Tring...
Tring...
Tring...
Bel sekolah berbunyi nyaring hampir di seluruh pelataran sekolah. Riak gembira juga dirasakannya di dalam kelas yang baru saja isi dengan pelajaran matematika. Sebuah mata pelajaran yang terkadang membuat banyak murid sakit kepala dan membencinya. Begitupun dengan Ziana hari ini.
Karena biasanya, ia akan bersemangat untuk menyambut mata pelajaran hitung-hitungan itu. Namun kali ini ia tidak begitu aktif dalam jalannya proses belajar mengajar itu. Bahkan gurunya Bu Rani pun terlihat heran melihatnya yang tidak seperti biasanya. Tapi Ziana tidak mau ambil pusing.
Bayang-bayang tentang ucapan Zen sebelum melepaskannya tadi pagi masih terngiang di telinganya sampai saat ini. Dan itu artinya... Ia akan kembali berurusan dengan pria itu. Mau bagaimana lagi. Zen memiliki kuasa dan hak untuk melakukannya. Karena pria itu pasti merasa dirugikan a
"Lo udah makan?" Zen bertanya disela-sela kunyahan-nya. Ziana yang sejak tadi fokus menyuapkan Zen makan pun mau tak mau sedikit terlonjak kaget ketika mendapatkan pernyataan yang terkesan tiba-tiba itu. "Gue bertanya, Zian— lo udah makan?" tanya Zen sekali lagi. Kesal juga dengan tingkah Ziana yang terlihat takut-takut saat mata mereka bertatapan. "B—belum." "Kenapa?" balas Zen tajam. "Karena makananku kan kamu ambil—" "Hei! Kau menyalahkanku?" ujar Zen melotot tidak terima ketika disalahkan Ziana. Ya... Walaupun itu merupakan kebenaran tentu saja ia tidak akan mau mengakuinya. Lagipula bukan salahnya, seharusnya gadis itu paham jika status-nya masih lah pembantu Zen. Dan harus menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk makanan. Salah sendiri hanya membawa satu bekal. "Bu—bukan begitu Zen. A—aku tidak menyalakanmu
Hosh...Hosh...Hosh..."Zen tunggu, astaga tuan muda satu itu!" Ziana terus menggerutu sepanjang langkah kakinya mengikuti Zen. Bukan apa-apa langkah kaki panjang Zen dan sahabat-sahabatnya terlalu cepat untuk gadis yang memiliki kaki pendek dan minimalis seperti dirinya.Tapi— apakah Zen peduli? Jawabannya sudah pasti tidak. Pria itu terus mengabaikannya dan hanya berteriak untuk lebih cepat lagi. Karena setalah menunggu Ziana tepat di depan kelas tadi, Zen langsung memberikan tas sekolah untuk dibawakan olehnya. Sama seperti yang sering ia lakukan sebelumnya."Ck... Lamban sekali. Dasar pendek!" dengus Zen ketika akhirnya Ziana berhasil menyamai langkah kaki pria itu. Itu pun karena Zen dan kawanannya sudah terlebih dahulu berhenti di parkiran khusus mobil-mobil mewah. Lebih tepatnya di depan mobil si tuan muda.&nbs
"Kenapa wajah lo kusut terus dari tadi? Kurang disetrika, eh?" decih Zen sebal. Bagaimana tidak, gadis yang ada disampingnya ini terus saja menampilkan wajahnya yang ditekuk sejak ia memaksa untuk pergi bersamanya ke sekolah. Salahnya dimana coba? Bukankah seharusnya Ziana senang diantar jemput olehnya? Heran. Di saat hampir semua gadis disekolah ini ingin sekali berdekatan dengan dirinya, Ziana malah seolah-olah menjaga jarak darinya. Dasar aneh dengus Zen dalam hati. "Bukan urusan lo!" balas Ziana acuh tak acuh. "Hei! Nggak sopan ya, Zian— make lo-gue sama pacar sendiri!" "Pacar? Sejak kapan kita pacaran? Seperti yang pernah kamu bilang hari itu— we are nothing!" tekan Ziana. Ia berusaha menggali kenangan menyakitkan itu lagi. Ia menghela napasnya dalam-dalam menahan sesak yang mulai berdatangan. Ck... Ziana benci menjadi lemah seperti ini. Apalagi itu hanya karen
Hari ini merupakan hari yang paling menyebalkan bagi seorang gadis kecil, bermata sipit dengan rambut ikal yang menggantung indah dipundaknya itu. Ya, gadis itu sedang kesal. Sangat!Rambut berwarna hitam sekelam malam yang dikuncir kuda itu pun terus bergoyang ke sana kemari mengikuti ritme yang dibuat oleh tuannya.Karena Ziana, sang pemilik tubuh mungil tersebut terus mondar-mandir tidak jelas di dalam kelasnya yang kini sudah mulai ramai, karena sebentar lagi bel akan berbunyi dengan nyaring seantero sekolah.Ziana terus berdecak sebal. Bahkan lesung pipi yang biasa menghiasi wajah manisnya, belum terlihat sejak tadi. Gadis yang tengah menempuh jenjang pendidikan di kelas X1. MIPA1 di SMA Garuda itu terus menggerutu. Bahkan sejak dirinya bangun tadi pagi.“Hari Senin lagi. Menjengkelkan!” gerutu Ziana yang entah untuk ke berapa kalinya sejak menginjakkan kaki diparkiran sekolah beberapa menit yang lalu. Hari ini merupakan hari yang selalu ingin Ziana hind
Takdir diciptakan tuhan untuk mengatur alam semesta agar makhluknya sadar akan posisi mereka yang hanya sebagai hamba. Hidup, mati, siang dan malam merupakan takdir yang tidak dapat diubah oleh manusia. Karena sudah menjadi ketentuan mutlak dari sang pencipta.Tidak semua takdir tidak dapat di ubah, ada beberapa takdir yang bisa di ubah olah manusia itu sendiri. Semuanya tergantung sekuat apa usaha seseorang untuk mau mengubah jalan takdirnya menjadi lebih baik.Jika kamu dilahirkan dalam keluarga yang hangat, sesekali tolong lihat mereka yang hidup dalam kedinginan, agar kamu mengerti arti bersyukur. Karena jutaan manusia bahkan lebih, ingin memiliki kehidupan yang sama dengan kamu.Tapi, apakah hal itu berlaku juga untuk Ziana? Seorang gadis yang baru saja melewati usia tujuh belas tahunnya dua dua bulan yang lalu, yang sering mengatakan betapa tidak adilnya tuhan atas hidupnya.Tidak cukup dengan konflik internal di dalam rumahnya, kini dirinya juga memili
Dengan tenaga yang sudah mulai terkuras habis, Ziana hanya bisa pasrah menghadapi tingkah tidak konsisten Zen. Sekarang apa lagi? Tubuh dan hatinya sudah meminta untuk istirahat. Tidak kah pria itu mengerti? Dia lelah. Jujur, lebih baik mengerjakan soal Matematika dibandingkan menghadapi sikap kekanakan seorang Zen Kusuma Diningrat.“Apa lagi?” desah Ziana tidak bertenaga. Sesaat matanya bergerak tidak fokus dan terus mengusap bokongnya yang terasa ngilu. Sebelum kemudian fokus melawan rasa takutnya dan menatap Zen dengan raut kesal. Alisnya mengerut tidak suka saat melihat pria itu tidak berhenti tertawa melihatnya mengerang kesakitan. Dasar pria brengsek! Keturunan darah biru seperti apa yang memiliki sifat seperti iblis? Bukannya darah biru, Zen lebih layak dipanggil tuan muda berdarah kotor.“Gue mau Tanya sesuatu sama lo,” “Tanya apa?” jawab Ziana cuek.“Kenapa lo bisa masuk ke sekolah ini? Lo murid beasiswa? Dilihat dari tampilan lo yang s
Selalu seperti ini setiap kali mereka sarapan bersama. Suram, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang memecah keheningan kegiatan sarapan keluarga mereka. Ibu dan ayahnya diam membisu, layaknya orang asing yang tidak saling mengenal.Bahkan sekedar bertanya tentang makanan apa yang diinginkannya hari ini saja tidak.Ibu dan ayahnya sama-sama sibuk mengedepankan egonya masing-masing. Sampai mereka lupa, puteri yang pernah mereka timang sejak kecil itu, kini sudah mulai beranjak dewasa.Kesibukan ayahnya yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di kota ini membuat mereka jarang berkumpul bersama. Dikarenakan ayahnya sering mendapat tugas dinas di luar kota berminggu-minggu bahkan bisa dua bulan sekali baru ayahnya kan pulang.Dan sekalinya pulang ke rumah, hanya suasana sunyi yang terus menggerogoti mereka.Suasananya pengap, pekat, sampai Ziana merasakan sesak saat akan menghirup udara di sekitarnya.Jika
Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan,