Tidak ada yang berubah dengan hubungan Zen dan Ziana selama hampir setengah semester di SMA Garuda. Ziana masih lah anak beasiswa yang seringkali terkena serangan panik dan Zen masih seorang berandalan yang tidak pernah patuh akan aturan.
Ah… mungkin dirinya melupakan sesuatu. Ada yang perubahan kecil. Kedatangan Aura membuat fokus tuan muda itu tidak lagi padanya, bahkan tidak jarang akhir-akhir ini Ziana lebih santai dalam menjalani kehidupan sekolah tanpa bayang-banyak Zen disekitarnya. Karena pria itu sibuk dengan gadis yang bernama Aur-auran itu. Walaupun Aura sangat cantik,dia tidak akan pernah sudi mengakui ular keket itu jauh lebih menarik daripada dirinya sehingga bisa membuat perhatian Zen tercurah sepenuhnya kepada gadis itu.
Sebenarnya ini bukan masalah besar, bukan? Bukankah hak asasi seperti ini yang selalu di inginkannya sejak memasuki gerbang sekolah ini dulu? Bebas tanpa gangguan pria menyebalkan itu.
Tapi sekarang apa? Ziana malah sepe
Enjoy guys... hope you like it...
Ziana akhirnya berseru lega saat dilihatnya sosok Jeffry di depannya, bukan lagi anak-anak nakal menyebalkan tadi. Yang walaupun sudah membubarkan diri tetap saja menonton gerak-geriknya. Terutama Zen yang masih setia duduk di tempatnya tanpa berniat menolongnya sama sekali. Jika saja Jeffry tidak menolongnya dengan cepat, bisa saja saat ini tubuhnya sudah menyatu dengan tanah alias pingsan. “Aku… mau ngasih ini sama Zen,” Ziana menunjukkan kotak bekal yang tadi disembunyikannya dibelakang tubuhnya ke depan wajah Jeffry yang membuat pria itu terkekeh gemas. Kenapa juga Ziana memperlihatkan apa yang dibawanya tepat di depan wajahnya. Bahkan hampir menyentuh hidung mancungnya. Dengan sisa kekehan yang masih bertahan di bibirnya, Jeff sedikit menjauhkan kotak bekal imut itu dari hidungnya. Melihat hal itu Ziana dengan cepat menarik kotak itu dan menjauhkannya dari wajah Jeff agar tidak menyakiti pria baik itu nanti. “Maaf,” “Zen ada Ziana nih, ka
Pagi ini cuaca bersinar terang. Nyanyian burung di pagi hari membuat bumi seakan bergembira menyambut sang surya. Namun tidak untuk gadis bermata sipit dengan rambut ikal menggantung itu. Ia tidak terlihat begitu semangat di pagi ini. Alasannya masih berpendar pada laki-laki berandalan yang sudah tidak pernah ditemuinya lagi dua hari belakangan. Ziana memutuskan untuk menjauh dari sisi pria itu. Ia takut kehadirannya dihadapan Zen akan membuat masalah baru yang pastinya hanya akan membuatnya ikut malu. Terlebih setelah kalimat menyakitkan yang pernah terlontar dari bibir merah itu. Ziana ragu ia akan tetap bertahan setelah kata penuh penghinaan itu meluncur dengan bebas. Ia sakit hati. Akan tetapi tidak jauh lebih sakit saat Zen pada akhirnya juga memilih untuk menjauh darinya. Tanpa berniat untuk meminta maaf, apalagi menjelaskan kejadian hari itu. Malahan hari demi hari Zen juga semakin dekat dengan gadis berhidung mancung bernama Aura itu. Zian
Tring... Tring... Tring... Bel sekolah berbunyi nyaring hampir di seluruh pelataran sekolah. Riak gembira juga dirasakannya di dalam kelas yang baru saja isi dengan pelajaran matematika. Sebuah mata pelajaran yang terkadang membuat banyak murid sakit kepala dan membencinya. Begitupun dengan Ziana hari ini. Karena biasanya, ia akan bersemangat untuk menyambut mata pelajaran hitung-hitungan itu. Namun kali ini ia tidak begitu aktif dalam jalannya proses belajar mengajar itu. Bahkan gurunya Bu Rani pun terlihat heran melihatnya yang tidak seperti biasanya. Tapi Ziana tidak mau ambil pusing. Bayang-bayang tentang ucapan Zen sebelum melepaskannya tadi pagi masih terngiang di telinganya sampai saat ini. Dan itu artinya... Ia akan kembali berurusan dengan pria itu. Mau bagaimana lagi. Zen memiliki kuasa dan hak untuk melakukannya. Karena pria itu pasti merasa dirugikan a
