“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”
“Bisa Tuan besar.”
“Oke, lima belas menit aku tunggu.”
Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.
Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.
Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.
Sande cukup puas dengan pekerjaannya.
“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.
Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.
“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”
Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.
“Letakan di situ,” ujar Sande menunjuk area meja yang kosong, “saya akan periksa nanti. Kamu boleh pergi. Terima kasih.”
Genta menuruti perintah Sande. Dia lantas berbalik dan meninggalkan Tuannya yang asyik sendiri dengan pekerjaannya.
Sepeninggal Genta, Sande mengambil dokumen yang dia minta. Dari situ terpampang jelas beberapa info penting yang ia butuhkan. Terutama soal profil Yu, keluarganya dilucuti di sana.
Hal ini tentu penting bagi Sande. Dia harus mulai waspada terhadap rekan maupun kawannya. Barang kali ada yang menyusup menjadi mata-mata dari Yucheng.
“Tidak ada yang aneh. Hanya saja dia saat ini dekat dengan ... Salvatore. Astaga ....”
Semua akan menjadi jelas saat ini. Lawan yang memukul Sande mendapat kekuatan dari anggota Cosa Nostra. Wajar saja akan semudah ini menyusupi lingkaran Umbara.
Informasi ini didapat dari Hansa— detektif yang bisa dipertanggungjawabkan keabsahan setiap informasi. Tidak mungkin meleset. Dia tahu betul betapa kompetennya orang itu.
“Baiklah Yu, kau memang sedang menabuh genderang perang denganku.”
Pintu diketuk, suara Genta lamat-lamat terdengar. Membuat Sande harus menghentikan gerakan matanya.
“Anuva ingin berbicara dengan Tuan Besar,” ujar Genta mengabarkan.
“Ya, suruh dia masuk.”
Wanita berkaki jenjang dengan heels sepuluh senti masuk. Diedarkannya pandangan ke segala arah. Dia mendesah pelan saat menatap si pusat kendali sedang berkutat dengan dokumen tebal.
“Sande ...,” tegurnya lirih.
Tidak ada sahutan dari yang punya nama. Dengan lancang Anuva duduk tanpa dipersilakan.
“Aku tahu kau kecewa dan menyematkan tuduhan padaku. Percayalah Sande aku juga begitu terpukul atas wafatnya Kakek Umbara. Dia adalah—”
“Cukup Anuva!” interupsi Sande, “kau bisa berbicara yang jauh lebih berbobot lagi jika ingin bertemu denganku.”
Anuva cukup terkejut mendengar bentakan Sande. Sepanjang mengenalnya, baru kali ini mata elang pria itu menyala merah. Terlebih pemandangan itu memang sengaja disuguhkan untuknya.
“Aku hanya ingin membela diri. Aku tidak mau kau sudutkan terus menerus,” sahut Anuva dengan matanya yang mulai berkaca-kaca.
“Tidak sesederhana ini Anuva. Kau bisa pergi dan datang tanpa pernah mengatakan apapun perihal kematian Kakek. Pintu keluar terbuka untukmu.”
Anuva tidak dapat membendung tangisnya lagi. Sahabat kecil yang sering berlatih pembentukan otot dengannya dulu, kini tidak mempercayainya lagi. Dia memejamkan mata tidak sanggup menghadapi amarah Sande yang meletup.
“Kau bisa lanjutkan tangismu di tempat lain Anuva. Jangan harap aku akan bersimpuh menghapus air mata basimu.”
Mata cantik yang terus mengeluarkan air terbuka. Pandangannya nanar melihat wajah Sande yang menunduk hingga tak memperlihatkan jelas ekspresinya.
“Maaf jika aku mengganggu waktumu.”
Anuva bergegas pergi. Tiga langkah sebelum pintu dia memberanikan diri menoleh ke belakang, “Sande ... aku rindu teman kecilku.”
Dia mengucapkan dengan cepat. Tanpa menunggu jawaban Sande, kakinya menubruk pintu dan keluar dari ruangan panas tersebut. Mengabaikan gerakan bibir Sande yang telah separuh terbuka.
Perasaannya murni. Karena itulah dia terluka.
“Dasar perempuan ...!”
***
Laporan demi laporan terus berdatangan pada akun surelnya. Demi menghemat waktu, Sande memilih mana yang urgensi untuk ia teliti.
Tidak ada yang berarti. Semua sama saja. Tidak cukup puas dengan hasilnya, dia meminta Genta mencarikan asisten pribadi untuknya.
“Laki-laki atau perempuan Tuan?” tanya Genta.
“Sedapatnya. Aku tidak pemilih untuk hal yang satu itu. Mereka harus bisa bekerja, bukan mempermasalahkan gender.”
Sande menyesap kaleng sodanya. Di usianya yang masih muda, dia belum berani menenggak minuman beralkohol. Tidak juga penasaran akannya. Baginya ada yang jauh lebih penting dari pada sekedar mabuk. Menjaga kewaspadaan menjadi hal utama yang harus ia lakukan.
“Baik, perintah Anda sudah masuk ke website dunia. Tinggal menunggu pelamar datang.”
“Oke. Oh ya Genta ... menurutmu, dari seratus perusahaan, berapa persen yang berkhianat?”
Genta menekuk keningnya, “saya tidak paham Tuan. Lagi pula, banyak urusan penting di luar sana dari pada hanya sekedar mengurusi perut yang mengambil sedikit jatah harta Tuan. Tuan tidak akan miskin, tenang saja.”
Sande melipat jari-jari tangannya. Kukunya menancap pada daging telapak. Dia begitu geram dengan jawaban Genta.
“Baiklah, aku tidak akan mengurusinya lagi. Tapi jika mereka ketahuan bertindak curang di depanku ....” Sande menggantung kata-katanya. Memilih menatap Genta dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Siap-siap saja, perihal kau ...!” lanjutnya menunjuk tepat di hidung Genta.
Genta refleks mundur beberapa langkah. Debaran jantungnya tidak bisa bohong. Dia takut terhadap Sande.
“Maaf atas kelancaran saya Tuan. Saya hanya berpendapat, jika Tuan rasa itu perlu dilakukan, silakan lanjutkan Tuan. Saya akan mendukung.”
Buru-buru dia meralat perkataannya yang begitu spontan. Seperti menggali kuburnya sendiri, dia lupa dengan siapa kini berhadapan.
Bukan kakek tua yang berjalan saja harus memakai tongkat atau kursi roda, Sande masih muda dengan gejolak yang membara. Sekali dia menemukan fakta yang tidak mengenakan hati, siap-siap jantungnya yang berlubang menjadi santapan Judith.
Sande sudah yakin tidak akan mudah merubah image dirinya dari anak kecil ke Tuan besar. Dia sadar, dan akan melakukannya dengan perlahan tapi pasti.
Berpindah dari Genta yang mulai menyebalkan baginya. Sande menatap lembaran saham yang membuatnya senang.
Saham perusahaan Yucheng terjun bebas kali ini. Matanya menerawang membayangkan wajah Yu yang pasti ketar-ketir. Dia tidak sabar ingin bertemu dengannya.
[Siapkan dirimu Yu, besok pagi aku akan mengunjungi perusahaanmu. Kita lanjutkan tawaran bisnis kakek yang tertunda.]
Sande mengklik enter pada keyboard-nya. Pesan telah terkirim. Dia yakin Yucheng dengan segala keangkuhannya akan ketar-ketir dan berpikir masak-masak sebelum memutuskan bertemu dengannya.
[Ya datanglah ke Tiongkok sini. Aku akan senang hati menyambut Tuan muda yang baru saja menjadi besar ini.]
Balasan dari Yucheng tak berarti apa-apa untuk Sande. Dia bisa membaca niatan mengejek dari pemilihan kata-kata Yu. Tapi, dia memilih tenang.
Waktunya akan habis digunakan untuk menyusun strategi menghadapi Liu Yucheng untuk segera mengambil perusahaan dengan profit menjanjikan itu.
“Ya sambutlah aku dengan harga sahammu yang menyejukkan mata itu.”
***
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa