Dengan tenaga yang sudah mulai terkuras habis, Ziana hanya bisa pasrah menghadapi tingkah tidak konsisten Zen. Sekarang apa lagi? Tubuh dan hatinya sudah meminta untuk istirahat. Tidak kah pria itu mengerti? Dia lelah. Jujur, lebih baik mengerjakan soal Matematika dibandingkan menghadapi sikap kekanakan seorang Zen Kusuma Diningrat.
“Apa lagi?” desah Ziana tidak bertenaga. Sesaat matanya bergerak tidak fokus dan terus mengusap bokongnya yang terasa ngilu. Sebelum kemudian fokus melawan rasa takutnya dan menatap Zen dengan raut kesal.
Alisnya mengerut tidak suka saat melihat pria itu tidak berhenti tertawa melihatnya mengerang kesakitan. Dasar pria brengsek! Keturunan darah biru seperti apa yang memiliki sifat seperti iblis? Bukannya darah biru, Zen lebih layak dipanggil tuan muda berdarah kotor.
“Gue mau Tanya sesuatu sama lo,”
“Tanya apa?” jawab Ziana cuek.
“Kenapa lo bisa masuk ke sekolah ini? Lo murid beasiswa? Dilihat dari tampilan lo yang super biasa. Pasti tebakan gue benar, lo cuma anak beasiswa di sini. Tapi gue nggak mau bahas tentang kemiskinan lo itu sekarang, ada waktunya nanti. Hm, murid beasiswa, ya? Berarti lo pintar dong? Boleh gue tanya sesuatu, Zian?” bisik Zen di telinga Ziana, setelah berhasil menghentikan tawanya saat melihat penderitaan gadis itu akibat ulahnya.
Ziana terbengong. Kemana suara besarnya pria itu pergi? Kenapa sekarang malah berbisik seakan tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya.
Apa yang ada dipikiran pria ini sebenarnya? Apakah kewarasannya terganggu akibat kecelakaan super kecil seminggu yang lalu? Apakah itu juga alasan yang membuat tuan muda ini baru menemuinya setelah seminggu berlalu? Apakah pria itu sekarang juga meminta biaya untuk pengobatannya.
Jika jawabannya iya, Ziana bisa mati berdiri. Masalah yang satu belum selesai, sekarang di tambah dengan masalah baru. Apakah ini yang namanya sudah jatuh tertimpa tangga?
Ditengah kekalutannya, Ziana yang memang ingin segera menyelesaikan masalah ini dengan cepat, langsung menganggukkan kepalanya tanda setuju untuk menjawab pertanyaan yang akan diajukan oleh Zen.
Berharap setelah ini dia dilepaskan dan si tuan muda tidak akan mempermainkannya lagi.
“Zian… lo tau arti I love you, nggak?”
“HAH?”
Hanya itu reaksi yang bisa Ziana berikan atas pertanyaan bodoh yang diajukan oleh Zen. Rumput hijau yang tadinya sangat menarik bagi bagi gadis itu, kini dipalingkannya sejenak untuk melihat orang semacam apa yang tengah berada di depannya ini.
Pikirnya Zen akan kembali membahas tentang kerusakan mobil mewah yang akan membuat dirinya lemas. Tapi ternyata malah pertanyaan tidak masuk akal ini yang ingin ditanyakan. Apa pria ini tengah mempermainkannya?
“Ck, bego! Gue nanya serius congek. Kemarin ada cewek yang bilang I love you sama gue. Karna malu gue nggak paham bahasa inggris, akhirnya gue pulang duluan dan ninggalin gebetan gue di bioskop. Gue beralasan ada urusan mendadak.”
Ada batu sebesar kepalan tangan yang terlihat di ujung sepatunya. Sekuat tenaga Ziana menahan diri untuk tidak mengambil batu itu dan melemparkannya ke kepala sang tuan muda. Setiap ucapan yang keluar dari bibir pria pria itu selalu mengandung racun yang siap membunuh siapa saja.
Jika dirinya tidak terlibat hutang, batu berwarna hitam di depannya ini sudah berpindah tempat dan dihiasi bercak merah darah pria itu. Tapi, tidak! Itu akan menjadi petaka baru, jika dirinya berani merealisasikan khayalannya.
Satu kata yang terlintas dipikiran Ziana saat ini, Zen itu... bodoh. Kata umum yang sering digunakan anak muda zaman sekarang untuk menunjukkan rasa cinta atau perasaan pura-pura cinta seperti itu saja Zen tidak tau.
Apakah selama ini Zen hidup di salah satu planet yang sudah tidak diakui keberadaannya? Planet Pluto?
Ziana masih terdiam, saat dilihatnya Zen berdiri sambil membersikan celana abu-abunya, takut ada daun kering atau tanah yang menempel di sana.
Setelah dipastikan semuanya bersih, Zen kembali berbisik saat netra tajam keemasannya melihat Ziana yang kini juga sudah berdiri di depannya. Hanya sebatas pundaknya. Pendek sekali.
“Bodoh! Gue akan minta pihak sekolah menyeleksi ulang siapa yang berhak dan tidak berhak untuk mendapatkan beasiswa di sekolah ini. Karna cewek beasiswa di depan gue yang satu ini sama sekali nggak bisa diandalkan. Ck, bego!” ujar Zen sambil berlalu pergi meninggalkan Ziana menuju ke arah koridor sekolah yang di sambut dengan tepukan ringan dipundak pria itu oleh tiga orang yang sama yang pernah dilihatnya seminggu yang lalu.
Teman-teman tuan muda itu juga bersorak da nada yang berkedip genit saat tatapan mereka bertemu. Sialan!
Kesal, muak, marah sudah menguasai Ziana si tengah siang yang terik ini. Dengan otak yang mendidih, muka merah padam dan alis yang berkerut dalam setelah mendengar kalimat hinaan dari bibir Zen.
Tiba-tiba tanpa di komando bibir Ziana reflek berteriak keras akan sebuah kalimat yang akan membuat pintu neraka di dunia terbuka untuk dirinya.
“AKU MENCINTAIMU… artinya aku mencintaimu,” pekik Ziana kesal.
Hening, semuanya aktivitas di sekitar mereka seakan terhenti setelah mendengar pekikan gadis itu. Wajah putih dengan pipi bulat dan sedikit chubby itu memerah dari leher sampai ke telinganya.
Astaga, apa yang baru saja dilakukannya? Bodoh! Pekik Ziana dalam hati merutuki tindakan gilanya.
Saat tengah sibuk merutuki kebodohannya, Ziana tidak menyadari ternyata Zen kembali berjalan ke arahnya dan sekarang sudah tepat berada di depan tubuh pendeknya.
Tangan dengan jari-jari panjang milik Zen mulai menyentuh rambut ikal menjuntai milik Ziana yang keluar dari dalam ikatan rambut berbentuk pita berwarna merah muda itu di atas kepalanya.
Merasakan ada sentuhan pada rambutnya, tentu saja si pemilik tubuh tersentak kaget. Dan yang lebih membuat Ziana melongo adalah satu kalimat tidak masuk akal, yang baru saja keluar dari bibir sang tuan muda. Astaga, pria itu pikir mereka sedang melakukan drama romantis? Ini gila!
“What…? Do you love me, Zian? And you wanna be my girlfriend? You fell in love with me at first sight? Yes, naturally. It’s hard to ignore me. But. I don’t like you. So, what should I do.. short girl? Hm, let’s make a deal. Starting today, we are dating. But, it’s not free. You have to pay by being my personal assistant, indefinitely.”
Aksen Inggris yang sangat kental menyeruak tajam ditelinga Ziana. A...Apa itu barusan? Rasanya Ziana baru saja berhadapan dengan seorang bule. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, kalimat itu keluar dari bibir tuan muda yang katanya tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Sadarlah Ziana akan semuanya. Lagi-lagi dirinya dipermainkan. Sialan!
Lagi pula, bagaimana mungkin otaknya tidak berpikir jernih. Tidak mungkin bukan, seorang keturunan kaya raya seperti Zen tidak menguasai bahasa asing yang akan digunakan untuk berkomunikasi dengan setiap orang dari seluruh penjuru dunia itu?
Ck, bahkan mungkin sebelum dirinya pandai berbicara bahasa bayi dengan fasih, si tuan muda Zen sudah menguasai dua bahasa internasional.
“Kamu bisa bahasa Inggris? EH? A..PA? Aku tidak...”
“Dilarang protes. Dosa ngelawan pacar sendiri. Bye, sayang. Sampai ketemu lagi… pendek,” ucap Zen berlalu dengan santai, tanpa memperhatikan wajah merah dan mata melotot Ziana yang terbilang cukup angker.
Makian dan segala macam umpatan dengan nama hewan yang ada di kebun binatang hanya bisa sampai di ujung lidahnya saja. Karena Ziana tidak seberani itu untuk melawan Zen, dia masih belum bisa melepaskan banyang-bayang Bentley Bacalar yang di tabraknya dari belakang seminggu yang lalu.
Sebenarnya tidak hanya itu yang membuat Ziana terdiam kaku layaknya patung.
Faktor utama diamnya detik ini adalah pekikan protes dan tidak terima dari murid perempuan di sekitarnya, karena sebelum pergi… Zen sempat mencuri cium ringan di pipinya yang suci.
Ada debar samar yang mulai menyusup perlahan dihati salah satu antara mereka berdua.
Selalu seperti ini setiap kali mereka sarapan bersama. Suram, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang memecah keheningan kegiatan sarapan keluarga mereka. Ibu dan ayahnya diam membisu, layaknya orang asing yang tidak saling mengenal.Bahkan sekedar bertanya tentang makanan apa yang diinginkannya hari ini saja tidak.Ibu dan ayahnya sama-sama sibuk mengedepankan egonya masing-masing. Sampai mereka lupa, puteri yang pernah mereka timang sejak kecil itu, kini sudah mulai beranjak dewasa.Kesibukan ayahnya yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di kota ini membuat mereka jarang berkumpul bersama. Dikarenakan ayahnya sering mendapat tugas dinas di luar kota berminggu-minggu bahkan bisa dua bulan sekali baru ayahnya kan pulang.Dan sekalinya pulang ke rumah, hanya suasana sunyi yang terus menggerogoti mereka.Suasananya pengap, pekat, sampai Ziana merasakan sesak saat akan menghirup udara di sekitarnya.Jika
Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan,
Ziana tersentak kaget. Matanya yang semula terus berusaha menghindar agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Zen, kini di arahkannya kepada wajah pria itu. Pucat, bahkan lebih pucat dari tadi pagi. Sialan, Ziana! Kalau begini ceritanya, bukan Zen yang akan membunuhnya, tapi dirinya yang akan membunuh si tuan muda, karena terus mengulur waktu untul memasakkan makanan untuk pria itu.Lagi pula yang membuat Ziana bingung, kenapa harus menunggu masakannya? Bukankan, tuan muda yang mengaku memiliki keturunan bangsawan berdarah biru itu bisa membeli makanan apa saja untuk dimakannya? Kenapa harus menunggunya. Dan bagaimana jika nanti tuan muda ini meninggal saat tengah bersamanya sekarang? Sudah dapat dipastikan, tersangka utama adalah dirinya. Mati kau Ziana ujar batinnya. Astaga, demi kerang ajaib! Masa depannya sedang dipertaruhkan. Untuk kali ini saja, Ziana harus menahan perasaan takutnya untuk sejenak. Setidaknya, sampai dirinya menyelesaikan
Generalized anxiety disorder (GAD) atau yang sering dikatakan sebagai gangguan kecemasan, ditandai dengan perasaan cemas, khawatir dan rasa takut berlebihan yang akan berlangsung secara konstan terhadap penderitanya.Perasaan itu lah yang seringkali dirasakan oleh seorang gadis muda yang tahun ini baru saja memasuki bangku SMA. Sebuah gangguan kecemasan yang sudah mulai jarang dirasakannya akhir-akhir ini karena terlalu sibuk berdebat dengan Zen, kini terasa meroket naik kepermukaan.Bagaimana tidak, pada saat mereka berada di dalam mobil menuju ke rumah pria itu, tiba-tiba saja ada tiga mobil mewah yang menghadang mereka dari depan. Seakan-akan orang itu tahu, jika mereka akan melewati jalan ini. Dan sialnya… jalan yang sedang mereka lewati kali ini memang tergolong jalan yang cukup sepi untuk ukuran jalan raya di pusat kota.Tubuh Ziana yang berada disamping kemudi mobil Land Range Rover milik Zen, mulai bergetar ketakutan. Perasaan takut dan keringat dingin juga
Tidak pernah terlintas dipikiran Ziana sebelumnya, tuan muda yang selalu bersikap kasar kepada semua orang dan kepadanya ternyata serius menganggapnya sebagai seorang kekasih. Kenapa harus dirinya dari sekian banyak gadis menarik lainnya di SMA Garuda, kenapa tuan muda itu lebih memilihnya?Tapi, dibandingkan dengan kekasih… nampaknya, posisi Ziana lebih mengacu kepada budak. Bagaimana tidak, saat ini Ziana sudah berada di dapur mewah, rumah tuan muda Zen yang terhormat. Untuk apa lagi jika bukan untuk memasakkan menu makan siangnya untuk yang mulia. Karena setelah berpamitan dengan tiga orang sahabatnya di area tawuran tadi, dalam diam… mungkin menahan sakit. Zen langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatang tinggi menuju ke kediamannya. Beruntung mereka sampai dengan selamat sampai ke tujuan.Pada awalnya, Ziana berpikir mereka akan mampir ke supermarker terlebih dahulu untuk membeli bahan makanan. Bukankah biasanya orang kaya jarang memasak dan lebih memilih maka
Dalam diam, Ziana menata makanan yang baru dimasaknya di atas meja. Hanya masakan rumahan sederhana, ayam goreng tepung bumbu, sayur kangkung dengan taburan sosis di atasnya, lalu tahu dan tempe goreng.Ya, hanya ada tiga menu masakan yang bisa Ziana sajikan di depan sang tuan muda itu saat ini. Ziana sengaja tidak memasak makanan yang membutuhkan waktu lama untuk dikerjakan. Terlalu takut Zen akan mati jika tidak segera makan.Masakan yang dibuat Ziana baru saja selesai dihidangkannya di atas meja. Namun, ekspresi Zen yang mengerngit saat makanan itu di letakkan di depannya, membuat Ziana tidak berhenti mengutuk dalam hati. Mungkin untuk orang sekelas Zen, dia belum pernah melihat masakan sejenis ini, entah lah.Tapi, dia tidak peduli, jika si brengsek ini tidak mau memakannya. Jangan salahkan dirinya, panci penggorengan yang masih terdapat minyak panas di dapur tadi akan menghantam mulutnya dengan keras. Karena tenaga dan waktu berharga yang seharusnya dapat digu
Setelah acara termehek-mehek dirumah Zen, sekarang Ziana tiba di depan rumahnya. Jangan lupakan siapa orang yang mengantarnya pulang sampai di depan rumahnya, siapa lagi jika bukan Zen. Sudah ada ratusan kali Ziana minta supaya tidak perlu untuk mengantarnya pulang, tapi bagi Ziana yang memang sudah hapal sifat keras kepala Zen, semuanya menjadi biasa sajabaginya saata Zen bersikeras untuk tetap mengantarny pulang dengan selamat. Walaupun seperti biasa, perjalanan mereka menuju rumah Ziana tidak pernah sepi. Karena ada sa tingkah Ziana atau pun Zen yang membuat mereka akan terus berdebata sepanjang malam.Tidak cukup hanya mengantar Ziana pulang, Zen bahkan mengikutinya masuk ke dalam pekarangan rumahnya yang dihalangi oleh pagar besi yang lumayan tinggi, walau pun tidak setinggi pagar dirumah pria itu.Gelap. Seperti itu lah kondisi rumah Ziana saat ini, padahal jam baru saja menunjukkan pukul delapan malam. Kurang lebih mereka berkendara selama satu jam dari rum
Pagi yang cerah mulai menyinari salah satu kamar bernuansa biru muda dengan sinarnya yang masih mengintip malu-malu disela jendela kamar. Sebuah kamar yang hampir seluruh dindingnya dihiasi dengan berbagai macam pose dari aktor favoritnya. Siapa lagi jika bukan seorang aktor yang tengah naik daun yang berasal dari negeri gajah putih itu… Bright Vachirawit Chiva-aree.Semua sudut kamarnya berisi tentang poster dan marchandise sang aktor. Bermacam pose tampan sang aktor terpampang nyata disekelilingnya, baik itu ketika dirinya ingin tidur setelah lelah beraktivitas atau pun ketika bagun di pagi hari dan akan di sambut langsung oleh senyuman sang idola.Setelah bangun tidur… Ziana sang pemilik kamar akan tersenyum dan menyapanya terlebih dahulu, sebelum kembali fokus pada rutinitasnya menjadi seorang siswi dan menghadapi kebengalan Zen yang terus saja mengganggunya setiap saat.Tapi, sepertinya hari ini rutinitas yang telah dilakukannya selama hampir