Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara.
Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya.
“Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan.
“Simpan ucapanmu Jhony, semua sudah berlalu. Tidak ada gunanya berbelasungkawa lagi. Kita lakukan adaptasi cepat. Markas akan roboh jika kita tidak bergerak.”
Jhony dan semua orang yang ada di sana cukup tersentak dengan ucapan berani dari seorang bocah berusia sembilan belas tahun. Garis rahang yang tegas menunjukan kematangannya berucap. Sorot mata yang dalam menandakan luka sekaligus penawar yang cukup tegas. Tidak ada lagi rupa Sandekala cengeng masa kanak-kanak.
“Maafkan saya Tuan Muda, tentu saja kita semua sudah cepat beradaptasi dengan kehilangan sosok pemimpin di antara kami,” ujar Jhony sambil terus menunduk.
“Genta ...!”
Genta yang berdiri di belakang Sande maju beberapa langkah ke depan. “Iya Tuan.”
“Sudah siap dengan apa yang aku inginkan?”
Genta menyahut dengan ekor mata yang melirik ke sekeliling, “sudah Tuan. Apa mau sekarang?”
“Ya, kapan lagi menurutmu yang tepat?”
Genta menarik napas dengan pelan. Begitu pelan hingga dia rasa tidak disadari Tuan mudanya. Pertanyaan Sandekala begitu menjebak dirinya. Jika bilang sekarang, semua orang tahu mereka baru saja tiba. Namun bila ditunda, itu bukan yang diharapkan Sande.
“Sekarang tentu tepat. Tapi jika Tuan Muda perlu istirahat—”
“Lakukan sekarang ...!”
Genta hanya bisa mengangguk. Riuh dari bibir yang hadir cukup menambah gerogi di hatinya. Dia cukup tahu Sandekala. Bahkan saat anak itu baru diboyong, ambisinya terlalu kuat untuk dipatahkan. Cukup sadar diri, Genta melangkah diikuti anak buahnya.
Upacara pengangkatan Tuan Besar dimulai ....
***
Jika membayangkan upacara yang dihadiri pena untuk mencoret kertas, microphone pidato Tuan baru, serta diakhiri tepuk tangan meriah dari para hadirin. Itu semua tidak berlaku bagi klan Um-Bara.
Tidak bisa dipastikan kapan tepatnya. Pergantian Tuan besar telah disepakati dengan cara yang tidak wajar.
Satu ekor raja hutan yang diambil langsung dari habitatnya di Afrika, dikeluarkan dari kandang. Sengaja dia tidak diberi makan satu Minggu. Bisa dibayangkan betapa laparnya ia saat ini.
Lepas dari kandang, dia masuk ke dalam akuarium raksasa tanpa air dengan luas lima kali lima meter. Gaungannya melengking tingggi. Siap menerkam apa saja yang ada di dalam box kaca tersebut.
“Hai, Judith ...!” sapa Sande yang mulai melangkah ke dalam aquarium.
Bibir tipisnya menyeringai menatap remeh Judith—singa jantan yang tampak menyeramkan. Sande memompa detak jantungnya untuk tenang. Bukan hal yang mudah berhadapan satu lawan satu dengan kucing raksasa yang begitu liar.
“Tuan yakin?” sahut Genta yang masih belum juga menutup pintu kaca. “Jika Tuan ragu, kami bisa menghapus peraturan konyol ini. Biar bagaimanapun, Tuan satu-satunya penerus Tuan Besar Umbara.”
Sande memutar tubuhnya. Kakinya berjalan mendekat ke pintu. Ada napas lega di hati Genta. Bisa jadi Sande lebih memilih mundur dari pada harus berisiko mati atau paling tidak cacat menghadapi makhluk lapar di dalam sana. Tangan Sande mendekat ke handel. Mengaitkan kunci geser yang masih berada di laju kiri.
“Seer ...!”
Pintu sempurna terkunci.
Genta yang semula lega, mulai kalang kabut. Sandekala mengunci dirinya dengan Judith di dalam sana. Tidak bisa dicegah lagi. Pintu itu hanya bisa dibuka dari dalam, atau dihancurkan.
“Tuan ....”
Lengkingan suara Genta bak lamat-lamat di udara. Sande dengan percaya diri mendekat ke arah Judith yang mulai meraba sekitar. Kedua mata Judith telah catat akibat luka tembak. Dia buta. Tapi insting liarnya tidak boleh diremehkan.
“Hei kau menghadap ke mana? Aku di sini Ju ....”
Sande membuka mulut saat kaki Judith sudah melayang di perutnya. Tak lama tubuhnya melayang dua meter ke belakang.
“Wah kau tidak mau bercakap-cakap. Baiklah Ju, maafkan aku.”
Sande balas menyerang Judith dengan mencolok kedua matanya. Sialnya, Judith begitu tanggap dengan bergeser ke kiri. Sande hanya bisa mencolok sedikit pelipisnya.
Judith meraba sekitar. Telinganya melebar menajamkan gerakan calon korbannya. Dia sudah sangat lapar. Mangsa kali ini tidak boleh ia lepaskan begitu saja. Bedebah perihal Tuan-tuanan, yang ia tahu hanyalah makan untuk bisa bertahan hidup.
Gaungan kembali terdengar. Beberapa pasang mata di luar kaca menatap nanar pada Sande yang terpojok oleh singa yang tengah kelaparan. Beberapa lain menatap itu sebagai tontonan gratis. Mereka membuat minuman dan membawa kudapan untuk menikmati pemandangan langka.
“Aku tidak akan menyerah Judith. Kau pikir sepuluh tahun digembleng bisa mudah kau taklukkan. Apa jadinya aku di hadapan arwah leluhur dengan mati di tangan Singa.”
Sande tersenyum penuh arti. Dia mulai berhitung untuk memukul mundur Judith. Singa itu harus kalah sebelum waktu mengalahkannya.
Dia melirik stop watch yang dipasang Genta di dalam luar kaca. Bisa terlihat jelas, hanya kurang dari sepuluh menit dari batas lima belas menit.
Sande telah membuang lima menitnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Sande menendang perut kempes di hadapannya. Pekikan suara sakit beradu dengan lapar. Erangannya menyakiti telinga. Terdengar merintih, kasihan dan marah.
Judith menggeru, kakinya terangkat tinggi. Kepala Sande menjadi arah untuk ia pijak. Keterbatasan mata tak mempengaruhi pandangannya menatap mangsa.
Kakinya lima senti lagi mendarat. Gerakan cepatnya mampu disadari Sande yang menangkis dengan tangannya. Judith tergelepak di lantai. Kepalanya membentur tembok kaca yang keras. Geramannya terdengar menyakitkan.
“Genta ...!” teriak Sande yang cemas melihat Judith.
Genta sigap menghadap Tuan mudanya. Tubuhnya berdiri persis di depan Sande, hanya terpisah kotak kaca.
“Kalian apakan Judith? Dia bukan Judith ...,” ucap Sande terengah.
“Buka dulu kotak kacanya Tuan.”
Sande mendengkus. Dia berpikir mengapa anak buahnya tidak ada yang becus. Jiwa muda yang sedang menggebu menuntut gerakan cepat. Tapi dirinya malas berdebat. Kakinya mau tak mau melangkah menggeser kunci.
“Jelaskan ....”
Genta memberi kode kepada dokter hewan untuk segera memeriksa Judith. Kepalanya mengeluarkan darah. Butuh segera diobati.
“Maaf Tuan, dia benar Judith. Kehilangan Tuan Besar Umbara terdengar sampai ke telinganya. Sejak saat itu kondisinya menurun, terlebih dia belum makan sejak satu minggu—”
“Bedebah kalian semua. Kalian mau mengejekku dengan menjadikan singa lemah tandinganku hah. Maju kalian semua. Hadapi aku!”
Sande merasakan panas di dadanya. Dia sama sekali tidak menyadari kondisi Judith yang lemah. Dia menyesal terlalu keras pada hewan itu. Lawannya tidak seimbang. Dia butuh lawan yang jauh lebih kuat. Dia mulai menyadari, menguji harga dirinya bukan dengan binatang.
“Maaf Tuan Muda, menjatuhkan Judith adalah syarat pengangkatan seorang Tuan besar. Tuan telah melakukannya. Dibanding dengan mencari lawan lagi, sebaiknya Tuan muda fokus mengemban tugas baru. Kami sudah mengakui kepiawaian Tuan Muda Sandekala.”
Semua orang saling pandang. Anggapan bocah sembilan belas tahun yang biasanya hobi trek-trekan di jalan mereka tepis. Sandekala berbeda, terpancar jelas raut seorang pemimpin. Pemimpin yang tidak takut apapun. Gelora muda yang menguap dari tubuhnya terpantul kepada para hadirin yang ada di sana.
Mereka telah sepakat, lahirnya Tuan Besar yang baru. Tuan Besar Sandekala.
“Benar Tuan, Judith telah kalah. Kau resmi menjadi Tuan Besar kami.”
Sandekala tidak dapat berbicara lagi. Dia membuka ikat kepala yang melingkar di keningnya. Melempar ke sembarang arah. Kakinya melangkah ke luar box kaca. Sande telah siap dengan tugas baru yang lebih dahsyat dibandingkan menaklukkan singa lapar yang lemah.
“Hidup Tuan Besar Sande ...!”
“Hidup ...!”
Sorak-sorai anggota begitu meriah di gendang telinga Sande. Dia berjalan tak acuh dari arena tanding. Memilih mengabaikan pesta yang akan digelar untuk menyambut tugas barunya.
Kelahiran Tuan Besar Sandekala, pemimpin Um-Bara telah hadir. Kebijakannya belum terbaca. Semua orang tampak meremehkan. Tidak ada yang akan menduga ucapannya di langkah terakhir pintu arena, mengusik sebagian otak para anggota.
“Laporkan neraca, laba-rugi, perubahan modal, arus kas, segala pajak, serta ... berapa banyak uang yang lari akibat dikorupsi oleh kalian.”
Sande melanjutkan langkah dan tidak tertarik dengan dentuman protes dari para anak buahnya. Dia tidak mau tahu, laporan itu harus sudah hadir dalam kurun waktu yang ia tentukan. Tiga puluh menit dari sekarang atau nasib jabatan mereka akan terlepas begitu saja.
“Yang benar saja, Tuan Besar meminta laporan korupsi? Apa kita punya yang begitu? Sejak kapan korupsi masuk dalam jenis laporan keuangan?”
Mereka semua mengamini. Mana ada tugas catat mencatat perihal korupsi pada perusahaan. Tentu saja mereka hanya mengambil yang mereka mau dan meminta staf keuangan untuk membebankan pada biaya. Selama ini Umbara oke saja pula terhadapnya.
“Genta, tidak salah apa yang Tuan Besar inginkan?” tanya salah seorang.
Genta mengangguk, yang ada banyak protes di depannya merupakan CEO yang hobi menyusun sembarang laporan. “Ya. Tuan mendapati laporan yang terasa janggal. Beliau ingin memeriksa lagi secara keseluruhan. Sebaiknya kalian segera bertindak. Hubungi akuntan kalian, atau kalian hidup menggembel lagi.”
Genta menyusul tuan besarnya. Selama ini Umbara memang terlalu baik dengan membiarkan korupsi menggerogoti finansial mereka. Sehebat apapun Umbara akan terasa kosong jika dalamnya diisi para penghianatan. Itu juga yang mendasari Sandekala menyisir segala bentuk penghianatan untuk menemukan pembunuh kakeknya.
Selama kurang lebih tiga belas jam di dalam pesawat, Sande telah melahap habis laporan dari berbagai perusahaan yang diakuisisi kakeknya. Sebagai orang yang mengenal bisnis dari sang ayah, Sande tahu ada yang main-main dalam menyusun laporan perusahaan.
Satu persatu semua akan dia babat habis. Penghianat tidak boleh beroperasi dalam lumbung padi miliknya.
“Aku harus menyelesaikan internal dulu. Sebelum masuk ke persoalan YuShop yang amat bahaya.”
----
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa