Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.
Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.
“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.
“Ya.”
Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.
Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.
Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.
“Jam berapa bertemu mereka?” tanyanya.
“Pukul tiga sore Tuan. Masih ada waktu dua jam lagi.”
Sande melirik jam tangannya. Benar saat ini baru pukul satu siang. Dua jam waktunya bisa dia pergunakan untuk bersih-bersih dan mengecek laporan yang belum ia selesaikan.
Mendapat insting pemberontakan dari Yucheng, membuat Sande memilih membagi waktunya untuk mengaatasi dia dahulu.
Urusan internal bisa dia tengok sebentar di sela waktunya. Terlebih besok akan ada asisten pribadinya langsung.
“Besok asisten pribadi Tuan sudah ada. Tuan mau minta dia ke Tiongkok dulu apa langsung menunggu saja ke Moskow?” tanya Genta memulai pembicaraan.
Dia sadar Tuan yang saat ini dihadapi bukan Umbara yang lembut di dalam rumahnya. Sebisa mungkin Genta memilih memulai percakapan saat Sande sedang bersantai seperti saat ini.
“Orang mana? Laki-laki atau perempuan?” tanya Sande tanpa menoleh ke arah Genta.
Pandangannya masih berfokus pada jalanan kota Beijing yang padat. Tiang-tiang besi sudah menjulang tinggi hingga dia bisa menghitung berapa banyak perusahaan yang bergabung dalam satu gedung yang sama.
“Perempuan, namanya Harumi asal negeri sakura.”
Sande tersenyum kecil, “mau KKN?” ujarnya kemudian.
Genta gelagapan sendiri, “maaf Tuan. Saya tidak mengenal dia siapa. Hanya saja dia sesuai dengan kriteria yang Tuan inginkan.”
“Ya, aku hanya bercanda tidak usah dipikirkan.”
Genta bernapas lega. Ini semua murni kebetulan. Dia juga kelupaan kalau Sande sedang emosi perihal korupsi yang menyerang perusahaannya.
Memang mereka berasal dari satu negara yang sama. Meski begitu, Genta sudah melepas kewarganegaraan lamanya dan mengabdi sepenuhnya untuk klan Um-bara. Hanya saja, masalah pelik seperti ini sering terjadi.
Berbedanya warna passport tidak bisa menghilangkan kesipitan matanya, kekuningan kulitnya. Bentuk wajahnya yang terasa sama dengan orang Jepang kebanyakan, menjadikannya tidak bisa lepas dari negeri tempat ia lahir itu.
“Maaf Tuan, jikalau Anda keberatan saya bisa mencari gantinya.”
Sande menggeleng lemah, “tidak perlu. Kita sudah menerimanya. Tidak baik membuat ia merasa dipermainkan seperti ini. Lihat dulu kinerjanya.”
Lagi pula tidak ada alasan bagi Sande memecat gadis itu bukan. Jika Genta telah bilang dia sesuai syarat yang ia ajukan, tak mengapa untuk mempekerjakan gadis itu barang seminggu untuk menilai kualitas dirinya.
Lantaran pembicaraan mengenai asisten barunya, tidak kerasa mereka telah sampai di hotel. Sande turun lebih dulu, mengabaikan Genta yang menyeret dua koper miliknya dan Sande.
Menghadapi gerah yang sempat menerjang kulitnya. Membuat ia langsung menuju kamar mandi.
“Ini luar biasa. Aku harus banyak berlatih di lapangan lagi. Tidak bisa hanya duduk di kantor dan tidak bisa tersengat matahari.”
Sande mendengkus sambil merasakan kucuran air dingin yang mengalir menyentuh kulitnya.
Kulitnya dulu sawo matang khas Jawa yang menurun dari kakeknya. Lama di Moskow yang memiliki empat musim, kelaman kulitnya menjelma lebih terang. Memancarkan pesonanya sendiri. Jika boleh dibilang, Sande lebih suka kulitnya yang dulu saja. Lebih terasa maskulin untuknya serta lebih disegani karena kematangannya di lapangan.
***
Tepat pukul tiga sore, Sande kembali dihubungi Genta untuk segera menuju kantor Yucheng.
Dipadukannya kemeja hitam dengan dasi senada. Luarnya dia mencantelkan jas dan celana hitam yang satu tingkat lebih muda dari sebelumnya. Sande menyadari datang sebagai pengusaha bukan mafia. Akan tetapi dia lebih nyaman memakai yang serba hitam.
Untuk sepatu, dia memakai yang warna serupa dengan kain celananya. Sedikit sentuhan silver yang membuatnya tampak lebih stylish.
Sande menjelma menjadi penguasa muda yang stylish dan terkesan profesional.
“Bagaimana Genta?” tanyanya meminta pendapat perihal fashionnya.
“Bagus Tuan. Anda terlihat sangat profesional sebagai pengusaha muda.”
Cukup lega dengan pendapat Genta, Sande melenggang menuju mobil dan duduk dengan posisi yang sama persis seperti tadi.
Tidak sabar rasanya bertemu dengan orang yang telah membunuh kakeknya.
Meski Sande tahu belum tentu tangan Yucheng langsung yang turun. Dia tetap berkeyakinan, orang itu yang sebenarnya patut dimintai pertanggungjawaban.
“Wah sungguh kehormatan bagi hamba bsia didatangi Tuan Besar Sandekala,” sambut Yucheng dengan menundukkan kepala. Dia berbungkuk sampai badannya membentuk sembilan puluh derajat.
Sande ikut membalas penghormatan untuknya. Dia tahu jika ini hanya simbol penghormatan untuknya. Maka, demi menjaga image diri, tak ragu dia menunduk di depan Yucheng.
“Wah Tuan.”
Yucheng cukup terkejut dengan apa yang dilakukan Sande. Dia menelan ludahnya untuk bisa menjaga kata-kata kedepannya.
“Tidak masalah. Seperti inilah kegiatan ekonomi kami. Bersyukur Tuan Yu mau menerima kehadiran kami semua.”
“Kalau begitu mari kita bicarakan di ruangan saya.”
Mereka berjalan beriringan. Genta masih di belakang Sande. Sebelum benar-benar terlibat obrolan dengan Sande, Yu membalik kepalanya dan mengedip kepada Genta. Tanpa Sande sadari.
“Perusahaan ini saya bangun dari nol Tuan. Alangkah tidak eloknya jika kalian mengambil tanpa permisi kepada pemiliknya.”
“Oh ya?”
Sande mengangkat satu kakinya ke atas meja. Dia tahu ini berlebihan, tapi dia ingin sekali Yucheng tahu posisinya.
“Iya, jadi pemikiran saya tetap tidak berubah Tuan. YuShop tidak akan tergadai, apalagi terjual.”
Sande menatap manik mata yang penuh bara api. Mata Yu berkilat-kilat penuh luka yang tidak bisa Sande pahami.
“Ya, tapi jika dia berada dalam genggaman saya, perusahaanmu bukan hanya berkembang. Ia akan menjadi nomor satu di Tiongkok, Asia, dan yeah ... bahkan dunia.”
“Tidak Tuan. Biarkan dia berkembang begitu alami. Sebagai slogan kami yang selalu melindungi transaksi. Begitu kami melindungi alam konsumen kami.”
“Anda menolak ke sekian kali Tuan Yu. Bukankah itu sangat mempermalukan Bara Corp. Apa anda yakin masih bisa berdiri tegak setelah ini?”
Yu memalingkan sejenak dari pandangan Sande yang mengintimidasi dirinya. Di tatapnya pena yang tertata rapi di cerukan samping mejanya.
“Tuan sedang mengancam saya?” tanyanya begitu lirih.
Pandangan mereka sudah bertemu. Mata elang Sande mengunci pergerakan wajah Yu. Dia mematung dan hanya bisa menelan salivanya lelah.
“Tidak ada ancaman. Orang sepertimu tidak akan pernah mempan pada ancaman, bukan?” Sande tersenyum miring.
“Baiklah Tuan Yu ....” Sande menghela napas pelan, “di distrik barat kota Beijing sedang terjadi transaksi dua pemompa merah.”
Yu terbungkam dengan kedua bola mata yang hampir keluar dari peraduannya.
“Dari mana dia tahu?”
***
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa