Suara musik dari lagu milik IU yang berjudul Old Story mengalir dengan lembut di telinganya. Sesekali matanya tertutu, sementara bibir tipisnya ikut menyenandungkan lagu patah hati itu dengan penuh penghayatan, karena makna dari lagunya benar-benar bagus menurutnya.
Sebuah lagu mellow yang menceritakan tentang hancurnya perasaan seorang wanita yang ditinggal oleh prianya. Seorang wanita yang masih mengingat masa lalu yang membuatnya kecewa akan sikap pria yang dicintainya yang sangat egois terhadap hubungan mereka.
Setelah lagu dari IU berakhir, telinganya kembali dimanjakan dengan lagu lain yang tidak kalah sedih yang semakin membuat perasaannya bercampur aduk.
Jika diingat-ingat lagi… kenapa gadis itu, Ziana… memutar lagu sedih ditengah siang bolong di belakang sekolah, dibawah pohon besar yang merupakan tempat favoritnya untuk membaca buku setiap jam istirahat? Padahal dia tidak dalam mode patah hati. Eh… benarkah?
Gadis manis berm
“Zian, lo mau kemana?” pertanyaan dari suara berat dari belakang tubuhnya sukses membuat langkah gadis itu terhenti untuk mencari tahu siapa yang sudah mengganggu perjalanannya. Padahal dia sudah membayangkan pulau kapuk dikamarnya. Menyebalkan, batinya setelah mengetahui siapa dalangnya. Zen! Tapi dia tidak bisa berkata kasar. “Pulang?” “Kok malah balik nanya ke gue?” “Eh… itu… iya aku mau pulang,” “Gue anter,” “Nggak usah,” “Gue anter!” “Eh… ak…” “Zen… bukannya kamu mau nganterin aku pulang, ya? Kenapa sekarang malah nawarin tumpangan ke orang lain, sih?” Perdebatan absurd diantara sang pentolah SMA Garuda dan gadis beasiswa itu terhenti oleh suara yang terdengar cukup asing ditelinga Ziana. Oh… Dia melupakan keberadaan gadis yang bersama Zen tadi pagi sedang berada di samping pria itu sambil menyorotnya angkuh dengan tangannya dilipatkan di atas dada sambil menatapnya dari atas sampai ke bawah dengan tatapan
Tidak ada yang berubah dengan hubungan Zen dan Ziana selama hampir setengah semester di SMA Garuda. Ziana masih lah anak beasiswa yang seringkali terkena serangan panik dan Zen masih seorang berandalan yang tidak pernah patuh akan aturan. Ah… mungkin dirinya melupakan sesuatu. Ada yang perubahan kecil. Kedatangan Aura membuat fokus tuan muda itu tidak lagi padanya, bahkan tidak jarang akhir-akhir ini Ziana lebih santai dalam menjalani kehidupan sekolah tanpa bayang-banyak Zen disekitarnya. Karena pria itu sibuk dengan gadis yang bernama Aur-auran itu. Walaupun Aura sangat cantik,dia tidak akan pernah sudi mengakui ular keket itu jauh lebih menarik daripada dirinya sehingga bisa membuat perhatian Zen tercurah sepenuhnya kepada gadis itu. Sebenarnya ini bukan masalah besar, bukan? Bukankah hak asasi seperti ini yang selalu di inginkannya sejak memasuki gerbang sekolah ini dulu? Bebas tanpa gangguan pria menyebalkan itu. Tapi sekarang apa? Ziana malah sepe
Ziana akhirnya berseru lega saat dilihatnya sosok Jeffry di depannya, bukan lagi anak-anak nakal menyebalkan tadi. Yang walaupun sudah membubarkan diri tetap saja menonton gerak-geriknya. Terutama Zen yang masih setia duduk di tempatnya tanpa berniat menolongnya sama sekali. Jika saja Jeffry tidak menolongnya dengan cepat, bisa saja saat ini tubuhnya sudah menyatu dengan tanah alias pingsan. “Aku… mau ngasih ini sama Zen,” Ziana menunjukkan kotak bekal yang tadi disembunyikannya dibelakang tubuhnya ke depan wajah Jeffry yang membuat pria itu terkekeh gemas. Kenapa juga Ziana memperlihatkan apa yang dibawanya tepat di depan wajahnya. Bahkan hampir menyentuh hidung mancungnya. Dengan sisa kekehan yang masih bertahan di bibirnya, Jeff sedikit menjauhkan kotak bekal imut itu dari hidungnya. Melihat hal itu Ziana dengan cepat menarik kotak itu dan menjauhkannya dari wajah Jeff agar tidak menyakiti pria baik itu nanti. “Maaf,” “Zen ada Ziana nih, ka
Pagi ini cuaca bersinar terang. Nyanyian burung di pagi hari membuat bumi seakan bergembira menyambut sang surya. Namun tidak untuk gadis bermata sipit dengan rambut ikal menggantung itu. Ia tidak terlihat begitu semangat di pagi ini. Alasannya masih berpendar pada laki-laki berandalan yang sudah tidak pernah ditemuinya lagi dua hari belakangan. Ziana memutuskan untuk menjauh dari sisi pria itu. Ia takut kehadirannya dihadapan Zen akan membuat masalah baru yang pastinya hanya akan membuatnya ikut malu. Terlebih setelah kalimat menyakitkan yang pernah terlontar dari bibir merah itu. Ziana ragu ia akan tetap bertahan setelah kata penuh penghinaan itu meluncur dengan bebas. Ia sakit hati. Akan tetapi tidak jauh lebih sakit saat Zen pada akhirnya juga memilih untuk menjauh darinya. Tanpa berniat untuk meminta maaf, apalagi menjelaskan kejadian hari itu. Malahan hari demi hari Zen juga semakin dekat dengan gadis berhidung mancung bernama Aura itu. Zian
Tring... Tring... Tring... Bel sekolah berbunyi nyaring hampir di seluruh pelataran sekolah. Riak gembira juga dirasakannya di dalam kelas yang baru saja isi dengan pelajaran matematika. Sebuah mata pelajaran yang terkadang membuat banyak murid sakit kepala dan membencinya. Begitupun dengan Ziana hari ini. Karena biasanya, ia akan bersemangat untuk menyambut mata pelajaran hitung-hitungan itu. Namun kali ini ia tidak begitu aktif dalam jalannya proses belajar mengajar itu. Bahkan gurunya Bu Rani pun terlihat heran melihatnya yang tidak seperti biasanya. Tapi Ziana tidak mau ambil pusing. Bayang-bayang tentang ucapan Zen sebelum melepaskannya tadi pagi masih terngiang di telinganya sampai saat ini. Dan itu artinya... Ia akan kembali berurusan dengan pria itu. Mau bagaimana lagi. Zen memiliki kuasa dan hak untuk melakukannya. Karena pria itu pasti merasa dirugikan a
"Lo udah makan?" Zen bertanya disela-sela kunyahan-nya. Ziana yang sejak tadi fokus menyuapkan Zen makan pun mau tak mau sedikit terlonjak kaget ketika mendapatkan pernyataan yang terkesan tiba-tiba itu. "Gue bertanya, Zian— lo udah makan?" tanya Zen sekali lagi. Kesal juga dengan tingkah Ziana yang terlihat takut-takut saat mata mereka bertatapan. "B—belum." "Kenapa?" balas Zen tajam. "Karena makananku kan kamu ambil—" "Hei! Kau menyalahkanku?" ujar Zen melotot tidak terima ketika disalahkan Ziana. Ya... Walaupun itu merupakan kebenaran tentu saja ia tidak akan mau mengakuinya. Lagipula bukan salahnya, seharusnya gadis itu paham jika status-nya masih lah pembantu Zen. Dan harus menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk makanan. Salah sendiri hanya membawa satu bekal. "Bu—bukan begitu Zen. A—aku tidak menyalakanmu
Hosh...Hosh...Hosh..."Zen tunggu, astaga tuan muda satu itu!" Ziana terus menggerutu sepanjang langkah kakinya mengikuti Zen. Bukan apa-apa langkah kaki panjang Zen dan sahabat-sahabatnya terlalu cepat untuk gadis yang memiliki kaki pendek dan minimalis seperti dirinya.Tapi— apakah Zen peduli? Jawabannya sudah pasti tidak. Pria itu terus mengabaikannya dan hanya berteriak untuk lebih cepat lagi. Karena setalah menunggu Ziana tepat di depan kelas tadi, Zen langsung memberikan tas sekolah untuk dibawakan olehnya. Sama seperti yang sering ia lakukan sebelumnya."Ck... Lamban sekali. Dasar pendek!" dengus Zen ketika akhirnya Ziana berhasil menyamai langkah kaki pria itu. Itu pun karena Zen dan kawanannya sudah terlebih dahulu berhenti di parkiran khusus mobil-mobil mewah. Lebih tepatnya di depan mobil si tuan muda.&nbs
"Kenapa wajah lo kusut terus dari tadi? Kurang disetrika, eh?" decih Zen sebal. Bagaimana tidak, gadis yang ada disampingnya ini terus saja menampilkan wajahnya yang ditekuk sejak ia memaksa untuk pergi bersamanya ke sekolah. Salahnya dimana coba? Bukankah seharusnya Ziana senang diantar jemput olehnya? Heran. Di saat hampir semua gadis disekolah ini ingin sekali berdekatan dengan dirinya, Ziana malah seolah-olah menjaga jarak darinya. Dasar aneh dengus Zen dalam hati. "Bukan urusan lo!" balas Ziana acuh tak acuh. "Hei! Nggak sopan ya, Zian— make lo-gue sama pacar sendiri!" "Pacar? Sejak kapan kita pacaran? Seperti yang pernah kamu bilang hari itu— we are nothing!" tekan Ziana. Ia berusaha menggali kenangan menyakitkan itu lagi. Ia menghela napasnya dalam-dalam menahan sesak yang mulai berdatangan. Ck... Ziana benci menjadi lemah seperti ini. Apalagi itu hanya karen