Alana kaget dengan sikap kasar suaminya, reflek berdiri–menatap tak percaya pada suaminya dan Enda. "Ka-Kak Raka?" Enda menoleh pada Raka, menatap tak percaya dengan apa yang Raka lakukan padanya. Tangan Enda masih di belakang kepala, mengusapnya dengan pelan dan dengan mata berkaca-kaca. Kepalanya tak sakit sejujurnya. Tetapi hatinya yang sakit dan perih, di tambah ada Alana di sini, Enda semakin malu. "Jangan bertingkah menjijikan di sini. Pergi!" dingin Raka pada Enda. "A-aku menjijikkan?" Enda menunjuk diri sendiri, kaget karena dia disebut menjijikkan oleh Raka. Raka tak mengatakan apa-apa, segera mencekal tangan Enda lalu menarik perempuan itu untuk keluar dari ruangannya. Raka mendorongnya cukup kuat, melayangkan tatapan membunuh pada perempuan tersebut. "Alana istriku, sedangkan kau bukan siapa-siapa. Pahami posisimu!" ketus Raka selanjutnya, segera beranjak dari sana–menutup pintu dengan kuat. Enda yang tersungkur di lantai, buru-buru berdiri sebelum dilihat oleh staf
"Mengunjungi suaminya," jawab suara bariton yang terasa dingin dan sinis. Alana menoleh ke arah sumber suara tersebut, begitu juga dengan Morgan. Sedangkan pria yang baru datang itu, dia langsung menyentak pinggang Alana–membuat perempuan itu berakhir merapat dengan tubuhnya. "Oh-oh, Tuan Raka, selamat siang," sapa Morgan, tersenyum kikuk dan kaku pada Raka. Raka tak membalas, membuka pintu ruangannya lalu menyuruh Alana untuk masuk ke dalam. "Masuk." "Aku …-" Alana ingin berbicara, ingin mengatakan jika dia berniat pulang. Namun, dia tahan karena raut Raka muka Raka terlihat galak. "Apalagi yang kau tunggu. Masuk," titah Raka lagi, menatap tajam pada Alana–memperingati perempuan tersebut agar menurut padanya. Alana pada akhirnya masuk kembali ke ruangan Raka, duduk di sofa dengan raut muka bimbang. Ada apa dengan Raka? Wajah pria itu terlihat marah, seolah ingin menelan Alana saat ini juga. Alana jadi khawatir dia telah melakukan kesalahan pada pria itu. Sedangkan Raka, dia m
"Ada masalah, Zahra?" tanya Alana. Saat ini dia sudah pulang--di mana setelah makan bubur dan Raka mengutarakan perasaannya lagi secara brutal, Alana dan pria itu mendadak saling mendiami. Bukan bertengkar! Akan tetapi entah kenapa ada perasaan canggung. Setelah makan bubur kacang hijau, Raka mengantar Alana pulang. Lalu pria itu kembali bekerja. Alana kini bersama dengan Zahra, di mansion kediaman Yudistia. "Hu'um." Zahra berdehem singkat, menunjukkan wajah gelisah. Zahra menoleh ke sana kemari, takut Zein muncul ataupun ayahnya. Setelah memastikan tak ada siapapun di sana, Zahra mencondongkan tubuh ke arah Alana–ingin berbisik untuk berjaga-jaga. "Aku bertemu dengan Deana," bisik Zahra dengan nada lemah dan murung. "Hah? Zahra, kamu tidak apa-apa? Dia-- dia tidak melukaimu kan?" tanya Alana dengan begitu panik. Pantas saja sejak tadi Zahra banyak bengong, ternyata ada yang mengganggu pikiran perempuan ini. Zahra menggelengkan kepala. "Dia tidak melukaiku dan hanya mengatakan
"Aku sudah bersusah payah mengusir Zahra dari tempat ini agar bisa berdua denganmu, lalu kau malah ingin pergi, Heh?! Ini pertama kalinya aku berbohong, demi berdua denganmu!" "Si-siapa yang menyuruh Tuan berbohong?" gugup Alana, melirik sekilas pada pria yang tengah memangkunya tersebut. 'Tuan Raka membohongi Nyonya Zahra supaya Nyonya pergi. Tuan ingin berdua denganku?' batin Alana, menunduk pelan untuk menyembunyikan senyuman tipis di bibirnya. Tiba-tiba saja Raka menangkup pipi Alana kemudian langsung mencium bibir Alana. Bukan sekedar menempel, akan tetapi melumat secara kasar. "Terus saja memanggilku tuan. Karena aku suka memberimu hukuman," ucap Raka setelahnya, membelai lembut sisa pergulatan mereka di bibir Alana. "Tuan," tantang Alana tiba-tiba, di mana ketika Raka berniat akan menciumnya, dia langsung menutup bibir pria itu dengan tangannya. Setelah itu, sebuah tawa pelan muncul dari bibirnya–suaranya yang merdu membuat Raka tersenyum, terpesona oleh tawa tersebut. "Ou
'Semua penuh dengan seni. Nyonya Zahra sekali.' batin Alana, semakin gelisah oleh pikiran sendiri. Bahkan dia tak sadar jika Raka tengah menggendongnya."Ini perpustakaan untukmu." Raka memperlihatkan sebuah ruangan baca yang dilengkapi rak buku yang telah diisi oleh novel serta komik kesukaan istrinya. Ruangan ini khusus untuk Alana, Raka mempersiapkannya dengan begitu telaten. Bahkan setiap novel dan buku lain, ia pilih sendiri–sesuai favorit istrinya. Alana tersentak, langsung menatap posisinya yang berada di gendongan Raka. Matanya menebalkan lebar, ingin protes karena digendong oleh Raka akan tetapi ia mengurungkan niat saat melihat ruangan yang penuh buku. "A-aku boleh turun?" pinta Alana pelan dan ragu. Raka menganggukkan kepala, menurunkan Alana saat itu juga. Setelah turun, Alana langsung menghampiri rak buku, tersenyum lebar dengan mata berseri-seri. Melihat itu, Raka ikut tersenyum–senang melihat istri yang ia cintai bahagia dengan pemberiannya. "Ini ruangan untuk siapa
"Aku yakin ada alasan lain yang membuatmu tak ingin pindah. Katakan." Alana menatap ragu pada Raka, dan entah kenapa jantungnya berdebar kencang secara mendadak. 'Aku tidak ingin pindah karena takut kamu bebas bertemu atau membawa Enda ke kehidupan pernikahan kita.' batin Alana. Dia ingin mengatakan itu akan tetapi sayangnya dia tak berani. "Aku tidak punya alasan selain itu, Raka." Alana mencoba berkata santai, walau dia sangat risau. "Coba kemarikan handphone-mu," pinta Raka tiba-tiba. Alana sangat gugup dan tak berani memberikan HPnya. Akan tetapi jika dia menahan dengan tak memberikan handphone tersebut, Raka pasti akan marah. Pada akhirnya, Alana memberikan HP-nya pada Raka. Setelah mendapatkan ponsel Alana, Raka langsung memeriksa. Dia yakin sekali pasti ada sesuatu yang mempengaruhi Alana sehingga Alana enggan pindah dengannya. "Aku memang tidak ingin pindah karena tak tega meninggalkan Tuan Lucas sendirian. Dia telah memberikan rumah dan kenapa setelah aku mendapatkan r
"Orangnya kamu," ucap Alana, mendongak ke arah Raka yang berdiri di depannya karena pria ini jauh lebih tinggi darinya. Setelah mengatakan itu, wajah Alana memucat. Dia lega akan tetapi juga takut secara bersamaan. Raka terdiam seketika, raut gusar dan marah di wajah langsung lenyap. Dia menatap tak percaya pada Alana, mengerjap beberapa kali kemudian tiba-tiba saja …-Brak'Raka buru-buru beranjak dari sana, menabrak kaki kursi santai dan membuatnya terjatuh. "Ra-Raka …." Alana menghampiri dan berniat membantu. Akan tetapi sebelum dia membantu, Raka lebih dulu berdiri kemudian berlari secepat mungkin dari sana. Alana menatap kepergian Raka dengan mimik muka campur aduk. Dia kaget melihat Raka dan khawatir secara bersamaan. Raka meninggalkannya setelah Raka tahu dialah crush Alana. Kenapa? Apa karena selama ini Raka hanya penasaran siapa crush Alana sehingga setelah dia tahu Raka merasa tak butuh Alana lagi? Tapi-- sempat tadi, Alana melihat wajah suaminya yang memerah. Akibat mara
Orang gila mana yang menyiram tanaman tengah malam? Dan mengenai perasaan … apa pria ini tak ingin membahas lagi? "Humm." Raka berdehem singkat, segera beranjak dari sana. Alana yang bingung harus bagaimana, mengikuti pria itu dari belakang. Raka sangat aneh malam ini. Hari ini suaminya seperti martabak komplit, banyak rasa dan campur. Ketika pagi, Raka marah, siang sedikit manis tetapi masih menjengkelkan, malam dia romantis dan tengah malam-- aneh! "Ini kamarmu." Raka membuka pintu lalu mempersilahkan Alana untuk masuk. "Kamarku? Kita beda kamar yah?" tanya Alana pelan serta hati-hati. Seketika Raka menatapnya tajam. "Kau ingin pisah kamar? Apa arti ungkapanmu tadi-- jika aku adalah crushmu? Hanya pemanis atau penyenang karena kau kasihan padaku?" 'Sekarang dia menjadi sangat sensitif.' batin Alana, mengamati raut muka kesal Raka. "Aku hanya bertanya karena kamu bilang ini kamarku. Kalimatmu membingungkan, Raka." "Ouh, aku yang salah ternyata." Raka bergumam pelan. "Ini kamar
"Bagaimana, Wife? Kau suka?" tanya Marc, menoleh pada istrinya dengan senyuman lembut. Alis Marc menaikkan sebelah, terkekeh pelan melihat reaksi istrinya. Belum apa-apa tetapi Kiana sudah membeku di tempat. Cih, bahkan dia belum mengutarakan cintanya pada sang istri. Kiana mematung di tempat, punggungnya terasa panas tetapi tangannya dingin. Masih dibagian sini tetapi Kiana sudah sangat gugup. Ya Tuhan! Kiana tak percaya jika Marc biasa menyiapkan tempat se indah ini. "Ekhem." Suara deheman tersebut membuat Kiana menoleh pada Marc. Matanya membelalak lebar, tak percaya dan terkejut pada Marc yang sudah bertekuk lutut dihadapannya. Pria itu memegang kotak hitam mewah, di mana ketika dibuka isinya adalah … kosong. "Ko-kosong?" bingung Kiana, gugup dan berdebar tak karuan. Marc mendapat kotak dan ternyata benar, kotak tersebut kosong. Dia berdecak pelan kemudian berdiri. Wajah Marc terlihat kesal, dingin secara bersamaan. "Ti-tidak apa-apa, Kak Marc. Tanpa cincin jug
"MARC!" jerit Disha antara syok dan horor. Akan tetapi yang dia panggil malah terlihat santai. Disha geleng-geleng kepala, sudah menangis karena melihat kejahatan putranya. Disha sangat lega suaminya tak ada di sini akan tetapi dia lupa juga titisan suaminya ada di sini. Marc dan Damon, sama saja! "Penjaga!" Daniel memangil penjaga, kemudian menyuruh mereka untuk membereskan kekacauan yang Marc lakukan, "bawa mayat perempuan ini, buang ketengah hutan. Jangan sampai ada jejak yang tertinggal." "Baik, Tuan." Para penjaga melaksanakan perintah, langsung membawa mayat Sofia dari sana. "Masalah sudah selesai. Dan … Marc, lain kali jangan seperti tadi. Kasihan orang-orang rumah yang tak terbiasa dengan suara tembakan, Nak. Apalagi istrimu," tegur Daniel kemudian pada cucunya. Dia geleng-geleng kepala karena Marc dan Damon sangat persis. Untung daddy dari cucunya tak ada di sini. Karena jika Damon di sini, tentu Damon akan membenarkan tindakan Marc dan bahkan bisa memarahi siapapun
"Bisa saja kamu membuat surat palsu," elak Sofia. "Masalah di rumah Kakek Nenekku, bukannya kamu yang lebih dulu menuduhku yang bukan-bukan?! Kamu menuduhku gembel dan berniat mengacaukan pesta, kamu mengusirku dari rumah Nenek dan Kakekku sendiri. Dan wajar bukan jika aku menyuruh maid di rumah Kakek Nenekku mengawasimu karena … seorang tamu tidak dikenal bisa-bisanya ada di ruang keluarga kami. Padahal ruangan itu area terlarang untuk para tamu. Pertanyaannya, kenapa kamu bisa di sana? Pasti berniat macam-macam bukan?" "Aku bukan pencuri!" marah Sofia, berteriak kesal karena tak tahan dengan tuduhan Kiana. Yang membuatnya semakin kesal adalah semua orang diam dan mendengarkan perkataan Kiana. "Kenapa marah? Aku saja tidak marah saat kamu mengusirku dari rumahku sendiri." Sofia memucat, menggelengkan kepala pada Audi. Dia berharap Audi tak percaya pada perkataan Kiana. "A-aku tidak mengusirnya, Nenek. A-aku bertujuan baik. Saat itu-- dia mengenakan pakaian santai. Sedangkan a
"Kenapa kalian memenjarakan Sofia, Marc?" tanya Audi, menatap Marc dengan ekspresi tak enak kemudian menatap satu persatu anggota keluarga yang lain– yang telah ia suruh berkumpul di kediaman Lucas. Sofia juga ada di sana, sudah ia bebaskan dari penjara. Sofia menghubunginya, mengatakan jika Marc telah memenjarakannya karena kesalah pahaman. "Aku tidak memenjarakannya, Nek," jawab Marc, "dan aku juga tak mungkin memenjarakannya," lanjut Marc, seketika membuat Sofia tersenyum manis–merasa jika Marc memiliki perasaan padanya oleh sebab itu Marc tak ingin menjebloskannya dalam penjara. Audi juga terlihat senang mendengarkan penuturan Marc, ternyata Marc tak ingin menjebloskan Sofia dalam penjara. "Hukuman di penjara terlalu ringan untuk wanita itu. Kejahatan yang dia perbuat sudah sangat banyak," lanjut Marc, seketika membuat senyuman Audi hilang. Begitu juga dengan Sofia yang langsung memucat. "Penjara terlalu enak baginya," tambahnya yang semakin membuat Sofia ketakutan. "Marc
Kiana menatap gambarnya yang salah coret, menganga sedikit lalu menoleh pada suaminya. Pria satu ini! Sangat-sangat tak aman untuk kesehatan jantung Kiana. Hell! Dari tadi, Marc sudah bagus hanya diam dan tak bersuara. Tetapi kenapa dia tiba-tiba mengeluarkan suara? See?! Sekalinya Marc berbicara, gambar Kiana rusak. Bencana! "Jawab." Marc bangkit dari kursi lalu menghampiri Kiana, dia berdiri di belakang istrinya–menatap sejenak pada gambar desain Kiana yang tergores pencil, cukup dalam dan parah. Melihat itu, Marc menarik salah satu sudut bibir ke atas–membentuk sebuah smirk tipis, geli melihat gambar istrinya. Jadi perempuan ini tadi kaget dan salah coret? Cih, menggemaskan. "Kau mencintaiku, Wife?" tanya Marc, membungkuk ke arah Kiana. Satu tangannya memegang sandaran kursi Kiana, satu lagi bertopang pada sisi meja istrinya. Kiana yang sedang menghapus bagian yang salah pada desain, menjadi kikuk lalu berakhir salah hapus. Marc berdecis geli, menarik penghapus dari tangan i
Ceklek' Marc menoleh ke arah pintu, mendapati istrinya di sana. Kiana terlihat kaget, mungkin tak mengira jika Marc telah datang. Kiana masuk dalam kamar, menutupi pintu sembari berjalan menghampiri suaminya. Dia tersenyum manis, senang karena Marc akhirnya kembali. Ada banyak hal yang ingin Kiana ceritakan pada Marc, salah satunya niatan Gebara untuk melamar Kinara–kakaknya. Karena jika Gebara ingin melamar Kinara, pasti mereka akan ke negara Kiana. Itu yang membuat Kiana sangat senang, dia bisa pulang lalu bertemu dengan keluarganya. Tak bisa dipungkiri, Kiana sangat rindu pada keluarganya. "Kak Marc kapan pulang?" tanya Kiana, masih tersenyum manis pada Marc. Pria itu menaikkan sebelah alis, menampilkan raut muka dingin dan tatapan yang cukup mengintimidasi. "Baru saja." Kiana cengar cengir, mendudukkan diri di pinggir ranjang. "Kau sepertinya terlihat sangat senang." Kiana menganggukkan kepala. "Kak Gebara sudah memantapkan niatannya untuk melamar Kak Kinara. Minggu
Sofia! "Untuk apa kamu datang ke sini?" sinis Kiana, menatap Sofia kesal secara terang-terangan. "Tuan meninggalkan laporan penting dan aku datang untuk menjemputnya," ucap Sofia dengan nada angkuh, berniat masuk akan tetapi Kiana dengan cepat mendorong pundaknya. "Jangan menginjakkan kaki kotormu ke dalam kamarku dan Kak Marc." Tak mau kalah, Kiana memperlihatkan keangkuhan yang sesungguhnya pada Sofia, "makhluk rendahan sepertimu bisa mencemari kamar kami," lanjut Kiana. Sofia mengepalkan tangan, menatap begitu marah pada Kiana. "Kiana! Jaga ucapanmu, ini bukan keluarga Melviano! Mungkin di keluargamu, kamu adalah nona muda yang selalu dihormati dan dimanja. Tetapi di sini …-" Kiana langsung memotong, berkata santai dengan bersedekap di dada, "nyonya Lucas. Aku malah naik jabatan di sini. Dari Lady Melviano, menjadi Nyonya Lucas. Iri, Remahan Biskuit?" ejek Kiana di akhir kalimat. Sofia semakin marah mendengar ucapan Kiana. Dia sangat tak terima, apalagi bagian Kiana meny
"A-aku memang kecelakaan, Tante. A-aku bahkan hampir mati." pekik Sofia, menangis dengan air mata yang terus meluruh. Disha menghela napas, tak ingin berdebat lagi dengan perempuan tersebut. "Kalau begitu biarkan Arseno memeriksa kakimu," ucap Disha dengan nada tegas. Sofia memucat, gugup dan terlihat panik. Kakinya tidak sakit ataupun patah. Meski Arseno bukan dokter ortopedi, tetapi dia yakin kalau Arseno akan tahu kebohongannya. Namun, jika dia keukeuh menolak, Disha akan lebih curiga padanya. Disha memanggil beberapa maid untuk membawa Sofia ke dalam, setelah itu dia menyuruh keponakannya untuk memeriksa kaki Sofia. ***Cup' Marc mencium bibir Kiana, melumatnya cukup kasar dan penuh penuntutan. Saat ini mereka sudah dalam kamar, membuat Marc leluasa untuk mencium istrinya. "Ummff--" Kiana memberontak, cukup kaget karena Marc tiba-tiba menciumnya. Dia juga ingin mengatakan sesuatu pada Marc, oleh sebab itu dia berupaya menghentikan Marc. "Kau menolak ciumanku?" ucap Marc, me
Setelah berbicara pada Eliza, Kiana menemui mama mertuanya. Dia tak enak hati melihat sang mama mertua yang sibuk ikut membantu persiapan pesta untuk nanti malam. Karena tidak tahu harus membantu apa, Kiana mendekati mama mertuanya untuk bertanya. Akan tetapi, sang mama mertua malah menyuruh Kiana istirahat–menyuruh Yoona supaya mengantar Kiana ke kamar. Yoona berbeda dengan Eliza, perempuan ini sangat santai dan juga ramah. Yoona memiliki seorang kakak bernama Gerald De Lucas, dan dia ternyata bekerja di DSL. Hanya saja karena Kiana tak memperhatikan dan Gerald tak terlalu menonjol orangnya, Kiana tak tahu jika Gerald adalah sepupu Marc. Suaminya juga punya satu sepupu laki-laki lainnya. Namanya Arseno De Lucas (anak dari Ando dan Aulia) di mana Ando adalah paman tertua Marc. Arseno sendiri memilih berbeda, menjadi seorang dokter bedah yang sudah terkenal keahliannya di negara ini. "Yoona, aku akan membantumu. Katakan apa yang bisa ku lakukan?" ucap Kiana, menolak masuk dalam ka