“Sande ... Sande ...!”
Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang.
“Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis.
“Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya.
“Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.”
Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sande masih berada di ruang Kakek buyutnya.
“Ah oke. Kau kabari dia secepatnya ya.”
Anuva mengangkat kaki dan singgah di kursi panjang dengan tiang kayu jati yang kokoh. Hampir seluruh perabotan di mansion ini diimpor langsung dari Indonesia. Maka tak heran, banyak sekali ornamen kayu yang terpampang di depan mata.
“Dor ...!”
“Dor ...!”
Dua kali suara tembakan terdengar. Para ajudan yang sedang berdiri di tempat masing-masing mau tak mau menggeser posisinya. Mereka mengangkat senjata masing-masing untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Hah suara tembakan? Apa markas Umbara di serang?”
Anuva yang baru saja mengeluarkan gawainya mendadak panik. Dia segera mengikuti langkah salah satu ajudan yang paling belakang. Rasa takut menghinggapi di seluruh urat nadinya. Tapi kabar Sandekala lebih penting saat ini.
“Dor ...!”
“Genta lock seluruh mansion. Panggil dokter segera. Salah satu dari kalian jaga Kakek.”
Sandekala melompat dari lantai dua mansion. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuhnya. Kakinya gesit menjajak lantai dan berlari keluar. Dia yakin sekali, orang itu menuju ke arah tempatnya berdiri.
“Ada apa Tuan?” Genta yang menuruti perintah Sandekala masih sempatnya bertanya. Kening berkerut terasa begitu sakit ia rasakan. Tuan Mudanya seperti sedang mengejar angin.
“Sial ...!” umpat Sandekala.
“Tuan?” Genta mencoba mendekati sang Tuan muda.
“Untuk apa kau ke sini? Ada yang bunuh kakek dan kalian bersantai?”
Semua orang riuh dalam keterkejutan. Tak terkecuali Genta yang langsung menuju ke lantai dua tempat Tuan besarnya.
“Apa yang terjadi Sande?”
Sandekala melirik Anuva sekilas. Dia tidak berminat menjawab pertanyaan wanita tersebut.
Dalam langkah kacaunya, kakinya terus menyisir setiap sudut mansion. Mencari si pelaku yang dengan sekali tembak bisa menghabisi nyawa sang kakek. Setelah sebelumnya mengeluarkan dua peluru peringatan sebagai pengecoh.
“Sial di mana dia? Kurang ajar!” Sande terus mengumpat. Dia tidak tahu apa yang harus dirinya lakukan. Tenaganya hampir terkuras mencari orang yang dia sendiri tidak tahu siapa.
“Tuan ...!”
Genta menemukannya di loteng atas. Sudah tiga puluh menit lelaki berusia empat puluh tahun itu menyisir mansion. Mencari buyut dari Tuan besarnya.
“Paman Genta.”
Sande tak menoleh, dia hanya memanggil lirih nama pria yang sudah setia dengan kakeknya.
“Tuan besar telah tiada,” ucap Genta begitu menyesal. “Maafkan kami yang lalai menjaga keamanan.”
Genta membungkukkan badannya sembilan puluh derajat. Teramat menyesal dengan apa yang ia ucapkan. Terlebih betapa kesalnya ia telah kecolongan begini.
“Kabari keluarga Indonesia. Kami akan menguburkan Kakek buyut di sana. Jangan katakan apapun alasannya, bilang kakek telah berpulang saja. Pasti Bunda akan histeris jika tahu penyebabnya.”
Genta mengangguk dalam menundukkan kepalanya. Dia tidak punya nyali untuk menatap wajah Sandekala. Apalagi bisa dia rasakan suara pria muda itu bergetar menahan tangis.
“Baik Tuan Muda. Kami akan laksanakan.”
Genta masih menunduk beberapa saat, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Sandekala seorang diri.
***
Bukan hanya berdiam diri di atas, Sande tengah mengaktifkan mode elang di kedua matanya. Loteng yang dia tempati bisa melihat ke bawah dari sisi semua arah. Meski sudah konsentrasi sekali, nyatanya penglihatannya tetap gagal menemukan siapa pelaku yang tanpa ampun menghilangkan nyawa kakeknya.
Sudah satu jam di loteng, Sandekala memutuskan untuk turun. Kakinya menuju kamar utama sang kakek. Begitu lemas dia rasakan di sekujur tubuhnya. Memusatkan matanya tidak mudah, tapi hasilnya nihil. Apa dia kecewa? Ya, Sangat.
Pria tuanya berbaring dalam tenang. Dokter dan tim medis sudah mengeluarkan peluru dan mengotopsi jenazahnya.
“Tuan, ada satu peluru yang bersarang di jantungnya. Itu yang menyebabkan Tuan besar tiada,” ucap dokter Mathew, saat melihat Sandekala.
“Ya dan aku yang bodoh membiarkan peluru sialan itu bersarang di dada kakek.”
Semua orang yang berdiri di ruangan itu menunduk. Mereka begitu kehilangan pemimpin yang selama ini mengayomi mereka. Sebelum masuk ke keluarga Um-Bara mereka adalah anak jalanan yang terlantar. Nasibnya jauh lebih baik saat masuk dan mendapatkan pendidikan dari Kakek Umbara – nama tuan besar mereka. Meski harus mengabdikan seluruh hidupnya untuk sang kakek.
“Jangan begitu Tuan. Bagaimana dengan kami yang berdiri di sepanjang jalan mansion. Kami bahkan tidak tahu ada yang masuk ke dalam rumah. Selain ....”
Genta mengarahkan wajahnya ke Anuva. Sepanjang hari hanya dirinyalah tamu di mansion ini.
“Hah, kau mencurigaiku? Sumpah Sande, aku bahkan tidak memiliki senjata untuk membunuh Kakek. Aku juga turut bersedih—”
“Sisir semua mansion dan periksa seluruh penghuni. Belum tentu orang luar yang melakukannya Paman. Bisa jadi di antara kita ada yang berkhianat.”
Anuva merasa sedih di tak acuhkan oleh Sande. Air matanya terus menetes sepanjang Sande tidak sedikitpun menoleh ke arahnya. Merasa tertuduh di tengah keluarga besar begitu menakutkan untuknya.
“Paman, dia menggunakan teknik teleportasi. Gerakannya sulit dilacak. Menempuh jarak secepat kilat tanpa ada yang menyadari keberadaannya,” sahut Sande tiba-tiba pada Genta.
“Teleportasi? Mana ada di dunia ini teknik begini. Teknik itu telah lenyap puluhan tahun yang lalu Tuan. Saya rasa—”
“Tidak ada yang benar-benar musnah tanpa jejak Paman. Dia menggali jejak dan menyatukan puzzle yang ia temukan. Mudah bukan dengan kemampuan otak yang manusia miliki. Terlebih Tuhan merestui, apa yang tidak mungkin?”
Genta terdiam mendengar penjelasan Sandekala. Tuan mudanya setenang ini dalam menjalani hari berat di hidupnya. Seakan telah bersiap atas kematian kakek buyut yang selama ini membimbingnya.
“Paman tinggalkan kami.”
Secepat kilat Genta memberi kode ke anak buahnya. Tanpa terkecuali mengosongkan kamar tidur Tuan besar bersama buyutnya. Semua menurut, membiarkan Sandekala bersama kakeknya berdua saja.
Kakek Umbara meninggal hanya berdua dengan Sandekala di kamar ini. Barangkali ada yang hendak Sande amati.
Sande mengamati tubuh Umbara yang telah terbujur kaku, suhunya sudah amat dingin. Wajahnya saat meninggalkan dunia ini terlihat begitu damai. Tidak ada raut tegang, bahkan seolah tersenyum. Seakan tahu ajalnya tiba dan dia tidak keberatan mengalaminya.
“Kakek, Sande berjanji akan mencari siapa yang membunuh Kakek. Tidak akan Sande biarkan dia bebas berkeliaran di luar sana. Sementara dia berhasil membuat kita berbeda alam. Percaya sama Sande. Klan Um-Bara akan jauh lebih besar dari ini sebelumnya. Terima kasih atas kepercayaan dan ilmu yang Kakek berikan selama ini. Selamat jalan, sampai bertemu di kehidupan selanjutnya.”
Sande meletakan ujung jemarinya di pelipis. Sikapnya tegap dengan mata yang lurus ke dada Umbara, tepat di letak kehidupan yang telah habis masa berlakunya.
"Teruskan usaha Kakek Sande. Hanya kau satu-satunya harapan Kakek saat ini. Kakek memintamu lewat Ibu-Bapakmu. Jangan sia-siakan. Kaulah penguasa dunia saat ini. Dunia ada pada genggamanmu. Cucu seorang Umbara tidak akan kalah oleh apapun.“
Perkataan kakeknya sebelum terkena tembak berputar di kepalanya. Seperti sebuah pesan jika sang kakek telah mewariskan nama Umbara padanya.
Sande mengusap peluhnya yang terus membanjir. Perjanjian terkutuk antara orang tuanya terus menghantui ingatannya. Apa dia mampu menaklukkan dunia seperti perintah kakeknya? Atau ada hal lain yang lebih menarik perhatiannya, dibanding menjadi seorang mafia.
Terlebih saat ini sang pembimbing telah meninggalkan ia seorang diri. Di usianya yang baru genap sembilan belas tahun dia harus mengemban amanah yang berat.
Setelah menaruh hormat pada jasad Umbara, Sande melanjutkan menyisir ruangan ini. Meski tadi anak buahnya sudah memeriksa dan tidak menemukan kejanggalan, Sande tetap harus melakukannya lagi.
Kursi roda tempat kakeknya duduk masih utuh. Hanya posisinya yang bergeser empat puluh lima derajat dari posisi terakhir kakeknya.
“Siapa yang menggeser kursi ini?” gumamnya. “Sudah kubilang kalau TKP kita harus bersih selain di area musuh. Bedebah!”
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa