"Lepas, Tuan." Alana memukul pundak Raka, mendorongnya juga supaya pria itu menjauh darinya. Raka menurut, melepas pelukannya pada Alana. Akan tetapi dia tetap di dekat Alana, sama sekali tak bergeser dari depan istrinya. "Kenapa kau tidak pulang, Alana?" "Aku disuruh untuk menunggu di sini," jawab Alana cepat, memalingkan wajah karena enggan menatap Raka. Raka menghela napas dengan pelan, masih setia bersimpuh di depan Alana yang duduk di sofa. Dia mengulurkan tangan untuk membelai pipi istrinya. Wajah privat Alana membuatnya sangat khawatir. "Kau sudah makan?" tanya Raka, seketika menoleh ke arah belak yang Alana bawa. Dia memeriksa dan hanya berkurang sdikit. Artinya Alana belum makan. "Kenapa kau tidak makan, Alana?" tanya Raka, "kau sedang hamil. Harusnya kau tahu …-" "Maaf!" jawab Alana cepat. "Maaf karena membuatmu khawatir pada calon bayimu," lanjutnya. Raka terdiam, menatap ekspresi datar istrinya dengan mimik wajah rak enak. Dia sangat merasa bersalah pada perem
"Kau melihat Nyonya?" tanya Raka pada salah satu maid yang berada di lantai satu. Maid tersebut menundukkan kepala sebagai rasa hormat. "Saya melihat Nyonya Alana pergi dengan pakaian rapi, Tuan." "Kau tahu kemana Nyonya pergi?" tanya Raka kembali. Maid tersebut menggelengkan kepala."Ck." Raka berdecak kesal, beranjak dari sana dan kembali ke kamar. Raka sangat kesal, pagi-pagi Alana sudah meninggalkannya. Jika perempuan itu marah karena kejadian semalam, seharusnya Alana tak seperti ini. Sikap Alana yang seperti ini sama saja dengan tak menjaga bayi dalam kandungannya. Sungguh, Raka pusing! Semalam dia habis menemani Lucas di rumah sakit, mengurus tuannya yang sedang demam. Parah karena Lucas sudah tua. Kesehatan Lucas menurun karena terus memaksa tubuh tuanya untuk bekerja. Dia baru pulang setelah jam setengah empat. Sejujurnya Raka kasihan harus meninggalkan Alana, dia tak tega setiap kali menemukan istrinya tidur sendirian di atas ranjang. Raka beristirahat sejenak untuk m
"Aku tahu rahasia kotormu, Zahra. Bagaimana jika semisal aku memberitahu Zein, mungkin dia akan meninggalkanmu. Ah, kebetulan Zein ada di luar." Setelah mengatakan itu, si perempuan tersebut tersenyum culas pada Zahra. Dia lalu mengenakan masker untuk menutupi wajah kemudian segera beranjak dari sana. Zahra buru-buru menyelesaikan kegiatannya yang sedang mencuci tangan. Dia berjalan cepat untuk menyusul perempuan tadi. Saat di luar, dia bisa melihat suaminya berbicara dengan perempuan lalu si perempuan buru-buru pergi, terlihat takut dan gemetar secara bersamaan. Zahra menghela napas. "Rahasia kotor? Setahuku aku tak punya rahasia apapun pada Zein," gumam Zahra sembari berjalan mendekat ke arah suaminya. "Sudah?" tanya Zein, di mana dia langsung menggandeng tangan istrinya, membawa Zahra untuk pergi dari sana. Zahra menganggukkan kepala, tersenyum tipis pada suaminya. "Oh iya. Kulihat tadi, kamu mengobrol dengan perempuan. Kalian bicara apa?" "Kau cemburu, Heh?" Zein menaikk
"Tetapi sekarang … Ayah tidak pernah lagi ingin punya anak laki-laki. Ayah sudah punya menantu yang hebat sepertimu. Dengan adanya kau, Ayah bisa merasakan kesempatan punya seorang putra. Meskipun yah … sangat nakal." Lucas terkekeh di akhir kalimat, sedangkan Zein hanya diam. Pria itu menahan diri untuk tak tersenyum akan tetapi pada akhirnya dia tersenyum secara hangat, merasa hangat oleh kekehan ringan Lucas. Begini rasanya akrab dengan ayah? Semoga putranya suatu saat nanti merasakan kehangatan ini juga. "Kau sudah seperti putraku, Nak. Aku tidak memberitahumu karena kau sudah repot oleh kondisi Zahra. Ayah tahu Zahra akhir-akhir ini juga sakit," ucap Lucas dengan nada pelan. "Aku bisa merawat kalian berdua, Ayah." Zein berkata dengan nada serius. Namun, Lucas malah tertawa geli. "Tumben. Tak Pak Tua lagi, Nak?" Zein mendengkus pelan, dia terlihat kesal tetapi ujung-ujungnya tertawa jua. Hingga tak lama, Zahra datang dengan semangkuk sup, buah potong dan segelas air putih. D
Alana kaget dengan sikap kasar suaminya, reflek berdiri–menatap tak percaya pada suaminya dan Enda. "Ka-Kak Raka?" Enda menoleh pada Raka, menatap tak percaya dengan apa yang Raka lakukan padanya. Tangan Enda masih di belakang kepala, mengusapnya dengan pelan dan dengan mata berkaca-kaca. Kepalanya tak sakit sejujurnya. Tetapi hatinya yang sakit dan perih, di tambah ada Alana di sini, Enda semakin malu. "Jangan bertingkah menjijikan di sini. Pergi!" dingin Raka pada Enda. "A-aku menjijikkan?" Enda menunjuk diri sendiri, kaget karena dia disebut menjijikkan oleh Raka. Raka tak mengatakan apa-apa, segera mencekal tangan Enda lalu menarik perempuan itu untuk keluar dari ruangannya. Raka mendorongnya cukup kuat, melayangkan tatapan membunuh pada perempuan tersebut. "Alana istriku, sedangkan kau bukan siapa-siapa. Pahami posisimu!" ketus Raka selanjutnya, segera beranjak dari sana–menutup pintu dengan kuat. Enda yang tersungkur di lantai, buru-buru berdiri sebelum dilihat oleh staf
"Mengunjungi suaminya," jawab suara bariton yang terasa dingin dan sinis. Alana menoleh ke arah sumber suara tersebut, begitu juga dengan Morgan. Sedangkan pria yang baru datang itu, dia langsung menyentak pinggang Alana–membuat perempuan itu berakhir merapat dengan tubuhnya. "Oh-oh, Tuan Raka, selamat siang," sapa Morgan, tersenyum kikuk dan kaku pada Raka. Raka tak membalas, membuka pintu ruangannya lalu menyuruh Alana untuk masuk ke dalam. "Masuk." "Aku …-" Alana ingin berbicara, ingin mengatakan jika dia berniat pulang. Namun, dia tahan karena raut Raka muka Raka terlihat galak. "Apalagi yang kau tunggu. Masuk," titah Raka lagi, menatap tajam pada Alana–memperingati perempuan tersebut agar menurut padanya. Alana pada akhirnya masuk kembali ke ruangan Raka, duduk di sofa dengan raut muka bimbang. Ada apa dengan Raka? Wajah pria itu terlihat marah, seolah ingin menelan Alana saat ini juga. Alana jadi khawatir dia telah melakukan kesalahan pada pria itu. Sedangkan Raka, dia m
"Ada masalah, Zahra?" tanya Alana. Saat ini dia sudah pulang--di mana setelah makan bubur dan Raka mengutarakan perasaannya lagi secara brutal, Alana dan pria itu mendadak saling mendiami. Bukan bertengkar! Akan tetapi entah kenapa ada perasaan canggung. Setelah makan bubur kacang hijau, Raka mengantar Alana pulang. Lalu pria itu kembali bekerja. Alana kini bersama dengan Zahra, di mansion kediaman Yudistia. "Hu'um." Zahra berdehem singkat, menunjukkan wajah gelisah. Zahra menoleh ke sana kemari, takut Zein muncul ataupun ayahnya. Setelah memastikan tak ada siapapun di sana, Zahra mencondongkan tubuh ke arah Alana–ingin berbisik untuk berjaga-jaga. "Aku bertemu dengan Deana," bisik Zahra dengan nada lemah dan murung. "Hah? Zahra, kamu tidak apa-apa? Dia-- dia tidak melukaimu kan?" tanya Alana dengan begitu panik. Pantas saja sejak tadi Zahra banyak bengong, ternyata ada yang mengganggu pikiran perempuan ini. Zahra menggelengkan kepala. "Dia tidak melukaiku dan hanya mengatakan
"Aku sudah bersusah payah mengusir Zahra dari tempat ini agar bisa berdua denganmu, lalu kau malah ingin pergi, Heh?! Ini pertama kalinya aku berbohong, demi berdua denganmu!" "Si-siapa yang menyuruh Tuan berbohong?" gugup Alana, melirik sekilas pada pria yang tengah memangkunya tersebut. 'Tuan Raka membohongi Nyonya Zahra supaya Nyonya pergi. Tuan ingin berdua denganku?' batin Alana, menunduk pelan untuk menyembunyikan senyuman tipis di bibirnya. Tiba-tiba saja Raka menangkup pipi Alana kemudian langsung mencium bibir Alana. Bukan sekedar menempel, akan tetapi melumat secara kasar. "Terus saja memanggilku tuan. Karena aku suka memberimu hukuman," ucap Raka setelahnya, membelai lembut sisa pergulatan mereka di bibir Alana. "Tuan," tantang Alana tiba-tiba, di mana ketika Raka berniat akan menciumnya, dia langsung menutup bibir pria itu dengan tangannya. Setelah itu, sebuah tawa pelan muncul dari bibirnya–suaranya yang merdu membuat Raka tersenyum, terpesona oleh tawa tersebut. "Ou