Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya.
Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah.
“Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman.
Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak.
Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beberapa detik kemudian, barulah tembakan serangan yang sesungguhnya. Tembakan yang dia tidak menyadarinya. Tidak merasakan, tidak mencium dan juga tidak mendengar. Seakan indranya dikunci sekian detik oleh alam.
Melirik dari tempat kakeknya duduk, tembakan dibagi dalam empat arah untuk posisi yang cukup strategis.
“Pintu tadi masih tertutup. Kemungkinan dia memang sudah bersarang di kamar ini cukup lama. Em, tunggu. Tembakan dua kali berada di belakang sofa tempat Anuva duduk. Apakah …?”
Jemari Sande memeluk dagunya. Dia berpikir ekstra. Di mana celah di rumah ini yang bisa ditembus. Ia berjanji, lepas pemakaman sang kakek akan segera merombak seluruh markas Um-Bara.
“Teknologi dikuasai, dunia di genggaman, tapi menjaga kakek renta saja tak becus. Aih di mana wajahku harus aku hadapkan!”
Sande yang terus tersudut dalam dunianya merasa semakin kesal. Selama ini dia sudah serius belajar, tapi masalah kakeknya saja dia tak mampu menghadapi. Dia membuang semua duka untuk bisa bertemu benang merah peristiwa ini. Akan tetapi, dukanya masih ada di hati. Tidak bisa berpindah sekian milimeter saja.
Dengan kesal, tersungkur juga tubuhnya di lantai. Air matanya menganak sungai. Menciptakan rasa hujan kecil di tangannya yang menopang bobot tubuh. Jiwa mudanya meronta. Bak mendapat ujian dari gurunya, dan ia gagal, menangis menjadi jalan satu-satunya.
“Sande kau sama sekali tidak pantas. Bagaimana bisa menghadapi dunia jika nyawa Kakekmu saja hilang dalam satu kubik bersamamu.”
Ketukan pintu mengakhiri tangisannya. Dalam sekejap, dia menyulap lantai yang basah untuk kering. Air wajah yang tragis menjadi dingin tidak terbaca. Dia tak mau seluruh dunia mencemoohnya, hanya karena kehilangan tongkat jiwa bersandar selama ini.
“Masuk ...!”
“Tuan Muda. Penerbangan akan segera dilakukan. Ada yang bisa kami bantu untuk persiapan Tuan?”
Sande menatap pria berumur dua puluh satu tahun di atasnya. Meski lebih tua, dia tetap menghormati dirinya.
“Tidak ada. Silakan lanjutkan tugas kalian,” sahut Sande dengan bola mata yang tak lepas menatapnya.
“Baik Tuan.”
Setelah pria itu pergi, Sande memutuskan keluar kamar. Dia harus memberikan sepatah dua patah kata pada anggota klan yang setia.
“Kita akan berangkat ke Indonesia, tanah kelahiran Kakek Umbara, setelah dari sana, saya harap tidak ada lagi wajah ditekuk akibat duka. Kita semua akan sama-sama meneruskan klan dengan saya sebagai pemimpin. Ada yang keberatan dengan ini?”
Sande memindai wajah-wajah lelah para pengikutnya. Meski ada satu dua yang ragu, tetapi tidak ada yang berani menentangnya. Dari pada timah panas bersarang di dada, lebih baik nama Sandekala yang harus mereka ukir di dada mereka lebih dulu.
“Baik jika kalian tidak keberatan. Mari kita sama-sama mengantar Tuan Besar Umbara ke peristirahatan terakhirnya.”
Sande memutar tubuh. Sosoknya menangkap Anuva yang terperangkap di antara puluhan tukang pukul Um-Bara. Mereka berteman sedari kecil, tapi entah mengapa, untuk saat ini wajah itu tidak ingin dia lihat. Tetapi dia tidak bisa begitu saja membiarkan dirinya pergi dari mansion ini. Jika menggunakan logika ala kadarnya, pembunuh kakek bisa jadi berkaitan dengan masuknya gadis muda tersebut.
“Paman Genta ...,” ucap Sande lirih pada Genta di sampingnya.
“Iya Tuan muda, ada yang bisa saya bantu.”
Ekor mata Sande memicing ke arah Anuva. Membuat wanita itu merinding ketakutan. Sengaja Sande lakukan agar gadis Rusia itu harus tahu berhadapan dengan siapa. Tak boleh ada yang bisa meremehkan seorang Sandekala.
“Tahan Anuva sampai batas waktu yang tidak ditentukan.”
Genta terdiam sejenak. Ia merasa janggal dengan desahan suara Tuan mudanya. Hanya saja otaknya lebih dulu maju dibandingkan perasaannya. Ia mengangguk tanpa bertanya apapun. Feeling-nya hanya dikhususkan untuk percaya pada calon pemimpin baru mereka.
Kewaspadaan itu begitu perlu saat ini. Sande berjanji akan memasukkan kurikulum baru pada pelajaran klan Um-Bara. Mereka harus mematangkan pikiran dan lebih waspada. Tidak ada satu pun yang boleh terbunuh akibat kelalaian di dalam rumah yang mereka tempati sendiri.
***
Jakarta, Indonesia
Sande tidak banyak bicara setibanya di Indonesia. Pertanyaan orang tuanya dia limpahkan ke Genta. Dia hanya diam menatap peti jenazah sang kakek. Tidak ada niatan untuk bercerita bagaimana peristiwa naas itu terjadi.
Lututnya sampai kebas berdiri saja sejak menginjak rumah orang tuanya. Puluhan pasang kaki terus bergerak berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dari memandikan, mengkafani, sampai menyolati tubuh tua yang sudah tidak berdaya. Sande hanya mengamati, karena dia sendiri memang tidak tahu akan melakukan apa.
Kakeknya tidak pernah mengajari cara memperlakukan jenazah dengan hormat, selain menguburkannya di pemakaman khusus anggota klan.
“Kala, kau tidak pegal berdiri saja. Duduklah, ikhlaskan Kakekmu.”
Di sampingnya berdiri Shana — sang ibu. Pakaiannya telah berganti warna hitam. Matanya sembab meski sudah tak tampak air mata yang membanjiri. Tidak ada riasan si wajah. Pertanda ia amat berduka, namun masih berusaha merengkuh sang putra dari keterpurukan yang tengah dia rasakan.
“Kapan Kakek dimakamkan ... Bunda?” tanya Sande melirik ibunya.
“Sebentar lagi. Kamu minumlah dulu.”
Sande menerima uluran tangan yang menyodorkan segelas air. Tenggorokannya memang kering sejak tadi. Tidak ada satu tetes pun air yang masuk membasahi. Langkahnya begitu malas untuk mengambil air.
“Kamu ikhlaskan Kakek ya Kala. Bunda yakin kamu bisa.”
Sentuhan halus yang begitu tulus diterima Sande dengan baik. Meski dia tak suka panggilan Kala yang dilayangkan orang tuanya, dia tidak ingin mempermasalahkan saat ini.
Sande tersenyum sedikit. Hanya sedikit agar Bundanya tidak melulu khawatir terhadapnya. Dia sudah mengaku besar, sembilan belas tahun bukan usia kanak-kanak lagi untuk bersedih. Tugasnya sudah menunggu di depan sana.
“Bunda ... Sandekala, acara pemakaman akan segera dilakukan. Ayo cepat.”
Saka menghampiri anak dan istrinya yang tengah berbincang. Dia tampak lebih tegar dibandingkan yang lain. Hanya saja sebagai seorang ayah, dia memang khawatir mengenai putranya. Kematian Kakek Umbara otomatis menjadikan Sande ketua klan Um-Bara. Klan mafia besar yang terus bergerak melebarkan sayap merambah ke berbagai negara.
Pemakaman Umbara berlangsung khidmat. Perwakilan klan Um-Bara turut serta mengantarkan Tuan besarnya ke peristirahatan terakhir. Tidak ada derak tertawa, semua serius menunduk hormat pada mafia besar yang memimpin mereka. Mafia yang lebih menyukai dunia hitung menghitung dibanding mengangkat senjata, kini telah tiada.
“Semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah. Al-fatihah.”
Sande mengangkat tangannya ke udara. Matanya terpejam dengan kepala yang menunduk. Selain kehilangan, otaknya terus berpikir siapa pelaku yang sengaja menghancurkan klannya. Selepas ini dia akan mencari siapa dia, walau sampai lubang semut sekalipun.
Semua orang bubar, tersisa Sande dan Saka—ayahnya. Ibunya telah dibawa saudaranya karena tak sanggup berdiri tegak dengan air mata yang terus mengucur.
“Apa rencanamu Nak?” tanya Saka dengan tetap menoleh ke nisan kakek.
Sande menghela napas berat. Saat ini memang hanya Ayahnya yang paling mengerti dirinya.
“Kakek bukan meninggal serangan jantung kan. Dia dibunuh?”
Sande tak heran dengan ucapan ayahnya. Saka cukup cerdas untuk menilai situasi.
“Jangan bilang Bunda.”
“Sejak kapan Ayah jadi penghianat Kala. Sekarang bagaimana maumu?”
Sande bergeming. Kedua tangannya terkunci pada saku celana kainnya. Dia kesulitan mengeluarkan tangannya takut jika luka itu terlihat orang lain.
“Sande akan menjadi Tuan Besar, Yah. Tidak ada yang bisa menggangu gugat keputusan Sande.”
Saka menghela napasnya beberapa kali.
“Kau pasti bisa. Tuan Besar Sandekala ...!”
----—
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa
Sande mendesah saat melihat seorang wanita di kantornya. Usianya beberapa tahun di atasnya, tapi tubuhnya begitu mungil. Seketika dia tidak yakin, bisa mempekerjakan wanita ini.“Nama ...,” ujarnya singkat.“Harumi Sato.”“Umur ...?”“24 tahun. Lulus strata dua tahun ini di Universitas Tokyo,” jawabnya sekalian. Bagi Harumi, dia tidak suka basa-basi seperti ini. Waktunya terlalu berharga hanya untuk sekedar berkenalan.Sande mengerutkan keningnya. Bukan masalah pendidikan atau usianya yang menjadi penghalang. Tapi postur Harumi yang mungil sempat mengganggunya.“Ya sudah. Buka email, periksa laporan masuk. Mereka saya minta mengirimkan laporan keuangan perusahaan. Kamu catat poin-poin yang saya sudah saya kelompokkan.”Harumi keheranan memandang bos barunya ini, “excuse me. Manual Tuan?”“Ya. Saya mau lihat seberapa teliti kamu.”Ha
Bisnis start up yang di bawah pimpinan Yucheng memang legal. Hanya saja kadangkala sebagai pemilik market place, ada saja kecolongan yang terjadi. Entah disengaja maupun tidak.Tepat saat kedatangan Sande, baru saja terjadi transaksi pembelian donor jantung yang dijual di aplikasi miliknya.Yu bukan tidak tahu, dia sudah tahu selama beberapa Minggu belakang. Ada oknum yang menawarkan menjual jantung manusia dengan bebas di market place Yu. Tentu saja sebagai pihak ketiga, dia juga butuh pemasukan lebih.Yu menerima begitu saja tawaran itu.“Anda jangan bercanda Tuan. Meski masih baru, kami memiliki team yang ketat terkait barang apa yang dijual,” kilah Yu. Dia yakin Sande hanya menggeretaknya.“Oh ya, hebat sekali. Saya jadi makin tertarik mendapatkan manajemen yang berkilau ini,” sahut Sande.Kedua tangannya disembunyikan dalam kantong celana. Memilin pelan belati kecil yang menjadi senjata pe
Penerbangan yang memakan waktu empat belas jam lebih tersebut, membuat Sande sedikit mengalami jet lag. Belum lagi ia disambut suhu udara yang begitu tinggi.Keringatnya membasahi seluruh dahi. Diambilnya tisu untuk mengelap titik-titik air yang keluar begitu saja.“Mobil menuju hotel sudah siap Tuan. Silakan ...!” ujar Genta sambil menunjuk mobil jenis sedan hitam yang gagah berdiri.“Ya.”Sande mengucap singkat sembari terus mengusap keringatnya.Entah sejak kapan dia tak lagi tahan pada suhu tinggi. Padahal biasanya dia tahan banting. Jangankan panas belum seberapa ini. Waktu berusia lima belas, kakeknya memasukannya ke dalam oven besar yang suhunya sudah mencapai 40 derajat celsius. Sande tidak mengeluh dan bertahan selama sepuluh menit.Dia mendesah lega setelah berhasil duduk nyaman di kursi penumpang. AC diatur rendah, membuat hawa sejuk seketika mengelilingi kulitnya.“Jam berapa
“Genta bisa kau siapkan rekaman data perusahaan yang ingin diakuisisi Kakek?”“Bisa Tuan besar.”“Oke, lima belas menit aku tunggu.”Sande membuang napasnya kasar. Tidak boleh lengah dan lemah. Pergerakan lawannya sudah mulai terbaca.Mata elangnya mengamati ribuan warna di depan layar yang begitu lambat bergerak.Dia tak suka itu. Dengan sekali klik, garis merah membentuk turunan tajam. Bagai roller coaster, garis-garis panjang terus beradu tajam.Sande cukup puas dengan pekerjaannya.“Bisa kau lihat Yu aku lebih jago bukan,” gumamnya.Tidak bisa dipungkiri, gejolak kaum muda masih kuat bersarang dalam diri Sande. Tidak heran dia bertidak sesuai hatinya saat ini.“Permisi Tuan, ini data yang Anda butuhkan.”Genta masuk dengan membawa tumpukan map. Dia menghadap dengan sejuta tanya yang bersarang di kepalanya.“Letakan
“Bahkan kau tidak melihatku Sande. Apa kau telah lupa padaku?” Anuva mengunci kakinya yang terasa kebas. Ditangannya memeluk sebotol air mineral yang tengah ia remas. Dirinya bak butiran debu bagi seorang Sande yang kini menjelma menjadi Tuan besar. Bahkan tubuhnya begitu mudah dia lewati tanpa berminat sedikitpun menoleh. Sebagai teman sedari kecil, hal itu begitu melukai perasaannya. Ingin sekali dia mengejar, tapi tangan seseorang dengan kuat mencengkram dirinya. Membawa ia menjauh dari keramaian yang terjadi. “Kau siapa?” Anuva memindai tubuh kekar di hadapannya. “Syuut ....” Pria yang tidak dikenalnya menutup mulut gadis itu dengan satu tangannya. Beberapa detik berlalu, Anuva telah terlelap di dekapan orang asing. *** Para petinggi perusahaan saling berteriak sibuk. Mereka gelagapan atas permintan Sande menghadirkan la
Tujuh hari lepas dari penguburan Umbara, Sandekala tidak mau membuang waktu lagi. Permintaannya kepada Genta tempo lalu dilaksanakan patuh. Saat ini juga mereka tengah kembali ke Moskow, Rusia. Markas pusat Um-Bara. Ada sekitar seratus orang yang menunduk hormat pada Sandekala yang baru saja turun dari mobil jemputannya. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Direktur, atlit, artis papan atas, sopir taksi. Semua bekerja di bawah kepemimpinan Umbara. Mereka tersebar di mana-mana, hanya sekedar menjadi pengecoh lawan dan menutupi kebiadabannya. “Selamat datang kembali Tuan Muda. Kami mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya Tuan Besar,” ungkap Jhony— direktur pabrik sepatu yang merangkap sebagai kepala divisi CEO klan. “Simpan ucapanmu Jho
Di negara asalnya saat ini, sedang mengalami musim penghujan. Tanah di sekelilingnya, bahkan yang sedang ia pijak telah basah. Genangan air membentuk danau kecil, yang jika diinjak airnya muncrat ke mana-mana. Tak menghiraukan itu semua, Sandekala sedang duduk bersila pada tanah lapang yang ia pijak. Tangannya menyatu di bawah dadanya, matanya terpejam dengan tetap memfokuskan pendengarannya. Konsentrasi berpusat pada satu hal. Kematian kakek buyutnya. Otaknya dipaksa mengulangi kejadian yang samar di depan mata. Penglihatan diminta menyajikan lokasi yang amat dia kenali. Tidak boleh ada yang terlewat barang se-senti pun. “Bu, itu Den Sande bertapa sejak tadi. Hujan dari kecil ke deras sampai terang masih di situ. Ani takut dia masuk angin Bu,” ucap Ina pada Shana— majikannya. Dia tidak tega dengan anak majikan
Sudut kursi roda yang berubah dari posisi sebelumnya segera diabadikan Sande lewat kamera 18 Mega pixel miliknya. Perpindahan sudut yang berubah kemungkinan karena diangkatnya tubuh Umbara. Tetapi jiwa detektif Sande terus meronta dengan memperhatikan detail apa yang berubah. “Hanya berubah sekian inci, astaga.” Sande mendesah dengan mengelus wajahnya. Kelenjar keringatnya sudah sangat aktif sedari tadi. Membuatnya tak nyaman. Penyisiran dilanjutkan dengan memeriksa setiap sudut yang memungkinkan menjadi sarang si penembak. Saat itu Sande sedang berdiri lurus di hadapan kakeknya. Terdengar tembakan dua kali yang membuatnya menoleh dan melangkah tiga kali ke depan. Beber
“Sande ... Sande ...!” Seorang wanita berambut blonde berteriak cukup kencang. Luas mansion yang sedang dia masuki sebesar 30.000 kaki persegi, cukup maklum jika dia harus berteriak jika memanggil seseorang. “Nona ...,” sapa seorang ajudan bertubuh tegap dengan setelan formal seperti hendak menghadiri rapat penting dalam sebuah bisnis. “Eh Paman, di mana Sande?” tanyanya akrab. Dia sudah mengenal siapa lelaki di hadapannya. “Tuan Muda sedang berbincang dengan Tuan Besar. Harap Nona menunggu saja di sini. Nanti saya sampaikan jika Nona datang.” Anuva mendengkus sebal. Selalu saja jika dia ke sini, Sa