Deg' Jantung Alana berdebar kencang dalam sana, gugup sekaligus merasa terancam oleh pesan dari Enda tersebut. Alana segera masuk ke ruangan itu. "Aku tidak mau pindah dari sini, Tuan. Aku sudah berjanji akan mengabdi pada Tuan Lucas seumur hidupku dan akan selalu setia padanya," ucap Alana setelah berada di ruangan itu, membuat Raka menoleh terkejut dan sedikit kesal padanya. Sedangkan Lucas terlihat senang dengan keputusan Alana. "Lihat, Alana saja ingin tetap di sini, Raka. Kau tidak bisa mengambil keputusan sendiri," ucap Lucas dengan nada senang. Alana tersenyum pada Lucas kemudian menatap suaminya. "Tuan Raka, aku rasa kita memang harus tetap tinggal di sini. Ini sudah menjadi rumah kita sejak lama. Kita sama-sama datang kepada Tuan Lucas dengan status sendiri. Anda datang atas rasa kekecewaan pada ayah anda yang memilih Zein sebagai pewaris utama Melviano, dan aku datang dengan kekosongan. Lalu Tuan Lucas menyambutmu dengan hangat, memberikanmu rumah dan semua kasih saya
"Apapun yang Ayah berikan padaku, kamu juga berhak mendapatnya." Alana menggelengkan kepala, merasa tak enak hati mendengar ucapan Zahra. Nyonya-nya terlalu baik padanya. Tidak kah Zahra berpikir sedikit jika bisa saja Alana adalah orang jahat dan licik? "Nyonya, anda berlebihan. Bagaimana jika aku benar-benar orang jahat yang haus kekayaan? Bagaimana jika aku memang mengincar harta keluarga Nyonya? Ba-bagaimana jika aku tidak sebaik yang anda pikirkan? Tolong, jangan terlalu percaya padaku seperti ini. Aku takut kebaikanmu padaku tak bisa kuimbangi dan balas," pinta Alana dengan nada lemah dan lirih. Alana tak akan melakukan apa yang dia tanyakan tadi karena dia memang sangat tulus pada Lucas dan Zahra. Lucas dan Zahra adalah dua sayapnya, juga kekuatannya. Namun, cara Zahra bersikap dan begitu baik padanya membuat Alana takut mengecewakan disuatu saat nanti. Zahra tersenyum lembut, menepuk-nepuk pundak Alana beberapa kali. "Saat kamu menanyakan hal ini saja, aku semakin memp
Alana sudah lama menunggu di ruangan Raka, akan tetapi pria itu tak kunjung kembali. Alana ingin menghubungi namun dia takut itu akan mengganggu suaminya. "Sudah jam tujuh," gumam Alana ketika melihat jam di pergelangan tangan. Dia menghela napas kemudian menyenderkan tubuh di sofa. Alana tak menangis lagi, dia sudah lelah dan matanya terasa sudah kering. Alana mengigit kuku, menatap kotak bekalnya dengan perasaan sakit hati. Mungkin makanan dalam sana sudah basi. Alana merasa bodoh, karena bisa-bisanya berpikir Raka cepat kembali lalu memakan masakan yang dia buat. Pastinya tak akan! Raka sedang marah padanya, jangankan menyentuh makanan ini, mungkin Raka akan melemparnya ke wajah Alana. Bodohnya lagi, Alana sudah sangat lapar. Namun, dia memilih terus menunggu–tak berani menyentuh kotak bekal itu karena dia membuatkannya untuk suaminya. "Aku makan saja," ucap Alana pelan, menarik kotak bekal tersebut lalu membukanya. Senyuman getir muncul, menatap isi dari kotak bekal tersebut.
"Lepas, Tuan." Alana memukul pundak Raka, mendorongnya juga supaya pria itu menjauh darinya. Raka menurut, melepas pelukannya pada Alana. Akan tetapi dia tetap di dekat Alana, sama sekali tak bergeser dari depan istrinya. "Kenapa kau tidak pulang, Alana?" "Aku disuruh untuk menunggu di sini," jawab Alana cepat, memalingkan wajah karena enggan menatap Raka. Raka menghela napas dengan pelan, masih setia bersimpuh di depan Alana yang duduk di sofa. Dia mengulurkan tangan untuk membelai pipi istrinya. Wajah privat Alana membuatnya sangat khawatir. "Kau sudah makan?" tanya Raka, seketika menoleh ke arah belak yang Alana bawa. Dia memeriksa dan hanya berkurang sdikit. Artinya Alana belum makan. "Kenapa kau tidak makan, Alana?" tanya Raka, "kau sedang hamil. Harusnya kau tahu …-" "Maaf!" jawab Alana cepat. "Maaf karena membuatmu khawatir pada calon bayimu," lanjutnya. Raka terdiam, menatap ekspresi datar istrinya dengan mimik wajah rak enak. Dia sangat merasa bersalah pada perem
"Kau melihat Nyonya?" tanya Raka pada salah satu maid yang berada di lantai satu. Maid tersebut menundukkan kepala sebagai rasa hormat. "Saya melihat Nyonya Alana pergi dengan pakaian rapi, Tuan." "Kau tahu kemana Nyonya pergi?" tanya Raka kembali. Maid tersebut menggelengkan kepala."Ck." Raka berdecak kesal, beranjak dari sana dan kembali ke kamar. Raka sangat kesal, pagi-pagi Alana sudah meninggalkannya. Jika perempuan itu marah karena kejadian semalam, seharusnya Alana tak seperti ini. Sikap Alana yang seperti ini sama saja dengan tak menjaga bayi dalam kandungannya. Sungguh, Raka pusing! Semalam dia habis menemani Lucas di rumah sakit, mengurus tuannya yang sedang demam. Parah karena Lucas sudah tua. Kesehatan Lucas menurun karena terus memaksa tubuh tuanya untuk bekerja. Dia baru pulang setelah jam setengah empat. Sejujurnya Raka kasihan harus meninggalkan Alana, dia tak tega setiap kali menemukan istrinya tidur sendirian di atas ranjang. Raka beristirahat sejenak untuk m
"Aku tahu rahasia kotormu, Zahra. Bagaimana jika semisal aku memberitahu Zein, mungkin dia akan meninggalkanmu. Ah, kebetulan Zein ada di luar." Setelah mengatakan itu, si perempuan tersebut tersenyum culas pada Zahra. Dia lalu mengenakan masker untuk menutupi wajah kemudian segera beranjak dari sana. Zahra buru-buru menyelesaikan kegiatannya yang sedang mencuci tangan. Dia berjalan cepat untuk menyusul perempuan tadi. Saat di luar, dia bisa melihat suaminya berbicara dengan perempuan lalu si perempuan buru-buru pergi, terlihat takut dan gemetar secara bersamaan. Zahra menghela napas. "Rahasia kotor? Setahuku aku tak punya rahasia apapun pada Zein," gumam Zahra sembari berjalan mendekat ke arah suaminya. "Sudah?" tanya Zein, di mana dia langsung menggandeng tangan istrinya, membawa Zahra untuk pergi dari sana. Zahra menganggukkan kepala, tersenyum tipis pada suaminya. "Oh iya. Kulihat tadi, kamu mengobrol dengan perempuan. Kalian bicara apa?" "Kau cemburu, Heh?" Zein menaikk
"Tetapi sekarang … Ayah tidak pernah lagi ingin punya anak laki-laki. Ayah sudah punya menantu yang hebat sepertimu. Dengan adanya kau, Ayah bisa merasakan kesempatan punya seorang putra. Meskipun yah … sangat nakal." Lucas terkekeh di akhir kalimat, sedangkan Zein hanya diam. Pria itu menahan diri untuk tak tersenyum akan tetapi pada akhirnya dia tersenyum secara hangat, merasa hangat oleh kekehan ringan Lucas. Begini rasanya akrab dengan ayah? Semoga putranya suatu saat nanti merasakan kehangatan ini juga. "Kau sudah seperti putraku, Nak. Aku tidak memberitahumu karena kau sudah repot oleh kondisi Zahra. Ayah tahu Zahra akhir-akhir ini juga sakit," ucap Lucas dengan nada pelan. "Aku bisa merawat kalian berdua, Ayah." Zein berkata dengan nada serius. Namun, Lucas malah tertawa geli. "Tumben. Tak Pak Tua lagi, Nak?" Zein mendengkus pelan, dia terlihat kesal tetapi ujung-ujungnya tertawa jua. Hingga tak lama, Zahra datang dengan semangkuk sup, buah potong dan segelas air putih. D
Alana kaget dengan sikap kasar suaminya, reflek berdiri–menatap tak percaya pada suaminya dan Enda. "Ka-Kak Raka?" Enda menoleh pada Raka, menatap tak percaya dengan apa yang Raka lakukan padanya. Tangan Enda masih di belakang kepala, mengusapnya dengan pelan dan dengan mata berkaca-kaca. Kepalanya tak sakit sejujurnya. Tetapi hatinya yang sakit dan perih, di tambah ada Alana di sini, Enda semakin malu. "Jangan bertingkah menjijikan di sini. Pergi!" dingin Raka pada Enda. "A-aku menjijikkan?" Enda menunjuk diri sendiri, kaget karena dia disebut menjijikkan oleh Raka. Raka tak mengatakan apa-apa, segera mencekal tangan Enda lalu menarik perempuan itu untuk keluar dari ruangannya. Raka mendorongnya cukup kuat, melayangkan tatapan membunuh pada perempuan tersebut. "Alana istriku, sedangkan kau bukan siapa-siapa. Pahami posisimu!" ketus Raka selanjutnya, segera beranjak dari sana–menutup pintu dengan kuat. Enda yang tersungkur di lantai, buru-buru berdiri sebelum dilihat oleh staf
"Ya, aku bersedia." Agatha menjawab cepat, tiba-tiba saja dia membuka sandal yang ia gunakan kemudian mengangkatnya tinggi. "Bersedia memukul kepalamu dengan ini," ucapnya, kemudian mengayunkan tangan yang memegang sandal tersebut. Bug' Jidan awalnya mengira Agatha hanya mengancam. Ternyata Agatha benar-benar memukulnya dengan sandal tersebut. Jidan melebarkan mata, menatap tak percaya saat sandal tersenyum secara kasar menyapa kepalanya. "Masih tak ingin pergi yah? Oke!" Agatha melepas sandal satu lagi, mengunakan kedua sandal untuk memukul Jidan. Pria itu membelalak lebar, menghindari pukulan Agatha lalu buru-buru pergi dari sana. "Sialan kamu!" jerit Agatha kesal setengah mati pada Jidan. Jidan nyengir ketika akan masuk dalam mobil, mengedipkan mata secara genit ke arah Agatha. "Aku yakin sebentar lagi kamu akan jatuh cinta padaku, Agatha. Aku sangat tampan dan soft." Bug' Agatha yang kesal luar biasa, kembali meraih sandalnya lalu melemparnya pada Jidan. Pria terk
"Aku sangat merindukanmu, Tata. Kapan aku boleh pulang, Humm?" ucap Nail dari seberang sana. Sejujurnya mata pria yang katanya sangat kejam tersebut terlihat memerah dan digenangi bulir kristal, akan tetapi karena dia dan Agatha berbicara lewat ponsel, Agatha tak kentara jelas melihatnya. Nail sangat merindukan Agatha. Dia tidak bohong! "Jika Mama dan Papa sudah sembuh, barulah Mon Tresor kembali." Agatha menjawab dengan nada lembut, tak menghilangkan keceriaan di wajahnya. Namun kenyataannya, Agatha rasanya ingin menbagis. Matanya sudah panas dan berair, ingin menangis karena menahan gejolak rindu yang melanda. Percayalah! Ini tidak mudah, akan tetapi mereka harus bertahan. "Keadaan Mama sudah jauh lebih baik," ucap Nail tiba-tiba, tersenyum tipis di bibir, "sebentar lagi kita akan bertemu," lanjutnya. Agatha melebarkan senyuman. "Aaaa … aku tidak sabar. Semangat semangat semangat! Mon Tresor harus semangat merawat Mama dan Papa. Oh iya, bagaimana dengan kondisi Papa?" "Papa su
Tiga tahun kemudian. "Ini adalah hari kematian Kakek, tahun ketiga yang menyedihkan untuk kita semua." Agatha menoleh pada Syakila, tersenyum tipis pada sahabatnya tersebut untuk menyalurkan kekuatan dan cinta. Benar sekali! Ini adalah hari kematian kakek Lucas, tahun ketiga mereka kehilangan semuanya. Tiga bulan setelah Agatha melahirkan, Nail bepergian ke luar negeri. Di sisi lain, Zein, Zahra, Alana dan Raka, juga pergi ke sebuah negara untuk menghadiri acara penting. Nail pergi ke negara berbeda dari orangtuanya, dan dia ke sana untuk kepentingan bisnis. Nail di sana selama sebulan, dan berencana pulang setelah urusannya telah selesai. Namun, niatnya untuk pulang tertunda karena orangtuanya dan kakeknya kecelakaan saat akan kembali ke negara ini. Bukan hanya sekedar kecelakaan, akan tetapi ada campur tangan seseorang yang membenci keluarga Melviano. Tak lain adalah orangtua Soraya, mereka balas dendam karena menghancurkan kehidupan Soraya. Vidio buruk Soraya dengan beberapa p
"Kau sangat cantik." Deg' Agatha mendongak seketika, menatap gugup pada Nail. Pipinya memerah karena mendengar pujian dari suaminya, dan bibirnya menahan untuk tak tersenyum. Namun, ketika melihat raut muka Nail yang lempeng, Agatha memilih kembali menunduk–memanyunkan bibir sembari meremas bagian gaun di atas pangkuannya. Agatha sepertinya hanya salah mendengar. Nail tak lagi memuji dirinya, Agatha hanya salah pendengaran. Mungkin saking inginnya mendapat pujian dari suaminya. Tiba-tiba saja tangan Nail terulur, menyentuh dagu Agatha secara lembut. Dia menaikkan dagu istrinya, membuat Agatha reflek mendongak–menatap tepat ke arah Nail. "Kau sangat cantik, Tata," ucap Nail lembut, menatap berat ke arah Agatha. Sempurna! Wanita ini terlihat begitu cantik di malam hari ini, gaun biru ini sangat indah setelah berada di tubuh Agatha. Kulit Agatha bersinar terang apabila dibawah cahaya, efek dari sparkling yang menempel pada gaun. Istrinya bak Dewi bulan, cantik dan indah! "Kau
"Daddy jika ingin tersenyum, tersenyum saja. Tak ada yang melarang," ucap Sagara dengan nada yang terkesan ketus, mendongak pada daddynya yang duduk bersebelahan dengannya. Sagara tentu iri! Bagaimana bisa monster cap kuku Setan ini bisa sangat menginspirasi mommynya? Kenapa bukan Sagara yang jelas-jelas baik hati, anak yang rajin dan suka membantu orang tua? "Humm." Nail berdehem datar, menatap putranya dengan tatapan lempeng. Namun, setelah itu dia berdecis geli, terkekeh pelan setelahnya sembari mengacak surai di pucuk kepala putranya. "Cih, mommy sangat menggemaskan," ucap Nail, benar-benar salah tingkah. Damage-nya begitu dahsyat, hingga rasanya Nail terus-terusan ingin tersenyum. Sagara menatap berang pada sang daddy, cukup kesal karena rambutnya terus diacak oleh daddynya. Sedangkan Nail, saat papa, paman dan kakeknya menoleh ke arahnya, seketika itu juga dia memasang wajah lempeng–pura-pura tidak merasakan apapun setelah mendapat pujian dari Agatha. Lalu setelah para pria
"Yah, benar sekali. Lukisanku telah dirusak oleh seseorang." Agatha menoleh sinis pada Laila, "sejujurnya aku sempat down karena lukisanku rusak. Bukan masalah tak punya ide, tetapi mengerjakan lukisan itu memakan banyak waktu. Aku senang saat melukis, tetapi tak bisa dipungkiri melukis sangat melelahkan. Setiap kali selesai melukis, pasti aku akan menjadi nenek-nenek. Pinggang sakit, punggung pegal, leher terasa akan patah, kaki kesemutan. Yah, seperti nenek-nenek. Dan … dengan seenaknya seseorang merusak lukisanku. Siapa yang tak marah?" Lagi-lagi para tamu tersenyum mendengar ucapan Agatha. Ah, mereka sangat suka mendengar coleteh perempuan menggemaskan ini. Sangat lucu! "Tapi tenang! Sejatinya kemampuan pelukis itu bukan pada hasil, akan tetapi pada proses dan ide. Itu yang Mama dan Papa katakan padaku." Agatha berucap dengan ceria, dia lalu menoleh pada mamanya kemudian membungkuk hormat, "Mama, Agatha berterimakasih padamu. Lagi-lagi Mama menginspirasiku dan aku semakin meng
"Itu mirip seperti lukisan Agatha." Orang-orang mulai berbisik karena mendengar ucapan salah satu pelukis tersebut. Sedangkan Laila, dia panik dan terlihat gugup. "Jangan asal menuduh. Ini lukisan yang kubuat, hasil pemikiran ku sendiri." Laila memekik, berucap dengan suara kuat supaya orang-orang percaya padanya. Almira maju ke depan, Laila seketika mendekat karena mengira Almira akan menolongnya. Laila bisa masuk ke tempat ini berkat bantuan Almira, dia yakin sekali Almira akan membantunya. Karena jika tidak nama galeri milik Almira, bahkan nama Almira sendiri bisa rusak. "Ya, benar. Lukisan ini memang mirip dengan lukisan Agatha–putriku," ucap Almira lantang, mengejutkan orang-orang karena tak menyangka jika Almira adalah ibu dari Agatha. "Ti-tidak. Aku tidak mungkin plagiat. Aga-- Nyonya Almira membela Agatha karena dia putri anda. Iya kan?" Laila bersikeras tak mengakui perbuatannya. Almira menoleh pada Laila, tersenyum tipis namun penuh isyarat. Almira memberi i
Agatha dengan ragu mengatakan langsung alasan kenapa dia marah pada suaminya. "Aku sangat ingin mangga muda dan aku memintanya pada Mon-- Kuku Setan ini!" Agatha menyolot di akrih kalimat, melotot galak pada suaminya kemudian memukul paha Nail kembali. Mendengar sebutan Agatha pada Nail, orang-orang di sana menahan tawa. Sedangkan Agatha lanjut berbicara, "dia bilang, dia akan mencari mangga muda untukku. Tetapi-- Kuku Setan ini bukan memberiku mangga muda, Kuku Setan ini memberiku jelly berbentuk mangga." "Yang penting mangga," jawab Nail tanpa dosa. Bug' Agatha kembali memukul lengan Nail, dengan sekuat tenaga sehingga suara pukulan terdengar. "Kamu mempermainkanku. Dasar Kuku Setan! Aku benciii! Agrkkk--" Agatha menjerit tertahan sembari menengada ke atas. Kemudian, dia mengigit lengan Nail sekuat mungkin–melampiaskan rasa kesal yang melandanya. Agatha kehilangan kendali, tak peduli lagi jika saat ini mereka dihadapan keluarga besar Melviano. "Nail." Zahra geleng-geleng k
Malam ini Agatha, Nail dan putra mereka berkunjung ke kediaman Melviano, untuk membahas pernikahan Aiden dengan Syakila serta pernikahan Alka dengan Kalisa. "Ck." Agatha berdecak kesal, melepas genggaman tangan Nail kemudian mendorong pundak suaminya agar menjaga jarak darinya. "Jangan dekat-dekat denganku," peringat Agatha dengan nada tegas, melayangkan tatapan tajam dan kesal. Ini masih mengenai mangga muda. Agatha sangat dendam pada Nail karena pria itu-- memberinya permen jelly, bukan mangga muda seperti yang Agatha inginkan. "Tata," peringat Nail, mendekat ke arah Agatha dan berniat merangkul pundak Agatha, akan tetapi Agatha lebih dulu mendorongnya. Nail menatap pundaknya yang didorong oleh Agatha kemudian menatap istrinya datar. "Jangan dekati aku!" pekik Agatha, berucap dengan menekan suara. Setelah itu dia melanjutkan langkah untuk memasuki rumah mertuanya. Akan tetapi langkah Agatha kembali berhenti karena Nail tiba-tiba sudah di sebelahnya dan pria itu merangkul pin