“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?”
Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh.
Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi.
“Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya.
“Syuut ....”
Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing.
***
Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan laporan yang tidak wajar selama ini. Hari libur terpaksa mereka gunakan untuk saling menelpon mengabari asisten-asisten.
Presiden titipan yang dipercaya Kakeknya sama saja dengan tukang pukul mansion mereka. Sande pikir seleksinya sudah cukup ketat. Semua lulus dari tes yang kakeknya buat sendiri. Harusnya Sande tidak perlu ragu, tapi cukup terterangkan hari ini.
“Seberapa jauh proses berjalan?” tanyanya.
“30% Tuan,” sahut Genta.
Sande hanya mengangguk paham. Dilipatnya surat kabar yang ada di genggamannya. Dengan sedikit merapikan jas yang ia pakai, Sande mencoba memahami layar monitornya.
“Tuan butuh sesuatu?” Genta terlihat khawatir saat melihat kerutan di wajah Sande.
“Nope, silakan keluar Paman. Aku butuh ketenangan.”
Terang-terangan Sande mengusir Genta yang terdengar menghela napas beratnya. Tidak ada pilihan lain. Dia pergi dengan segudang kekhawatiran yang menyelimuti hati.
Pemberitahuan email di layar membuyarkan lamunannya. Tadi dia asyik bergelung dengan deretan angka yang tidak pernah ia sentuh. Otaknya begitu merasa berat, hingga memutuskan untuk terbengong-bengong.
“Cakrawala Key SDN BHD.”
“Laporan Keuangan.”
Hanya butuh waktu lima menit, Sande membalas email dari perusahaan tersebut. Dia menyatakan ketidakpuasan terhadap laporan yang dilayangkan. Perusahaan asal Malaysia tersebut tidak menyertakan laporan yang diminta Sande.
“Selamat siang Tuan Besar.”
“Hem ...,” sahut Sande malas. Pemimpin Cakrawala terpaksa harus menelpon Tuan besarnya.
“Mohon maaf atas ketidaksopanan saya yang lancang menghubungi Tuan besar.”
“Jika sudah tahu lancang, kenapa tetap kau lakukan?”
Presdir Cakrawala menelan ludahnya yang terasa seperti batu, keras sekali. Sindirian itu memukul telak tungkaknya hingga menyebabkan keheningan beberapa detik.
“Maafkan saya Tuan Besar.”
Sande menghembuskan napas berat, “saya tidak menyangka akan mendapatkan pekerja yang tidak mengerti keinginan Tuannya sendiri.”
Sang presdir menunduk malu. Sungguh dia juga enggan melakukan hal memalukan seperti ini.
“Maaf Tuan, tapi saya ....”
“Kau bekerja untukku, jika keberatan, angkat kaki dari Cakrawala.”
Perkataan Sande lebih mirip perintah dibanding penawaran. Sesaat pria parlente itu didera kebimbangan. Ibarat buah simalakama, maju salah mundur salah. Sebelum melakukan ini, dia lebih dulu mendapat ancaman dari para preman yang mengais rejeki dengan membabat perusahaannya. Dia takut mati, tapi melawan Sande juga dekat dengan liang lahat.
“Baik Tuan, saya akan berusaha mencari tahu celah KKN dalam perusahaan Cakrawala. Sudikah kiranya Tuan menambah waktu bagi kami?”
Sande tahu, di luar sana ada puluhan yang seperti Presdir Cakrawala ini. Berusaha menghubunginya demi tambahan waktu.
“Silakan, aku tunggu besok pagi. Ingat, aku tidak mau negoisasi lagi. Semua laporan harus masuk sebelum pukul empat sore waktu Moskow.”
Si Presdir ingin melompat senang. Dia cukup lega. Paling tidak bisa mengulur waktu mencari cara terbaik versinya.
“Terima kasih Tuan Besar.”
Panggilan telpon terputus. Sande menghela napas berat. Disandarkannya punggung dan kepalanya pada senderan kursi mewahnya. Roda kursi berputar-putar mengiringi pergerakan Sande di atasnya.
“Seberat ini? Kenapa Kakek suka? Bukankah tak enak begini? Enak juga jadi Sarala dan Sendika.”
Sande buru-buru mementung kepalanga dengan pulpen di jarinya. Baru kali ini saja, dan dia mengeluh. Matanya menangkap pigura kakeknya dan menangkupkan kedua telapak tangannya.
“Maafkan Sande Kakek. Sande perlu beradaptasi dengan ini. Sande janji perihal ini akan selesai dengan cepat,” ucapnya lantang.
Tidak peduli kakeknya akan mendengarnya atau tidak di alam sana, yang jelas Sande butuh wajahnya untuk menjadi semangat dalam melangsungkan kehidupan klan Um-Bara.
Dering telpon kembali bekerja. Dia kembali mengangkatnya.
“Wéi, nǐ hǎo.”
Sande melipat keningnya. Suara pria barusan terdengar begitu berat.
“Ahaha ….”
Belum sempat menjawab apapun, si penelpon malah tertawa. Lewat tawanya inilah, Sande tahu siapa yang sedang ia hadapi.
“Qǐngwèn, nǎ wèi?” sahutnya dengan tetap tenang.
“Wǒ shì Liú Yǔchéng, Nǐ zuì hǎo de péngyǒu.”
Tanpa sadar tangan Sande mengepal di atas pahanya. Untuk apa Yucheng sampai menelponnya begini. Terlebih dia mengenalkan diri sebagai teman baik Sande. Cih, mengenal dirinya saja tidak.
“Wǒ bù xǐhuan—”
“️Zhù nǐ yītiānguò dé yúkuài.”
Telpon tertutup begitu saja. Wajah Sande benar-benar merah menahan kesal. Dia tidak terima dipermainkan seperti ini.
“Kurang ajar! Bedebah …!” umpatnya. Dileparnya gagang telpon ke sembarang arah. Kabelnya menggantung yang membuat ritme telpon menjadi selalu sibuk.
“Dia sudah berani mengajak duelku secara terang-terangan.”
Sande memijat pelipisnya. Amat berat dia rasa mengingat pokok internal saja belum beres. Dia harus segera bertindak. Ditariknya napas dengan perlahan dan dikeluarkan. Tombak pimpinan ada pada pundaknya. Sebisa mungkin dia harus utuh dan tidak terpengaruh dengan permainan Yucheng.
***
Mengetahui usia lawannya yang baru saja sembilan belas tahun, tentu ada keuntungan sendiri bagi Yucheng. Membolak-balikan perasaan remaja akhir menjadi sangat menarik untuknya. Untung saat ini, rencananya hampir saja berhasil.
Dalam ruangan yang diisi dua orang, Yucheng menatap mesra pada wanita di pangkuannya.
“Kau lihatkan Sayang, kami berteman.”
Anuva memonyongkan bibirnya. Dia merasa enggan untuk berkomentar apapun. Dia memilih turun dari paha Yu dan duduk di seberangnya.
“Aku hanya sedikit kecewa padanya Yu, tidak benar-benar membencinya.”
Yu hanya tersenyum tipis. Mengabaikan pelototan tajam wanita berambut blonde itu. Perhatiannya fokus pada layar monitor yang bergerak lambat.
“Yu kau dengar aku kan?”
Anuva sedikit cemas dengan perubahan sikap Yu yang ekstrim. Meski hidup dalam lingkaran hitam, Anuva tetap kesulitan membaca ekspresi wajah. Entah ini akan berbahaya atau tidak, dia tidak bisa menilai.
“Kau duduk manis sajalah Va. Aku sedang mengamati sahamku yang terus bergoyang akhir-akhir ini.”
Meski kesal, Anuva tidak banyak bicara lagi. Dia lebih memilih mengeluarkan cat kukunya. Otaknya masih berkelana pada sosok muda yang telah resmi menjadi Tuan besar. Meski kecewa, Anuva tetap mendoakan sahabatnya baik-baik saja dan bisa menjalankan amanah dengan baik.
“Waw sungguh, anak kecil ini mau melawan seorang Yu? Apa tidak akan mengompol nantinya?”
Cat kuku dalam botol 5ml itu tumpah. Warna merah muda beradu dengan bulu karpet yang tebal. Anuva yakin, sesuatu terjadi pada bisnis Yucheng, dan penyebabnya adalah … Sandekala.
Note :
Wéi, nǐ hǎo = Halo
Qǐngwèn, nǎ wèi? = Maaf, ini siapa?
Wǒ shì Liú Yǔchéng, Nǐ zuì hǎo de péngyǒu. = Saya Liú Yǔchéng. Teman baikmu.
Wǒ bù xǐhuan = Saya tidak suka
Zhù nǐ yītiānguò dé yúkuài = Semoga harimu menyenangkan
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa