"Mengunjungi suaminya," jawab suara bariton yang terasa dingin dan sinis. Alana menoleh ke arah sumber suara tersebut, begitu juga dengan Morgan. Sedangkan pria yang baru datang itu, dia langsung menyentak pinggang Alana–membuat perempuan itu berakhir merapat dengan tubuhnya. "Oh-oh, Tuan Raka, selamat siang," sapa Morgan, tersenyum kikuk dan kaku pada Raka. Raka tak membalas, membuka pintu ruangannya lalu menyuruh Alana untuk masuk ke dalam. "Masuk." "Aku …-" Alana ingin berbicara, ingin mengatakan jika dia berniat pulang. Namun, dia tahan karena raut Raka muka Raka terlihat galak. "Apalagi yang kau tunggu. Masuk," titah Raka lagi, menatap tajam pada Alana–memperingati perempuan tersebut agar menurut padanya. Alana pada akhirnya masuk kembali ke ruangan Raka, duduk di sofa dengan raut muka bimbang. Ada apa dengan Raka? Wajah pria itu terlihat marah, seolah ingin menelan Alana saat ini juga. Alana jadi khawatir dia telah melakukan kesalahan pada pria itu. Sedangkan Raka, dia m
"Ada masalah, Zahra?" tanya Alana. Saat ini dia sudah pulang--di mana setelah makan bubur dan Raka mengutarakan perasaannya lagi secara brutal, Alana dan pria itu mendadak saling mendiami. Bukan bertengkar! Akan tetapi entah kenapa ada perasaan canggung. Setelah makan bubur kacang hijau, Raka mengantar Alana pulang. Lalu pria itu kembali bekerja. Alana kini bersama dengan Zahra, di mansion kediaman Yudistia. "Hu'um." Zahra berdehem singkat, menunjukkan wajah gelisah. Zahra menoleh ke sana kemari, takut Zein muncul ataupun ayahnya. Setelah memastikan tak ada siapapun di sana, Zahra mencondongkan tubuh ke arah Alana–ingin berbisik untuk berjaga-jaga. "Aku bertemu dengan Deana," bisik Zahra dengan nada lemah dan murung. "Hah? Zahra, kamu tidak apa-apa? Dia-- dia tidak melukaimu kan?" tanya Alana dengan begitu panik. Pantas saja sejak tadi Zahra banyak bengong, ternyata ada yang mengganggu pikiran perempuan ini. Zahra menggelengkan kepala. "Dia tidak melukaiku dan hanya mengatakan
"Aku sudah bersusah payah mengusir Zahra dari tempat ini agar bisa berdua denganmu, lalu kau malah ingin pergi, Heh?! Ini pertama kalinya aku berbohong, demi berdua denganmu!" "Si-siapa yang menyuruh Tuan berbohong?" gugup Alana, melirik sekilas pada pria yang tengah memangkunya tersebut. 'Tuan Raka membohongi Nyonya Zahra supaya Nyonya pergi. Tuan ingin berdua denganku?' batin Alana, menunduk pelan untuk menyembunyikan senyuman tipis di bibirnya. Tiba-tiba saja Raka menangkup pipi Alana kemudian langsung mencium bibir Alana. Bukan sekedar menempel, akan tetapi melumat secara kasar. "Terus saja memanggilku tuan. Karena aku suka memberimu hukuman," ucap Raka setelahnya, membelai lembut sisa pergulatan mereka di bibir Alana. "Tuan," tantang Alana tiba-tiba, di mana ketika Raka berniat akan menciumnya, dia langsung menutup bibir pria itu dengan tangannya. Setelah itu, sebuah tawa pelan muncul dari bibirnya–suaranya yang merdu membuat Raka tersenyum, terpesona oleh tawa tersebut. "Ou
'Semua penuh dengan seni. Nyonya Zahra sekali.' batin Alana, semakin gelisah oleh pikiran sendiri. Bahkan dia tak sadar jika Raka tengah menggendongnya."Ini perpustakaan untukmu." Raka memperlihatkan sebuah ruangan baca yang dilengkapi rak buku yang telah diisi oleh novel serta komik kesukaan istrinya. Ruangan ini khusus untuk Alana, Raka mempersiapkannya dengan begitu telaten. Bahkan setiap novel dan buku lain, ia pilih sendiri–sesuai favorit istrinya. Alana tersentak, langsung menatap posisinya yang berada di gendongan Raka. Matanya menebalkan lebar, ingin protes karena digendong oleh Raka akan tetapi ia mengurungkan niat saat melihat ruangan yang penuh buku. "A-aku boleh turun?" pinta Alana pelan dan ragu. Raka menganggukkan kepala, menurunkan Alana saat itu juga. Setelah turun, Alana langsung menghampiri rak buku, tersenyum lebar dengan mata berseri-seri. Melihat itu, Raka ikut tersenyum–senang melihat istri yang ia cintai bahagia dengan pemberiannya. "Ini ruangan untuk siapa
"Aku yakin ada alasan lain yang membuatmu tak ingin pindah. Katakan." Alana menatap ragu pada Raka, dan entah kenapa jantungnya berdebar kencang secara mendadak. 'Aku tidak ingin pindah karena takut kamu bebas bertemu atau membawa Enda ke kehidupan pernikahan kita.' batin Alana. Dia ingin mengatakan itu akan tetapi sayangnya dia tak berani. "Aku tidak punya alasan selain itu, Raka." Alana mencoba berkata santai, walau dia sangat risau. "Coba kemarikan handphone-mu," pinta Raka tiba-tiba. Alana sangat gugup dan tak berani memberikan HPnya. Akan tetapi jika dia menahan dengan tak memberikan handphone tersebut, Raka pasti akan marah. Pada akhirnya, Alana memberikan HP-nya pada Raka. Setelah mendapatkan ponsel Alana, Raka langsung memeriksa. Dia yakin sekali pasti ada sesuatu yang mempengaruhi Alana sehingga Alana enggan pindah dengannya. "Aku memang tidak ingin pindah karena tak tega meninggalkan Tuan Lucas sendirian. Dia telah memberikan rumah dan kenapa setelah aku mendapatkan r
"Orangnya kamu," ucap Alana, mendongak ke arah Raka yang berdiri di depannya karena pria ini jauh lebih tinggi darinya. Setelah mengatakan itu, wajah Alana memucat. Dia lega akan tetapi juga takut secara bersamaan. Raka terdiam seketika, raut gusar dan marah di wajah langsung lenyap. Dia menatap tak percaya pada Alana, mengerjap beberapa kali kemudian tiba-tiba saja …-Brak'Raka buru-buru beranjak dari sana, menabrak kaki kursi santai dan membuatnya terjatuh. "Ra-Raka …." Alana menghampiri dan berniat membantu. Akan tetapi sebelum dia membantu, Raka lebih dulu berdiri kemudian berlari secepat mungkin dari sana. Alana menatap kepergian Raka dengan mimik muka campur aduk. Dia kaget melihat Raka dan khawatir secara bersamaan. Raka meninggalkannya setelah Raka tahu dialah crush Alana. Kenapa? Apa karena selama ini Raka hanya penasaran siapa crush Alana sehingga setelah dia tahu Raka merasa tak butuh Alana lagi? Tapi-- sempat tadi, Alana melihat wajah suaminya yang memerah. Akibat mara
Orang gila mana yang menyiram tanaman tengah malam? Dan mengenai perasaan … apa pria ini tak ingin membahas lagi? "Humm." Raka berdehem singkat, segera beranjak dari sana. Alana yang bingung harus bagaimana, mengikuti pria itu dari belakang. Raka sangat aneh malam ini. Hari ini suaminya seperti martabak komplit, banyak rasa dan campur. Ketika pagi, Raka marah, siang sedikit manis tetapi masih menjengkelkan, malam dia romantis dan tengah malam-- aneh! "Ini kamarmu." Raka membuka pintu lalu mempersilahkan Alana untuk masuk. "Kamarku? Kita beda kamar yah?" tanya Alana pelan serta hati-hati. Seketika Raka menatapnya tajam. "Kau ingin pisah kamar? Apa arti ungkapanmu tadi-- jika aku adalah crushmu? Hanya pemanis atau penyenang karena kau kasihan padaku?" 'Sekarang dia menjadi sangat sensitif.' batin Alana, mengamati raut muka kesal Raka. "Aku hanya bertanya karena kamu bilang ini kamarku. Kalimatmu membingungkan, Raka." "Ouh, aku yang salah ternyata." Raka bergumam pelan. "Ini kamar
"Bagaimana dia mengenal Nolan dan bagaimana bukti itu bisa ditangan Nolan?" tanya Zahra penasaran. Sekarang dia paham ancaman apa yang diberikan Deana padanya, ini tentang apa yang Nolan lakukan padanya lima tahun yang lalu. Namun, yang tak membuat Zahra paham adalah kenapa Deana mengenal Nolan? Bukankah Nolan diasingkan di keluarga Melviano. Nolan sendiri yang mengaku jika dia gak dikenalkan di keluarga besar Melviano. "Sebelum Nolan menculikmu lima tahun yang lalu, dia lebih dulu menemui Brian untuk membalas dendam padanya. Sejak awal masalah Nolan adalah Brian, dan dia menjadi gila karena dendam dalam dirinya. Dia menemui Brian lalu mengatakan akan menghancurkan cucu kesayangannya, yaitu Zein. Dia akan merebutmu dari Zein lalu melakukan hal keji padamu agar Zein tidak lagi menginginkanmu."Mendengar itu, Zahra meringis dalam hati. "Tetapi Nolan tidak seperti itu, Ayah. Dia punya dendam akan tetapi dia juga punya hati untuk tak melukai seseorang yang tak bersangkutan dengan denda