Selalu seperti ini setiap kali mereka sarapan bersama. Suram, hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring yang memecah keheningan kegiatan sarapan keluarga mereka. Ibu dan ayahnya diam membisu, layaknya orang asing yang tidak saling mengenal.
Bahkan sekedar bertanya tentang makanan apa yang diinginkannya hari ini saja tidak.
Ibu dan ayahnya sama-sama sibuk mengedepankan egonya masing-masing. Sampai mereka lupa, puteri yang pernah mereka timang sejak kecil itu, kini sudah mulai beranjak dewasa.
Kesibukan ayahnya yang bekerja di salah satu perusahaan terbesar di kota ini membuat mereka jarang berkumpul bersama. Dikarenakan ayahnya sering mendapat tugas dinas di luar kota berminggu-minggu bahkan bisa dua bulan sekali baru ayahnya kan pulang.
Dan sekalinya pulang ke rumah, hanya suasana sunyi yang terus menggerogoti mereka.
Suasananya pengap, pekat, sampai Ziana merasakan sesak saat akan menghirup udara di sekitarnya.
Jika dilihat dari luar, keluarga mereka akan terlihat sangat harmonis. Karena memiliki Ibu yang masih sangat cantik di usiannya yang sekarang dan seorang ayah yang pekerja keras. Ditambah dengan seorang puteri cantik yang akan menambah kesan bahagia di dalam rumah yang di desain minimalis itu.Rumah dengan gradasi warna hitam dan di dominasi putih itu kerap kali mencuri perhatian orang lain karena desainnya simpel, namun terlihat elegan.
Pohon Tebuya besar yang memilki bunga berwarna kuning pada saat mekar juga tumbuh subur dihalaman rumah mereka. Pohonnya terawat, tidak ada daun yang berserakan di tanah pekarangaan rumah mereka.
Ibunya banyak mendapatkan pujian sebagai istri yang rajin dalam bersih-bersih. Padahal sebenarnya tidak.Ibunya tidak pernah berkontribusi sedikit pun dalam hal membersihkan rumah. Ada tukang kebun yang akan datang dua kali sehari untuk membersikan pekarangan rumah mereka.
Menurut kalian, apa itu? Banyak orang yang mengatakan rumah itu sebagai tempat berkumpulnya orang yang saling mengasihi dan mencintai. Sebelum beranjak dewasa, Ziana juga berpikir seperti itu.
Rumah merupakan sebuah tempat yang paling nyaman baginya.
Tidak hanya dapat melindungi tubuh mungilnya dari derasnya hujan dan terik matahari, rumah dalam imajinasi Ziana juga berarti bersama dan tertawa bahagia bersama Ibu dan Ayah di dalamnya.Tapi sekarang? Ziana hanya bisa terkekeh miris membayangkannya.
Dan tau apa yang lebih menyakitkan yang pernah di dengarnya dari mulut kedua orang tuanya pada saat berumur sepuluh tahun? Orang tuanya ingin berpisah. Alasannya sudah tidak ada kecocokan lagi. Bulshit! Jika tidak cocok kenapa mereka menikah?Setelah tujuhtahun berlalu, mereka masih bertahan di neraka ini. Alasan mereka bertahan adalah dirinya. Ibu dan ayahnya tidak jadi berpisah karena memikirkan perasaannya.
Akan tetapi setelah menginjak masa remaja, apa yang dipikir Ziana kecil itu baik ternyata malah kebalikannya. Rumah yang dulu hangat kini terasa sedingin kutub utara.
Jika terus seperti ini, kenapa mereka tidak berpisah saja sejak dulu? Terlepas dari rasa yang yang sangat besar kepada kedua orang tuanya, Ziana tidak munafik ada setitik noda, setitik dosa di hatinya.Ziana membenci sikap egois mereka berdua.
Muak dengan kesunyian yang menyesakkan dadanya, Ziana memilih menarik kasar kursi yang di dudukinya tadi dan segera berlalu dari hadapan ibu dan ayahnya yang hanay diam melihat tingkah puterinya yang sangat tidak sopan.
Tetap saja... tidak ada peringatan apa pun yang keluar dari bibir pasangan suami istri itu.
“Ck, lagi pula apa yang aku harapkan?” ucap Ziana berdecak sebal.
Menaiki Scoopy putih kesayangannya Ziana melesat kencang menuju sekolah tempatnya menimba ilmu. Entah lalu lintas hari yang memang tidak terlalu macet atau karena Ziana mengendarai motornya dengan laju di atas rata-rata, gadis itu berhasil sampai di SMA Garuda tidak lebih dari dua puluh menit.
Perjalanan yang biasa dihabiskannya selama lebih dari setengah jam itu terasa lebih cepat pagi ini.
Terlalu sibuk melamun memikirkan hal-hal negatif yang akan berakhir buruk terhadap kondisi mentalnya, Ziana mulai mengatur kembali pernapasannya supaya kembali normal. Masih banyak yang ingin dilakukannya di dunia ini. Dan mati belum menjadi goal yang ingin dicapainya dalam waktu dekat.
“Pagi neng Ziana,”
Tanpa menoleh pun, Ziana tau siapa yang tengah menyapanya itu. Dia adalah Jeffry satu dari dua orang lainnya prajurit setia yang dimiliki oleh titisan raja setan berdarah biru itu. Ziana hanya tidak berniat membalasnya.
Mengacuhkan Jeffry dan berjalan dengan cepat menuju kelas untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak sebelum proses belajar mengajar dimulai.
Tapi nampaknya niat Ziana tidak akan terlaksana dengan mudah.
“Eh, pendek. Udah nggak sayang nyawa, lo? Ngapain pake acara ngebut di jalan tadi? Nyawa lo ada berapa emangnya? Banyak gaya! Ntar jatuh, malah nangis.”
Tap…
Langkah Ziana refleks berhenti. Entah ada magnet apa yang membuat Ziana merasa dia harus selalu membalas setiap kata yang keluar pada bibir pria berandal itu. Dia sama sekali tidak bisa menahannya.
“Kamu nyumpahin aku jatuh dari motor?” tanya Ziana kesal. Alisnya bertaut dalam, yang merupakan ciri khas jika gadis itu tengah kesal pada lawan bicaranya.
“Ye… dinasehatin malah marah. Gue cuma kasian sama motor jelek lo kalau seandainya tadi lo beneran jatuh. Emang lo kenapa, sih? Naik motor udah kayak orang kesurupan aja, atau jangan-jangan lo emang udah bosan hidup? Astaga keriting, ingat dosa.”
Tawa menyebalkan itu kembali menghiasi bibir pria itu diikuti dengan dayang-dayangnya yang selalu mengikuti apa yang dilakukan ketua mereka.
Kepala Ziana sudah terasa berasap siap mengeluarkan lahar apinya. Tidak peduli akan kemurkaan Ziana, mereka masih terus tertawa dengan keras. Sengaja, Ziana tau Zen sengaja membuatnya kesal.
“Nama aku Ziana. Bukan pendek, keriting atau panggilan aneh lainnya dari kamu. Coba kalau kamu aku panggil Zem-Zem emang kamu mau?”
“HEY… jangan merubah nama orang sembarangan!” teriak Zen.
“Nah, itu kamu marah-marah saat aku ganti nama kamu. Sekarang kamu ngerti kan sama perasaan aku saat kamu terus-terusan ganti nama aku?"
“Gue nggak ngerti dan nggak mau ngerti juga. Yang gue tau lo itu pacar sekaligus merangkap sebagai pembantu gue,” kekeh Zen puas melihat ekspresi tidak terima Ziana. Menggemaskan. Eh, apa itu tadi? Menggemaskan? Jelek iya. Zen dibuat merinding ngeri saat kata menggemaskan sempat malintas sekilas dipikirannya tadi.
“Mana sarapan gue?” tanya Zen
Ya, memang sejak kejadia naas itu Zen memaksanya untuk membuatkan bekal setiap hari. Tapi, karena suasana hati dan rumahnya sedang tidak mendukung akhirnya Ziana lupa menyiapkan sarapan untuk tuan muda ini.“A…Aku kesiangan,” lirih Ziana takut. Pandangannya diarahkan ke bawah melihat sepatu berwarna hitamnya yang kini terlihat jeuh lebih menarik. Salah satu ciri khas ketika Ziana memaksakan diri untuk tarus membahas apa yang tidak disukainya.
“Ck, gue belum sarapan Ziannn! Kok lo pake acara kesiangan segala? Gue nggak mau tau pulang sekolah nanti lo harus masakin gue!”
Sedikit perasaan bersalah mengalir lembut tanpa bisa di tahannya saat melihat wajah pucat pria yang selalu membuatnya kesal ini. Tidak seperti biasanya, wajah yang biasanya sangat bersemangat mengerjainya itu, sekarang terlihat kuyu tidak bersemangat. Apa yang terjadi dengan tuan muda ini?
“Ta… tapi… aku ada acara nanti siang. Gimana kalau besok aja? Aku janji, akan masakin kamu dobel dari yang sebelumnya, sebagai permintaan maaf aku.”
Gadis itu mendongak, memperlihatkan raut wajah memelasnya agar Zen membatalkan keingianannya untuk memasak siang ini. Bukannya tidak mau. Ziana takut berdua saja dengan Zen. Lagi pula, dimana dirinya akan memasak nanti? Pasti dirumah pria itu.
Tidak, tidak! Bagaimana jika dirinya diculik dan disekap ,karena masih dendam akibat kecelakaan mobil tidak berdarah itu? Tidak! Ziana terlalu takut hanya dengan membayangkannya.
“Emangnya lo mau kemana? Jalan sama cowok lain? Jangan harap! Gue nggak peduli lo mau ada acara apa pun di luar sana. Batalin! Yang gue tau, lo udah harus stand by di samping mobil gue jam pulang sekolah nanti, paham lo?” ujar Zen tidak mau dibantah.
Tidak ada kesan menyebalkan lagi dimatanya. Kali ini si tuan muda terlihat serius dan… menakutkan bagi Ziana.
“Gue cabut dulu.. mau tidur di basecamb. Lo pada ikut, nggak?” tanya Zen kepada sahabat-sahabatnya yang tentu saja di jawab dengan anggukan semangat oleh mereka. Sudah Ziana bilang bukan, mereka akan mengikuti kemana pun Zen pergi. Mungkin jika Zen masuk ke jurang mereka juga akan mengikutinya.
“Masuk kelas sana! Gue tunggu pulang sekolah.”
Sebelum melangkah menjauh menuju sahabatnya yang sudah berjalan lebih dulu di depan, Zen mengelus pelan rambut ikal Ziana yang kali ini memang tidak kuncirnya.
Setelah keramas tadi pagi, Ziana memang langsung menyisir rambutnya tanpa mengikatnya kuncir kuda seperti kebiasaanya. Hal itu dikarenakan rambutnya tadi masih basah.
Dan sekarang saat rambutnya sudah kering, tentu saja ada bebarapa rambut nakal yang menyeruak menghalangi pandangannya. Ziana memang tidak terbiasa menggerai rambut hitam sebahunya, sehingga dirinya cukup risih sekarang.
Masalahnya sekarang, gadis manis yang memiliki rambut ikal menggantung indah itu lupa membawa ikat rambutnya.
“Hadap belakang,”
“Hah?” ujar Ziana bingung. Apa maksud tuan muda ini? Memangnya mereka sedang melakukan baris berbaris. Mengerutkan kening, Ziana terus diam memikirkan apa maksud pria itu sebenarnya.
Sementara Zen yang gemas-gemas kesal melihat tingkah bodoh Ziana, akhirnya membalikkan tubuh pendek itu menghadap belakang tubuhnya.
Melepaskan salah satu karet gelang di tangannya, Zen mulai merapikan rambut Ziana, sebelum kemudian meyatukan semua rambut Ziana untuk kemudian diikatnya menggunakan karet gelang yang ada di pergelangan tangannya tadi.
“Lo jelek kalo lagi nggak dikuncir. Rambut keriting lo ini menghalangi pemandangan. Lain kali jangan digerai lagi, gue takut orang ngiranya lo hantu,” kekeh Zen yang membuat pria itu terlihat lebih manusiawi sekarang, walaupun wajahnya masih terlihat lelah tapi ada senyum yang melingkar indah sekarang di bibir tipis itu.
Sebuah tawa yang berbeda… terlihat lebih tulus. Dan entah kenapa… untuk pertama kalinya Ziana tidak marah mendengar kalimat penuh ejekan itu.“Malah bengong lagi. Ya udah masuk kelas sana! Gue nggak mau punya pacar bego. Awas lo nggak belajar, gue hukum.”
“Memangnya aku juga mau punya pacar bodoh dan tukang bolos?” ceplos Ziana tidak sengaja.
“Apa?” tanya Zen kesal.
“Eh… nggak ada apa-apa. Aku masuk kelas dulu, ya. Bye...” ujar Ziana tertawa bahagia, berhasil membuat tuan muda keturunan bangsawan berdarah biru ini kesal untuk pertama kalinya hari ini.
Padahal yang gadia mungil itu tidak ketahui, ini adalah kali ketiga Zen merasa kesal dengan tindakan Ziana pagi ini. Ngebut, rambut yang digerai, dan sempat menolak memasak untuknya.
Menunggu bunyi bel pulang sekolah tidak pernah semendebarkan ini sebelumnya. Tidak pernah semengerikan ini. Biasanya mendengarkan bunyi bel istirahat atau bel pulang sekolah merupakan melodi yang sangat indah bagi seluruh siswa yang mulai lelah belajar seharian. Apalagi, jika pelajarannya di ajari oleh guru killer. Semua murid pasti ingin keluar dari dalam kelas secepat mungkin.Tapi, kali ini berbeda, bunyi nyaring dari bel sekolah yang baru saja menembus tajam gendang telinga gadis bermata sipit itu, mulai membuatnya meringis sedikit tidak rela untuk keluar dari kelasnya.Demi kerang ajaib Doraemon! Ziana tidak dapat membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini. Pulang bersama Zen merupakan pilihan terakhir baginya selama bersekolah di SMA Garuda. Selain takut diculik seperti pikiran bodohnya, ada hal lain yang membuatnya takut untuk pulang bersama dengan pria berandal yang sialnya telah mengklaim dirinya sebagai pacar sepihak itu. Padahal kan, Ziana belum mengatakan,
Ziana tersentak kaget. Matanya yang semula terus berusaha menghindar agar tidak melakukan kontak mata secara langsung dengan Zen, kini di arahkannya kepada wajah pria itu. Pucat, bahkan lebih pucat dari tadi pagi. Sialan, Ziana! Kalau begini ceritanya, bukan Zen yang akan membunuhnya, tapi dirinya yang akan membunuh si tuan muda, karena terus mengulur waktu untul memasakkan makanan untuk pria itu.Lagi pula yang membuat Ziana bingung, kenapa harus menunggu masakannya? Bukankan, tuan muda yang mengaku memiliki keturunan bangsawan berdarah biru itu bisa membeli makanan apa saja untuk dimakannya? Kenapa harus menunggunya. Dan bagaimana jika nanti tuan muda ini meninggal saat tengah bersamanya sekarang? Sudah dapat dipastikan, tersangka utama adalah dirinya. Mati kau Ziana ujar batinnya. Astaga, demi kerang ajaib! Masa depannya sedang dipertaruhkan. Untuk kali ini saja, Ziana harus menahan perasaan takutnya untuk sejenak. Setidaknya, sampai dirinya menyelesaikan
Generalized anxiety disorder (GAD) atau yang sering dikatakan sebagai gangguan kecemasan, ditandai dengan perasaan cemas, khawatir dan rasa takut berlebihan yang akan berlangsung secara konstan terhadap penderitanya.Perasaan itu lah yang seringkali dirasakan oleh seorang gadis muda yang tahun ini baru saja memasuki bangku SMA. Sebuah gangguan kecemasan yang sudah mulai jarang dirasakannya akhir-akhir ini karena terlalu sibuk berdebat dengan Zen, kini terasa meroket naik kepermukaan.Bagaimana tidak, pada saat mereka berada di dalam mobil menuju ke rumah pria itu, tiba-tiba saja ada tiga mobil mewah yang menghadang mereka dari depan. Seakan-akan orang itu tahu, jika mereka akan melewati jalan ini. Dan sialnya… jalan yang sedang mereka lewati kali ini memang tergolong jalan yang cukup sepi untuk ukuran jalan raya di pusat kota.Tubuh Ziana yang berada disamping kemudi mobil Land Range Rover milik Zen, mulai bergetar ketakutan. Perasaan takut dan keringat dingin juga
Tidak pernah terlintas dipikiran Ziana sebelumnya, tuan muda yang selalu bersikap kasar kepada semua orang dan kepadanya ternyata serius menganggapnya sebagai seorang kekasih. Kenapa harus dirinya dari sekian banyak gadis menarik lainnya di SMA Garuda, kenapa tuan muda itu lebih memilihnya?Tapi, dibandingkan dengan kekasih… nampaknya, posisi Ziana lebih mengacu kepada budak. Bagaimana tidak, saat ini Ziana sudah berada di dapur mewah, rumah tuan muda Zen yang terhormat. Untuk apa lagi jika bukan untuk memasakkan menu makan siangnya untuk yang mulia. Karena setelah berpamitan dengan tiga orang sahabatnya di area tawuran tadi, dalam diam… mungkin menahan sakit. Zen langsung mengemudikan mobilnya dengan kecepatang tinggi menuju ke kediamannya. Beruntung mereka sampai dengan selamat sampai ke tujuan.Pada awalnya, Ziana berpikir mereka akan mampir ke supermarker terlebih dahulu untuk membeli bahan makanan. Bukankah biasanya orang kaya jarang memasak dan lebih memilih maka
Dalam diam, Ziana menata makanan yang baru dimasaknya di atas meja. Hanya masakan rumahan sederhana, ayam goreng tepung bumbu, sayur kangkung dengan taburan sosis di atasnya, lalu tahu dan tempe goreng.Ya, hanya ada tiga menu masakan yang bisa Ziana sajikan di depan sang tuan muda itu saat ini. Ziana sengaja tidak memasak makanan yang membutuhkan waktu lama untuk dikerjakan. Terlalu takut Zen akan mati jika tidak segera makan.Masakan yang dibuat Ziana baru saja selesai dihidangkannya di atas meja. Namun, ekspresi Zen yang mengerngit saat makanan itu di letakkan di depannya, membuat Ziana tidak berhenti mengutuk dalam hati. Mungkin untuk orang sekelas Zen, dia belum pernah melihat masakan sejenis ini, entah lah.Tapi, dia tidak peduli, jika si brengsek ini tidak mau memakannya. Jangan salahkan dirinya, panci penggorengan yang masih terdapat minyak panas di dapur tadi akan menghantam mulutnya dengan keras. Karena tenaga dan waktu berharga yang seharusnya dapat digu
Setelah acara termehek-mehek dirumah Zen, sekarang Ziana tiba di depan rumahnya. Jangan lupakan siapa orang yang mengantarnya pulang sampai di depan rumahnya, siapa lagi jika bukan Zen. Sudah ada ratusan kali Ziana minta supaya tidak perlu untuk mengantarnya pulang, tapi bagi Ziana yang memang sudah hapal sifat keras kepala Zen, semuanya menjadi biasa sajabaginya saata Zen bersikeras untuk tetap mengantarny pulang dengan selamat. Walaupun seperti biasa, perjalanan mereka menuju rumah Ziana tidak pernah sepi. Karena ada sa tingkah Ziana atau pun Zen yang membuat mereka akan terus berdebata sepanjang malam.Tidak cukup hanya mengantar Ziana pulang, Zen bahkan mengikutinya masuk ke dalam pekarangan rumahnya yang dihalangi oleh pagar besi yang lumayan tinggi, walau pun tidak setinggi pagar dirumah pria itu.Gelap. Seperti itu lah kondisi rumah Ziana saat ini, padahal jam baru saja menunjukkan pukul delapan malam. Kurang lebih mereka berkendara selama satu jam dari rum
Pagi yang cerah mulai menyinari salah satu kamar bernuansa biru muda dengan sinarnya yang masih mengintip malu-malu disela jendela kamar. Sebuah kamar yang hampir seluruh dindingnya dihiasi dengan berbagai macam pose dari aktor favoritnya. Siapa lagi jika bukan seorang aktor yang tengah naik daun yang berasal dari negeri gajah putih itu… Bright Vachirawit Chiva-aree.Semua sudut kamarnya berisi tentang poster dan marchandise sang aktor. Bermacam pose tampan sang aktor terpampang nyata disekelilingnya, baik itu ketika dirinya ingin tidur setelah lelah beraktivitas atau pun ketika bagun di pagi hari dan akan di sambut langsung oleh senyuman sang idola.Setelah bangun tidur… Ziana sang pemilik kamar akan tersenyum dan menyapanya terlebih dahulu, sebelum kembali fokus pada rutinitasnya menjadi seorang siswi dan menghadapi kebengalan Zen yang terus saja mengganggunya setiap saat.Tapi, sepertinya hari ini rutinitas yang telah dilakukannya selama hampir
“Jeffry… diam kamu!” gertak Pak Budi yang mulai kesal karena semua anak mulai riuh akibat godaan Jeffry kepada salah satu anak berprestasi di SMA Garuda ini.“Ya… elah, pak…”“Diam kamu! Dan kamu Ziana kenapa bisa datang terlambat? Seharusnya sebagai salah satu muriD berprestasi kamu bisa memberikan contoh yang baik kepada teman-teman kamu yang lain, bukan malah bergabung bersama mereka untuk melangar peraturan sekolah,” ujar Pak Budi tegas tanpa memperdulikan Ziana yang sudah mulai bergetar ketakutan.Takut… itu lah yang dirasakannya kini. Tangannya yang kecil terus saja memilin tas yang di sandangnya, sedangkan matanya menunduk ke bawah, tidak berani menatap sang guru. Karena apa yang dikatakan Pak Budi memang benar.Seharusnya dia memberikan contoh yang baik, bukan malah melanggarnya. Bahunya yang sempit juga ikut melemas mendengar kemarahan gurunya itu. Lagi… dia mengec