"Lo udah makan?" Zen bertanya disela-sela kunyahan-nya. Ziana yang sejak tadi fokus menyuapkan Zen makan pun mau tak mau sedikit terlonjak kaget ketika mendapatkan pernyataan yang terkesan tiba-tiba itu. "Gue bertanya, Zian— lo udah makan?" tanya Zen sekali lagi. Kesal juga dengan tingkah Ziana yang terlihat takut-takut saat mata mereka bertatapan. "B—belum." "Kenapa?" balas Zen tajam. "Karena makananku kan kamu ambil—" "Hei! Kau menyalahkanku?" ujar Zen melotot tidak terima ketika disalahkan Ziana. Ya... Walaupun itu merupakan kebenaran tentu saja ia tidak akan mau mengakuinya. Lagipula bukan salahnya, seharusnya gadis itu paham jika status-nya masih lah pembantu Zen. Dan harus menyiapkan segala kebutuhannya, termasuk makanan. Salah sendiri hanya membawa satu bekal. "Bu—bukan begitu Zen. A—aku tidak menyalakanmu
Hosh...Hosh...Hosh..."Zen tunggu, astaga tuan muda satu itu!" Ziana terus menggerutu sepanjang langkah kakinya mengikuti Zen. Bukan apa-apa langkah kaki panjang Zen dan sahabat-sahabatnya terlalu cepat untuk gadis yang memiliki kaki pendek dan minimalis seperti dirinya.Tapi— apakah Zen peduli? Jawabannya sudah pasti tidak. Pria itu terus mengabaikannya dan hanya berteriak untuk lebih cepat lagi. Karena setalah menunggu Ziana tepat di depan kelas tadi, Zen langsung memberikan tas sekolah untuk dibawakan olehnya. Sama seperti yang sering ia lakukan sebelumnya."Ck... Lamban sekali. Dasar pendek!" dengus Zen ketika akhirnya Ziana berhasil menyamai langkah kaki pria itu. Itu pun karena Zen dan kawanannya sudah terlebih dahulu berhenti di parkiran khusus mobil-mobil mewah. Lebih tepatnya di depan mobil si tuan muda.&nbs
"Kenapa wajah lo kusut terus dari tadi? Kurang disetrika, eh?" decih Zen sebal. Bagaimana tidak, gadis yang ada disampingnya ini terus saja menampilkan wajahnya yang ditekuk sejak ia memaksa untuk pergi bersamanya ke sekolah. Salahnya dimana coba? Bukankah seharusnya Ziana senang diantar jemput olehnya? Heran. Di saat hampir semua gadis disekolah ini ingin sekali berdekatan dengan dirinya, Ziana malah seolah-olah menjaga jarak darinya. Dasar aneh dengus Zen dalam hati. "Bukan urusan lo!" balas Ziana acuh tak acuh. "Hei! Nggak sopan ya, Zian— make lo-gue sama pacar sendiri!" "Pacar? Sejak kapan kita pacaran? Seperti yang pernah kamu bilang hari itu— we are nothing!" tekan Ziana. Ia berusaha menggali kenangan menyakitkan itu lagi. Ia menghela napasnya dalam-dalam menahan sesak yang mulai berdatangan. Ck... Ziana benci menjadi lemah seperti ini. Apalagi itu hanya karen
Hari ini merupakan hari yang paling menyebalkan bagi seorang gadis kecil, bermata sipit dengan rambut ikal yang menggantung indah dipundaknya itu. Ya, gadis itu sedang kesal. Sangat!Rambut berwarna hitam sekelam malam yang dikuncir kuda itu pun terus bergoyang ke sana kemari mengikuti ritme yang dibuat oleh tuannya.Karena Ziana, sang pemilik tubuh mungil tersebut terus mondar-mandir tidak jelas di dalam kelasnya yang kini sudah mulai ramai, karena sebentar lagi bel akan berbunyi dengan nyaring seantero sekolah.Ziana terus berdecak sebal. Bahkan lesung pipi yang biasa menghiasi wajah manisnya, belum terlihat sejak tadi. Gadis yang tengah menempuh jenjang pendidikan di kelas X1. MIPA1 di SMA Garuda itu terus menggerutu. Bahkan sejak dirinya bangun tadi pagi.“Hari Senin lagi. Menjengkelkan!” gerutu Ziana yang entah untuk ke berapa kalinya sejak menginjakkan kaki diparkiran sekolah beberapa menit yang lalu. Hari ini merupakan hari yang selalu ingin Ziana hind
Takdir diciptakan tuhan untuk mengatur alam semesta agar makhluknya sadar akan posisi mereka yang hanya sebagai hamba. Hidup, mati, siang dan malam merupakan takdir yang tidak dapat diubah oleh manusia. Karena sudah menjadi ketentuan mutlak dari sang pencipta.Tidak semua takdir tidak dapat di ubah, ada beberapa takdir yang bisa di ubah olah manusia itu sendiri. Semuanya tergantung sekuat apa usaha seseorang untuk mau mengubah jalan takdirnya menjadi lebih baik.Jika kamu dilahirkan dalam keluarga yang hangat, sesekali tolong lihat mereka yang hidup dalam kedinginan, agar kamu mengerti arti bersyukur. Karena jutaan manusia bahkan lebih, ingin memiliki kehidupan yang sama dengan kamu.Tapi, apakah hal itu berlaku juga untuk Ziana? Seorang gadis yang baru saja melewati usia tujuh belas tahunnya dua dua bulan yang lalu, yang sering mengatakan betapa tidak adilnya tuhan atas hidupnya.Tidak cukup dengan konflik internal di dalam rumahnya, kini dirinya juga memili