Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak.
Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun.
“Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikannya yang masih amat muda, tapi sejak kecil sudah dilatih begitu keras.
“Biar saya yang bicara. Sini handuknya.”
Ina menyerahkan handuk yang sejak tadi dipegangnya. Langkahnya memang maju mundur mendekati Sande. Untung saja nyonya besarnya menghampiri dia yang tengah kebingungan.
Shana menata hatinya. Dia amat terpukul melihat anak semata wayang yang tidak bisa menikmati masa muda seperti dua anaknya yang lain. Harusnya kematian Umbara akan menjadi jembatan untuknya menarik Sandekala kembali ke pelukan. Kembali menjadi anak yang manis tanpa memikirkan dunia hitam yang selalu mengiringi langkahnya sekian tahun.
“Kala …,” ucapnya lirih memanggil anaknya. Selimut ia lilitkan pada tubuh putranya yang sudah memucat kedinginan.
“Em, latihannya di dalam yuk. Bunda buatkan coklat panas untuk Kala.”
Sandekala membuka mata. Memandang sosok lembut yang selalu mengalah untuknya. Yang lebih sering ia dapati menangis saat menelpon.
“Maaf Bunda, Sande sedang konsentrasi. Sedikit lagi akan bisa melihat—”
“Kala, kenapa kamu begitu keras kepala Nak? Ikhlaskan Kakek buyutmu. Biarkan dia tenang di alam sana. Ayo masuk.”
Sande mendesah. Jika bukan karena nasihat kakeknya, dia pasti akan membentak Shana karena apa yang ia lakukan telah mengganggu pekerjaannya. Menghambat kemampuan dalam menciptakan konsentrasi murni. Dia ingin sekali mengutuk, tapi nasihat kakeknya selalu terngiang.
“Sande, kamu boleh bengis pada siapa saja, termasuk kakek. Tapi satu orang yang harus selalu kamu hormati. Menundukan kepalamu jika ia sedang marah. Menurunkan nada bicaramu pada sosoknya, kamu akan menjadi anak lelaki sejati jika bersedia melakukannya.”
Sande yang kala itu berusia sepuluh tahun menatap lebar ke arah Umbara.
“Siapa dia Kakek? Apa dia mafia terhebat?”
Umbara menggeleng, “bukan Nak. Dia adalah Ibumu sendiri – Shana.”
Sejak saat itu dia tidak akan membentak sang ibu atau berusaha menyakiti hati Shana. Meski sebenarnya, apa yang dia lakukan selalu menyakiti perasaan wanita itu.
Sande takjub pada Saka yang sedang menikmati coklat panas buatan Shana. Di mata mudanya, seorang lelaki harusnya minum kopi atau alkohol untuk menghangatkan tubuh. Bukan malah coklat yang identik kesukaan anak-anak.
“Kala ….”
“Panggil aku Sande, Ayah,” sungutnya kesal. Dia amat tidak suka dengan penyebutan nama Kala, yang menurutnya kurang maskulin.
“Oke … oke, Sande. Calon Tuan besar pemimpin klan.”
Sande hanya tersenyum tipis. Begitu tipis sampai hampir tidak terlihat.
“Menurut Genta, Kakekmu sedang mengambil alih perusahaan market place terbesar di Tiongkok … kapan kau ke sana—”
“Apa …!”
Gelas berisi coklat panas yang baru saja dia genggam terlepas begitu saja. Airnya tumpah berceceran ke mana-mana termasuk ke kakinya. Meski merasakan panas dari air coklat, Sande sama sekali tidak mengeluh.
“Kenapa Nak?” Saka panik sendiri. Dia tidak paham apa yang membuat anaknya sampai terkejut begitu.
“Kala kakimu melepuh Nak.”
Shana yang berada di dapur kembali saat melihat teriakan dari meja makan. Terlebih kaki Sandekala yang terus dihinggapi uap.
“Sini kan kakimu. Bunda obati.”
Sande justru menjauh dari Shana. Dia masih bisa berlari meski kakinya sedang tidak baik-baik saja.
“Genta …!” panggilnya saat nada sambung telah terhubung.
[Ada apa Tuan Muda menghubungi saya, ada yang bisa saya bantu?]
Dalam situasi yang cukup panik, Sande acap kali mengabaikan sapaan kepada orang yang lebih tua. Seperti kali ini, dia memanggil nama begitu saja pada ajudannya.
“Laporkan padaku aktifitas kakek seminggu terakhir. Terutama masalah akusisi perusahan Tiongkok.”
Genta tidak menyahut, dia cukup hening beberapa detik. Dirinya seperti sedang berpikir sesuatu.
“Kau keberatan Genta?”
[Maaf Tuan, tapi tuan besar melarang saya untuk—]
“Kau lupa, saat ini saya Tuan besarmu.”
Sande memotong ucapan Genta begitu saja. Ini bukan soal gila hormat atau bahkan tidak sopan, ini lebih dari sekedar itu. Tuan besarnya telah tiada berganti dirinya, itu tandanya, saat ini Sande juga berhak tahu aktifitas apa yang menyertai Umbara belakangan ini.
[Maafkan saya Tuan muda. Baik saya akan kirimkan.]
Sande menutup telpon, melempar sembarang benda pipih tersebut. Jemarinya sibuk memeriksa email yang baru saja dikirimkan Genta padanya. Sebuah jadwal sang kakek satu minggu ke belakang. Sande bisa melihat betapa sibuknya sang kakek bekerja selama ini.
Setelah diperiksa, hanya ada satu nama yang begitu sering kakaknya temui, Liu Yuchen.
“Ini Presdir YuShop. Saat ini kakek sedang berusaha mengambil alih usahanya. Perusahaannya baru berjalan lima tahun. Tetapi omset yang dihasilkan begitu fantastis. Astaga, pantas saja kakek begitu berambisi.”
Sande mendengkus sebal. Kakeknya sering sekali mengambil perusahaan yang sedang berkembang dari pada memilih yang hampir kolaps. Pantas saja musuhnya di mana-mana. Nama Yuchen masuk dalam hitungan Sande.
Kursor laptop dia gerakan untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentang pria satu ini. Berapa harta kekayaannya yang paling penting. Ini paling penting, mengingat pembunuh kakek begitu handal dalam menjalankan misinya. Tentu, harga yang ditawarkan tidak main-main.
“Dia belum beristri tapi sudah kaya. Usianya baru tiga puluh satu tahun. Lima tahun lalu baru merintis bisnisnya. Pemuda yang tangguh. Pasti tidak mudah melepaskan apa yang ia bangun sejak awal. Kakek Umbara tidak pernah paham, betapa gejolaknya jiwa kaula muda. Astaga, jika dia pelakunya aku harus menghadapi pria dua ratus juta dollar.”
Sande menggelengkan kepala. Mendadak urat lehernya pegal membaca biodata singkat calon musuh kakek. Bola matanya mulai memanas. Menjalar ke celah jemarinya. Dia menggenggam erat tangan yang menganggur tak memegang apapun. Tekadnya telah bulat. Ia akan menghadapi musuh kakek yang bagai buih di lautan. Tidak peduli kolongmerat itu memiliki harta berapa pun.
“Kecil San. Itu hanya seperempat harta kakek yang diwariskan padamu. Kau bukan hanya mewarisi nama belakang, tapi seluruh hartanya. Itu berarti tanggung jawab dan dendam musuh juga ada pada pundakmu.”
Sandekala berdiri. Dia memegang pundaknya yang jauh lebih berotot dibanding anak seusianya. Dadanya tegap dengan punggung yang kokoh. Matanya menyalakan api perang yang siap ia aktifkan kapan saja. Tangannya menggenggam sebagai remote kontrol atas sikapnya yang tidak harus mengikuti laju air. Dia bisa menggerakkan kemana emosinya harus meluap. Tidak perlu menunggu hujan deras, dia bisa saja membanjiri kota.
“Halo Genta, selepas tujuh hari kakek tiada, cepat nobatkan aku pada jabatan Tuan besar. Ada urusan yang harus diselesaikan secepatnya. Tidak bisa ditunda lagi. Bilang ke markas pusat untuk selalu waspada.”
----
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa