudukinya kebelakang untuk mempermudah langkahnya bergerak keluar.
Ziana berjalan pelan, mengikuti langkah kaki Zen yang terlalu lebar untuk ukuran kakinya yang pendek di depan sana. Sadar akan Ziana yang seolah-olah memperlambat waktunya,
Zen kembali memutar tubuhnya kebelakang dan menatap tajam satu objek yang tengah berjalan seperti keong di depan pintu kelas yang hanya beberapa meter dari kelas gadis itu melamun tadi. Darah di kepalanya terasa semakin mendidih saat melihat gadis itu malah berhenti, saat sadar dirinya tengah menatap tajam.
“Zian… gue lagi nggak ada tenaga buat gendong lo keparkiran sekarang! Jadi, gue mohon dengan sangat, percepat langkah kaki pendek lo sekarang juga! Demi tuhan, Zian… kenapa lo setakut itu sama gue? Gue nggak akan macam-macam sama lo, nggak nafsu gue liat tubuh kurus kerempeng plus rambut keriting lo itu,” ujar Zen berdecak malas. Tenaga hampir habis menghadapi Ziana siang ini. Tubuhnya juga lemas sekali.
“Rambut aku ikal, bukan keriting,”
Lagi… sepertinya jawaban yang diberikan Ziana, bukan jawaban yang diinginkan oleh pria itu. Terlihat dari beberapa kali helaan napas kasar keluar dari bibir sang tuan muda, seolah-olah menahan dirinya dan mencoba mengatur segala emosi yang mungkin sedang bersarang di hatinya.
Gawat! Bagaimana jika Zen memutuskan untuk membunuhnya sekarang juga dengan cara membanting tubuhnya ke tembok? Astaga… Ziana tidak sanggup membayangkannya.
“Jangan debat gue, bisa? Setidaknya jangan sekarang. Demi tuhan, Ziaaan! Gue belum makan seharian ini!” ujar Zen menggelegar.
Ziana tersentak kaget. Matanya yang semula terus berusaha menghindar agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Zen, kini di arahkannya kepada wajah pria itu. Pucat, bahkan lebih pucat dari tadi pagi. Sialan, Ziana! Kalau begini ceritanya, bukan Zen yang akan membunuhnya, tapi dirinya yang akan membunuh si tuan muda, karena terus mengulur waktu untul memasakkan makanan untuk pria itu.Lagi pula yang membuat Ziana bingung, kenapa harus menunggu masakannya? Bukankan, tuan muda yang mengaku memiliki keturunan bangsawan berdarah biru itu bisa membeli makanan apa saja untuk dimakannya? Kenapa harus menunggunya. Dan bagaimana jika nanti tuan muda ini meninggal saat tengah bersamanya sekarang? Sudah dapat dipastikan, tersangka utama adalah dirinya. Mati kau Ziana ujar batinnya. Astaga, demi kerang ajaib! Masa depannya sedang dipertaruhkan. Untuk kali ini saja, Ziana harus menahan perasaan takutnya untuk sejenak. Setidaknya, sampai dirinya menyelesaikan
Generalized anxiety disorder (GAD) atau yang sering dikatakan sebagai gangguan kecemasan, ditandai dengan perasaan cemas, khawatir dan rasa takut berlebihan yang akan berlangsung secara konstan terhadap penderitanya.Perasaan itu lah yang seringkali dirasakan oleh seorang gadis muda yang tahun ini baru saja memasuki bangku SMA. Sebuah gangguan kecemasan yang sudah mulai jarang dirasakannya akhir-akhir ini karena terlalu sibuk berdebat dengan Zen, kini terasa meroket naik kepermukaan.Bagaimana tidak, pada saat mereka berada di dalam mobil menuju ke rumah pria itu, tiba-tiba saja ada tiga mobil mewah yang menghadang mereka dari depan. Seakan-akan orang itu tahu, jika mereka akan melewati jalan ini. Dan sialnya… jalan yang sedang mereka lewati kali ini memang tergolong jalan yang cukup sepi untuk ukuran jalan raya di pusat kota.Tubuh Ziana yang berada disamping kemudi mobil Land Range Rover milik Zen, mulai bergetar ketakutan. Perasaan takut dan keringat dingin juga
Tidak pernah terlintas dipikiran Ziana sebelumnya, tuan muda yang selalu bersikap kasar kepada semua orang dan kepadanya ternyata serius menganggapnya sebagai seorang kekasih. Kenapa harus dirinya dari sekian banyak gadis menarik lainnya di SMA Garuda, kenapa tuan muda itu lebih memilihnya?Tapi, dibandingkan dengan kekasih… nampaknya, posisi Ziana lebih mengacu kepada budak. Bagaimana tidak, saat ini Ziana sudah berada di dapur mewah, rumah tuan muda Zen yang terhormat. Untuk apa lagi jika bukan untuk memasakkan menu makan siangnya untuk yang mulia. Karena setelah berpamitan dengan tiga orang sahabatnya di area tawuran tadi, dalam diam… mungkin menahan sakit. Zen langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatang tinggi menuju ke kediamannya. Beruntung mereka sampai dengan selamat sampai ke tujuan.Pada awalnya, Ziana berpikir mereka akan mampir ke supermarker terlebih dahulu untuk membeli bahan makanan. Bukankah biasanya orang kaya jarang memasak dan lebih memilih maka
Dalam diam, Ziana menata makanan yang baru dimasaknya di atas meja. Hanya masakan rumahan sederhana, ayam goreng tepung bumbu, sayur kangkung dengan taburan sosis di atasnya, lalu tahu dan tempe goreng.Ya, hanya ada tiga menu masakan yang bisa Ziana sajikan di depan sang tuan muda itu saat ini. Ziana sengaja tidak memasak makanan yang membutuhkan waktu lama untuk dikerjakan. Terlalu takut Zen akan mati jika tidak segera makan.Masakan yang dibuat Ziana baru saja selesai dihidangkannya di atas meja. Namun, ekspresi Zen yang mengerngit saat makanan itu di letakkan di depannya, membuat Ziana tidak berhenti mengutuk dalam hati. Mungkin untuk orang sekelas Zen, dia belum pernah melihat masakan sejenis ini, entah lah.Tapi, dia tidak peduli, jika si brengsek ini tidak mau memakannya. Jangan salahkan dirinya, panci penggorengan yang masih terdapat minyak panas di dapur tadi akan menghantam mulutnya dengan keras. Karena tenaga dan waktu berharga yang seharusnya dapat digu
Setelah acara termehek-mehek dirumah Zen, sekarang Ziana tiba di depan rumahnya. Jangan lupakan siapa orang yang mengantarnya pulang sampai di depan rumahnya, siapa lagi jika bukan Zen. Sudah ada ratusan kali Ziana minta supaya tidak perlu untuk mengantarnya pulang, tapi bagi Ziana yang memang sudah hapal sifat keras kepala Zen, semuanya menjadi biasa sajabaginya saata Zen bersikeras untuk tetap mengantarny pulang dengan selamat. Walaupun seperti biasa, perjalanan mereka menuju rumah Ziana tidak pernah sepi. Karena ada sa tingkah Ziana atau pun Zen yang membuat mereka akan terus berdebata sepanjang malam.Tidak cukup hanya mengantar Ziana pulang, Zen bahkan mengikutinya masuk ke dalam pekarangan rumahnya yang dihalangi oleh pagar besi yang lumayan tinggi, walau pun tidak setinggi pagar dirumah pria itu.Gelap. Seperti itu lah kondisi rumah Ziana saat ini, padahal jam baru saja menunjukkan pukul delapan malam. Kurang lebih mereka berkendara selama satu jam dari rum
Pagi yang cerah mulai menyinari salah satu kamar bernuansa biru muda dengan sinarnya yang masih mengintip malu-malu disela jendela kamar. Sebuah kamar yang hampir seluruh dindingnya dihiasi dengan berbagai macam pose dari aktor favoritnya. Siapa lagi jika bukan seorang aktor yang tengah naik daun yang berasal dari negeri gajah putih itu… Bright Vachirawit Chiva-aree.Semua sudut kamarnya berisi tentang poster dan marchandise sang aktor. Bermacam pose tampan sang aktor terpampang nyata disekelilingnya, baik itu ketika dirinya ingin tidur setelah lelah beraktivitas atau pun ketika bagun di pagi hari dan akan di sambut langsung oleh senyuman sang idola.Setelah bangun tidur… Ziana sang pemilik kamar akan tersenyum dan menyapanya terlebih dahulu, sebelum kembali fokus pada rutinitasnya menjadi seorang siswi dan menghadapi kebengalan Zen yang terus saja mengganggunya setiap saat.Tapi, sepertinya hari ini rutinitas yang telah dilakukannya selama hampir
“Jeffry… diam kamu!” gertak Pak Budi yang mulai kesal karena semua anak mulai riuh akibat godaan Jeffry kepada salah satu anak berprestasi di SMA Garuda ini.“Ya… elah, pak…”“Diam kamu! Dan kamu Ziana kenapa bisa datang terlambat? Seharusnya sebagai salah satu muriD berprestasi kamu bisa memberikan contoh yang baik kepada teman-teman kamu yang lain, bukan malah bergabung bersama mereka untuk melangar peraturan sekolah,” ujar Pak Budi tegas tanpa memperdulikan Ziana yang sudah mulai bergetar ketakutan.Takut… itu lah yang dirasakannya kini. Tangannya yang kecil terus saja memilin tas yang di sandangnya, sedangkan matanya menunduk ke bawah, tidak berani menatap sang guru. Karena apa yang dikatakan Pak Budi memang benar.Seharusnya dia memberikan contoh yang baik, bukan malah melanggarnya. Bahunya yang sempit juga ikut melemas mendengar kemarahan gurunya itu. Lagi… dia mengec
Setelah kejadian memalukan terkait aksi gendong menggendong yang dilakukan Zen dengan tidak tahu malunya itu, tentu saja membuat gadis bermata sipit itu merasa kesal setengah mati. Bukannya malah menurunkan tubuhnya, pria itu malah mengancam akan melemparkannya ke dinding.Ck… dasar tidak berperikemanusiaan. Hampir di setiap kelas yang mereka lewati, semua siswa akan berteriak histeris karena melihat pujaan hati mereka sedang menggendong seorang gadis beasiswa seperti dirinya. Bahkan tidak sedikit juga Ziana dengar cibiran dari murid lain untuk dirinya.Sementara manusia yang menjadi biang masalahnya malah berjalan santai setelah berhasil membuat dua keributan di pagi hari. Pertama insiden pemecatan Pak Budi dan sekarang Tuan muda itu membuat heboh kembali dengan cara membawa tubuhnya dengan enteng.Pada awalnya Ziana mengira, Zen akan membawanya langsung ke kelas, tapi ternyata langkah kakinya yang lebar malah membawa mereka berdua menuju UKS. Ziana yang