"Aku yakin ada alasan lain yang membuatmu tak ingin pindah. Katakan." Alana menatap ragu pada Raka, dan entah kenapa jantungnya berdebar kencang secara mendadak. 'Aku tidak ingin pindah karena takut kamu bebas bertemu atau membawa Enda ke kehidupan pernikahan kita.' batin Alana. Dia ingin mengatakan itu akan tetapi sayangnya dia tak berani. "Aku tidak punya alasan selain itu, Raka." Alana mencoba berkata santai, walau dia sangat risau. "Coba kemarikan handphone-mu," pinta Raka tiba-tiba. Alana sangat gugup dan tak berani memberikan HPnya. Akan tetapi jika dia menahan dengan tak memberikan handphone tersebut, Raka pasti akan marah. Pada akhirnya, Alana memberikan HP-nya pada Raka. Setelah mendapatkan ponsel Alana, Raka langsung memeriksa. Dia yakin sekali pasti ada sesuatu yang mempengaruhi Alana sehingga Alana enggan pindah dengannya. "Aku memang tidak ingin pindah karena tak tega meninggalkan Tuan Lucas sendirian. Dia telah memberikan rumah dan kenapa setelah aku mendapatkan r
"Orangnya kamu," ucap Alana, mendongak ke arah Raka yang berdiri di depannya karena pria ini jauh lebih tinggi darinya. Setelah mengatakan itu, wajah Alana memucat. Dia lega akan tetapi juga takut secara bersamaan. Raka terdiam seketika, raut gusar dan marah di wajah langsung lenyap. Dia menatap tak percaya pada Alana, mengerjap beberapa kali kemudian tiba-tiba saja …-Brak'Raka buru-buru beranjak dari sana, menabrak kaki kursi santai dan membuatnya terjatuh. "Ra-Raka …." Alana menghampiri dan berniat membantu. Akan tetapi sebelum dia membantu, Raka lebih dulu berdiri kemudian berlari secepat mungkin dari sana. Alana menatap kepergian Raka dengan mimik muka campur aduk. Dia kaget melihat Raka dan khawatir secara bersamaan. Raka meninggalkannya setelah Raka tahu dialah crush Alana. Kenapa? Apa karena selama ini Raka hanya penasaran siapa crush Alana sehingga setelah dia tahu Raka merasa tak butuh Alana lagi? Tapi-- sempat tadi, Alana melihat wajah suaminya yang memerah. Akibat mara
Orang gila mana yang menyiram tanaman tengah malam? Dan mengenai perasaan … apa pria ini tak ingin membahas lagi? "Humm." Raka berdehem singkat, segera beranjak dari sana. Alana yang bingung harus bagaimana, mengikuti pria itu dari belakang. Raka sangat aneh malam ini. Hari ini suaminya seperti martabak komplit, banyak rasa dan campur. Ketika pagi, Raka marah, siang sedikit manis tetapi masih menjengkelkan, malam dia romantis dan tengah malam-- aneh! "Ini kamarmu." Raka membuka pintu lalu mempersilahkan Alana untuk masuk. "Kamarku? Kita beda kamar yah?" tanya Alana pelan serta hati-hati. Seketika Raka menatapnya tajam. "Kau ingin pisah kamar? Apa arti ungkapanmu tadi-- jika aku adalah crushmu? Hanya pemanis atau penyenang karena kau kasihan padaku?" 'Sekarang dia menjadi sangat sensitif.' batin Alana, mengamati raut muka kesal Raka. "Aku hanya bertanya karena kamu bilang ini kamarku. Kalimatmu membingungkan, Raka." "Ouh, aku yang salah ternyata." Raka bergumam pelan. "Ini kamar
"Bagaimana dia mengenal Nolan dan bagaimana bukti itu bisa ditangan Nolan?" tanya Zahra penasaran. Sekarang dia paham ancaman apa yang diberikan Deana padanya, ini tentang apa yang Nolan lakukan padanya lima tahun yang lalu. Namun, yang tak membuat Zahra paham adalah kenapa Deana mengenal Nolan? Bukankah Nolan diasingkan di keluarga Melviano. Nolan sendiri yang mengaku jika dia gak dikenalkan di keluarga besar Melviano. "Sebelum Nolan menculikmu lima tahun yang lalu, dia lebih dulu menemui Brian untuk membalas dendam padanya. Sejak awal masalah Nolan adalah Brian, dan dia menjadi gila karena dendam dalam dirinya. Dia menemui Brian lalu mengatakan akan menghancurkan cucu kesayangannya, yaitu Zein. Dia akan merebutmu dari Zein lalu melakukan hal keji padamu agar Zein tidak lagi menginginkanmu."Mendengar itu, Zahra meringis dalam hati. "Tetapi Nolan tidak seperti itu, Ayah. Dia punya dendam akan tetapi dia juga punya hati untuk tak melukai seseorang yang tak bersangkutan dengan denda
"Ayah mengkhawatirkanmu, Aurelia." Lucas berkata berat. "Tak ada yang perlu Ayah khawatirkan. Ancaman Deana hanya kacang." Zahra meyakinkan, "Ayah hanya perlu tak terhasut oleh permainannya. Santai saja.""Hah." Lucas menghela napas pelan. Meskipun Zahra sudah meyakinkan dirinya, tetap saja dia khawatir pada putrinya. "Aku pergi dulu, Ayah. Istirahat lah dan tolong jangan terpengaruh oleh Deana. Cukup sekali Ayah diperdaya oleh perempuan licik itu," ucap Zahra. Dia mencium pipi ayahnya kemudian segera beranjak dari sana. Senyumannya mengibar lembut akan tetapi setelah keluar dari kamar sang ayah, senyuman itu langsung redup. Kenyataannya Zahra khawatir! Meskipun tadi dia meyakinkan ayahnya jika Zein tak akan terperdaya oleh rekaman percakapan Nolan dan Brian, tetapi Zahra sejujurnya takut. Zahra masuk ke dalam kamarnya sendiri lalu duduk di sofa sembari melamun. Zahra mengusap perutnya yang mulai buncit, dan perlahan matanya memanas. Ya Tuhan! Zahra semakin panik. 'Zein … apa di
"Aku sudah memperlihatkan rumah kita padamu, apa kau masih tak ingin pindah?" tanya Raka, memasuki kamar dengan buket bunga Edelweis–bunga kesukaan istrinya. Alana yang sedang membaca buku, reflek mendongak pada Raka. Dia cukup kaget karena suaminya baru pulang dan Raka langsung menanyakan perihal rumah padanya. Akan tetapi, dia lebih terkejut saat melihat bunga yang Raka bawa. Apa untuknya? "Ini." Raka memberikan bunga tersebut pada Alana, setelah itu langsung mengacak pucuk kepala istrinya dengan penuh kasih sayang. "Kau semakin cantik. Bunga yang kubawa bahkan langsung layu setelah berhadapan dengan kecantikan mu." Alana menaikan kedua alias, menggembungkan pipi sedikit karena salah tingkah oleh ucapan Raka. Tadi pagi pria ini menawarkan roti sobek diperutnya sekarang … menggombal? Ya Tuhan, jantung Alana tidak kuat. "Bu-bunganya cantik. Tidak layu sama sekali," jawab Alana. "Mengenai rumah, kita harus kembali bicarakan dengan Tuan Lucas, Raka. Dan … aku memang tidak tega menin
"A-aku minta maaf …." Seorang perempuan yang sudah babak belur dengan penuh darah yang keluar dari pipi, memohon terus pada sosok pria mengerikan di hadapannya. "A-- aku hanya ingin kam-kamu sadar, Zein. Zahra tidak pantas untukmu. Ka-karena dia sudah disentuh oleh …-" Plak'Sebelum ucapannya selesai, Zein lebih dulu melayangkan tamparan kuat pada pipi perempuan itu. Deana yang awalnya bertekuk lutut di hadapannya, terhempas kasar pada lantai. "Jaga ucapanmu, Sialan." Zein mengangkat kaki lalu menginjak kepala Deana–tanpa belas kasih sedikitpun. "Wanita yang sedang kau coba rendahkan adalah istri dari seorang Zein Melviano, wanita terhormat," geram Zein, semakin memperkuat tekanan pada kakinya yang menginjak kepala Deana. "Argkkk …." Perempuan itu hanya bisa berteriak dan menjerit, menarik kaki Zein agar menjauh dari kakinya. Pria ini iblis! "Katakan, kau ingin mati seperti apa? Dicincang atau … dimasukkan dalam kandang beruang lapar, Humm?" tanya Zein, menjauhkan kaki dari kepala
'Ka-kamu jahat!' Tut'Rahang Raka mengatup, langsung menjauhkan telepon dari telinga setelah sambungan terputus. Di sisi lain, melihat kemarahan suaminya, Alana berdiri dari ranjang, reflek menatap takut serta gugup. Dia mendengar ucapan Enda karena volume suara yang mungkin kuat. Anak perempuan itu meninggal dunia karena terlambat mendapatkan donor darah. Alana mendadak gelisah, semakin gugup ketika Raka menatapnya–masih dengan raut marah. Apakah Raka akan memarahinya? Karena sejak tadi Enda sudah menghubungi, Alana yang tak cepat menyerahkan HP pada Raka. "Aku …-" Alana bergerak tak nyaman, mencengkeram pinggiran dress tidur yang ia kenakan saat Raka menghampirinya. "Wanita itu sudah gila." Raka tiba-tiba berkata, meletakkan HP kembali ke atas nakas. "Anaknya yang mati, kenapa aku yang disalahkan? Cuih, dia pikir dia siapa?!" geram Raka, duduk pinggir ranjang–masih dengan raut muka marah. 'Ya Tuhan. Kupikir Raka marah padaku karena terlambat memberikan HP-nya. Ternyata dia mar